KLP 4 (Trend Dan Issue Kep Gerontik) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN GERONTIK DIKAITKAN DENGAN TERAPI KOMPLEMENTER (TERAPI KOMPLEMENTER MASSAGE PADA LANSIA DENGAN PENYAKIT REMATIK)



OLEH : KELOMPOK IV ( KELAS B13-A) KADEK ANJASMIYANA



203221107



DEWA AYU WINDEWATI



203221108



I WAYAN SUDIANA



203221109



NI NYOMAN DARMINI



203221110



ANAK AGUNG AYU MIRAH ADI



203221111



LUH KETUT SUPRAPTI ASTUTI I MADE SUASMITA NI WAYAN SUPRAPTI RAHAYU AYU MADE ARIANI



203221112 203221113 203221114 203221115



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA STIKES WIRA MEDIKA DENPASAR 2021



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kami masih diberi kesehatan sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul ”Trend dan Issue Keperawatan Gerontik Dikaitkan Dengan Terapi Komplementer (Terapi Komplementer Massage Pada Lansia Dengan Penyakit Rematik)” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa, masyarakat dan pembaca.



Denpasar, 20 Maret 2021



Kelompok IV



i



DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR................................................................................................................i DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii BAB I.........................................................................................................................................1 PENDAHULUAN......................................................................................................................1 1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................2 1.3 Tujuan...............................................................................................................................2 1.4 Manfaat.............................................................................................................................2 BAB II........................................................................................................................................3 PEMBAHASAN........................................................................................................................3 2.1 Definisi Trend dan Issue...................................................................................................3 2.2 Permasalahan Pada Lansia................................................................................................3 2.3 Penyakit Terbanyak Pada Lansia......................................................................................4 2.4 Masalah Kesehatan Gerontik...........................................................................................4 2.5 Upaya Pelayanan Kesehatan Terhadap Lansia.................................................................5 2.6 Trend dan Issue Pada Lansia dengan Penyakit Rematik dikaitkan Dengan Terapi Komplementer ( terapi Massage ).....................................................................................8 BAB III.....................................................................................................................................22 PENUTUP................................................................................................................................22 3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................22 3.2 Saran...............................................................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Proses penuaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Semua orang memiliki keinginan bagaimana agar tetap tegar dalam menjalani hari tua yang penuh makna dan berkualitas. Hal ini dapat dipertimbangkan mengingat usia harapan hidup penduduk yang semakin meningkat. Menjadi tua adalah suatu proses naturnal dan kadang-kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua sistem tubuh manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama. Meskipun proses menjadi tua merupakan gambaran yang universal, tidak seorangpun mengetahui dengan pasti penyebab penuaan atau mengapa manusia menjadi tua pada saat usia yang berbeda-beda. Penuaan terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi berkembang dari masa bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Seseorang dengan usia kronologis 70 tahun mungkin dapat memiliki usia fisiologis seperti orang usia 50 tahun. Atau sebaliknya, seseorang dengan usia 50 tahun mungkin memiliki banyak penyakit kronis sehingga usia fisiologisnya 90 tahun. Menua bukanlah suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan dengan berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia dengan penurunan kualitas hidup. Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku. Dari proses tersebut dapat menimbulkan



berbagai



macam



penyakit



seperti



Rematik,



yang akan



menimbulkan rasa nyeri pada persendian (Pramono & Suci L, 2019) .



1



1.2 Rumusan Masalah Bagaimana trend dan issue keperawatan gerontik berkaitan dengan terapi komplementer ? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui Trend dan Issue Keperawatan Gerontik berkaitan dengan terapi komplementer. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui definisi dari trend dan issue b. Untuk mengetahui permasalahan pada lansia c. Untuk mengetahui penyakit terbanyak pada lansia d. Untuk mengetahui masalah kesehatan gerontik e. Untuk mengetahui Upaya Pelayanan Kesehatan terhadap Lansia f. Untuk mengetahui trend dan issue pada lansia dengan penyakit rematik dikaitkan dengan terapi komplementer (terapi massage ) 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat teoritis Dari penyusunan makalah ini diharapkan agar mahasiswa memperoleh pengetahuan tambahan dan dapat mengembangkan wawasan mengenai trend dan issue keperawatan gerontik dikaitkan dengan terapi komplementer. 1.4.2 Manfaat praktis Dari penyusunan makalah ini diharapkan agar para pembaca mengetahui bagaimana cara untuk menyusun sebuah makalah trend dan issue keperawata gerontik dan dapat mengaplikasikannya di lapangan.



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Definisi Trend dan Issue 2.1.1 Definisi Trend Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan analisa, trend juga dapat didefinisikan sebagai salah satu gambaran ataupun informasi yang terjadi pada saat ini yang biasanya sedang populer di kalangan masyarakat. Trend adalah sesuatu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta (Khoirunisa & Hardiansyah, 2017). 2.1.2 Definisi Issue Issue adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik, hukum, pembangunan nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian, ataupun tentang krisis. Issue adalah sesuatu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang namun belum jelas faktannya atau buktinya (Khoirunisa & Hardiansyah, 2017). 2.2 Permasalahan Pada Lansia 2.2.1 Permasalahan Umum 1.



Makin besar jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan.



2.



Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan,dihargai dan dihormati.



3.



Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia.



4.



Belum



membudaya



dan



kesejahteraan lansia.



3



melembaganya



kegiatan



pembinaan



2.2.2 Permasalahan Khusus 1.



Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik fisik,mental maupun sosial



2.



Berkurangnya integrasi sosial usia lanjut.



3.



Rendahnya produktifitas kerja lansia.



4.



Banyaknya lansia yang miskin,terlantar dan cacat.



5.



Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik.



2.3 Penyakit Terbanyak Pada Lansia Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, penyakit yang terbanyak pada lansia adalah untuk penyakit tidak menular antara lain ; hipertensi, masalah gigi, penyakit sendi, masalah mulut, diabetes mellitus, penyakit jantung dan stroke, dan penyakit menular antara lain seperti ISPA, diare, dan pneumonia (“Kementrian Kesehatan RI,” 2019) 2.4 Masalah Kesehatan Gerontik 1.



Masalah kehidupan seksual Adanya anggapan bahwa semua ketertarikan seks pada lansia telah hilang adalah mitos atau kesalahpahaman (Parke, 1990). Pada kenyataannya hubungan seksual pada suami isri yang sudah menikah dapat berlanjut sampai bertahun-tahun. Bahkan aktivitas ini dapat dilakukan pada saat klien sakit atau mengalami ketidakmampuan dengan cara berimajinasi atau menyesuaikan diri dengan pasangan masing-masing. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa maturitas dan kemesraan antara kedua pasangan sepenuhnya normal. Ketertarikan terhadap hubungan intim dapat terulang antara pasangan dalam membentuk ikatan fisik dan emosional secara mendalam selama masih mampu melaksanakan.



2.



Perubahan prilaku Pada



lansia



sering



dijumpai



terjadinya



perubahan



perilaku



diantaranya: daya ingat menurun, pelupa, sering menarik diri, ada kecendrungan penurunan merawat diri, timbulnya kecemasan karena dirinya



4



sudah tidak menarik lagi, lansia sering menyebabkan sensitivitas emosional seseorang yang akhinya menjadi sumber banyak masalah. 3.



Pembatasan fisik Semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama dibidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan - peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan pula timbulnya gangguan di dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan ketergantunan yang memerlukan bantuan orang lain.



4.



Palliative care Pemberian obat pada lansia bersifat palliative care adalah obat tersebut ditujukan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh lansia. Fenomena polifarmasi dapat menimbulkan masalah, yaitu adanya interaksi obat dan efek samping obat. Sebagai contoh klien dengan gagal jantung dan edema mungkin diobatai dengan dioksin dan diuretika. Diuretik berfungsi untu mengurangi volume darah dan salah satu efek sampingnya yaitu keracunan digosin. Klien yang sama mungkin mengalami depresi sehingga diobati dengan antidepresan. Dan efek samping inilah yang menyebaban ketidaknyaman lansia.



5.



Pengunaan obat Medikasi pada lansia memerlukan perhatian yang khusus dan merupakan persoalan yang sering kali muncul dimasyarakat atau rumah sakit. Persoalan utama dan terapi obat pada lansia adalah terjadinya perubahan fisiologi pada lansia akibat efek obat yang luas, termasuk efek samping obat tersebut(Watson, 1992). Dampak praktis dengan adanya perubahan usia ini adalah bahwa obat dengan dosis yang lebih kecil cenderung diberikan untuk lansia. Namun hal ini tetap bermasalah karena lansia sering kali menderita bermacam-macam penyakit untuk diobati sehingga mereka membutuhkan beberapa jenis obat. Persoalan yang dialami lansia dalam pengobatan adalah: a. Bingung b. Lemah ingatan c. Penglihatan berkurang



5



d. Tidak bisa memegang e. Kurang memahami pentingnya program tersebut unuk dipatuhi 2.5 Upaya Pelayanan Kesehatan Terhadap Lansia Upaya pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi azas, pendekatan, dan jenis pelayanan kesehatan yang diterima. 1.



Azas Menurut WHO (1991) adalah to Add life to the Years that Have Been Added to life, dengan prinsip kemerdekaan (independence), partisipasi (participation), perawatan (care), pemenuhan diri (self fulfillment), dan kehormatan (dignity). Azas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI adalah Add life to the Years, Add Health to Life, and Add Years to Life, yaitu meningkatkan mutu kehidupan lanjut usia, meningkatkan kesehatan, dan memperpanjang usia.



2.



Pendekatan Menurut World Health Organization (1982), pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Menikmati hasil pembangunan (sharing the benefits of social development) b. Masing-masing lansia mempunyai keunikan (individuality of aging persons) c. Lansia diusahakan mandiri dalam berbagai hal (nondependence) d. Lansia turut memilih kebijakan (choice) e. Memberikan perawatan di rumah (home care) f. Pelayanan harus dicapai dengan mudah (accessibility) g. Mendorong ikatan akrab antar kelompok/ antar generasi (engaging the aging) h. Transportasi dan utilitas bangunan yang sesuai dengan lansia (mobility) i. Para



lansia



dapat



terus



berguna



dalam



menghasilkan



karya



(productivity) j. Lansia beserta keluarga aktif memelihara kesehatan lansia (self help care and family care)



6



3.



Jenis Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan, yaitu Promotif, prevention, diagnosa dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan, serta pemulihan. a.



Promotif Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien, tenaga profesional dan masyarakat terhadap praktek kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia sebagai berikut : 1) Mengurangi cedera 2) Meningkatkan keamanan di tempat kerja 3) Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk 4) Meningkatkan keamanan, penanganan makanan dan obat-obatan 5) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut



b.



Preventif 1) Mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier. Contoh pencegahan primer : program imunisasi, konseling, dukungan nutrisi, exercise, keamanan di dalam dan sekitar rumah, menejemen stres, menggunakan medikasi yang tepat. 2) Melakukakn pencegahan sekuder meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa gejala. Jenis pelayanan pencegahan sekunder: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kanker, skrining : pemeriksaan rektal, mamogram, papsmear, gigi, mulut. 3) Melakukan pencegahan tersier dilakukan sesudah gejala penyakit dan cacat. Jenis pelayanan mencegah berkembangnya gejala dengan memfasilisasi rehabilitasi, medukung usaha untuk mempertahankan kemampuan anggota badan yang masih berfungsi.



c.



Rehabilitatif Merupakan upaya mengembalikan fungsi organ yang telah menurun. Upaya rehabilitasi dapat berupa kegiatan antara lain (Utara, 2003):



7



1) Memberikan



informasi,



pengetahuan



dan



pelayanan



tentang



penggunaan berbagai alat bantu misalnya kaca mata, alat bantu dengar dan lain-lain agar lansia tetap dapat memberikan karya dan tetap merasa berguna sesuai kebutuhan dan kemampuan. 2) Mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri dan memperkuat mental penderita. 3) Pembinaan usia lanjut dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi aktifkan didalam maupun diluar rumah. 4) Nasihat cara hidup yang sesuai dengan penyakit yang diderita. 5) Perawatan fisioterapi. 2.6 Trend dan Issue pada Lansia dengan Penyakit Rematik Dikaitkan dengan Terapi Komplementer ( Terapi Massage ) Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan usia terjadi dari berbagai sistem tubuh salah satunya adalah rematik. Rematik merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya. Karakteristik rematik adalah terjadi kerusakan dan poliferasi pada membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan sendi, ankilosis, dan deformitas (Ningsih et al., 2011). Menurut Choirudi (2011) mengatakan bahwa rematik merupakan penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris. Rematik dapat disebabkan oleh kegemukan, usia, jenis kelamin, genetik.Tanda dan gejala rematik yaitu nyeri sendi,inflamasi,deformitas. Nyeri pada sendi dapat membuat penderita rematik mengalami gangguan aktifitas sehari-hari sehingga dapat menurunkan produktifitas. Perubahan kondisi fisik yang terjadi pada lansia adalah menurunnya kemampuan muskuloskeletal sehingga menyebabkan terjadinya perubahan secara degeneratif yang dirasakan dengan keluhan nyeri, disertai pula dengan pembengkakan yang mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas. Salah satu penyakit sendi yang dialami lansia yaitu rematik, masalah yang disebabkan oleh



8



penyakit rematik tidak hanya keterbatasan yang tampak jelas tetapi dapat menimbulkan kegagalan organ dan kematian atau mengakibatkan masalah seperti nyeri. Nyeri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan dari suatu emosional disertai kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial atau kerusakan jaringan secara menyeluruh (Ningsih et al., 2011). Nyeri pada sendi membuat penderita rematik mengalami gangguan aktivitas sehari-hari sehingga dapat menurunkan produktivitas. Proses penyakit rematik mengancam kemandirian dan kualitas hidup dengan membebani kemampuan melakukan perawatan personal dan aktivitas sehari-hari (Smeltzer & Bare, 2010).



2.6.1



Definisi Penyakit Rematik Penyakit reumatik adalah penyakit inflamasi non - bakterial yang



bersifat sistemik, progesif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris (Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, hal. 165). 2.6.2



Epidemiologi Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu



dengan lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik



9



reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010). Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali. Menurut WHO tahun 2014 penderita rematik 355 juta penduduk seluruh dunia. Di Indonesia penderita menurut laporan badan pusat statistikpada tahun 2010 sebanyak 69,43 juta penduduk dari persentase lansia 7,18%. Pada tahun 2011 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penderita rematik 69,65 juta penduduk lansia dengann persentase 7,58% lansia. 2.6.3



Klasifikasi Penyakit Rematik



Menurut (Adelia,2011) ada beberapa jenis reumatik yaitu: Reumatik Sendi (Artikuler) adalah reumatik yang menyerang sendi dikenal dengan nama reumatik sendi (reumatik artikuler). Penyakit ini ada beberapa macam yang paling sering ditemukan yaitu: a) Artritis Reumatoid Merupakan penyakit autoimun dengan proses peradangan menahun yang tersebar diseluruh tubuh, mencakup keterlibatan sendi dan berbagai



organ



di



luar



persendian.



Peradangan



kronis



dipersendian menyebabkan kerusakan struktur sendi yang terkena.



10



Peradangan sendi



biasanya



mengenai



beberapa



persendian



sekaligus.Peradangan terjadi akibat proses sinovitis (radang selaput sendi) serta pembentukan pannus yang mengakibatkan kerusakan pada rawan



sendi



dan



tulang



di



sekitarnya,



terutama



di



persendian tangan dan kaki yang sifatnya simetris (terjadi pada kedua sisi). Penyebab Artritis Rematoid belum diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan karena mikoplasma, virus, dan sebagainya.  Peradangan



kronis



membran



sinovial



mengalami



pembesaran



(Hipertrofi) dan menebal sehingga terjadi hambatan aliran darah yang menyebabkan kematian (nekrosis) sel dan respon peradanganpun berlanjut. Sinovial yang menebal kemudian dilapisi oleh jaringan granular yang disebut panus. Panus dapat menyebar keseluruh sendi sehingga semakin merangsang peradangan dan pembentukan jaringan parut. Proses ini secara perlahan akan merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas (kelainan bentuk). b) Osteoatritis Adalah sekelompok penyakit yang tumpang tindih dengan penyebab yang belum diketahui, namun mengakibatkan kelainan biologis, morfologis, dan keluaran klinis yang sama.Proses penyakitnya berawal dari masalah rawan sendi (kartilago), dan akhirnya mengenai seluruh persendian termasuk tulang subkondrial, ligamentum, kapsul dan jaringan sinovial, serta jaringan ikat sekitar persendian (periartikular). Pada stadium lanjut, rawan sendi mengalami kerusakan yang ditandai dengan adanya fibrilasi, fisur, dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi. Etiologi penyakit ini tidak diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, yaitu : Usia lebih dari 40 tahun, Jenis kelamin wanita lebih sering, Suku bangsa, genetik, kegemukan dan penyakit metabolik, cedera sendi, pekerjaan, dan olah raga, kelainan pertumbuhan, kepadatan tulang, dan lain-lain. c) Atritis Gout



11



Penyakit



ini



berhubungan



dengan



tingginya



asam



urat



darah (hiperurisemia). Penyakit ini timbul akibat kristal monosodium urat di persendian meningkat. Timbunan kristal ini menimbulkan peradangan jaringan yang memicu timbulnya reumatik gout akut. Pada



penyakit



gout



primer,



99%



penyebabnya



belum



diketahui (idiopatik). Diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetic



dan



faktor



hormonal



yang



menyebabkan



gangguan



metabolisme yang dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat atau bisa juga diakibatkan karena berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh. Penyakit gout sekunder disebabkan antara lain karena meningkatnya produksi asam urat karena nutrisi, yaitu mengkonsumsi makanan dengan kadar purin yang tinggi. Purin adalah salah satu senyawa basa organic yang menyusun asam nukleat (asam inti dari sel) dan termasuk dalam kelompok asam amino, unsur pembentuk protein. Produksi asam urat meningkat juga bisa karena penyakit darah (penyakit sumsum tulang, polisitemia), obat-obatan (alkohol, obatobat kanker, vitamin B12). Penyebab lainnya adalah obesitas (kegemukan), penyakit kulit (psoriasis), kadar trigliserida yang tinggi. Pada penderita diabetes yang tidak terkontrol dengan baik biasanya terdapat kadar benda-benda keton (hasil buangan metabolisme lemak) yang



meninggi.



Benda-benda



keton



yang



meninggi



akan



menyebabkan asam urat juga ikut meninggi. d) Reumatik Jaringan Lunak (Non-Artikuler) Merupakan golongan penyakit reumatik yang mengenai jaringan lunak di luar sendi (soft tissue rheumatism)  sehingga disebut juga reumatik luar sendi (ekstra artikuler rheumatism). Jenis – jenis reumatik yang  sering ditemukan yaitu: 



Fibrosis : merupakan peradangan di jaringan ikat terutama di batang tubuh dan anggota gerak. Fibrosis lebih sering ditemukan oleh perempuan usia lanjut, penyebabnya adalah faktor kejiwaan.



12







Tendonitis dan tenosivitis : tendonitis adalah peradangan pada tendon yang menimbulkan nyeri lokal di tempat perlekatannya. Tenosivitis adalah peradangan pada sarung pembungkus tendon.







Entesopati adalah tempat di mana tendon dan ligamen melekat pada tulang. Entesis ini dapat mengalami peradangan yang disebut entesopati. Kejadian ini bisa timbul akibat menggunakan lengannya secara berlebihan, degenerasi, atau radang sendi.







Bursitis adalah peradangan bursa yang terjadi di tempat perlekatan tendon atau otot ke tulang. Peradangan bursa juga bisa disebabkan oleh reumatik gout dan pseudogout.







Back Pain : penyebabnya belum diketahui, tetapi berhubungan dengan proses degenerarif diskus intervertebralis, bertambahnya usia dan pekerjaan fisik yang berat, atau sikap postur tubuh yang salah sewaktu berjalan, berdiri maupun duduk. Penyebab lainnya bisa akibat proses peradangan sendi, tumor, kelainan metabolik dan fraktur.







Nyeri pinggang : kelainan ini merupakan keluhan umum karena semua orang pernah mengalaminya. Nyeri terdapat kedaerah pinggang kebawah (lumbosakral dan sakroiliaka) Yang dapat menjalar ke tungkai dan kaki.







Frozen shoulder syndrome : dtandai dengan nyeri dan ngilu pada daerah persendian di pangkal lengan atas yang bisa menjalar ke lengan atas bagian depan, lengan bawah dan belikat, terutama bila lengan diangkat keatas atau digerakkan kesamping. Akibat pergerakan sendi bahu menjadi terbatas.



2.6.4



Tanda Dan Gejala Rematik



a) Nyeri pada anggota gerak b) Kelemahan otot c) Peradangan dan bengkak pada sendi d) Kekakuan sendi e) Kejang dan kontraksi otot



13



f) Gangguan fungsi g) Sendi berbunyi(krepitasi) h) Sendi goyah i) Timbulnya perubahan bentuk j)



Timbulnya benjolan nodul



k) Perubahan gaya berjalan



2.6.5



Penatalaksanaan Medis Untuk arthritis rematoid yang dini, terapi dimulai dengan



pendidikan pasien,keseimbangan antara istirahat dan latihan,dan rujukan kelembaga



kemasyarakatan



yang



dapat



memberikan



dukungan.Penanganan medik dimulai dengan pemberian salisilat atau NSAID dalam dosis terapuetik.Kalau diberikan dalam dosis terapuetik yang penuh,obat-obat ini akan memberikan efek antiinflamasi maupun analgesic.Kepada pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut resep dokter agar kadar obat yang konsisten dalam darah bias dipertahankan sehingga keefektifan obat anti inflamasi tersebut dapat mencapai tingkat yang optimal. Untuk arthritis rematoid erosife, moderat, suatu program formal dengan terapi okupasi dan fisioterapi harus diresepkan untuk mendidik pasien tentang prinsip-prinsip perlindungan sendi,pengaturan kecepatan dalam pelaksanaan aktivitas,penyederhanaan kerja,latihan gerak,dan latihan untuk menguatkan otot-otot.Pasien didorong untuk turut berpartisipasi aktif dalam program penatalaksanaan tersebut.Program medikasi dievaluasi ulang secara periodic,dan perubahan yang sesuai dapat dilakukan jika diperlukan. Bagi arthritis rematoid erosife, persisten, bedah rekonstruksi dan terapi kortikosteroid kerapkali diresepkan.Bedah rekonstruksi merupakan indikasi kalau rasa nyeri tidak dapat diredakan oleh tindakan konservatif.Prosedur bedah mencakup tindakan sinovektomi(eksisi membrane synovial),tenorafi(penjahitan tendon),atrodesis(operasi untuk menyatukan sendi) dan artroplasti(operasi untuk memperbaiki sendi).



14



Namun demikian operasi tidak dilakukan pada saat penyakit msih berada dalam stadium akut.Pemberian kortikosteroid sistemik dilakukan jika pasien menderita inflamasi serta rasa nyeri yang tidak pernah sembuh/pasien membutuhkan obat-obat”yang menjembatani”pada saat ia menantikan hasil kerja obat anti rematik yang kerjanya lambat.Terapi kortikosteroid dengan dosis rendah dapat direkomendasikan dalam waktu terpendek yang diperlukan. Bagi arthritis rematoid yang lanjut dan tidak pernah sembuh,obatobat



imunosupresi



diresepkan



mengingat



kemampuannya



untuk



mempengaruhi produksi antibody pada tingkat seluler.Obat-obat ini mencakup



preparat



metotreksat



dosis



tinggi,siklofosfamid



dan



azatioprin.Namun obat-obat ini sangat toksis dan dapat menimbulkan depresi



sumsum



tulang,anemia,gangguan



gastrointestinal



serta



ruam.Plasmaferesis,limfoferesis dan iradiasi total limfoid merupakan prosedur eksprimental yang dikenalkan dalam tahun 1970-an dan kini dianggap tidak atau hanya sedikit peranannya dalam penanganan penyakit rematik,kecuali pada kasus-kasus akut yang mengancam penderitanya



dan



tidak



menunjukkan



respons



terhadap



terapi



konvensional yang agresif. 2.6.6



Terapi Komplementer Yang Dapat Diberikan Salah satu therapy komplementer untuk mengurangi nyeri rematik



pada lansia adalah terapi massage. Adanya nyeri membuat lansia sering kali takut untuk melakukan aktifitas sehari-hari, sehingga dapat mengganggu aktifitas mereka. Nyeri juga adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak disenangi yang dapat merusak jaringan actual maupun potensial. Menurut American collage Rheumatology, penanganan rematik dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi dan juga tindakan operasi. Teknik non famakologi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yaitu dengan pijat ( massage ), kompres, stimulasi elektrik saraf kulit



15



transkutan, teknik relaksasi dan istirahat. Salah satu teknik mengurangi nyeri ialah dengan melakukan back massage. Teknik ini dapat kita lakukan pada lansia dengan cara meletakkan kedua tangan pada punggung lansia dengan perlahan.



Massage dapat membantu lansia



dalam meningkatkan fungsi tubuh dan memudahkan dalam melakukan aktifitas dan juga massage dan sentuhan merupakan teknik integrasi sensori yang mempengaruhi aktifitas system saraf otonom. Pada penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi rasa nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot, lalu muncul respon relaksasi. Mekanisme penurunan nyeri dengan teori gate control yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan cara memblok transmisi nyeri pada gerbang (gate) (Ginting et al., 2020). Terapi komplementer khususnya massage untuk penyakit rematik pada lansia diperkuat oleh beberapa jurnal hasil penelitian yaitu: 1) Pengaruh Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri pada Lansia Penderita Rematik (Ginting et al., 2020) Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pre-eksperimen dengan menggunakan one-group pre-post tes design. Penelitian ini dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai 2020. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari 2020. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 20 orang di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai 2020. Teknik pengambilan sampel dengan cara menggunakan teknik total sampling, yang dimana seluruh populasi dijadikan sampel sebanyak 20 orang responden. Analisa univariat dalam penelitian ini menggunakan analisa univariat dan bivariat. Analisa data dilakukan setelah data terkumpul dan disajikan dalam table distribusi frekuensi. Analisa bivariate



dalam



penelitian



ini



memperlihatkan ada tidaknya pengaruh back massage terhadap



16



intensitas nyeri rematik pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai 2020. Didapatkan bahwa terjadi penurunan skala nyeri pada lansia rematik setelah dilakukan massage. Hal ini berarti massage merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan kepada lansia untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami lansia. Efektivitas massage terhadap skala nyeri tersebut disebabkan oleh pengaruh distraksi dan meningkatnya hormon endorphin dari efek relaksasi yang ditimbulkan oleh massage, sehingga mampu memberikan efek kenyamanan pada lansia (Feny Marlena,2019). Back massage



dipusatkan pada punggung dan bahu



dilakukan sekitar 30 menit masing-masing bagian tubuh untuk mencapai relaksasi yang diinginkan. Back massage juga dapat memberikan efek samping terhadap penurunan tingkat kecemasan dan ketegangan otot pada lansia. Dari hasil nilai penelitian yang sudah didapatkan atau dilaksanakan diketahui ada pengaruh yang sangat signifikan antara pemberian back massage terhadap intesitas nyeri pada penderita rematik. Dalam hal ini setelah diberikan intervensi melakukan



pemberian



back



massage



kepada



responden



mengalami penurunan intensitas nyeri. Memberikan back massage sebagai terapi komplementer sangatlah baik dilakukan kepada lansia karena terapi yang dilakukan ini tidak memiliki efek samping, dan back massage sangat mudah dilakukan. Jadi dapat disimpulakan ada pengaruh back massage terhadap intensitas nyeri pada lansia penderita rematik di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Binjai 2020. 2) Pengaruh Pijat (Massage) Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Rematik Pada Lansia Di Desa Kertapati Puskesmas Dusun Curup Bengkulu Utara (Marlena & Juniarti, 2019) Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperiment menggunakan pre dan post test design dengan pemberian pijat



17



punggung/back massage pada lansia. Dalam rancangan ini perlakuan akan dilakukan (X), kemudian dilakukan pengukuran (observasi) atau pre (O1) dan post test (O2). Populasi dari penelitian ini adalah lansia di Desa Kertapati Puskesmas Dusun Curup Bengkulu Utara pada tahun 2017, berjumlah 40 orang. Sampel yang akan diteliti berjumlah 10 orang, menggunakan tehnik purposive sampling. Data



yang digunakan dalam



penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Untuk melihat pengaruh antara dua variabel kategori maka digunakan uji t-dependen. Prosedur dalam penelitian ini adalah, perlakuan massage (pijatan) yang dilakukan hanya satu kali selama 20-30 menit. Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate control yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan dengan memblok transmisi nyeri pada gerbang (gate) dan teori Endorphin yaitu menurunnya intensitas nyeri dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh. Dengan pemberian terapi massage dapat merangsang serabut A beta yang banyak terdapat di kulit dan berespon terhadap massage ringan pada kulit sehingga impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebral untuk diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 2009). Di samping itu, sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan endorphin yang merupakan morfin alami tubuh sehingga memblok transmisi nyeri dan persepsi nyeri tidak terjadi (Potter & Perry, 2012), jadi intensitas nyeri yang dirasakan mengalami penurunan. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh pijat (massage) terhadap intensitas nyeri rematik pada lansia di Desa Kertapati Puskesmas Dusun Curup Bengkulu Utara, disimpulkan ada



18



pengaruh pijat (massage) terhadap intensitas nyeri rematik pada lansia di Desa Kertapati Puskesmas Dusun Curup Bengkulu Utara (p = 0,000). 3) Pengaruh Pemberian Stimulus Kutaneus slow stroke back massage (SSBM) Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Rematik Pada Lansia Di Panti Sosial Tahun 2018 (Mawarni & Despiyadi, 2018) Penelitian



ini



menggunakan



metode



penelitian



pre



eksperimental dengan rancangan pre test post test design dimana penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengukuran intesitas nyeri pada satu kelompok lansia sebelum dan sesudah intervensi. Populasi pada penelitian ini adalah lansia dengan nyeri rematik di bagian punggung di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Jumlah populasi sebanyak 35 orang. Dengan sampel sebanyak 30 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan pendekatan purposive sampling. Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate control yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan dengan memblok transmisi nyeri pada gerbang (gate) dan teori Endorphin yaitu menurunnya intensitas nyeri dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh. Dengan pemberian terapi back massage dapat merangsang serabut A beta yang banyak terdapat di kulit dan berespon terhadap masase ringan pada kulit sehingga impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebral untuk diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 2007). Di samping itu, sistem kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaska endorphin yang merupakan morfin alami tubuh sehingga memblok transmisi nyeri dan persepsi nyeri



19



tidak terjadi (Potter & Perry, 2005). Jadi intensitas yang dirasakan mengalami penurunan. Jadi dapat disimpulkan nilai rata-rata intensitas nyeri sebelum dilakukan tindakan slow stroke back massage (SSBM) adalah 1,83. Nilai rata-rata intensitas nyeri setelah dilakukan tindakan slow stroke back massage (SSBM) adalah 1,43. Berdasarkan nilai rata-rata sebelum dan sesudah pemberian tindakan slow stroke back massage (SSBM) terdapat perbedaan sebesar 0,4. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian stimulus kutaneus slow stroke back massage terhadap penurunan intensitas nyeri reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. 4) Pengaruh Back Massage Terapi Terhadap Penurunan Nyeri Reumatik Pada Lansia (Abdillah & Suwandi, 2020) Design penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperiment pra experimental dengan rancangan one group pretes-postest



design.Dimana



dilakukan



pengukuran



nyeri



sebelum dan sesudah dilakukan intervensi back massage. Populasi dalam penelitian ini adalah Lansia yang menderita reumatik di Panti Werda di Wilayah Kota Cirebon, dengan jumlah 25 Lansia yang terhitung dari bulan januari sampai Februari tahun 2016. Sampel pada penelitian ini adalah lansia di Panti Werda di Wilayah Kota Cirebon, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total sampling dimana sampel yang diteliti sesuai dengan jumlah populasi. pada penelitian ini diperoleh sampel sebanyak 25 responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner untuk mengkaji skala nyeri pada Lansia penderita rematik dengan menggunakan skala numerik yang terbagi dalam 5 kriteria yaitu (0) tidak ada nyeri, (1-3) nyeri ringan, (4-6) nyeri sedang, (7-9), nyeri berat, (10) nyeri sangat berat.



20



Metode pengumpulan data yang dilakukan sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan sehingga mendapatkan hasil pre dan post intervensi back massage yaitu dengan melalukan observasi tingkat nyeri, langkah langkah pengumpulan data dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang sesuai untuk di teliti. Kemudian peneliti melakukan pendekatan kepada Lansia yang menderita penyakit rematik, yang sesuai dengan kriteria sampel, selanjutnya peneliti melakukan wawancara pada pasien sebelum di intervensi, untuk menentukan pada skala berapa nyeri yang dirasakan pasien tersebut dan melakukan pencatatan data yang di peroleh. Peneliti memberikan intervensi Back Massage Terapi, selama 10-15 menit intervensi dilakukan pada saat nyeri dan setelah itu kembali mengukur sekala nyeri setelah dilakuakn terapai. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah setelah pemberian back massage terapi dapat menurunkan Nyeri pada lansia yang menderita penyakit rematik. Analisa bivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah Wilcoxon Matched Pairs. Back massage yang dilakukan pada punggung adalah bagian yang sangat penting bagi penurunan nyeri yang terjadi karena rematik pada kesehatan tubuh manusia. Di sekitar tulang punggung (tulang belakang) terdapat berbagai syaraf yang sangat penting untuk menjaga kesehatan. Bila badan terasa lelah, otot – otot di sekitar tulang punggung ini akan terasa sangat kaku, tegang dan mengeras. Otot yang berada dalam kondisi ini membuat orang merasa sulit untuk relaks dan nyaman dengan keadaan dirinya sendiri. Kalau otot berada dalam keadaan demikian, berbagai syaraf pun terganggu. Sehingga, badan terasa loyo, tidak bersemangat, pegal dan tidak nyaman. Oleh karena itulah pemijatan yang dilakukan di punggung akan membuat badan terasa segar, bugar, lebih santai serta nyaman



21



Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh back massage terapi terhadap penurunan nyeri reumatik pada lansia, maka dapat disimpulkan bahwa intensitas nyeri reumatik sebelum dilakukan back masage terapi pada lansia lebih banyak pada intensitas nyeri sedang (88.0%), intensitas nyeri reumatik sesudah dilakukan back massage terapi pada lansia banyak pada Intensitas nyeri ringan (88.0%). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat pengaruh pemberian back massage terapi terhadap intensitas nyeri reumatik pada lansia. 5) Penerapan Terapi Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Rematik Pada Lansia (Pramono & Suci L, 2019) Penelitian ini menggunakan bentuk rancangan one group pretest postest. Subyek dari penelitian ini adalah dua orang lansia, dengan kriteria memiliki penyakit rematik dengan nyeri persendian, tidak mengkonsumsi obat analgetik, usia 60-70 tahun, bersedia menjadi responden. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua responden didapatkan hasil klien I dan II yang telah dilakukan penerapan terapi back massage mengalami penurunan nyeri dengan presentase 60,6% dan 60% dengan rata-rata penurunan sebanyak 2. Disimpulkan bahwa terapi back massage mampu menurunkan nyeri sendi pada lansia.



BAB III



22



PENUTUP



3.1 Kesimpulan Masalah-masalah kesehatan akibat penuaan usia terjadi dari berbagai sistem tubuh salah satunya adalah rematik. Rematik merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya. Karakteristik rematik adalah terjadi kerusakan dan poliferasi pada membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan sendi, ankilosis, dan deformitas (Ningsih et al., 2011) Menurut Choirudi (2011) mengatakan bahwa rematik merupakan penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris. Rematik dapat disebabkan oleh kegemukan, usia, jenis kelamin, genetik.Tanda dan gejala rematik yaitu nyeri sendi,inflamasi,deformitas. Nyeri pada sendi dapat membuat penderita rematik mengalami gangguan aktifitas sehari-hari sehingga dapat menurunkan produktifitas. Menurut American collage Rheumatology, penanganan reumatik dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi dan juga tindakan operasi. Teknik non famakologi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yaitu dengan pijat ( massage ), kompres, stimulasi elektrik saraf kulit transkutan, teknik relaksasi dan istirahat. Salah satu teknik mengurangi nyeri ialah dengan melakukan back massage. Teknik ini dapat kita lakukan pada lansia dengan cara meletakkan kedua tangan pada punggung lansia dengan perlahan. Massage dapat membantu lansia dalam meningkatkan fungsi tubuh dan memudahkan dalam melakukan aktifitas dan juga massage dan sentuhan merupakan teknik integrasi sensori yang mempengaruhi aktifitas system saraf otonom. Pada penggunaan stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi rasa nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot, lalu muncul respon relaksasi. Mekanisme penurunan nyeri dengan teori gate control yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan cara memblok transmisi nyeri pada gerbang (gate) (Ginting et al., 2020).



23



3.2 Saran Adapun saran yang penulis dapat berikan bagi pembaca, khususnya mahasiswa keperawatan diharapkan mampu mengetahui, dan memahami mengenai trend dan issue keperawatan gerontik terkait terapi komplementer. Khususnya terapi message pada lansia yang menderita penyakit rematik serta dapat diaplikasikan pada praktik lapangan.



24



DAFTAR PUSTAKA



Abdillah, A. J., & Suwandi, M. F. (2020). Pengaruh Back Massage Terapi Terhadap Penurunan Nyeri Reumatik Pada Lansia. Jurnal Kesehatan, 11(2), 156–164. Ginting, C. N., Waruru, A., Mendrofa, C., Maria, nita tri, & Syafira, S. (2020). Pengaruh Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Pada Lansia Penderita Rematik. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 2(November), 555–562. Kementrian Kesehatan RI. (2019). In Indonesia Masuki Periode Aging Population. https://www.kemkes.go.id/article/view/19070500004/indonesia-masuki-periodeaging-population.html Khoirunisa, R., & Hardiansyah, F. E. (2017). MAKALAH TREND DAN ISSUE. https://www.academia.edu/10066836/Trend_Dan_Issue_Dalam_Keperawatan Marlena, F., & Juniarti, R. (2019). PENGARUH PIJAT (MASSAGE) TERHADAP PERUBAHAN INTENSITAS NYERI REMATIK PADA LANSIA DI DESA KERTAPATI PUSKESMAS DUSUN CURUP BENGKULU UTARA Feny. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah Bengkulu Volume 07, Nomor 02, Oktober 2019, 07. Mawarni, T., & Despiyadi. (2018). Pengaruh Pemberian Stimulus Kutaneus slow stroke back massage ( SSBM ) Terhadap Penurunan Intesitas Nyeri Rematik Pada Lansia Di Panti Sosial Tahun 2018. Caring Nursing Journal, 2(2), 60–66. Ningsih, Lukman, & Nurna. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika. Pramono, W. H., & Suci L, Y. W. (2019). Penerapan Terapi Back Massage Terhadap Intensitas Nyeri Rematik Pada Lansia. Jkep, 4(2), 137–145. https://doi.org/10.32668/jkep.v4i2.263 Smeltzer, & Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Utara, U. S. (2003). Universitas Sumatera Utara 4. 1999, 4–16. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23271/Chapter II.pdf? sequence=4&isAllowed=y#:~:text=2.4.1 Upaya Promotif yaitu,Kesehatan dan pemeliharaan kebersihan diri.



25



26