Konstruktivisme Strukturalis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Konstruktivisme Studi Hubungan Internasional diwarnai oleh berbagai perdebatan besar dalam perjalanannya. Salah satu perdebatan besar adalah antara Rasionalisme dan Reflectivisme yang terjadi di era 1980an. Rasionalisme berisikan



aliran-aliran



mainstream



seperti



Realisme-neorealisme,



Liberalisme-neoliberalisme dan Marxisme-neomarxisme; serta Reflectivist seperti Teori Kritis dan Post-modernisme. Posisi konstruktivisme disini adalah menengahi perdebatan besar yang terjadi diantara keduanya. Yakni ketika Rasionalisme yang menjunjung tinggi kebenaran objektif dengan paradigma positivisnya yang juga menyatakan bahwa ada kebenaran objektif di luar sana yang perlu untuk dicari dan ditemukan, dikritik habis-habisan dengan asumsi para Reflektivis seperti Robert Cox dan pernyataannya yang terkenal bahwa teori selalu untuk seseorang dan untuk suatu tujuan, yang menyiratkan bahwa objektifitas teori adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Konstruktivisme disini hadir untuk menjembatani



keduanya.



Konstruktivisme



mengamini



rasionalisme



mengenai teori-teori empirisnya, serta setuju pula bahwa pemikiran dan pengetahuan juga turut memegang peranan penting. Konstruktivisme dicirikan dengan penekanan terhadap pentingnya aspek normatif sekaligus aspek material dalam peranannya untuk membentuk tindakan-tindakan politis yang dilakukan dan hubungan antara agen dan struktur (Reus-Smit, 2004). Meskipun pernyataan bahwa struktur yang ada membentuk perilaku agen, konstruktivis masih dengan lantang menyatakan bahwa aspek-aspek ideasional atau normatif juga ikut berperan dalam menentukan perilaku yang dilakukan oleh aktor-aktor yang ada. Menurut Wendt (dalam Reus-Smit, 2004), sumber-sumber material hanya akan bermakna bagi perilaku manusia apabila telah melewati serangkaian struktur pengetahuan yang tertanam di lingkungan tempatnya berada. Salah satu contohnya adalah mengenai kekuatan atau power yang dimiliki oleh suatu negara. Misalnya antara Iran dan Rusia yang samasama memiliki proyek pengembangan nuklir, tetapi memiliki kuantitas



dan kualitas yang berbeda. Rusia memiliki senjata nuklir dengan jumlah besar



sedangkan



Iran



baru



mengembangkan



penelitian



mengenai



uranium sebagai alternatif energi yang lebih efisien dan masih jauh dari kemungkinan akan dikembangkan lebih lanjut menjadi senjata nuklir pemusnah massal. Dari kacamata Amerika Serikat, proyek nuklir Iranlah yang dianggap mengancam dan mengkhawatirkan sekalipun proyek Iran secara kasatmata dapat dikatakan tidak membahayakan. Sekalipun Rusia dan Iran sama-sama bukanlah sekutu utama Amerika Serikat, namun hubungan Amerika dan Rusia dapat dikatakan relatif aman, sedangkan Amerika Serikat menandai dan memberikan identitas terhadap Iran sebagai “musuh” dengan sentimen-sentimen Iran terhadap kekuatan dan tingkah laku Amerika Serikat, yang pada tahap lanjutnya akan memberi motif terhadap tindakan-tindakan yang diambil oleh aktor-aktor tersebut. Hal ini membuktikan bahwa aspek material dan aspek normatif samasama memiliki peranan yang penting dalam membentuk perilaku aktor dalam hubungan internasional. Salah satu aspek dalam hubungan internasional yang juga menjadi fokus utama dari kajian konstruktivisme adalah mengenai kepentingan. Tidak seperti Rasionalisme yang mengabaikan pembentukan kepentingan aktor



dan



cenderung



menganggapnya



sebagai



pengaruh



eksogen,



Konstruktivisme menganggap pentingnya analisa terhadap pembentukan kepentingan aktor karena hal tersebut kemudian dapat menjelaskan fenomena-fenomena



internasional



yang



terjadi



(Reus-Smit,



2004).



Menurut Alexander Wendt, identitas merupakan dasar dari kepentingan (dalam Reus-Smit, 2004), yang artinya adalah kepentingan dapat bervariasi tergantung pada identitas sosial yang melekat pada diri aktor tersebut pada saat yang sama. Salah satu aspek ideasional yang berperan dalam pembentukan perilaku aktor adalah norma. Konstruktivisme berargumen bahwa norma membentuk perilaku aktor. Norma-norma yang ada di lingkungan aktor, akan memberikan gambaran mengenai apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan, tindakan apa yang baik dan seharusnya dilakukan dalam suatu kondisi tertentu. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang



diberikan



oleh



norma-norma



tersebut



sehingga



kemudian



dapat



membentuk perilaku apa yang sekiranya akan dilakukan. Oleh karena argumen



inilah,



Konstruktivisme



juga



dikelompokkan



ke



dalam



strukturalisme. Secara umum, menurut Reus-Smit (2004), terdapat beberapa perbedaan



antara



Rasionalisme



dan



Konstruktivisme.



Pertama,



konstruktivisme menganggap aktor sebagai ‘deeply social’, disebabkan oleh identitasnya yang terbentuk dari norma yang terinstitusionalisasi, nilai serta ide-ide di sekitar lingkungan sosialnya. Sedangkan Rasionalisme menganggap aktor egois. Kedua, adalah pada faktor determinan aktor hubungan internasional. Apabila rasionalisme menganggap bahwa aktoraktor ditentukan oleh pengaruh-pengaruh eksogen dan mengabaikan faktor-faktor yang berasal dari dalam lingkup aktor, konstruktivisme cenderung menitikberatkan faktor endogen sebagai determinan aktor. Ketiga,



rasionalisme



memandang



masyarakat



sebagai



dunia



yang



strategis, dalam artian, didalamnya, aktor-aktor hubungan internasional dapat



mencapai



kepentingannya



melalui



cara-cara



yang



rasional.



Sedangkan menurut konstruktivisme, masyarakat merupakan realita yang terkonstitusi, yang membentuk aktor sebagaimana adanya mereka sekarang. Konstruktivisme memiliki kontribusi signifikan dalam hubungan internasional. Sebelum kemunculannya, teori serta perspektif dalam hubungan internasional sangatlah kental akan aspek materialisme. Keberadaan konstruktivisme membawa kembali pendekatan-pendekatan sosiologis kepada ranah hubungan internasional, serta menyebabkan tercurahnya kembali perhatian para penstudi hubungan internasional terhadap



aspek-aspek



normatif



dan



ideasional



yang



sebelumnya



terabaikan. Referensi: Reus-Smit, Christian, 2001. Constructivism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave.



Rationalism – Social Constructivism Social Constructivism adalah suatu pendekatan yang kini mendominasi metode penganalisisan politik internasional. Hal ini dikarenakan pemikir pendekatan Social Constructivism menghasilkan pemikiran-pemikiran yang menjadikannya sebagai ‘middle ground’ dalam Hubungan internasional, yang menghindari pelabelan sebagai strukturalisme ekstrim dan teori yang berpusat pada instansi, begitu pula menghindari sebagai pendekatan yang berada di pihak seperti neorealisme dan neoliberalisme yang mengandung teori-teori universal, dan pihak reflektivisme seperti teori kritis, posmodernisme, dan feminism yang mempertanyakan kemampuan manusia untuk mengkonstruksikan pengetahuan obyektif tentang politik internasional (Steans 2005). Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat dipahami beberapa pokok pemikiran dari kaum Social Constructivism, yaitu, mereka focus pada hubungan yang saling mempengaruhi diantara struktur dan instansi dalam politik internasional, mereka berusaha untuk member jawaban terhadap tantangan-tantangan kaum posmodernisme yang memantang ilmu pengetahuan dalam rangka untuk melakukan riset empiris. Social Constructivism juga memfokuskan diri pada hubungan saling mempengaruhi antara kepentingan dan ide, begitu juga dengan dampak dari norma-norma, budaya, dan institusi-institusi dalam politik internasional. Maka dari itu, tema-tema yang dihadapi oleh Social Constructivism adalah pengkonstruksian kepentingan nasional, penyebaran hak asasi manusia, dampak organisasi-organisasi internasional terhadap identitas negara dan sebaliknya, serta perkembangan norma-norma yang berbeda di dalam masyarakat internasional (Steans 2005) Tentu menjadi suatu pertanyaan apa yang membedakan social constructivism dengan konstruktivisme yang dipelajari sebelumnya. Seorang tokoh yang memperkenalkan istilah konstruktivisme ke dalam Hubungan Internasional adalah Nicholas Onuf (Weber 2005). Dalam Konteks ini, kata constructivism ini berarti bahwa para pemikirnya tidak menerima segala aspek kehidupan sosial ini adalah sesuatu yang given (Steans 2005). Kaum Social Constructivism melihat bahwa apa yang membentuk dunia adalah hasil dari perilaku, dan konstruksi manusia melalui aksi-aksinya itu sendiri. Oleh sebab itu, dunia yang ditinggali ini menurut kaum Social Constructivism adalah kontekstual (Steans 2005). Menurut mereka, dunia sosial bukan sesuatu yang ada di luar sana yang hukum-hukumnya dapat diteliti melalui penelitian ilmiah yang kemudian dapat dijelaskan kembali melalui teori ilmiah, seperti yang diyakini oleh mereka kaum behavioralis dan positivis , Kunci utama dari pemikiran kaum konstruktivis terhadap dunia sosial adalah bahwa dunia tersebut merupakan tempat yang penuh dengan hubungan yang intersubjektif (Jackson & Sorensen 1999). Proses konstruksi yang diutarakan adalah proses ‘sosial’ dimana proses tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan seorang individu saja. Kata ‘social’ juga menunjukkan bahwa constructivism yang dibicarakan adalah konstruktivisme yang dapat diamati dalam praktis-praktis yang berbeda



yang dianut oleh aktor-aktor dalam politik internasional. konstruksi ini berbeda dengan konstruksi pemahaman melalui bahasa seperti yang diyakini oleh posmodernisme (Steans 2005). Beberapa pemikir terkenal kaum konstruktivist adlaah Nicholas Onuf (1989), Alexander Wendt (1992), dan John Ruggie (1998). Dari tokoh-tokoh tersebut, Nicholas Onuf adalah orang pertama yang melibatkan konstruktivisme ke dalam Hubungan Internasional (Weber 2005). Pendekatan konstruktivisme begitu berkembang dalam studi Hubungan Internasional dikarenakan motivasi untuk menjelaskan penyebab berakhirnya Perang Dingin yang tidak bisa dijelaskan oleh kaum neo-neo, kemudian pada tahun 1990-an, banyak akademisi muda yang menjatuhkan kritik kepada neo-neo sehingga melahirkan banyak alternatif-alternatif teori baru seperti Konstruktivisme (Burchill 2005). Sebagai pengisi posisi ‘middle ground’, kaum Social Constructivist , menurut Emmanuel Adler (Steans 2005) mengidentifikasi social constructivism sebagai pengisi jarak diantara kaum rasionalis yang menjelaskan hubungan internasional dengan penjelasan-penjelasan yang bersifat‘agency-oriented’, dan strukturalisme yang berfokus pada struktur (Steans 2005); antara rasionalisme yang materialism, dan ideationalism yang dianug oleh pendekatan-pendekatan kognitif seperti para kaum reflektivisme (Steans 2005); antara rasionalism yang memulai pengamatannya dari subjek individual, dan strukturalisme yang fokusnya lebih kepada keseluruhan entitas yang ada di dunia politik ini (Steans 2005). Social Constructivism juga menunjukkan kemmapuannya sebagai via media dengan menerima beberapa pemahaman ontologi dan epistemologi reflektivisme, seperti keyakinan bahwa tidak ada suatu “kebenaran”, dan sepakat dengan kaum positivis bahwa kita dapat mengakumulasi pengetahuan tentang dunia, namun perbedaan kaum konstruktivisme dengan reflektivisme adalah bahwa mereka tetap berusaha untuk memahami, atau bahkan menjelaskan fenomenafenomena yang terjadi dalam politik internasional. Begitu pula dengan kaum positivis, perbedaan di antara keduanya adalah bahwa kaum konstruktivisme menekankan peran pemikiran, pengetahuan bersama atas dunia sosial (intersubjektif) (Steans 2005, Jackson & Sorensen 1999). Pemikiran kaum konstruktivis ini juga menuai kritik dari berbagai pihak seperti yang dialami oleh pendekatan-pendekatan normative lainnya. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah intersubjektifitas memberikan nuansa baru yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan klasik sebelumnya. Pendekatan ini juga memerlukan pemahaman tentang pemimpin suatu negara agar dapat melihat jenis intersubjektifitas masyarakat yang berlaku di dalam interaksinya (Jackson & Sorensen 1999). Kritikan juga diberikan oleh baik kaum reflektivisme dan rasionalisme. Neorealis John Mearsheimer mengatakan bahwa kaum konstruktivis ini terlalu memnempatkan terlalu banyak pemikiran, pemahaman, dan pengetahuan subjektif. Dari sisi reflektivisme, mereka berpendapat bahwa pandangan kaum konstruktivisme tentang bagaimana pemikiran dan pengetahuan bersama membentuk cara di mana aktoraktor melihat dirinya sendiri dalam politik dunia tidak cukup mendaalam. Kemudian agenda kaum konstruktivis dinilai agak tadisional.



Memfokuskan pada interaksi negara-negara (Jackson & Sorensen 1999). Tidak ada struktur bagi kapitalisme atau patriarki (Smith 1997 dalam Jackson & Sorensen 1999). Maka dari itu, usaha kaum ini untuk menjelaskan pendekatan baru tidak cukup radikal. Sumber : Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, 2005. Introduction to International Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 7, pp. 181-202. Jackson, R., &. Sorensen, G., 1999. Introduction to International Relations, Oxford University Press, pp. 307-310.



STRUKTURALISME KONSTRUKTIVIS Pierre Bourdieu dan Kajian Sosial Budaya STRUKTURALISME KONSTRUKTIVIS Pierre Bourdieu dan Kajian Sosial Budaya Muridan S. Widjojo Direview oleh: Nany Diansari Korompot (Kajian Wilayah Eropa, Universitas Indonesia) Tulisan ini mengetengahkan Pierre Bourdieu, seorang tokoh pemikir Perancis. Sumbangan Bourdieu terhadap ilmu-ilmu sosial budaya adalah keberhasilannya membangun teori umum tentang praktik sosial. Pierre Bordieu dikenal sebagai filsuf dan sosiolog. Karya-karyanya bersumber dan merupakan hasil pengolahan dari berbagai sumber daya intelektual semacam Marx, Durkheim, Weber, Saussure, Wittgenstein, Benveniste, dan dari rentangan pemikiran fenomenologi hingga strukturalisme bahkan ke filsafat analitis. Yang signifikan dari seorang Bordieu adalah bahwa dia berhasil menerapkan secara konsisten kerangka pemikiran, teori, dan metodenya pada semua subjek yang dia bahas. Seorang sastrawan Perancis menulis Bourdieu adalah sosiolog yang paling banyak dikutip. Ia menghitung sekitar 7000 judul tentang Bourdieu dapat ditemukan dijaringan internet. Diantara Dua Kutub Bourdieu menyebut alirannya sendiri sebagai constructivist structuralism atau structuralist constructivism. Itu artinya ia masih mengaku diri



seorang strukturalis, tetapi dalam pengertian yang berbeda dengan tradisi Saussurian atau Levi Straussian. Pemikiran Bourdieu terkait erat dengan perdebatan tentang struktur dan agensi. Perdebatan itu memusat pada peran



pengaruh



institusional



dan



struktural



dalam



membentuk



masyarakat dan sebaliknya sejauh mana tindakan-tindakan dan inisiatif individual bermain dalam proses yang sama. Tiang-tiang Konseptual Bourdieu Dua perkakas konseptual yang



layak diperdebatkan dalam karya



Bourdieu adalah habitus dan arena. Kedua konsep ini didukung oleh sejumlah konsep antara lain: modal (capital), praktik sosial (pratique sociale), pertarungan (lutte), dan strategi. 1.



Praktik Sosial Dalam



upayanya



mengatasi



oposisi



klasik



fenomenologi



versus



strukturalisme, Bourdieu menawarkan konsep praktik. Disitu Bourdieu memperlakukan



kehidupan



sosial



sebagai



suatu



interaksi



struktur,



disposisi (kecenderungan), dan tindakan yang saling mempengaruhi. Praktik sosial memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku (agents). Dimensi kedua adalah pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku. 2.



Habitus Habitus menurut Bourdieu adalah sistem yang terdiri dari kecenderungankecenderungan ajeg yang berlangsung didalam diri pelaku sepanjang hidupnya,



yang



berfungsi



sebagai



basis



pembentuk



praktik



yang



terstruktur dan secara objektif disatukan. Skema habitus dan bentukbentuk klasifikasi primer bergerak dari bawah atas kesadaran dan bahasa, melampaui



jangkauan



pengamatan



introspektif



atau



kontrol



oleh



keinginan pelaku. 3.



Arena Arena (champ) dalam banyak hal didefinisikan oleh suatu sistem hubungan-hubungan objektif kekuasaan antara posisi-posisi sosial yang berhubungan dan suatu sistem hubungan-hubungan objektif diantara titiktitik simbolis. Konsep arena memang diartikan sebagai suatu arena



kekuatan-kekuatan. Konsep ini dibutuhkan untuk menempatkan arena sebagai sesuatu yang dinamis suatu arena yang didalamnya bermacammacam potensi hadir. 4.



Modal Definisi modal bagi Bourdieu sangatlah luas dan mencakup barang-barang material(yang dapat memiliki nilai simbolis), juga yang tak tersentuh, tapi secara budaya merupakan atribut yang signifikan, semacam prestise, status, otoritas, dan legitimasi(yang diacu sebagai modal simbolis), sejalan dengan modal budaya(yang didefinisikan sebagai pengetahuan atau juga selera yang bernilai secara budaya dan pola-pola konsumsi). Istilah tersebut diperluas definisinya menjadi ‘semua barang, baik material maupun simbolis, tanpa pembedaan, yang menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang langka dan berharga untuk dikejar dan dicari didalam suatu formasi sosial tertentu’.



5.



Persaingan dan Strategi Suatu arena selalu menjadi ajang konflik antar individu atau antar kelompok yang berusaha mempertahankan atau mengubah distribusi bentuk-bentuk kapital tertentu. Pelaku-pelaku yang berpartisipasi dalam persaingan ini memiliki visi yang berbeda-beda. Sebagaian dari mereka yang berada dalam posisi dominan berusaha melestarikan status quo, sebagian lainnya yang terdominasi berusaha mengubah distribusi kapital dan



posisi-posisi



didalamnya



sehingga



terjadi



mobilitas



sosial.



Pertarungan tidak bisa dilepaskan dari strategi. Dalam konsep Bourdieu strategi adalah sesuatu yang mengarahkan tindakan, tetapi ia bukanlah semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar dan terkontrol oleh si pelaku atau sebaliknya ia semata-mata hasil dari sesuatu yang mekanis diluar kesadaran individu atau kelompok. Strategi menurut Bourdieu dapat digolongkan dalam beberapa jenis: (1) Strategi investasi biologis. Dalam kelompok



ini



dapat



dibedakan



dua



hal:



strategi



kesuburan



dan



pencegahan. Yang pertama menggunakan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal. Dan yang kedua ditujukan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan fisik. (2) Strategi suksesif. Strategi ini bermaksud menjamin pengalihan harta warisan antar generasi



dengan pemborosan seminimal mungkin. (3) Strategi edukatif. Suatu kelompok sosial bermaksud memproduksi pelaku-pelaku sosial baru yang layak dan mampu menerima warisan dari kelompok-kelompok sosial tersebut. (4) Strategi investasi ekonomi. Strategi ini berorientasi pada pelestarian atau peningkatan modal ekonomi didalam berbagai ruang sosial. (5) Strategi investasi simbolis. Strategi ini terkait dengan semua tindakan



yang



melestarikan



dan



meningkatkan



modal



pengakuan,



legitimasi, dan kehormatan. 6.



Dalam Praktik Penelitian Salah satu ajaran Bourdieu dalam hubungannya dengan praktik penelitian adalah penekanan pada pentingnya penelitian lapangan. Arena dan habitus bukanlah konsep yang dapat diterapkan hanya dengan duduk dibelakang meja. Keduanya merupakan konsep yang baru bermakna jika digunakan dilapangan. Dalam praktik penelitian, Bourdieu mengajarkan tiga langkah yang saling terkait dalam upaya mengenali dan menganalisis arena. Pertama kita harus menganalisis posisi arena dalam hubungannya dengan arena kekuasaan. Kedua, kita harus menetapkan struktur objektif hubungan-hubungan antara posisi yang dikuasai oleh pelaku dan institusi yang berbeda didalam arena ini. Ketiga, kita harus menganalisis habitus para



pelaku,



sistem-sistem



kecenderungan



yang



berbeda



yang



diperolehnya melalui internalisasi sesuatu yang ditentukan menurut kondisi sosial-ekonomi, yang berada dalam satu jalur yang didefinisikan didalam arena yang dianggap memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengaktualisasikannya.



Pierre Bourdieau: Melihat Kenyataan Secara Relasional Nany Diansari Korompot Perdebatan klasik yang berusaha diterobos oleh Bourdieu (dan tampaknya berhasil) adalah pertarungan perspektif tentang faktor dominan dalam realitas. Analisis struktural sering tak sanggup membaca fakta-fakta fenomenologis bersifat subjektif. Marxisme tak bisa menjelaskan faktor



dan motivasi orang bunuh diri, kecuali menyebutnya sebagai efek dari kemiskinan struktural. Pemikir Perancis mulai dari Emile Durkheim hingga Albert Camus, melihat faktor subjektifitas justru dominan. Sebaliknya, pertarungan dominasi politik, ekonomi, sosial, budaya, tidak mungkin didasarkan sebagai fenomena subjektifitas. Kategori sistem dan struktur jelas sangat berperan. Siapa yang menang dimedan politik, akan menjadi sangat dominan diberbagai arena lain. Satu hal yang diatasi oleh Bourdieu adalah sikap emosional dalam menetapkan alur baca kenyataan. Dengan menggunakan modus nalar relasional, itu berarti kita tidak jatuh pada satu bentuk nalar tunggal atau pada kecenderungan determinisme absolut(misal, determinisme ekonomi ala Marx) atas satu hal. Menurut Marx, Seluruh perikehidupan yang berjalan ditentukan oleh faktor ekonomi sebagai satu-satunya basis struktur masyarakat. Dengan cara ala Bourdieu, seorang manusia(subjek) dalam konteks pengetahuan bisa secara “bebas” menentukan model pendekatan apa yang akan dipakai untuk menganalisis atau membuat penelitian. Siapapun bisa membuat penggabungan pendekatan jika hal itu dianggap memadai sebagai sebuah bangunan analisis kenyataan. Dengan sendirinya, sebuah ideologi yang bersifat kaku, akan ketinggalan zaman. Dalam optik kebudayaan, Bourdieu melihat kebudayaan dan kekuasaan sebagai tak terpisah. Setiap praktek sosial atau aktifitas kebudayaan sesungguhnya selalu memiliki logika sistemnya sendiri. Seringkali kita merasa tiap pilihan interaksi, atau model peran yang dipilih dalam masyarakat adalah karena pilihan personal semata. Jika ditelisik lebih jauh konstruksi



sistem



yang



membentuk



satu



logika



sistem



telah



menghadirkan semacam “hukum-hukum’ praktik sosial yang akan menjadi rujukan eksistensial masyarakat. Harus diakui secara umum faktor dominan kekuasaan begitu berpengaruh atas corak kebudayaan yang berkembang. Gabungan antara konsep habitus sebagai ranah subjektifitas dan



praktik



sosial



yang



diturunkan



dari



logika



sistem



tertentu,



menghadirkan satu bentuk campuran pengetahuan yang maju(progresif) dari Pierre Bourdieu. Ia telah membawa kita meninggalkan perdebatanperdebatan lama menuju satu penafsiran realitas yang lebih utuh.



Struktur-Agen ( Habitus x Capital ) + Field = Practice -Pierre BourdieuPembahasan mengenai struktur-agen memang telah lama hadir dalam teori-teori sosiologi klasik (seperti Marx, Durkheim dan Weber). Namun pengembangan mengenai struktur-agen dilanjutkan oleh Saussure dan Levi-Strauss dengan pengembangan ilmu pengetahuan bahasa struktural yang menciptakan tradisi strukturalisme. Selanjutnya, Gidden dengan upaya mengkritisi kalangan strukturalisme dan menjembatani para aliran modern dalam menjelaskan hubungan antara struktur-agen menciptakan teori strukturasi yang memfokuskan pada pengintegrasian antara struktur-agen yang mana sebuah tindakan yang dilakukan oleh aktor/agen menyangkut penghubungan dengan struktur. Namun di lain pihak, tidak berarti bahwa struktur menentukan (determinisme) tindakan atau sebaliknya. Tokoh sosiologi yang juga ikut serta dalam upaya pengintegrasian struktur-agen ialah Bourdieu seorang tokoh sosiologi Perancis. Ia memberi label pada orientasi teoritisnya sebagai struktrualisme konstruktivis. Bourdieu melihat bahwa terdapat penggabungan antara struktur objektif yang bebas dari kesadaran dan kemauan agen, yang mampu membimbing dan mengendalikan praktik mereka atau merepresentasikan mereka (perspektif strukturalisme) dengan pendirian konstruktivisme yang dapat menjelaskan asal-usul pola perspektif dan tindakan maupun struktur sosial. Dari rangkaian penjelasan teori mengenai struktur-agen, studi ini cenderung untuk menggunakan teori dari tradisi struktrualisme konstruktivis yang diwakilkan oleh Pierre Bourdieu. Dalam penjelasan mengenai struktur-agen, Bourdieu mencoba menaggulangi apa yang dianggap kekeliruan dalam mempertentangkan antara objektivisme dan subjektivisme atau pertentangan yang absurd antara agen (individu) dan struktur (masyarakat). Dalam mendefinisikan perspektif teoritisnya dapat dilihat dengan cara berikut: Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal usul struktur mental individual yang, hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (dimana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini) (Bourdieu, 1990: 14). Oleh karena itu, untuk mengakhiri dilema yang terjadi antara obejktivisme-subjektivisme atau struktur-agen, maka Bourdieu memusatkan perhatian pada praktik yang merupakan hasil dari hubungan



yang dialektik antara struktur dengan keagenan. Praktik menjadi fokus perhatian guna menghindari pemikiran yang sering tak relevan yang berhubungan dengan obejktivisme-subjektivisme. Dalam konteks struktur-agen, Bourdieu mencoba memberikan sumbangan pemikirannya lewat Habitus-Field. Konsep habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi realitas sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternaisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Dengan menggunakan skema atau pola yang telah ada aktor memproduksi tindakan mereka. Jadi, secara dialektik habitus ialah produk dari internalisasi struktur (Bourdieu, 1989:18). Namun walaupun habitus ialah struktur yang diintrenalisasikan, yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukannya. Sebab habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi dapat diadaptasi oleh aktor/individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang saling bertentangan dimana mereka berada. Ini dikarenakan habitus bukan hanya produk dari sosialisasi dari keluarga tetapi juga dari masyarakat sekaligus pengalaman sepanjang kehidupan yang dialami (Bourdieu, 1984 : 170-172). Pada kurun waktu tertentu, habitus merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selam masa historis yang relaif panjang:”habitus, yang merupakan produk historis , menciptakan menciptakan tindakan baik itu individu maupun kolektif yang oleh karena itu alur atau pola yang tercipta merupakan produk dari periode sejarah, dalam hal ini habitus dapat dikatakan menyaring tindakan dari seorang individu (Ritzer, 1996:523). Dan juga habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Lebih lanjut, tindakan diciptakan melalui habitus dan sebaliknya, yakni habitus adalah hasil dari tindakan yang diciptakan oleh kehidupan sosial. Habitus, dalam rupanya, dapat berupa gaya berbicara/ dialek (misalnya ada dialek ngapak pada masyarakat Banyumas, atau medok pada masyarakat Jawa) , gaya berpakaian ( orang yang senang dengan sepakbola akan cenderung memakai seragam tim kesukaannya disaat tim tersebut menang suatu pertandingan), yang sebetulnya hal ini dilakukan oleh individu tanpa sadar, dan hal ini dikarenakan adanya habitus yang mebimbing praktik sosialnya. Pembentukan habitus (Thompson 1991: 12) didasarkan pada beberapa pola, yaitu: inculate (penanaman), structured (terstruktur), durable (bertahan lama), generative (berkembang), serta transposeable (dapat dipindahkan). Pola penanaman terjadi pada saat individu masih pada tahap anak-anak, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran orangtua mereka. Ajaran-ajaran ini dapat berupa moral, etika, cara



berperilaku dan lainnya, misalnya saja anak terakhir dari keluarga kelas atas akan mempunyai sifat yang berbeda dengan anak terakhir dari keluarga kelas bawah. Melalui hal tersebut dapat diberikan pengertian bahwa habitus ini juga dapat secara langsung memperlihatkan ataupun merepresentasikan latar belakang keluarga dari seorang individu. Hal-hal yang telah ditanamkan tersebut akan terstruktur didalam diri individu sehingga menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari diri individu menjadi berbagai macam perilaku dari individu tersebut. Dalam pengertian ini habitus telah menjadi referensi bagi tindakan yang dilakukan oleh individu dan menyebabkan habitus menjadi tahan lama. Tetapi, habitus tidak dapat selamanya tidak berubah, hal ini juga dikarenakan individu akan menghadapi berbagai macam situasi dan berganti-ganti lingkungan sesuai dengan kebutuhan individu. Pada titik inilah habitus menjadi semacam perantara antara individu dengan setting sosial yang dihadapi oleh individu dan pada pengertian ini, habitus menjadi sesuatu yang bersifat transposeable. Selain habitus, konsep Field atau ranah yang merupakan hasil pemikiran Bourdieu ialah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya (Ritzer, 1996:524). Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauaan individu/aktor. Field mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial yang mana realitas sosial dipandang sebagai sebuah topologi (ruang) yang saling memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di samping itu, field atau ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan intersubjektif antara individu. Melainkan kumpulan sistem terpola dari kekuatan-kekuatan objektif, yaitu hubungan-hubungan historis antara posisi-posisi yang terbentuk dalam pola-pola tertentu dari kekuasaan (power) , atau juga titik-titik pertemuan antar individu yang memiliki minat, ataupun budaya yang sama. Dalam hal ini individu dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dalam ranah dan posisi objektifnya Di samping itu, ranah dipandang sebagai sebuah arena pertarungan dengan kata lain ranah merupakan teritorial yang diperjuangkan. Field dilihat sebagai pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (modal ekonomi , modal sosial , modal kultural , modal simbolik ) digunakan dan di-share kepada yang lainnya. Tidak hanya itu, struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk dari aktor (baik itu individu atau kolektif) (Ritzer, 1996:525). Karena itu, posisi obyektif dari individu ditentukan oleh modal-modal yang dimilikinya pada relasinya dengan individu lain, pola hubungan yang terbentuk pada pengertian ini dapat berupa dominasi, subordinasi, maupun homologi.



Kesatuan dari berbagai macam ranah akan membentuk ruang sosial yang biasa disebut dengan masyarakat. Besaran dari berbagai macam modal yang dimiliki individu dan interaksinya dengan individu lain sebagai agen akan menentukan posisi objektifnya didalam ranah. Pemikiran ini kemudian akan berimplikasi terhadap bahwa kepemilikan modal yang besar akan lebih memiliki dominasi posisi objektif dalam hubungannya dengan individu lainnya yang mempunyai kepemilikan modal lebih kecil. Terdapat beberapa penjelasan mengenai besar kecilnya modal, menurut Haryatmoko (2003:12-13) besar dan kecilnya kepemilikan terhadap modal ditentukan oleh tiga hal, yaitu: 1. Kepemilikan agen atas modal (sosial, ekonomi, kultural, dan simbolik), dengan pengertian bahwa semakin banyak jenis modal yang dimiliki maka semakin besar pula modal yang dimiliki. 2. Semakin banyaknya (jumlah) yang dimiliki agen pada suatu modal maka dapat dikatakan bahwa agen tersebut memiliki modal yang besar. Misalnya saja seseorang yang ahli dalam bermain basket dan juga ahli dalam bermain sepakbola dapat dikatakan mempunyai modal yang lebih besar daripada seseorang yang hanya ahli bermain basket. 3. Bobot relatif dari suatu satu jenis modal yang sangat bergantung kepada karakteristik ranah. Misalnya saja dalam ranah pertemanan, maka modal sosial menjadi bobot yang penting dan paling tinggi. Sedangkan dalam ranah konsumsi, peneliti berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang dapat berkebalikkan. Seperti seorang manajer yang suka dengan fotografi mempunyai kamera Cannon automatis dengan lensa besar yang dapat memfoto dengan detil tetapi tidak mempunyai skill maka tidak akan dihargai lebih daripada bawahannya yang memiliki skill fotografi lebih dan hanya memiliki kamera manual yang istilahnya sudah jadul. Tetapi pada kasus lain, manajer yang memakai laptop apple keluaran MacIntosh terbaru untuk melakukan pekerjaannya tentunya akan memiliki bobot yang lebih besar daripada atasannya yang hanya memakai laptop acer untuk bekerja. Kembali pada penjelasan mengenai ranah, sebagai arena pertarungan, ranah juga berfungsi untuk mempertukarkan modal-modal yang dimiliki agen dan juga sebagai arena untuk memperebutkan posisi objektif. Dalam pengertian mempertukarkan modal, Bourdieu berpendapat bahwa: The various types of capital can be exchanged for other types of capital-that is capital is convertible (Bourdieu, 1984) Kemudian Bourdieu juga menjelaskan bahwa modal yang memiliki nilai paling tinggi untuk dipertukarkan adalah modal simbolik. Modal ini menjadi paling baik untuk dipertukarkan karena kemampuannya untuk



mendefinisikan, merepresentasikan melalui kekuasaan simbolik, untuk kemudian memperoleh keuntungan pada berbagai macam hal, seperti ekonomi misalnya, yang kemudian memperkuat kembali posisinya didalam posisi objektifnya dalam ranah. Sedangkan perebutan posisi objektif didalam ranah diistilahkan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik atau symbolic struggle, yang merupakan pertarungan antara agen yang memiliki posisi dominan dengan agen yang memiliki posisi dibawahnya dalam suatu ranah, dimana keduanya akan saling memproduksi wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya dan memperlemah posisi subjektif agen lainnya. Menurut Bourdieu sendiri, wacana ini merupakan praktik sosial yang merupakan hasil dari dialektika antara habitus dan ranah. Dalam pembahasaan Bourdieu, wacana yang diproduksi agen tersebut dinamakan sebagai doxa, yaitu wacana dominan yang memiliki keabsahan dalam suatu ranah dan didukung oleh agen yang dominan. Dalam pertarungan simbolik, dimana agen saling memproduksi wacana, maka agen yang memiliki posisi objektif lebih tinggi akan memproduksi orthodoxa, sedangkan agen yang berada pada posisi objektif lebih rendah akan memproduksi heterodoxa yang keberadaannya menentang doxa. Dari dua konsep yang telah dijelaskan, Bourdieu ingin melihat bahwa fokus perhatiannya ialah relasi antara habitus dan ranah dalam konteks interaksi struktur-agen. Relasi ini, di satu pihak menjelaskan bahwa ranah mengkondisikan habitus, sedangkan di pihak lain mempunyai pengertian yang sebaliknya dimana ranah yang dikondisikan oleh habitus yang memiliki makna dan arti. Dan untuk selanjutnya dari relasi antara aktor/individu dengan ranah (field-habitus) akan menciptakan praktik/practice yang didasari oleh kebutuhan sosial. Melalui penjelasan di atas dapat dilihat field (ranah) sebagai sebuah struktur sedangkan habitus diibaratkan agen. Terjadi hubungan yang dialektis dimana akan terjadi perulangan (kontinuitas) pada habitus dalam menciptakan sebuah ranah (struktur) dalam masyarakat. TEORI STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS BAB PENDAHULUAN



I



Penelitian yang membahas mengenai manusia sungguh sangat luas dan kompleks. Berbagai bidang ilmu memusatkan perhatian masing-masing untuk memahami manusia. Misalnya, Biologi mencoba memahami manusia dari sudut biologisnya, psikologi mencoba melihat manusia dari sisi perilakunya, dan masih banyak lagi lainnya.



Dalam paper ini saya akan membahas teori Strukturalisme dari LéviStrauss. Saya akan memberikan pemaparan mengenai teori strukturalisme dari Levi-Strauss. Teori strukturalisme pada intinya berpendapat bahwa dalam segala keanekaragaman budaya tentu ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, sama dimanpun dan kapanpun. Claude Levi-Strauss sendiri dikenal sebagai Bapak Strukturalisme, karena memang dialah yang pertama kali menjelaskannya secara lebih rinci dan detail. Paper ini terbagi dalam empat bagian besar. Pertama, bagian pendahuluan yang menjadi pengantar sekaligus pemaparan keseluruhan arah dari paper ini. Kedua, bagian pokok atau isi. Pada bagian ini saya akan memaparkan penjelasan mengenai teori strukturalisme dari LeviStrauss dan implementasinya. Ketiga, bagian tanggapan kritis. Bagian ini akan menampilkan sebuah kritik terhadap teori strukturalisme. Keempat, bagian kesimpulan yang akan menyimpulkan secara singkat, padat, dan jelas keseluruhan tulisan ini. BAB II POKOK BAHASAN 2.1 Hidup dan Karya Lévi-Strauss1 Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial Perancis dan filsuf strukturalis.2 Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan Yahudi. Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis. Ayahnya bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis. Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada awalnya bukanlah Antropologi. Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di Universitas Sorbonne. Studi hukum diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun. Sedangkan dari studi filsafat, aliran materialisme menjadi aliran yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argument materialisme adalah segala sesuatu harus bisa diukur, diverivikasi, dan diindera. Namun pada suatu saat Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya dalam mengajar. Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo, Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil. Selama mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya



menyebutkan, ekspedisi pertamanya adalah ke daerah Mato Grosso. Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa mendapatkan pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang dalam bukunya Trites Tropique. Itulah karya pertamanya dan sekaligus mengukuhkan dirinya masuk kedalam bidang antropologi. Dalam prosesnya melakukan penelitian dan pengamatan banyak terbentur hambatan. Hal ini salah satunya tidak lepas dari karena ia termasuk keturunan Yahudi, yang saat itu dalam pergolakan pembantaian oleh Jerman. Sampai ia akhirnya harus mengalami pemecatan. Pada tahun 1947, ia kembali ke Perancis dan pada tahun berikutnya ia diangkat sebagai maitre de recherché selama beberapa bulan di CNRS (Center National de la Recherche Scintifique/Pusat Penelitian Ilmiah Nasional). Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, dengan disertasi Les Structures elementaires de la parente. Levi-Strauss dianggap sebagai pendiri strukturalisme, sebuah paham yang memegang bahwa kode terstruktur adalah sumber makna dan bahwa unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik mereka. Lebih lanjut, bahwa struktur sosial adalah kebebasan dari kesadaran manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual. Secara singkat, itulah inti dari teori strukturalisme menurut pendapat LeviStrauss. Levi-Strauss banyak menghasilkan karya-karya tulis besar yang sangat menarik banyak perhatian banyak kalangan, baik dari intelektual maupun awam. Karya-karya terbesar tersebut antara lain: The Elementary Structures of Kinship (1949), Structural Anthropology (1958), The Savage Mind (1962), and the Mythologics, 4 vols. (1964–72). Mythologics sendiri terdiri dari tetralogi The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table Manners, dan The Naked Man. 2.2 Teori Strukturalisme Dan Penelitian Lévi-Strauss Secara umum, istilah strukturalisme banyak dikenal dalam Filsafat Sosial. Filsafat Eropa modern sering menyebut bahwa strukturalisme adalah sebuah fenomena sosial. Lebih lanjut dikatakan bahwa fenomena itu tidak peduli seberapa dangkal beragam wujudnya. Secara singkat, strukturalisme adalah fenomena social yang secara internal dihubungkan dan diatur sesuai dengan beberapa pola yang tidak disadari. Hubungan-hubungan internal dan pola merupakan struktur, dan mengungkap struktur-struktur ini adalah objek studi manusia. Pada umumnya, sebuah struktur bersifat utuh, transformasional, dan meregulasi diri sendiri (self-regulatory). Strukturalisme adalah metodologi yang menekankan struktur daripada substansi dan hubungan daripada hal. Hal ini menyatakan bahwa sesuatu selalu keluar hanya sebagai elemen dari penanda suatu sistem. Metodologi Struktural sesungguhnya berasal dari struktural linguistik dari Saussure, yang menggambarkan bahwa bahasa sebagai sebuah tanda dari aturan sistem sosial. Baru pada tahun 1940, ia mengusulkan bahwa fokus yang tepat penyelidikan antropologi berada di mendasari pola-pola



pemikiran manusia yang menghasilkan kategori budaya yang mengatur pandangan dunia sampai sekarang dipelajari. Kemudian pada tahun 1960, Claude Levi-Strauss melanjutkan metodologi ini, tidak hanya untuk antropologi (strukturalisme antropologi) tetapi, memang, untuk penanda semua sistem. Namum memang Levi-Strausslah pada umumnya yang dianggap sebagai pendiri strukturalisme modern. Melalui karyanya, strukturalisme menjadi tren intelektual utama di Eropa Barat, khususnya Perancis, dan sangat mempengaruhi studi tentang ilmu-ilmu manusia. Pada tahun 1972, Levi-Strauss mengeluarkan bukunya yang berjudul Strukturalisme dan Ekologi menjelaskan secara rinci rincian prinsip dari apa yang akan menjadi antropologi struktural. Di dalamnya, ia mengusulkan bahwa budaya, seperti bahasa, terdiri dari aturan tersembunyi yang mengatur perilaku praktisi.3 Apa yang membuat budaya yang unik dan berbeda dari satu sama lain adalah aturan tersembunyi bagi pemahaman anggota tetapi tidak dapat mengartikulasikan, dengan demikian, tujuan antropologi struktural adalah untuk mengidentifikasi aturan-aturan ini. Dia mempertahankan budaya yang adalah proses dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Ahli antropologi mungkin menemukan proses berpikir yang mendasari perilaku manusia dengan memeriksa hal-hal seperti kekerabatan, mitos, dan bahasa. Lebih lanjut, bahwa ada realitas tersembunyi di balik semua ekspresi budaya. Selanjutnya strukturalis bertujuan untuk memahami makna yang mendasari pemikiran manusia yang terungkap melalui aktivitas budaya. Pada dasarnya, unsur-unsur budaya yang tidak jelas dalam dan dari dirinya sendiri, melainkan merupakan bagian dari sistem yang berarti. Sebagai model analitis, strukturalisme menganggap universalitas proses pemikiran manusia dalam upaya untuk menjelaskan "struktur dalam" atau makna yang mendasari yang ada dalam fenomena budaya.4 2.3 Implementasi Teori Pada masa ini kita masih bisa banyak menemukan penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme. Kita bisa mengambil contoh peneliti yang ingin mengetahui struktur pemikiran orang Surabaya sehingga dalam budayanya cenderung kasar, misalnya bahasa. Peneliti tersebut membandingkan dengan struktur pemikiran yang ada didalam budaya Yogyakarta yang cenderung lebih ramah. Antara Surabaya dan Yogyakarta yang walaupun kelihatannya berbeda sebenarnya ada sebuah struktur sama di dalam budaya. Dengan memahami struktur dalam budaya peneliti akan mengetahui sebuah keuniversalan dalam budaya. Mungkin itulah yang akan dikatakan oleh para ahli strukturalisme. Strukturalisme membantu memetakan pola perilaku manusia dalam budaya. BAB III TANGGAPAN KRITIS



Secara umum, strukturalisme menuai banyak kritik dari sisi epistemology. Validitas penjelasan struktural telah ditentang dengan alasan bahwa metode strukturalis yang tidak tepat dan tergantung pada pengamat. Artinya unsur subjektivisme sangat erat dalam penelitian strukturalisme. Satu peneliti dan menghasilkan hasil yang sama sekali lain dengan peneliti lainnya. Paradigma strukturalisme terutama berkaitan dengan struktur jiwa manusia, dan tidak membahas aspek sejarah atau perubahan budaya. Pendekatan sinkronis, yang menganjurkan sebuah "kesatuan psikis" dari semua pikiran manusia, telah dikritik karena tidak memperhitungkan tindakan manusia individu historis. Dalam pemikiran strukturalis, ide-ide yang bertentangan secara inheren ada dalam bentuk oposisi biner, namun konflik-konflik ini tidak menemukan resolusi. Dalam pemikiran Marxis struktural, pentingnya perubahan abadi dalam masyarakat adalah mencatat: "Ketika kontradiksi internal antara struktur atau dalam struktur tidak bisa diatasi, struktur tidak mereproduksi tetapi diubah atau berevolusi". Selanjutnya, yang lain telah mengkritik strukturalisme karena kurangnya perhatian dengan individualitas manusia. Budaya relativis sangat kritis terhadap ini karena mereka percaya struktural "rasionalitas" melukiskan pemikiran manusia sebagai seragam dan seragam. Budaya selalu mengandung unsur relative di dalamnya dan tidak bisa disamakan atau diseragamkan. Selain mereka yang memodifikasi paradigma strukturalis dan kritik ada reaksi lain yang dikenal sebagai Meskipun poststructuralists dipengaruhi oleh ide-ide strukturalis diajukan oleh Levi-Strauss "pascastrukturalisme.", Pekerjaan mereka memiliki lebih berkualitas refleksif. Pierre Bourdieu adalah pascastrukturalis yang "... melihat struktur sebagai sebuah produk ciptaan manusia, meskipun para peserta mungkin tidak sadar akan struktur". Daripada gagasan strukturalis dari universalitas proses pemikiran manusia yang ditemukan dalam struktur pikiran manusia, Bourdieu mengusulkan bahwa proses berpikir dominan adalah produk dari masyarakat dan menentukan bagaimana orang bertindak. Lain reaksi terhadap strukturalisme didasarkan pada penyelidikan ilmiah. Dalam setiap bentuk penyelidikan yang bertanggung jawab, teori harus difalsifikasi. analisis struktural tidak memungkinkan ini atau untuk validasi eksternal. BABIV KESIMPULAN Pada bagian ini saya akan sedikit memberikan rangkuman atas hasil pemaparan keseluruhan tulisan ini. Sekiranya ada dua hal yang ingin saya tekankan. Pertama, yaitu bahwa argument utama strukturalisme adalah bahwa dalam setiap budaya terdapat sebuah struktur yang universal, sama dimanapun dan kapanpun. Banyak penelitian yang menggunakan



teori strukturalisme tersebut. Tujuannya untuk memahami pola dalam kebudayaan. Kedua, nyatanya teori strukturalisme mendapatkan banyak kritik dan sorotan yang tajam. Salah satunya yang mengena adalah bahwa manusia merupakan makluk yang komplek. Kekomplekan itu juga terbawa dalam perilaku budaya yang mereka hasilkan pula. Jika manusia kompleks maka usaha untuk “menyeragamkan” manusia dengan sebuah struktur yang pasti sungguh sangat terdengar naïf. Strukturalisme memang baik sebagai sebuah metodologi memahami manusia dan budaya. Strukturalisme adalah alat dan bukan tujuan dalam memahami manusia dengan segala kekomplekannya. PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Galang Press, Yogyakarta, 2001 Bunnin, Nicholas And Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Blackwell Publishing. New York. 2004 http://www.as.ua.edu/ant/cultures/cultures.php?culture=Structuralism diunduh pada Senin, 08 Maret 2011 pukul 14.00 Teori Praktik Bourdieu (Ritzer & Goodman, 2003: 518) sebagai seorang sosiolog posmodernis-konstruktivis-kontemporer, menggunakan pendekatan yang inovatif dengan model kajian yang transdisipliner. Ia menggabungkan konsep-konsep sosiologi, linguistik, dan filsafat dari Bachelar, Weber, Marx, Mauss, dan Durkheim, menjadi proyek intelektual yang kreatif dan produktif menurut Bourdieu (Lubis, 2006: 58, 163-164). Pendekatan Bourdieu ini disebut sebagai sosiologi refleksif, untuk menunjukkan bahwa teorinya bukan hanya merefleksikan masyarakat, akan tetapi juga status obyektif dan status subyektif dalam suatu kerangka diskursif dan sosial. Dengan pendekatan-pendekatan dan konsep yang transdisipliner tersebut, teori dan metode Bourdieu disebut beraliran konstruktivisme genetis, yaitu adanya pertimbangan historis dan ruang sosial pada kerja struktur mental individu (Ritzer & Goodman, 2003:518-520) dan karena sifatnya kritis, metodenya sering disebut Sosiologi Kritis. Peta gagasanpemikiran Bourdieu ini mewariskan konsep-konsep penting yang sering dipinjam dalam tradisi ilmu-ilmu sosial hingga cultural studies, seperti: habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik, dan modal budaya yang kemudian mempengaruhi teori sumberdaya dan komoditas. Dalam pertalian konsep-konsep tersebut, Bourdieu menawarkan formulasigeneratif (Harker, et al , 2005: xxi, 9-22) dengan rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini digunakan untuk menyingkap intensitas dan orientasi individu untuk melakukan praktikpraktik sosial. Rumus ini menggantikan relasi sederhana antara individu dan struktur melalui relasi habitus, modal dan ranah.



Dengan Sosiologi refleksif, Piere Felix Bourdieu (Ritzer & Goodman, 2003, 518-520) menawarkan sebuah pendekatan untuk memahami praktek intelektual pada sosiologi, ilmu alam, dan pendidikan. Sasaran epistemik bagi peneliti, menurut Bourdieu (Lubis, 2006: 163-164) adalah untuk menggali ‘ketidaksadaran epistemologi dari disiplin ilmunya’ masingmasing. Sasaran utamanya adalah: (1) menggali ketidaksadaran intelektual dan sosial yang tertanam dalam perangkat dan cara kerja analitik, (2) memastikan adanya tindakan dan tanggung jawab kolektif atau individual, jadi tekanan refleksivitas bukan untuk melemahkan, tetapi untuk memperkuat epistemologi suatu disiplin ilmu Relasi kesadaran, bahasa dalam komunikasi, persepsi hingga penyusupan ideologi kepentingan untuk melakukan tindakan, menunjukkan urgensi penggunaan teori praktis dengan konsep-konsep budaya hidup sehari-hari yang sangat dekat dengan paradigma kajian budaya. Untuk meneliksik tindakan dan ideologi, Bourdieu mengemukakan konsep habitus,doxa dan disposisi yang selalu berhubungan erat dengan referensi dan inferensi individu di dalam otak atau perangkat berpikir dalam ruangkognitifnya. Sehingga ideologi pun digantikan dengan doxa, untuk menghindari bias ide, distorsi dan ketidaksadaran. Inilah yang menjadi titiktitik perhatian dan acuan dalam diagnose Bourdieu untuk membedah praktik dan budaya manusia sehari-hari. Berangkat dari asumsi-asumsi dalam sosiologi pendidikan (Ritzer&Goodman, 2004:518-520, 534) yang merupakan bidang awal dan permanennya, hingga sekarang dia disebut beraliran Sosiologi refleksif-kritis-konstruktivis-posmodern-kontemporer (Lubis, 2006). Bourdieu menekankan praktik sebagai konsep dan teori untuk menengahi silang paradigma positivisme dan verstehen atau fenomenologis. Paradigma teori praksis melihat kebudayaan dari sudut pandang konstruktivisme yang diartikan secara umum sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dengan memperhatikan perilaku-perilaku tertentu mereka di Balik aktifitas dan peran individu bersangkutan. Dalam An Outline of a Theory of Practice (Harker, 2005: 24), disebutkan prinsipprinsip dasar teori praksis yaitu: (a) perubahan selalu tersirat dalam proses sosial, tidak ada sistem sosial yang statis; (b) satuan analisa pendekatan menekankan hubungan dialektis antara praktek-praktek sosial para individu dan struktur obyektif masyarakat manusia; (c) tindakan sosial adalah perwujudan dari nilai-nilai budaya (satu arah) yang jadi pedoman bagi pelaku. Praxis bukan hanya nilai-nilai budaya tetapi juga berbagai kepentingan pribadi sehingga dapat mengubah sistem kebudayaan yang bersangkutan; (d) practice berkaitan dengan maksud, intensitas dan orientasi pelaku, apa yang mendorong pelaku untuk melakukan praktik tertentu adalah apa yang menurut pelaku dianggap pantas atau appropriate dan bernilai secara budaya yang sedang berlaku dan sesuai ukuran pribadi. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu



ranahsenantiasa menjadi titik perhatian karena adanya pengaruh doxa dan disposisi untuk menentukan habitus untuk bertindak dalam praktik. Referensi yang tersimpan pun disesuaikan dengan inferensi yang dimiliki untuk mempertimbangkan disposisi yang dipengaruhi oleh doxa. Sehingga habitus menjadi demikian kuatnya mempengaruhi praktis dan tindakan seseorang dalam habitat atau lapangan yang berbeda pula. Terbentuk dan tersimpannya habitus sangat dipengaruhi oleh habitat dalam proses historis di lingkungan.