Kosmologi Dan Eskatologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI Tujuan ; 1. Peserta mampu memahami prinsip penciptaan dan kebangkitan 2. Peserta mampu memahami misi dimuka bumi sebagai khalifah fil ard Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim. Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan. Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi). Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid. Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan antara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan. Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri. Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua. Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) 71



manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.  Enigma Kehidupan Manusia Mengenal segala potensi eksistensi alam penciptaan merupakan sebuah pekerjaan yang mudah dan gampang serta tidak membutuhkan pengkajian atau obeservasi serta perenungan yang terlalu banyak, karena seluruh eksistensi telah bergerak berdasarkan mekanisme takwiniyyah dan setelah melintasi tahapantahapan tertentu akan sampai pada kesempurnaan bentuknya sendiri. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan pengenalan potensi-potensi manusia dan lintasan kesempurnaannya, yaitu tidaklah gampang bagi manusia untuk bisa  mengenal potensi-potensi yang dimilikinya dan berusaha untuk mengaktualkannya. Oleh karena itu, untuk mengenal bentuk kesempurnaan manusia membutuhkan pengkajian dan observasi, dengan kata lain potensi-potensi manusia tersebut tidak akan bisa dikenali hanya dengan melalui pengkajian secara inderawi dan empirik. Untuk menganalisa lintasan kesempurnaan manusia, di sini kita akan menggunakan dua metode. Pertama adalah dengan metode akal dan argumentasi, sedangkan yang kedua adalah dengan metode wahyu. Selama akal masih terbuka ke arah tersebut, maka kita akan melintasi perjalanan ini dari dimensi akal, akan tetapi kita mengetahui bahwa metode terpercaya dan tanpa terdapat keraguan di dalamnya adalah dengan melalui wahyu dimana hal tersebut telah kami siratkan dalam pembahasan terdahulu dalam artikel bertajuk “Mengkaji Filsafat Penciptaan menurut al-Qur’an.” Untuk pengkajian dan analisa tema ini dengan metode akal dan argumentasi, terdapat beberapa persoalan yang harus diutarakan, sebagai berikut: 1. Apakah dalam zat dan kedalaman diri manusia terdapat kecenderungan untuk menyempurna? Apakah manusia -sebagaimana maujud-maujud lain dari alam penciptaan- juga melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan?  Dan tema ini harus dianalisa dari pandangan psikologi. 2. Apa yang diletakkan oleh para filosof dan pemikir dalam kesempurnaan manusia dan dengan pendapat mereka ini, keyakinan-keyakinan apa yang akan memasukinya? Manakah yang bisa diterima dan manakah yang bisa diingkari? 3. Apakah dimensi-dimensi dari kesempurnaan bisa dijelaskan? Pada prinsipnya pengenalan apa yang bisa diperoleh dari kesempurnaan dan potensi-potensi apa yang bisa diperoleh di dalam internal manusia? 4. Lintasan dan jalan manakah yang harus dilewati supaya bisa memperoleh kesempurnaan akhir? 5. Apa sajakah faktor-faktor penghambat lintasan kesempurnaan? Dan persoalanpersoalan apakah yang bisa menghalangi manusia dari perjalanannya menuju kesempurnaan akhir?   Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, pengangkatan para nabi juga merupakan argumen dan dalil lain bagi tema ini dimana tujuan penciptaan manusia adalah melakukan perjalanan ke arah kesempurnaan, karena Tuhan dengan pengangkatan para Nabi dan rasul berkehendak supaya para manusia mengarahkan dirinya ke kesempurnaan mereka yang hakiki. Pengangkatan para nabi merupakan dalil dan argumentasi paling kuat dan pasti atas tema ini dimana manusia harus melintasi lintasan hidayah dan mengantarkan dirinya pada tahapan tinggi kesempurnaan. Sebagaimana Allah Swt dalam salah 72



satu ayat-Nya berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.“ (Qs. Nahl [16]: 36)   Kecenderungan kepada Kesempurnaan dalam Diri Manusia Benar apabila dikatakan bahwa tabiat manusia adalah sangat rumit dan untuk mengenalnya secara detail pun merupakan sebuah persoalan yang sangat sulit, namun untuk menjangkau sebagian dari prinsip-prinsip pembuktiannya tidaklah sebegitu sulit, dengan syarat kita melepaskan diri dari peran kita dan kita tidak bermain dengan kata-kata serta tidak berada di bawah pengaruh keberhalaan benak kita. Salah satu dari prinsip pembuktian tabiat manusia adalah mencari kesempurnaan yang akarnya terdapat dalam diri manusia. Manusia secara dzat cenderung untuk melangkah ke arah kesempurnaan. Oleh karena itu, sejak masa kanak-kanak hingga tua senantiasa berada dalam usaha dan upayanya untuk menuju pada kondisikondisi yang lebih tinggi dari kondisi yang tengah dijalaninya. Seorang pelajar yang belajar di kelas satu SD akan berusaha untuk menuju ke kelas yang lebih tinggi dan ketika dia telah menyelesaikan kelas yang lebih tinggi, sekali lagi dia akan berusaha untuk menapaki kelas yang di atasnya lagi, demikian hingga dia menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya lalu beranjak ke SMP. Setelah menyelesaikan tingkat menengah inipun dia belum puas juga dan berusaha untuk menjalani tingkatan-tingkatan selanjutnya. Pedagang-pedagang kecil yang berada di pinggir-pinggir jalan akan berada dalam gerak usahanya untuk membangun sebuah toko dan dia ingin menjalani kehidupannya dengan perluasan langkahnya yang ke arah yang lebih besar tersebut. Seorang penulis pun senantiasa berusaha untuk menghasilkan karya-karyanya yang lebih berbobot dengan melakukan berbagai pengkajian dan penelitian. Demikian pula dengan yang dilakukan oleh seorang pelukis yang senantiasa melakukan eksperimen-eksperimen baru supaya mampu menghasilkan karya-karya besar. Secara umum setiap manusia yang mempunyai keahlian, pekerjaan dan ketrampilan senantiasa akan berusaha supaya dia bisa menempatkan dirinya pada tingkatan dan kedudukan yang lebih tinggi. Di sini kita harus memperhatikan beberapa poin berikut: 1.   Kesempurnaan yang dipilih oleh manusia tidaklah setara dan sama, melainkan bergantung pada kondisi ruhani, cara berpkir, kondisi lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Bisa jadi, untuk seseorang, menimba ilmu merupakan sebuah kesempurnaan, sementara untuk selain dia kesempurnaan terletak pada kekayaan, sementara untuk seniman kesempurnaan terletak pada penciptaan karya-karya baru, sementara seorang penulis baru akan menemukan kesempurnaan dengan tulisan-tulisannya yang hidup dan berbobot, sedangkan pada yang lainnya mungkin terletak pada pelayanan pada masyarakat, penghambaan atau ibadah, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa setiap individu yang berada dalam lingkupan kerjanya dan senantiasa berusaha untuk melompat ke arah yang lebih tinggi, sama sekali tidak melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan. Melainkan, seorang cendekiawan mempunyai kecenderungan pula untuk mendapatkan kesempurnaan, karena sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya mungkin saja pilihan kesempurnaannya tersebut bergantung pada berpuluh-puluh faktor baik secara personal maupun sosial. 73



2.   Bisa jadi terdapat faktor-faktor dalam kehidupan yang menghalangi manusia dalam perjalanannya menuju kesempurnaan. Pukulan mental, peristiwa-peristiwa tak terduga, musibah-musibah yang tak dikehendaki dan sebagainya telah menjadi penyebab sehingga seorang individu tidak mampu melanjutkan perjalanannya menuju kesempurnaan. Misalnya seseorang memiliki tujuan menimba ilmu dan berusaha untuk sampai pada tingkatan keilmuan yang tinggi, mungkin saja pada pertengahan jalan dia harus menghadapi berbagai kesulitan yang hal ini menyebabkannya tidak bisa mengantarkannya pada tujuan yang diinginkannya. Motivasi asasi kebanyakan dari perubahan lintasan-lintasan perjalanan dan tujuan-tujuan tersembunyi pada poin ini.  Terdapat pertanyaan-pertanyaan penting seputar hal ini, dan pertanyaan tersebut antara lain adalah, apakah kecenderungan untuk menyempurna tak lain adalah hasrat, tamak, keserakahan dan membuat perbandingan-perbandingan dengan selainnya? Yaitu apabila manusia tidak puas dengan kondisi keberadaan dirinya maka dia akan senantiasa berusaha untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik, apakah hal ini bukan dikarenakan motivasi tamak dan bersaing dengan selainnya? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: Pertama, pada kebanyakan harapan-harapan dan cita-asa yang dipilih oleh manusia sebagai sebuah kesempurnaan, sama sekali tidak akan ada pengaruh dari motivasimotivasi negatif, misalnya seorang ilmuwan yang meletakkan ilmu sebagai sebuah kesempurnaan dan untuk mencapai tujuannya ini dia rela mengorbankan dirinya dari kehidupannya yang wajar dan dia juga harus siap sedia dalam menghadapi berbagai hambatan, dengan kata lain banyak dari prinsip-prinsip tabiat yang dia kesampingkan, bagaimana bisa dikatakan bahwa dia menanggung segala kesulitan dan kesusahan ini hanya karena ketamakan dan persaingannya saja, sehingga misalnya ketika kelak telah menjadi rang yang terkenal dia akan bisa jual mahal. Kedua, tamak dan membanding-bandingkan dengan yang lain merupakan efekefek psikologi yang negatif dimana tidak ada sebuah kesempurnaan pun yang bisa dijelaskan dengannya, misalnya seseorang yang meletakkan tujuannya pada pelayanan kepada sesama manusia dan dia bersedia menanggung segala kesulitan dan kesengsaraan untuk hal ini, maka tidak mungkin bisa dikatakan bahwa hanya karena motivasi-motivasi negatif tersebut sehingga dia melakukan pelayanan kepada selainnya. Ketiga, jika sebagian dari harapan-harapan individu bisa dijelaskan dengan persaingan dan membanding-bandingkan dengan selainnya, maka tidak ada masalah jika kita mengatakan bahwa sebagian dari individu memang meletakka persaingan sebagai sebuah kesempurnaan yang sesuai. Sekarang, kita akan melakukan analisis secara lebih detail mengenai pencarian kesempurnaan menurut pendapat dan teori dari sebagian psikolog,   a.   Pencarian Kesempurnaan Menurut Yung Yung adalah salah satu dari psikolog analisis yang menganalisa kepribadian seseorang. Berlawanan dengan pendapat Freud sehubungan dengan tabiat manusia, Yung lebih berpandangan positif dan berkeyainan bahwa manusia akan senantiasa menapaki jalan kesempurnaannya dalam sepanjang masa dengan segala kehirukpikukan kehidupan yang dihadapinya. Dia berkeyakinan bahwa gerak ke arah kesempurnaan telah dimulai sejak bergabungnya nutfah dan dengan berlalunya zaman nutfah ini akan mengalami perkembangan dan akan terlepas dari dimensi-dimensi kehewanan 74



manusia dan pergerakannya akan bertambah pada dimensi-dimensi keinsanannya. Dan untuk sampai pada kesempurnaan, dia pun senantiasa berada dalam usaha dan aktifitasnya. Yung mengetahui bahwa kesempurnaan manusia akan diperoleh ketika kepribadiannya tekah berkembang dan potensi-potensi dzatinya telah teraktual. Akan tetapi apakah persoalan ini bisa diterima? Apakah tidak ada hambatanhambatan yang menghalangi perjalanan manusia untuk sampai pada kesempurnaan? Jika terdapat hambatan, lalu apakah hambatan-hambatan tersebut? Menurut Yung, hambatan-hambatan yang mampu menjadi penghalang bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan antara lain adalah: 1. Kesulitan-kesulitan Setiap individu dalam kehidupannya mungkin saja memiliki perasaan atau kasih sayang tak terpuaskan yang secara tak sadar[1] hal ini akan menghepaskannya dan akan mengakibatkan kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini akan menyebabkan kekacauan keseimbangan kepribadian manusia yang memiliki lintasan menuju kesempurnaan.   2. Persona Yang maksudnya adalah topeng atau wajah buatan yang dikenakan oleh manusia dalam perkumpulan dan dalam interaksinya dengan masyarakat. Topeng ini kadangkala bersifat ikhtiyari (bebas) yang dikenakan oleh seseorang untuk menghindarkan penampakan dirinya dan kadangkala pula bersifat ijbar (terpaksa dikenakan) yang dibebankan oleh masyarakat kepadanya. Apabila topeng ini dikenakan oleh manusia atau masyarakat atas dirinya secara berkelanjutan, maka hal ini akan menyebabkan hambatan pada lintasan jalan kesempurnaan. Oleh karena itu, dalam kekacauan dan kontradiksi antara kepribadian hakiki dan kepribadian lahiriahnya, manusia harus menyeimbangkan dirinya dan tidak membiarkan kepribadian masyarakat atau kepribadian buatannya mengalahkan kepribadian hakikinya.   3. Bayangan Yang tak lain adalah dimensi kehewanan tabiat manusia, merupakan majemuk dari instink-instink negatif dan perasaan tak sesuai dan tak terpuji yang diwariskan oleh para leluhur manusia dan terkumpul dalam ketaksadaran sebagian manusia. Bayangan ini membantu perpecahan, pertikiaian, dan kubu-kubuan antara persoalan-persoalan yang tentu saja merupakan suatu persoalan yang penting untuk manusia, dengan syarat telah melakukan pemilihan dan tidak meletakkannya sebagai penghalang jalan kesempurnaan. Faktor-faktor yang bisa menyebabkan pertumbuhan dan keluarbiasaan kepribadian atau anasir-anasir yang mendukung lintasan bertahap manusia ke arah kesempurnaan, menurut Yung di antaranya adalah: 1.  Warisan Leluhur. Apa yang diwarisi oleh manusia dari leluhurnya dalam sepanjang sejarah dan telah mendapatkan tempat dalam ketaksadaran sebagian manusia. 2.  Tujuan-tujuan hidup. Manusia tidak pernah merasa cukup dengan eksperimen, pengalaman dan informasi-informasi yang diperolehnya dari orang-orang terdahulu, dan mereka senantiasa memperhatikan harapan-harapan, cita-cita, serta impianimpian yang merupakan penggerak perilaku dan aktivitas-aktivitasnya. 3.  Kekuatan hidup. Hal ini yang akan medorong manusia untuk melakukan aktivitasnya, dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Dan semakin seorang 75



manusia ke arah pertengahan usianya, kekuatan ini akan memiliki langkah yang semakin panjang ke arah kecenderungan dan akan semakin mendekatkan manusia ke arah kesempurnaan dirinya. 4.  Tanda-tanda rahasia. Salah satu dari karakteristik manusia adalah bahwa ia akan menampakkan kecenderungan-kecenderungan, tujuan-tujuan dan harapanharapannya dengan melalui tanda-tanda rahasia seperti hasil karya sastra, ketrampilan, lukisan, kata-kata, impian-impian dan sebagainya. Tanda-tanda ini menyebabkan terpakainya kekuatan hidup dan terlepasnya manusia dari tekanantekanan dn kekhawatiran-kekhawatiran. Menurut pendapat Yung, semakin seorang manusia berjalan ke arah kesempurnaan, dia akan semakin banyak mempergunakan tanda-tanda rahasia ini. 5.  Prinsip kontradiksi atau dua kutub. Yung berpendapat bahwa manusia adalah sebuah maujud yang senantiasa berhadapan dengan persoalan-persoalan kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain, dan dalam kepribadiannya pun terdapat kecenderungan-kecenderungan yang saling berkontradiksi pula, seperti sublimasi dan depresi, kesadaran dan ketaksadaran, kecenderungan internal dan kecenderungan eksternal, kemajuan dan kemunduran, dan sebagainya, dan manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan yang saling kontradiksi ini terpaksa mengalami kekacauan internal dan tekanan yang tentunya persoalan-persolan ini dibutuhkan dupaya manusia melakukan gerak dan aktivitas untuk menghilangkannya dan pada akhirnya menemukan kemajuan.   Tanda-tanda Kesempurnaan Menurut Yung Yung berkeyakinan bahwa manusia untuk mengetahui apakah ia akan mengambil langkah ke arah kesempurnaan ataukah tidak, dia harus memperhatikan dua poin berikut, yaitu jika dua tema di bawah ini diperoleh di dalam diri manusia, maka manusia akan melangkah ke arah kesempurnaan:   1.     Manusia melangkahkan kakinya ke arah sublimasi[2] bukan ke arah depresi.[3] 2.      Aksi psikologi manusia, yang antara lain : perasaan biasa, pemikiran, perasaan kasih sayang dan pandangan internal, yang keseluruhannya harus setara.   “Manusia dengan perasaan biasa dalam persoalan-persoalan riil, secara langsung akan merasakan dunia luar sebagaimana inderanya mengizinkannya, atau akan mengilustrasikannya dalam ketiadaan persoalan-persoalan tersebut, ketika dengan pemikiran ia ingin memahami substansi alam dan substansi dirinya, maka ia akan berargumentasi; ia akan memperoleh nilai segala sesuatu dengan perasaan kasih sayang, dan akhirnya ia akan mengaksidenkan kondisi-kondisi pasifnya seperti kegembiraan atau kesedihan, kedekatan atau kebencian, ketakutan, kasih sayang, kemarahan dan bagian-bagiannya, ia memiliki kecenderungan dengan pandangan internalnya meskipun dengan mengesampingkan perasaan, pemikiran dan realitas, ia memahami persoalan dengan cara menemukan dan memahami realitas mereka. Keempat aktifitas atau aksi psikologi ini senantiasa ada dan pada seluruh individu memiliki tingkat kekuatan yang tidak sama, bahkan biasanya salah satu dari keempat aksi ini memiliki kekuatan yang lebih banyak dan memberikan peran yang lebih berpengaruh dalam kesadaran, oleh karena itulah sehingga hal tersebut kita namakan sebagai aksi dominan. Tiga aksi lainnya yang kekuatannya paling sedikit dari yang lainnya, kita aksi lemah. Aksi ini adalah depresi dan memiliki tempat tersendiri dalam ketaksadaran manusia yang kemudian akan ditampakkan dalam bentuk khayalan-khayalan serta mimpi-mimpi. Keempat aksi ini jika 76



keseluruhannya memiliki kekuatan dalam tingkat yang sama, maka tidak ada lagi aksi yang lemah maupun aksi yang kuat, akan tetapi keadaan semacam ini akan hanya ditemukan dalam diri manusia ketika ia telah mendapatkan aktifitas yang sempurna, yaitu kepribadian dari sisi perkembangan seluruh potensi-potensi dzati dan ketenangan hati mereka telah sampai pada batas kesempurnaan, dan ini adalah sesuatu yang secara prinsip bisa diterima. Gabungan keseimbangan aksi-aksi dan keterhubungannya dengan kesempurnaan insaniyyah merupakan sebuah tujuan yang dicari oleh kepribadian dan paling tidak hanya bisa didekati dengan perbedaan.[4] Menurut Yung, manusia yang telah memperoleh kesempurnaan adalah manusia yang kepribadiannya telah berkembang. Manusia seperti ini akan mengenal dirinya dengan baik, dan akan memberikan perhatian kepada titik-titik lemah dan titik-titik kuat dalam dirinya dan dia akan berusaha untuk menghilangkan kelemahan serta kekurangan-kekurangannya. Dan ia tidak akan mengesampingkan satupun dari dimensi-dimensi kepribadiannya dan tidak akan membiarkan seluruh dimensidimensi kepribadiannya berada di bawah dominasinya.   b. Pencarian Kesempurnaan Menurut Adler Alfred Adler adalah salah satu dari psikolog yang memberikan perhatian terhadap dimensi sosial manusia, dan dalam psikologinya yang bernama individual psikologi ia memfokuskan pandangannya pada faktor-faktor psikologi dan sosial secara bersama-sama. Salah satu prinsip paling penting yang menjadi basis pemikiran Adler adalah masalah pencarian kesempurnaan manusia yang dia namakan sebagai pencarian yang lebih baik. Menurut pendapat Adler kecenderunganlah yang menjadi motivasi paling asasi dalam diri manusia dimana hal ini muncul dari perasaan lemah yang dimilikinya, karena manusia sejak masa kanak-kanaknya senantiasa merasakan dirinya sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya, dan ia berusaha untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Tentunya pencarian yang lebih baik ini bukan dalam arti pendominasian atas lainnya atau adanya tuntutan untuk menjadi pemimpin, melainkan kemanunggalan pemberian terhadap kepribadian dengan maksud mengaktualkan potensi-potensi dzati. Pencarian yang lebih baik merupakan faktor asasi yang menguatkan dimensi sosial manusia dimana seluruh kebutuhankebutuhan manusia pun bersumber dari pencarian yang lebih baik ini.   Kebertujuan Perilaku Manusia Adler berkeyakinan bahwa perilaku manusia terbentuk berdasarkan pada tujuan dan maksudnya. Yaitu setiap manusia memiliki tujuan akhir dimana dia senantiasa melakukan perjalanannya ke arah tersebut. Tentu saja tujuan-tujuan tersebut mungkin saja ada dalam bentuk realitas, khayalan atau imajinasi. Yaitu mungkin saja bisa terwujud atau mungkin juga tidak bisa terwujud, dan tujuan-tujuan serta kesempurnaan yang sesuai bagi manusia pada umumnya berakar dari norma-norma mazhab, aturan-aturan akhlak atau juga berakar dari teori-teori dan pendapatpendapat filosofis. Bagaimanapun, tujuan-tujuan ini apapun juga dan dari manapun juga munculnya akan mendorong manusia untuk bergerak dan berusaha sehingga mampu mengeluarkan manusia dari kelemahan-kelemahannya dan memperoleh kesempurnaan wujudnya. Adler berkeyakinan pada hal berikut bahwa seseorang yang bertujuan bisa melepaskan dirinya dari pengaruh harapan-harapan imajinasi dan khayalannya lalu berhadapan dengan realitas. Dan pada dasarnya tanda-tanda keselamatan ruh seseorang adalah bahwa dalam lintasan pencariannya yang lebih 77



baik ia tidak mau menerima setiap tujuan yang tidak sesuai dan ia akan berdiri tegak dalam menghadapinya.   Metode Kehidupan dan Kelayakan Diri Adler sepakat bahwa meskipun prinsip pencarian yang lebih baik atau dengan perkataan kita kecenderungan terhadap kesempurnaan bisa ditemukan pada seluruh manusia, akan tetapi ini bukanlah merupakan sebuah alasan bahwa seluruh manusia memiliki satu tujuan yang sama dan untuk terhubung dengannya pun bisa menggunakan satu metode khas yang sama pula, melainkan dikarenakan faktorfaktor jasmani, psikologi dan sosial, setiap individu manusia meletakkan tujuannya masing-masing dan mereka pun akan berusaha untuk mendapatkan tujuannya tersebut dengan cara khasnya sendiri. Prinsip pencarian yang lebih baik yang bisa dikatakan merupakan induk dari motivasi-motivasi lainnya, akan menggerakkan manusia ke arah tertentu dan mendorongnya untuk beraktifitas. Cara dan metode khas yang berbeda dalam setiap individu ini oleh Adler disebut sebagai “metode kehidupan”. Penyebab dari perbedaan ini adalah karena di dalam mereka selain terdapat perasaan kerendahan dan pencarian yang lebih baik yang dimiliki oleh semuanya, terdapat pula tiga faktor lainnya yaitu faktor jasmani, psikologi dan sosial. Dengan kata lain struktur badan dan perbuatan anggota-anggotanya, sifat-sifat dan potensi-potensi ruh dan interaksi-interaksi sosial dalam setiap individu memiliki bentuk yang khas dan bentuk khasnya ini digunakan untuk menggantikan perasaan rendah diri dan untuk melakukan pencarian yang lebih baik, yaitu untuk menentukan metode kehidupannya. Metode kehidupan yang diambil oleh Napoleon sang penuntut kemenangan-lah mungkin yang telah menyebabkan kemenangan kecil baginya, bisa jadi pula tuntutan kebahagiaan dan perbuatan-perbuatan liar yang dilakukan oleh Agha Muhammad Khan Qacar–lah telah menjadi alasan penyembelihannya, dan mungkin ketamakan Hitler untuk menguasai dunia telah menyebabkan ketaksempurnaan jenisnya. Kandungan yang terdapat pada tujuan setiap manusia dalam pencarian yang lebih baik senantiasa berbeda dengan tujuan manusia lainnya. Motivasi ini akan membimbing manusia yang satu pada perolehan informasi lalu mengarahkannya pada posisi tinggi keilmuan, sedangkan pada satunya lagi akan mendorongnya untuk menjadi olahragawan sebagai pemenang di bidang misalnya angkat beban, aerobik, dan lain-lain. Seorang ilmuwan yang melakukan pengkajian dan observasi dan mempunyai kegemaran dalam menyusun, maka dia akan mengatur bagianbagian kehidupan keluarganya, waktu-waktu istirahat dan interaksi-interaksi dengan teman, kerabat dan aktivitas-aktivitas sosialnya sesuai dengan tujuan pencarian yang lebih baik dalam bidang keilmuan atau sastranya, seseorang yang menyukai politik maka dia akan menerapkan metode kehidupannya dalam bentuk yang lain, dan demikianlah seterusnya.[5] Menurut pendapat Adler hal lainnya yang menjadi faktor penentu dalam metode kehidupan setiap individu adalah kelayakan dari individu yang bersangkutan, karena perilaku manusia tidak hanya muncul dari kebutuhan-kebutuhan instink, keturunan dan kondisi masyarakat, melainkan di dalam kepribadian manusia tersembunyi unsur-unsur lain yang bernama kelayakan diri yang menyebabkan kelayakan dan kecakapan dalam perilaku dan perbuatan manusia, dan factor inilah yang menjadi penyebab sehingga metode kehidupan individu yang satu berbeda dengan metode kehidupan individu yang lainnya. 78



  c. Pencarian kesempurnaan Menurut Goldstain Goldstain adalah salah satu dari psikolog yang berpendapat bahwa wujud manusia adalah tunggal universal dan ia juga berkeyakinan bahwa organisme senantiasa beraktifitas secara tunggal, bukan karena rangkaian dari bagian dan perpecahan antara sesama, dengan ibarat lain, meskipun ia terdapat pada satu bagian dari wujud manusia, namun ia tetap akan memberikan pengaruhnya pada seluruh organism manusia dan akan ditemukan dalam bentuk refleksi. Menurut pendapatnya motivasi paling asasi dalam organism manusia adalah pengembangan diri dimana seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia bersumber dari kecenderungan ini. “Pengembangan diri merupakan kecenderungan pencipta dan pembentuk tabiat manusia, pada dasarnya hal ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya motivasinya. Seluruh motivasi-motivasi seperti kelaparan, hasrat seksual, keingintahuan, menuntut kekuasaan dan bagian-bagiannya, seluruhnya berasal dari tujuan dan sasaran asli kehidupan, yaitu dari kecenderungan alami untuk menghilangkan ketaksempurnaan dan kekuarangan; dan apa yang berada dalam diri manusia ada dalam bentuk potensi, seperti bunga yang menguncup akan bisa terbuka, mekar berkembang dan mengaktual. Manusia yang lapar akan menghilangkan kekurangannya dengan memakan makanan dan manusia awam yang tak berpengetahuan pun akan melakukan hal ini dengan menimba ilmu, yaitu kebutuhannya untuk menghilangkan kekurangan bisa dipenuhi dengan ilmu, dengan demikian tempat bagi orang yang tak berpendidikan akan diambil alih oleh orang yang berpendidikan.”[6] Sekali lagi, motivasi asli aktualisasi manusia muncul dari perasaan kekurangan atau kecenderungannya untuk menghilangkan kekurangan tersebut. Aktualisasi ini – yang digunakan untuk memenuhi atau menghilangkan kekurangan- disebut dengan pengembangan diri. Karena individu manusia saling berbeda dari sisi harapanharapan, tujuan-tujuan, potensi-potensi dzat, demikian juga dari sisi kebudayaan dan sosial, maka bagaimana cara dia mengembangkan diri pun akan saling berbeda. Salah satu dari poin asasi yang diuraikan oleh Goldstain dalam kaitannya dengan lintasan ke arah kesempurnaan atau dengan istilahnya pengembangan diri yang menjadi titik perhatian adalah perkataannya yang menyatakan bahwa untuk melakukan perkembangannya, organism manusia memilih lingkungan yang bermanfaat untuk mengarahkannya ke arah kesempurnaan, akan tetapi kadangkala terjadi, faktor-faktor dan kondisi lingkungan dan eksternal dengan tekanan-tekanan dan aksi-aksinya akan menjadi penghalang bagi pengembangan diri dan hal ini akan menghambat manusia untuk terhubung ke tujuannya, di sini harus pula diperhatikan kondisi dan situasi lingkungan serta kondisi sosial, karena bisa jadi jalan untuk pengembangan diri telah terhalang atau dengan pembentukan kondisi yang sesuai akan menyebabkan keterhubungan kepadanya.   d. Pencarian Kesempurnaan Menurut Moslow Moslow pun sebagaimana Goldstain adalah salah seorang pendukung teori organism yang menganggap wujud manusia adalah tunggal universal dan pengembangan diri merupakan salah satu dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling asasi. Pendapat Moslow mengenai tema ini bisa dipahami dari pertanyan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diutarakannya. Tanya: Apa saja yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baik? 79



Jawab: Segala sesuatu yang sampai pada pertumbuhan, penampakan dan perkembangan serta memperoleh aktualisasi tabiat pertama manusia dan apa yang berada dalam potensinya. Tanya: Apa saja yang  bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk? Jawab: Segala sesuatu yang menciptakan penghalang atau hambatan di hadapan perkembangan alami manusia atau menjadi sebab ketakmampuannya. Tanya: Apa saja yang memiliki sifat tak baik secara psikologi? Jawab: Segala sesuatu yang menghambat perjalanan perkembangan, menjadi problem atau menyimpangkan dan menyesatkan manusia dari lintasannya yang benar. Tanya: Apa yang disebut dengan psikologi pengobatan? Jawab: Segala cara yang digunakan oleh manusia untuk kembali berada pada lintasan pertumbuhan dan perkembangan diri dan memberikan peluang kepada kemampuan-kemampuan dan sifat-sifat alaminya untuk sampai pada tahapan memanifestasi dan berkembang.[7] Karakteristik dan Sifat Pengembangan Diri Salah satu dari persoalan yang dianalisa oleh Moslow dalam kaitannya dengan pengembangan diri adalah memilih sebagian dari hal-hal yang menurutnya teratur dan telah sampai pada tingkatan pengembangan diri lalu dia menganalisa sifat-sifat mereka yang berbeda. Untuk tujuan yang dimaksudkannya ini dia memilih orangorang seperti Roosevelt, Bethoveen, dan Einstein. Menurut pandangannya sifat-sifat terpenting yang terdapat pada orang-orang yang telah sampai pada tingkat pengembangan diri antara lain adalah:  Orang-orang dari kelompok ini memiliki perhatian kepada realitas dan mereka akan memberikan pandangan positifnya secara cepat terhadap selainnya.  Mereka melihat dirinya, orang-orang lain serta alam luar sebagaimana realitas yang ada, dan bukan memandangnya sesuai dengan keinginan dan seleranya.  Perilaku mereka jantan dan alami, bisa dikatakan tidak sesuai dengan etika dan formalitas yang biasa.  Perhatian mereka mengikuti tema yang menjadi fokus perhatian, dan tidak pada diri mereka sendiri. Mereka juga tidak terlalu memberikan perhatian pada masalah internal dan pikiran mereka bekerja pada persoalan-persoalan luar.  Kadangkala mereka terlihat seperti berada di alam lain, mampu mengambil jarak dari selainnya, kadangkala pula mereka membuat dirinya sedemikian membutuhkan kesendirian. Tidak memiliki ketergantungan sempurna dengan yang lain dan mampu menyibukkan dirinya sendiri.  Bebas, mandiri dan menyandarkan diri pada dirinya sendiri.  Kodrat dan kedudukan yang dimiliki oleh orang-orang dan benda-benda bagi mereka adalah tidak permanen dan tidak senada, melainkan senantiasa mengalami pembaharuan (Terbitnya matahari meskipun telah beberapa kali tetap memiliki keindahan seperti ketika pertama kali dilihat)  Kadangkala seperti urafa yang tenggelam pada dirinya sendiri dan seakan tidak mengetahui alam luar.  Tidak membedakan antara dirinya dengan selainnya. Menyukai kebahagiaan dan keberuntungan sesamanya.  Kedekatan dan keakraban mereka tertuju pada orang-orang yang terbatas. Kasih sayang dan keakraban mereka kepada sahabat-sahabat pilihan sangat serius dan mendalam. 80



 Penilaian mereka lebih mereka tekankan pada segala sesuatu yang berdimensi demokratik, sedangkan kondisi kekayaan, kedudukan sosial atau keturunan tidak akan memberikan pengaruh pada penilaian mereka.  Mereka tidak salah dalam membedakan antara perangkat dan alat untuk sampai ke tujuan dengan tujuan itu sendiri. Memegang prinsi etika, sebuah prinsip yag mungkin berbeda dengan yang diterima oleh masyarakat umum.  Kebercandaan mereka memiliki dimensi filosofi. Lelucon-lelucon konyol dan emosional tidak akan mampu membuat mereka tertawa. Mereka menghindarkan diri dari mengucapkan lelucon-lelucon buatan, melainkan mereka akan tertarik dengan keindahan-keindahan lelucon yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.  Memiliki begitu banyak potensi untuk kecakapan dan penemuan-penemuan baru.  Menampakkan pertahanan dalam menghadapi adab dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima masyarakat, dan pada dasarnya mereka bergerak melawan arus. [8]   Pencarian Kesempurnaan Menurut Al-Quran Pada sebagian dari ayat-ayat al-Quran mengisyarahkan pada pencarian kesempurnaan. Ayat-ayat tersebut antara lain: “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.“ (Qs. Insyiqaq: 6) “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.“ (Qs. Fajr: 27-30) Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba menganalisa beberapa ayat al-Quran yang di dalamnya telah menyiratkan tentang filsafat, arah, sasaran, maksud, dan tujuan penciptaan, di antaranya, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 30) “Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Qs. Al-An’am [6]: 165) Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan penciptaan manusia, dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah dan penerus Tuhan. Dan yang dimaksud dengan penerus Tuhan adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian dari sifat yang dimiliki-Nya dalam diri manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia mengaktualkan potensi yang dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih tingkatan tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari penciptaan tak lain adalah manusia sempurna. Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162) Berdasarkan ayat di atas, kehidupan, ibadah bahkan kematian seorang manusia adalah berasal dari Tuhan, oleh karena itu, dalam seluruh keadaan kehidupannya manusia harus melakukan penghambaan kepada Tuhan. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) Ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk ibadah dan penghambaan Tuhan, yaitu manusia harus menyerahkan dirinya untuk melakukan penghambaan kepada Tuhan dan tidak menundukkan kepalanya kecuali 81



di hadapan-Nya. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan menemukan beberapa poin berikut:  1.       Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku” menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan mereka”.[1] 2.       Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman,“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi” dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja. [2] Pada tempat lain Dia berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 156) Ayat di atas menyatakan bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan tempat tujuan manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan “kembali di dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian para sufi, dimana mereka meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam Tuhan, melainkan kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya, yaitu perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan kesempurnaannya inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan. “Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. AlMaidah [5]: 18) “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18) “Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4, dan Qs. Al-Hadid [57]: 5) “Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura [42]: 53) “… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. AsSajdah [32]: 11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15) “Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ….” (Qs. Al-Maidah [5]: 48, dan Qs. Hud [7]: 4) “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6) Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber keberadaan. Berdasarkan ayat di atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah 82



pertanyaan yaitu apa makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya? Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat kepada Tuhan. Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak. Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan. Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi kepada-Nya. Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia diciptakan untuk menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119) Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan rahmat. Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk rahmat? Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan hidayah Ilahi yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia. Dengan uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) tidak ada sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat, seluruh potensi wujud manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan akhir wujud dirinya. 83



Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, …” (Qs. Hud [11]: 7) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2) Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang melakukan perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah yang melakukan perbuatan yang tercela dan tak shaleh. Menurut ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik, berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya, ayat-ayat ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan manusia menuju ke arah kesempurnaan keberadaannya.   Nabi, Imam, dan Tujuan Penciptaan Pada hadis-hadis Islam dikatakan bahwa Rasulullah Saw merupakan tujuan dari penciptaan alam, dan Tuhan menciptakan alam ini karena beliau. Dalam salah satu hadis qudsi Allah Swt berfirman, “Jika engkau tiada, maka niscaya Aku tidak akan menciptakan gugusan bintang.”[3] Pada hadis qudsi yang lain, Allah Swt berfirman, “Andai bukan karena Muhammad (saw), maka Aku tidak akan menciptakan dunia maupun akhirat, demikian juga Aku tidak akan menciptakan langit, bumi, arsy, singgasana, lauh, qalam, surga dan neraka. Dan andai bukan karena Muhammad Saw, maka wahai para manusia, Aku tidak akan menciptakan kalian,”[4] demikian juga pada hadis lainnya Allah Swt berfirman, “Aku menciptakan benda-benda untukmu dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.”[5] Syeikh Shaduq Ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepada Imam Ali As, “Wahai Ali, seandainya bukan karena kita, maka Allah tidak akan menciptakan manusia dan juga tidak akan menciptakan surga, neraka, maupun langit atau bumi”[6] Dikarenakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan individu-individu manusia yang paling sempurna, dan tujuan penciptaan pun adalah terwujud dan tercapainya manusia paling sempurna, maka seakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan arah, tujuan, dan sasaran penciptaan segala realitas. Demikian juga sesuai dengan apa yang termaktub dalam surah Al-Dzariyyat ayat ke 56 dimana Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, dimana tujuan dari penciptaan adalah ibadah, bisa dikatakan bahwa karena tahapan paling tinggi dan paling sempurna dari ibadah hanya akan terwujud dari Rasulullah saw dan Imam Ali As, maka kesimpulannya, Rasulullah Saw dan Imam Ali As tergolong sebagai tujuan dan filsafat penciptaan. Berdasarkan ayat ke tiga puluh surah al-Baqarah, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” pun bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw dan Imam Ali As merupakan tujuan penciptaan, karena hanya Rasulullah saw dan Imam As As lah yang mampu mengaktualkan potensi-potensi internalnya dan berahlak dengan ahlak Ilahi serta layak untuk memegang peran sebagai “khalifatullah”. 84



  Definisi Ibadah Ketika dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan adalah ibadah, sebagian menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah melaksanakan amalanamalan dan ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat, puasa dan bermacammacam zikir. Apakah hakikat ibadan dan penyembahan hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak. Karena doa hanyalah bagian dari ibadah. Berdasarkan pandangan dunia al-Quran, setiap gerakan dan perbuatan positif yang dilakukan oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan tersebut harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi. Oleh karena itu, definisi dari petani yang pada pertengahan malam menggunakan tangan-tangan kasarnya untuk mengairi perkebunan dan lahan pertaniannya demi menyejahterakan kehidupannya dan keluarganyam para pekerja yang bergelimang dengan suara-suara bising mesin-mesin pabrik dari pagi hingga malam hari, dokter yang berada di ruang operasi dengan seluruh daya dan konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa manusia, seorang dosen yang melakukan observasi dan pengkajian pada tengah malam untuk memecahkan kesulitan pemikiran manusia, dan sebagainya, jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap saat baginya berada dalam keadaan ibadah. Ringkasnya, tujuan dari semua amal, perbuatan dan perilaku manusia adalah untuk Allah Swt, yaitu manusia akan sampai pada tahapan dimana bahkan makan, munum, tidur,, hidup dan matinya, keseluruhannya adalah untuk Allah Swt, sebagaimana dalam salah satu firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162) Gerakan-gerakan dan pikiran-pikiran yang ditekankan sebagai doa dalam Islam adalah supaya manusia menjaga penghambaannya dan mengarahkan dirinya kepada Tuhan dengan kesadaran yang dimilikinya. Doa tidaklah sebagaimana yang dipersangkakan oleh sebagian pihak tenang ketiadaannya interfensi dalam perbuatan Tuhan, melainkan merupakan perantara dan wasilah untuk memperkuat kehendak dan cahaya harapan dalam menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalangi jalan pertambahan tingkat manusia, ketika seluruh pintu di hadapan manusia telah tertutup dan manusia berhadapan dengan jalan buntu dan kehilangan harapan, maka doa merupakan satu-satunya wasilah untuk kegembiraan dan kebahagiaan ruh dan berpaling dari kesedihan dan bergerak ke arah jurang yang mendaki menuju kesempurnaan, Dengan melalui doa, manusia akan mencuci karatkarat dan pencemaran yang terdaoat di dalam dirinya dan mempersiapkan dirinya hingga melangkah pada lintasan kesempurnaan. Hakikat doa merupakan “terbangnya” ruh ke arah Yang Dicintai dan “terbangnya” hamba ke arah Tuhan, sebuah “penerbangan” dari tingkatan yang sangat rendah yang tanpa batas ke arah tingkatan yang sangat tinggi yang juga tanpa batas, dan merupakan “penerbangan” hamba yang rendah ke arah kesempurnaan Ilahi. Alexis Carel berkaitan dengan masalah ini menuliskan, “Kepada manusia, doa memberikan kekuatan untuk menanggung kesedihan dan musibah dan ketika katakata rasional tidak lagi mampu untuk memberikan harapan, doa akan memberikan harapan kepadanya dan memberikan kekuatan dan kodrat untuk berdiri tegak dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar.”[7] 85



Doa memberikan pengaruh pada sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik manusia. Oleh karena itu, doa harus dilakukan secara kontinyu.[8] Masyarakat yang membunuh kebutuhannya berdoa, biasanya tidak akan terbebas dari kerusakan dan kerendahan.[9] William James dalam masalah doa mengatakan,  “Sebagaimana kita menerima hakikat-hakikat dan realitas-realitas yang ada pada dunia medis, para ahli medis mengungkapkan bahwa pada banyak kasus, doa, memberikan pengaruh pada kesembuhan kondisi pasien. Oleh karena itu, harus diketahui bahwa doa merupakan salah satu dari perantara yang berpengaruh dalam pengobatan. Dalam banyak kasus yang dihadapi oleh manusia, doa sangat berpengaruh untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ruh dan hasilnya, akan diikuti dengan kesehatan badan dan jasmani mereka.[10] Doa dan shalat bukan merupakan perintah imajiasi atau benak melainkan perolehan lebih banyak dari kekuatan spiritual atau dengan kata lain, rahmat Ilahi.[11] Berdasarkan apa yang telah kami katakan, ibadah -yang dalam agama Islam merupakan filosofi dan tujuan penciptaan- memiliki suatu karakteristik penting yang sama sekali tidak dipunyai oleh satu agama atau mazhab manapun hingga sekarang ini selain agama Islam, karakteristik itu adalah meliputi aktivitas-aktivitas manusia, apakah manusia itu sedang berdoa kepada Tuhannya, melakukan shalat, dan mensucikan dirinya, maupun sedang sibuk dan melakukan kegiatan di tengahtengah masyarakat, di tengah-tengah keluarga, atau menjalin hubungan yang erat dengan istri, anak-anak, dan kedua orang tua. Sementara ibadah dalam mazhab dan agama yang lain hanya berkaitan dengan uapcara doa dan menjalin hubungan dengan Tuhan secara resmi, dan tidak mencakup kegiatan-kegiatan budaya, politik, ekonomi, keluarga, dan yang sejenisnya.   Kedekatan kepada Tuhan (Taqarrub Ilallah) Posisi tertinggi yang bisa diraih oleh manusia adalah maqam kedekatan kepada Tuhan atau kedekatan Rububiyyah. Apa yang dimaksud dengan kedekatan Rububiyyah ini? Yang dimaksud dengan kedekatan rububiyyah adalah bahwa manusia sampai pada maqam dimana dia menemukan hubungannya dengan Tuhan. Kita ketahui bahwa seluruh eksistensi dan maujud-maujud dalam penciptaan memiliki interaksi dengan-Nya. Seluruh maujud-maujud alam tidaklah bergantung sebagaimana kebergantungan mereka kepada-Nya. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Hai manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fathir [35]: 15) Yang dimaksud dengan kesempurnaan akhir adalah bahwa manusia akan sampai pada suatu maqam dimana dia memahami kekurangan dan kebergantungannya kepada Tuhan. Pemahaman ini, bukan merupakan pemahaman yang diperolah secara hushuli (perolehan) karena pemahaman perolehan ini bisa diperoleh dengan bantuan dari argumentasi-argumentas filosofi, melainkan yang dimaksud pemahaman di sini adalah pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani (mukasyafah dan musyahadah). Artinya bahwa manusia akan menggapai maqam tersebut dimana dia tidak ada sesuatupun yang akan mampu menarik perhatiannya selain Tuhan, wujudnya seakan telah memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang dilakukannya selain untuk mencari keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai maqam dan posisi seperti ini sama sekali tidak akan pernah menganggap adanya kemandirian untuk 86



dirinya dan dia mengarungi kehidupannya salam satu interaksi permanen dan penyaksian irfani dengan Tuhan. Pada posisi dan maqam seperti ini dimana tidak ada lagi bekas dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada adalah dari Tuhan. Imam Ali As berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani bersabda, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”[12] “Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya.”[13] Imam Khomeini ra, dalam pembahasan mengenai liqaullah (perjumpaan dengan Tuhan) dan maqam kedekatan Rububiyyah (kedekatan kepada Tuhan) mengatakan, “Harus diketahui bahwa apa yang mereka maksud bahwa jalan menuju pertemuan dengan Tuhan (liqaullah) dan penyaksian keindahan dan keagungan Yang Maha Benar, ini bukanlah berarti bahwa pengenalan hakiki terhadap dzat Tuhan Yang Maha Suci adalah merupakan suatu hal yang dibenarkan, atau pada ilmu hudhuri dan penyaksian spiritual yang obyektif serta pelingkupan menyeluruh atas Zat Tuhan adalah hal yang memungkinkan, melainkan kemustahilan pencapaian pengetahuan dan pengenalan hakiki terhadap Zat Suci Tuhan baik dalam lingkup pengetahuan universal (pengetahuan rasional dan persoalan-persoalan argumentatif), tafakkur, penyaksian irfani, dan penyingkapan dengan mata batin adalah kesepakatan seluruh filosof dan urafa. Akan tetapi, mereka yang mengklaim berada di dalam maqam ini mengatakan bahwa seorang salik akan mencapai kesucian hati dan menerima manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan setelah mencapai ketakwaan sempurna, menyingkirkan segala keinginan hati kepada segala sesuatu di seluruh alam, menolak segala tingkatan-tingkatan spiritual, menyirnakan segala ego dan keakuan, perhatian sempurna dan penerimaan menyeluruh atas Tuhan, Nama-nama, Sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Zat Suci Tuhan, dan melakukan riyadhah hati. Dengan demikian, akan terkoyaklah hijab-hijab tebal antara hamba dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, kemudian dia akan fana dalam Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, lalu dia akan mencapai suatu kemulian, kesucian, dan keagungan. Puncaknya, dia akan menggapai kesempurnaan zat. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada lagi hijab dan penghalang antara jiwa suci para salik dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Dan kemungkinan sebagian dari Urafa telah mampu menyirnakan hijab cahaya, yakni hijab Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan, dan telah menerima manifestasi Zat Suci Tuhan serta menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci-Nya. Dalam penyaksiannya ini, dia menyaksikan dirinya berada dalam cakupan dan lingkupan hakiki Zat Tuhan serta fana dalam Zat-Nya. Lantas dia melihat dengan mata batinnya bahwa wujudnya dan seluruh makhluk adalah manifestasi-Nya. Dan apabila di antara Tuhan dan makhluk pertama-Nya -yang bersifat non marteri itu tidak terdapat hijab dan bahkan telah ditegaskan secara rasional bahwa di antara makhluk-makhluk non materi itu sendiri tidak terdapat hijab-, maka di antara Tuhan dan hati salik -yang keberluasan dan keberliputannya sederajat dengan mahluk non materi dan bahkan memiliki derajat yang paling tinggi- tidak terdapat hijab dan penghalang.[14]  Maqam spiritual ini disebut juga maqam fana manusia di dalam Zat Suci Tuhan. Akan tetapi fana di sini tidak bermakna hulul[15] atau menyatu dengan Zat Ilahi sebagaimana yang dianggap oleh sebagian kelompok Sufi. Melainkan fana yang dimaksud adalah sirnanya segala kondisi dan keadaan jiwa manusia yang bersifat ego, keakuan, dan ananiyyah. Menurut Ayatullah Tehrani, fana itu memiliki dua bentuk, “Pertama, dia berada dalam lingkup kehidupan alami dan jasmani, tetapi pada kondisi ini dia berhasil mencapai maqam fana, dan fana ini berada sebelum kematian. Sebagian orang-orang mukmin yang berhati ikhlas yang meniti jalan 87



menuju Tuhan telah berhasil menggapai maqam fana di dalam kehidupan dunia ini. Oleh karena itu, maqam fana bagi mereka ini seperti penjelmaan keadaan-keadaan berbeda. Kedua, fana bagi orang-orang yang tidak berada dalam ruang kehidupan materi dan dunia. Mereka telah melewati kehidupan barzakh dan kiamat, dan termasuk orang-orang yang ikhlas dan yang dekat dengan Tuhan serta tinggal dalam maqam fana pada Zat Suci Ilahi. Mereka meninggalkan badan mereka sendiri dan tidak lagi dalam keadaan berjasmani, begitu pula telah melewati kehidupan barzakh dan kiamat serta tidak lagi memiliki keinginan dan ego. Dengan demikian, mereka telah “masuk” dalam wilayah ketuhanan karena berhasil meninggalkan segala manisfestasi-manifestasi-Nya. Mereka tidak lagi berada dalam “bentuk-bentuk” ego kemanusiaan dan tidak terlingkupi dengan manifestasi suatu Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi tertentu” Manusia yang telah mencapi maqam fana dalam Tuhan (fana fillah) akan mempunyai suatu karakterisitk dan kekhususan -yang tidak perlu disampikan pada kesempatan ini-, akan tetapi kami mencukupkan untuk menutip dua hadis dalam persoalan ini supaya menjadi jelas tanda-tanda seseorang yang telah mencapai kedekatan dengan Tuhan. “Hamba-Ku tidak akan mencapai kedekatan kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih dicintai di sisi-Ku dari apa-apa yang diwajibkan atasnya dan sesungguhnya dia pasti dekat kepada-Ku dengan perbuatan nawafil (perbuatan-perbuatan yang sunnah dan mustahab) sedemikian sehingga Aku mencintainya, dan ketika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar dan Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat dan Aku menjadi lisannya yang dengannya dia berbicara serta Aku menjadi tangannya yang dengannya di mengambil, apabila dia berdoa kepada-Ku Aku akan mengabulkannya dan kalau dia meminta kepada-Ku Aku akan memberikannya.”[17] Berdasarkan hadis tersebut, manusia yang telah mencapai maqam kedekatan kepada Tuhan maka keinginan dan kehendaknya dengan izin Tuhan akan berlaku di alam ini seperti kehendak dan iradah Tuhan Yang Maha Tinggi. Penglihatannya menjadi penglihatan Tuhan, pendengarannya menjadi pendengaran Tuhan, dan tangannya menjadi tangan Tuhan. Yakni segala amal dan perbuatannya telah mendapatkan warna ketuhanan, dengan demikian, dengan izin Tuhan, dia dapat mengatur dan mengubah sesuatu di alam ini. Dengan ungkapan lain, karena dia memiliki kekuasaan penuh atas hukum-hukum alam (hukum takwiniyyah) maka dia adalah penguasa atas kekuatan-kekuatan alam. Lebih dari itu, doanya senantiasa terkabulkan, yakni apa saja yang diinginkan dari Tuhan niscaya Tuhan akan mengabulkan segala permintaan dan permohonannya. “Bagi Tuhan terdapat hambahamba yang taat terhadap apa-apa yang Dia inginkan, maka Tuhan pun mengikuti apa-apa yang mereka kehendaki sedemikian sehingga ketika mereka menyatakan: jadilah, maka jadilah sesuatu itu.”[18]   Alam Eksistensi Mengarah kepada Kesempunaan Dari pembahasan sebelumnya kita akan sampai pada kesimpulan berikut bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kembali pada manusia itu sendiri, dan bukan karena penciptaan alam dan eksistensi merupakan motivasi bagi Tuhan sehingga dengan kemunculan alam dan alam-alam Ia akan sampai pada tujuan-Nya. Melainkan karena keniscayaan dari kemuliaan tak terbatas Tuhan adalah penciptaan eksistensi dan alam eksistensi. Di sini kita akan membahas bahwa hikmah Ilahi meniscayakan eksistensi-eksistensi di alam penciptaan ini terutama yang bernama manusia akan melakukan perjalanan 88



ke arah kesempurnaan. Terdapat dua argumentasi yang bisa diutarakan untuk membuktikan bahasan ini, yaitu: 1.   Perangkat penciptaan akan mengarahkan segala eksistensi dan maujud-maujud ke arah puncak kesempurnaan (hidayah takwiniyyah) 2.   Pengangkatan dan pengutusan para Nabi (hidayah tasyri’iyyah) Dalam pengamatan terhadap maujud-maujud alam keberadaan -sekecil apapun pengamatan tersebut- akan menunjukkan bahwa seluruh mereka akan melangkah ke arah kesempurnaan. Biji-biji gandum atau biji buah-buahan yang tersembunyi di dalam tanah akan senantiasa melintasi tahapan-tahapan sehingga sampai pada kesempurnaan akhirnya yaitu menjadi tangkai-tangkai gandum atau buah-buah yang ranum. Demikian pula sebuah nutfah yang menggumpal di dalam rahim seorang ibu, sejak awal kemunculan akan bergerak ke arah tujuan akhirnya yaitu menjadi manusia dalam keadaan yang sempurna. Apabila kita perhatikan, secara umum setiap maujud-maujud alam penciptaan berada dalam keadaan bergerak dengan hidayah takwiniyyah ke arah kesempurnaan jenisnya masing-masing. Di sini kami akan mengisyarahkan pada beberapa poin: a. Untuk menganalisa bagaimana alam tabiat melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan, maka kita harus mengetahui makna dan mafhum dari kesempurnaan. ita harus pula melihat apa sebenarnya maksud dan tujuan filosofi Islam dari kesempurnaan.[19] Dari pandangan filsafat Islam, jika sesuatu dari potensi mencapai tahapan aktualisasinya, maka kita akan mengatakan bahwa sesuatu tersebut menemukan kesempurnaannya. Dan gerak substansi yang dikemukakan oleh Mula Sadra dengan definisi ini pun merupakan penjelas wujud kesempurnaan dalam sesuatu, karena pada gerak substansi dimana gerakan terjadi pada zat sesuatu, sesuatu tersebut dalam setiap tahapan dari tahapan-tahapan wujudnya akan mengubah potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya menjadi teraktual. Dan sesuatu tersebut pada tahapan barunya akan kehilangan kesempurnaan yang sebelumnya dia miliki dan akan memperoleh kesempurnaan lainnya. Para filosof dalam mendefinisikan gerak mengatakan, “Gerak adalah keluarnya sesuatu dari potensi secara bertahap kepada aktualisasi “ Berdasarkan definisi ini, setiap jenis gerak merupakan gerak yang mengarah pada kesempurnaan. Hal ini dikarenakan dalam setiap bentuk gerak, potensipotensi akan berubah menjadi aktual. Bebijian yang tersembunyi di kedalaman tanah dan tumbuh hingga menjadi sebatang pohon yang rimbun dengan buah, setiap saatnya berada dalam keadaan menyempurna. Sebuah apel yang awalnya berwarna kuning senantiasa akan melakukan gerak menyempurna ke arah warna merah, supayaa potensi warna merah yang sejak awal telah dimilikinya sampai pada pengaktualannya. Sel-sel yang berubah menjadi manusia, geraknya adalah gerak yang menyempurna, karena pada awalnya dia telah memiliki potensi untuk menjadi manusia, dan ketika telah berubah menjadi seorang manusia berarti potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya telah sampai pada tahapan aktual. Bahkan gerak di tempat pun merupakan sebuah gerakan yang menyempurna, karena benda yang bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, memiliki potensi ini yang kemudian telah berubah menjadi aktual. Demikian pula dengan gerak bumi yang merotasi atau gerakannya mengelilingi matahari, juga merupakan gerakan menyempurna, karena bumi pada awalnya telah memiliki potensi untuk melakukan gerak rotasi atau gerak mengelilingi bumi dan ketika gerakan ini terwujud, maka apa yang 89



ditampakkannya adalah potensi dan kemampuannya yang telah berubah mengaktual. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan menyempurna adalah perubahan mengaktualnya potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh sesuatu, baik hal ini akan menambahkan volume pada sesuatu ataupun tidak, sebagaimana yang persangkaan salah yang dikemukakan oleh sebagian yang mengatakan, jika sebuah sesuatu telah menemukan penyempurnaannya, maka pasti volumenya akan bertambah. Sekarang ketika dikatakan, kesempurnaannya bertambah, maka yang dimaksudkan disini bukanlah kebertambahan dalam dimensi sesuatu tersebut, melainkan sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, yang dimaksud dengan kesempurnaan di sini adalah mengaktualnya potensi-potensi dan kemampuan-kemampuan. b. Setiap maujud memiliki potensi dimana berdasarkan potensi tersebutlah ia akan menyempurna. Sebagai contoh, potensi yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan sama sekali tidak akan pernah dimiliki oleh in-organik. Dari sinilah sehingga kemudian dikatakan bahwa masing-masing akan menemukan pengaktualan sifat dan keberadaannya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, setiap maujud akan bergerak menyempurna berdasarkan sifat dan potensi yang dimilikinya.Oleh karena itu, kesempurnaan setiap maujud harus dilihat dari hubungan dan interaksi dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh maujud tersebut dan sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa satu bentuk kesempurnaan tertentu bisa diletakkan untuk seluruh maujud. c. Kesempurnaan merupakan persoalan yang nisbi. Yaitu suatu sifat mungkin saja bisa menjadi sebuah kesempurnaan bagi sesuatu, akan tetapi bagi sesuatu lainnya hal ini merupakan ketaksempurnaannya, misalnya rasa manis, untuk buah-buahan seperti apel dan buah pear merupakan sebuah kesempurnaan, akan tetap untuk jeruk nipis hal ini menjadi ketaksempurnaan baginya. d. Kondisi lingkungan dan faktor-faktor eksernal dzat kadangkala menjadi penghambat bagi mengaktualnya potensi-potensi internal yang dimiliki oleh maujud-maujud. Misalnya, air dan udara yang tidak layak dan ketiadaan perhatian terhadap tumbuh-tumbuhan akan menyebabkan terhambatnya perwujudan sifat-sifat keberwujudan tumbuhan. Biji-biji gandum yang tertanam di bawah tanah, jika tidak mendapatkan perawatan yang baik, maka ia akan menjadi layu dan musnah. Ringkasnya, di dalam diri setiap eksistensi senantiasa terdapat kekuatan potensi yang tersembunyi, dimana ia akan melewati tahapan-tahapan berdasarkan gerak substansinya. Setiap tahapan jika diperbandingkan dengan tahapan sebelumnya merupakan aktual dan jika diperbandingkan dengan tahapan setelahnya merupakan potensial. Setiap eksistensi setelah melewati seluruh lintasan kesempurnaan dan meninggalkan potensi-potensi dan aktual-aktual yang beragam, pada akhirnya akan sampai pada kesempurnaan dirinya. Sebagai contoh, buah-buahan seperti apel dan jeruk yang pada tahapan awalnya merupakan biji-bijian, ia akan meninggalkan tahapan-tahapan dan bergerak menyempurna dalam kediriannya yaitu sampai pada jenis buah-buahan yang memiliki rasa, bentuk dan khasiatkhasiat yang khas. e. Tujuan akhir penciptaan adalah manusia, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, setiap maujud alam penciptaan memiliki tujuan dan sasaran dimana sejak awal kemunculannya akan bergerak ke arah tujuan dan sasarannya tersebut. Bebijian tumbuhan yang berada di dalam kedalaman tanah 90



berada dalam geraknya sehingga setelah melintasi tahapan-tahapan akan sampai pada aktualisasinya dan misalnya berubah menjadi buah. Atau telur yang berada di bawah eraman seekor ayam akan melakukan persiapan untuk mengalami perubahan menjadi seekor anak ayam, sehingga setelah melewati tahapan ini pun dia akan berubah menjadi seekor ayam dan … Selain itu, masing-masing dari maujud dan eksistensi ini akan menjadi tujuan dari maujud-maujud lainnya, yaitu alasan terciptanya suatu maujud adalah supaya maujud lainnya bisa memanfaatkannya, misalnya tumbuh-tumbuhan telah tercipta supaya manusia dan binatang bisa memanfaatkannya, atau binatang-binatang tercipta supaya manusia bisa memanfaatkannya, dengan ibarat lain, begitu maujud-maujud ini mencapai aktualisasi akhir dari dirinya dan dipergunakan oleh manusia, maka dia telah sampai pada tujuan akhirnya. Allah Swt berfirman dalam ayat-ayat-Nya, “Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (Qs. Al-Baqarah [2]: 29) “Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, …” (Qs. Al-Baqarah [2]: 22) “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, …” (Qs. Hud [7]: 7) Dengan memperhatikan apa yang telah disebutkan, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kita memiliki kesempurnaan awal dan kesempurnaan akhir. Kesempurnaan maujud-maujud merupakan sebuah kesempurnaan awal untuk kesempurnaan manusia. Bahkan pada manusia sendiri terdapat pula kesempurnaan-kesempurnaan permulaan atau awal yang kesempurnaan itu bukan merupakan tujuan akhir, misalnya ilmu dan pengetahuan yang secara sendirinya merupakan sebuah bentuk kesempurnaan yang harus dipergunakan untuk mendukung kesempurnaan akhir manusia yang tak lain adalah kedekatan rububiyyah. Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan eksistensi-eksistensi di alam penciptaan merupakan kesempurnaan awal bagi kesempurnaan akhir yang tak lain adalah kedekatan rububiyyah. dengan rahmat-Mu, kau kuakkan fajar Ketiadaan luthfe- tuu nagufteye maa mii syunuud (Matsnawi, I, hlm. 602) kelembutan - Mu menjawab doa-doa diam kami Konon, bahkan belum ada ruang maupun waktu apa - pun. Zat - Nya sendiri. Ia - pun sedih karena kesendirian - Nya. Tapi karena Zat - Nya adalah Wujud Mutlak Tiada Berbatas. Benar- benar tak ada apa - pun selain Zat - Nya. Pembatas dari Zat - Nya adalah ketiadaan mutlak. Dan sungguh ketiadaan mutlak benar - benar tak punya bahkan potensi apa-pun untuk membatasi dalam arti apa-pun. 91



Maka Ia menyaksikan ke-Esa-an Wujud - Nya dengan Wujud - Nya sendiri. Dan bukankah Ia disebut sebagai Yaa Munfarid. Maka dengan Kelembutan - Nya, didengarlah potensi - potensi yang maha tersembunyi dalam palung - palung tergelap ketiadaan. Itulah doadoa diam kita yang masih merintih - rintih dalam ketiadaan. Dalam kegelapan. Siapakah yang merintih, siapakah yang berdoa, siapakah potensi potensi itu? Tiada lain adalah Nama - Nama dari diri - Nya sendiri yang merintih kesakitan, kerna ingin dikenali. Sebagian orang menyebutnya sebagai a’yaanuts-tsaabit (bakat-bakat yang tetap). Sebagian orang menyebutnya sebagai Idea. Sebagian orang menyebutnya sebagai archetype. Nama-Nama, a’yaanuts-tsaabit, idea, archetype, tidak mempunyai Wujud Mutlak. Maka, Ia dengan Wujud-Nya mengecup Nama-Nama Nya sendiri, kun fayakun. Jadilah, maka jadilah ia. Maka dikatakan dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itu Aku ciptakan makhluk-makhluk, agar aku dikenali di dalam makhlukmakhluk tersebut.”1 Maha Suci Zat-Nya dari semua apa yang kita sifatkan! Makhluk - nya tidaklah ‘ada’ melainkan hanya bak bayangan fatamorgana. Makhluk nya, - apakah ruang, waktu dan segala alam yang maujud-, hanyalah khayalan. Hanyalah Nama - Nama dari Zat yang Satu. Wahai Yang Maha Sendiri dalam Ke-Tunggalan-Nya, telah kaudengarkan doa-doa diam kami dalam ketiadaan dan kausentuh kami dalam ketiadaan dengan Wujud - Mu Yang Maha Cantik. Maka, kini ke-Cantik-an dan ke-Indah-an Wujud - Mu mengalir, dan dadaku dipenuhi airmata darah kerinduan atas Wujud - Mu. Wahai Yang Maha Ada, kaucicipkan manisnya Wujud-Mu pada ‘bayangan ketiadaan’ ini, maka apatah setrilyun lidahku yang tertekuk mampu mengungkap manisnya Syukurku, sedangkan Engkau sendirilah Yaa Syakuur. Maka ada - lah berjuta hikmah yang terlantunkan dari doa Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (k.w.), Allohumma yaa man dala’a lisaanash-shobaahi bi nuthqi tabaljih. Wa saro’a qitho’al-laililmuzhlimi bighoyaahibi talajlujih. Wa atqona sun’al falaqid dawwaari fiya maqoodiiri tabarrujih, wasya’sya’a dhiyaa`asy-syamsi binuuri ta`ajjujih. Yaa man dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi,..... (Doa AshShobah). Diumpamakan dalam doa ini betapa Ia memotong-motong kegelapan malam (baca ; ketiadaan), dan menggantinya dengan terangnya matahari (baca; Cahaya Wujud-Nya), membuat segala yang



1



Merujuk pada hadits qudsi yang terkenal, “Kuntu kanzan makhfiyyan ....”



92



ada Gemilang dalam Samudra Wujud-Nya, Samudra Ke-Tunggalan ZatNya. Subhanallooh, Yaa Allah , dengan Rahmat - Mu telah kaukuakkan fajar ketiadaan ke dalam Kegemilangan Kesempurnaan Zat-Mu Yang Esa. Kasihanilah tetesan airmata hambamu, - bayangan ketiadaan yang telah kaukasihani ini-, dan rahmatilah ia menuju menatap Wajah - Mu Yang Esa. Kasihanilah hambamu yang mahamiskin dan mahahina ini, - yang bahkan tak mempunyai wujudnya sendiri ini-, Duhai Pemilik Segenap Keindahan dan Kemuliaan. Dengan berkah Sholawat pada Muhammad dan keluarganya.



93