Kritik Cerpen Cerita Tanpa Cerita - Beran 1949 Karya Seno Gumira Ajidarma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kritik Cerpen Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949 Karya Seno Gumira Ajidarma



Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis cerita pendek, novel, dan kolom yang produktif. Ia juga dikenal sebagai jurnalis, fotografer, dan dosen. Cerpen-cerpen Seno mendokumentasikan kehidupan sehari-hari sekaligus mengkritisi kondisi sosial, budaya, dan politik kontemporer. Ia menulis tentang isu-isu sensitif, termasuk kekerasan militer di Timor Timur dalam cerpen Saksi Mata dan dalam novelnya tahun 1996, Jazz, Parfum dan Insiden (Jazz, Perfume and an Incident). Topik lain termasuk apa yang disebut “pembunuhan misterius” di Jawa Timur pada awal 1980-an, dan ketidakstabilan di Aceh. Beberapa penghargaan sastra pernah diraihnya antara lain South East Asia (SEA) Write Award (1997), Dinny O'Hearn Prize for Literary Translation for Eyewitness (1997), Penghargaan Sastra dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk kumpulan cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (Jangan Nyanyi di Kamar Mandi, 1997), Khatulistiwa Literary Award untuk novelnya Negeri Senja (Tanah Senja, 2004) dan Kitab Omong Kosong (The Book of Nonsense, 2005). Buku terbarunya adalah Transit (2018), kumpulan cerita pendek, dan Obrolan Sukab (Percakapan Sukab, 2018), kumpulan esai. Dia sedang mengerjakan Nagabumi, seri novel sejarah wuxia. Seno dikenal sebagai penulis yang meneriakkan keadilan, memperlihatkan kekerasan di masa-masa revolusi dan reformasi, serta isu-isu sosial-politik lainnya. Dalam cerpen berjudul Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949, Seno mengeksplorasi keadaan sosial ketika Agresi Militer Belanda II terjadi di Yogyakarta. Situasi dan kondisi yang tidak mendukung karena serangan yang dilakukan oleh Belanda dilakukan secara mendadak, sehingga tentara Indonesia dalam melakukan gerak mundur tidak bisa serentak dan arahnya pun tidak teratur. Sebagai akibatnya, hubungan antara pemimpin dengan pasukannya terputus dan mereka kehilangan kesatuannya. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka terpaksa menentukan pangkalan sendiri. Seperti halnya Tentara Pelajar yang bergabung dalam Brigade 17, menurut rencana seharusnya mereka mundur di daerah Kenteng dan sekitarnya, tetapi karena situasi, mereka menempati Desa Karang Beran, Margoluwih, Seyegan, Sleman sebagai markasnya. Dalam peristiwa penuh hujan peluru, tokoh Ibu digambarkan sebagai seorang perawat yang dikirim oleh Palang Merah Indonesia (PMI) untuk menyembuhkan para pasukan



perang. Namun, yang terjadi tokoh Ibu menjadi tawanan Belanda karena mengobati pasukan Indonesia. tokoh Ibu harus mengalami penahanan selama beberapa waktu. Melalui adegan yang diciptakan ini, penulis yang pernah bekerja sebagai jurnalis sedang mempertanyakan kejadian sesungguhnya yang ada di Beran. Meskipun penulis tidak secara gamblang menyebut bahwa peristiwa di Beran meninggalkan tanda tanya, dalam uraian di cerpen Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949 seolah tengah menyalakan apinya untuk menyulut keterbukaan terhadap peristiwa di Beran. Namun, cerpen ini sarat akan perjuangan masyarakat Indonesia pada tahun 1949 terkait Agresi Militer Belanda II dan penceritaan sekilas terkait kondisi 1998 yang membuat tokoh Ibu teringat dengan kejadian saat ditawan oleh Belanda. Penceritaan dalam cerpen Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949 menggunakan alur campuran. Lebih detailnya, alur mundur digunakan oleh penulis untuk memaparkan kilas balik dari kisah tokoh anak tentang ibunya. Lalu, alur maju digunakan oleh penulis untuk menggambarkan keadaan tokoh anak setelah kepergian kedua orang tuanya yang masih memiliki rahasia sampai akhir hayat. Latar waktu dari cerpen tersebut ditandai melalui subjudul cerpen yang ditulis oleh Seno. “Beran, 1949” “Yogyakarta, 1967” “Yogyakarta, 1998” “Jakarta, 2022” Pada kutipan tersebut jelas penulis sangat gamblang dalam menujukkan latar waktunya. Hal itu sangat membantu pembaca karena tidak membingungkan ketika penulis bercerita secara acak dalam menggambarkan suasana di setiap tahunnya. Cerpen Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949 menampilkan beberapa latar tempat. “Ibunya dibawa ke sebuah pos polisi di Beran, di luar Kota Yogyakarta, dimasukkan ke dalam sel tahanan. Sudah ada perempuan lain di dalam sel itu.” “Kami, sekawan anak-anak yang selalu mengembara ke sana dan ke mari dari ngebongan sampai Selokan Mataram, pernah berada di lubang angin itu, dan harus berjongkok jika bercakap-cakap dengannya.”



“Di dalam sel, setiap saat, kami hanya menangis dan menangis.” Dapat diketahui melalui kutipan cerpen Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949 bahwa latar tempat yang digunakan didominasi di daerah Kota Yogyakarta. Hal itu selaras dengan judul cerpen yang menyebutkan salah satu desa yang ada di sana. Dalam cerpen Cerita Tanpa Cerita : Beran 1949, penulis menggunakan sudut pandang ketiga terbatas. Hal itu karena dalam cerpen tersebut, penulis tidak menunjukkan mahatahunya. Justru penulis melemparkan sebuah rasa penasaran bagi pembaca terkait kejadian yang dialami oleh ibu. “Dibanding cerita ayahnya, cerita ibunya terlalu sedikit, seperti baru memulai, tetapi membentuk alur cerita. Namun, cerita ayahnya itu pun sangat pendek. Apabila digabungkan hanyalah kilas adegan sebuah cerita.” “Meski juga tidka terlalu jelas baginya, bagaimana cara ibunya dibebaskan. Namun ia mengingat ibunya menyebut Klitren, nama suatu jalan di kota tempatnya dilepas, kembali bertangis-tangisan dengan teman perempuannya yang satu sel, sebelum akhirnya berpisah.” Sudut pandang yang terbatas ini membuat pembaca merasakan bahwa cerita ini tampak menggantung karena meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga, tokoh anak dibuat seolah tidak mengetahui apapun tentang peristiwa yang terjadi. Begitu pula dengan penggambaran cerita di dalam sel yang tidak dijelaskan kejadiannya atau tindakantindakan serdadu Belanda terhadap para tahanan di sel. Pembaca hanya dapat berspekulasi terkait peristiwa di Beran.