Kritik Cerpen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KRITIK CERPEN Cerpen “PIANO” Cerpen piano berkisah tentang seorang wanita muda kemala yang baru kembali dari tanah kelahirannya di Magelang. Setelah 10 tahun tinggal di negeri Belanda bersama tantenya. Dia bertutur mulai dari masa kanakkanaknya dia hanya tinggal bersama kakek, nenek, ddan ibunya. Ini disebabkan karena ayah biologisnya sudah meninggalkan ibunya disaat mengandung Kemal. Hubungan Kemala dengan ibunya dari awal tidak pernah dekat, karena ibunya adalah seorang penyanyi keliling yang sering meninggalkannya berminggu-minggu. Hubungan ini semakin memburuk karena si ibu berdekatan dengan seorang pria pemain piano, yang disebutnya dengan om Koko. Om Koko yang penuh kemesraan mengajarkan ibunya belajar memainkan piano, membuat Kemala semakin benci dengan ibunya. Ini disebabkan karena dirinya tidak mungkin berlajar memainkan tuts piano karena cacat tubuh yang disandangnya. Yaitu kedua lengannya hanya sebatas siku dan diujung siku itu hanya ada dua jari yang tidak sempurna bentuknya. Dan kecatatan itu menurut neneknya disebabkan karena ibunya berusaha menggugurkan kandungannya. Singkat cerita Kemala yang saat itu berusia 12 tahun membubuhkan cairan Eserine dalam minuman ibunya. Cairan serine ini adalah cairan obat mata yang dipakai oleh kakenya yang menderita penyakit mata glaucoma. Akibat meminum sirup lemon dicampur eserin itu ibunya tewas. Kemala yang bertutur bahwa ide meracun ibunya ia dapat dari membaca novel yang diberi ibunya yang berjudul “ Buku Catatan Josephine”. Tidak ada yang mengetahui kematian ibunya kecuali sang nenek yang kemudaian mengirim Kemala ke Belanda untuk menyelamatkannya. Dari alur cerita dan permainan kata-katamemang penulis cerpen ini Veronica A mempunyai kekuatan, tetapi sayang kelenturan berkisah ini terganjal oleh beberapa hal yang tidak dapt dinalar. Misalnya saja dikidahkan anak berumur 10 tahun dia sedang asik membaca buku berjudul “Buku Catatan Joshepine” yang belakangan disebutnya sebagai pengillham untuk membunuh ibunya. Setelah saya cari referensinya ternyata buku yang dimaksud adalah Agatha Christie berjudul “crooked House” dan memang disitu ada tokoh gadis kecil yang bernama Josephine.



Josephine dalam novel ini ternyata adalah pembunuh kakeknya sendiri, karena sang kakek tidak mau memberikan uangnya untuk les ballet Joshepine. Namun cara membunuh yang dilakukan Josephine sangat berbeda jauh dengan yang dilakukan Kemala, meskipun sama-sama mengunakan obat tetes mata (serine). Sang kakek sudah tua renta memang pederita diabetes dan setiap hari harus disuntik insulin untuk mempertahankan hidupnya. Suatu ketika Josephine mengganti cairan insulin dengan cairan serine dan setelah disuntikan kepada kakeknya langsung kejang dan meninggal. Disinilah saya ‘menggugat’ sedikit kelogisan dari cerpen piano ini. Obat tetes mata bila dimasukkan pada minuman sirup lemon, beberapapun dosisnya tidak mungkin menyebabkan kematian pada seseorang. Hal ini tentu berbeda dengan Agatha dimana obat tetes tersebut disuntikan. Hal ini juga mengusik saya adalah penyebutan nama novel ini yang disebut “Buku Catatan Josephine” padahal nama sesungguhnya adalah “Crooked House”, hal mana yang membuat saya meragukan apakah anak 10 tahun sudah’sanggup’ membaca novel misteri untuk dewasa. Tapi okelah itu soal kecil saja. Yang lebih mengusik saya adalah penuturan dari Kemala dalam cerpen ini yang berkata bahwa dia mengalami lengan pendek dengan dua jari saja, karena ibunya berusaha menggugurkan kandungannya. Dari refrensi yang pernah say abaca kelainan seperti ini disebut dengan Phocomelia ini sebagian besar disebabkan oleh kelainan genetic. Namun tidak pernah terjadi terjadi pada bayi yang diakrenakan ibunya meminum jamu penggugur kandungan misalnya. Ya ini kritik yang mengunakan pendekatan logika yang mungkin bias menjadi bahan renungan. Karena menurut saya sebuah cerita pendek pun harus bias memberikan sebuah pencerahan bukan saja untuk hati nurani tetapi juga akal budi.



PIANO Sejak aku lahir, kakeklah figure ayah bagiku. Meski beliau tua dan rapuh lebih banyak tergolek dibalai daripada membawaku pergi ke taman bermain. Sesekali, beliau duduk di kursi goyang, sambil menyipitkan kedua matanya, berrusaha memperhatikanku yang sedang disuapi oleh nenek. Penglihatan kakek memang terganggu. Tak lama sejak didiagnosa dokter menderita diabetes, beliau menderita glaucoma. Malam-malam, jika sedang kambuh, kakek akan terus mengerang dan akan mengeluhkan matanyayang sakit. Selang beberapa menit kemudain, beliau muntah-muntah dan tergolek lemah dibalai-balai yang dilapisi matras. Ketika nada erangan kakek mulai meninggi, aku hafal betul, nenek pasti memangil dan memintaku untuk mengambilkan obat tetes mata bertuliskan Eserine dilemari tengah. Seusai menyelesaikan tugas kecil itu, aku kembali bergelung diranjang. Dari balik korden kamar yang using, aku selalu terharu memandangi nenek yang setia merawat kakek hingga fajar kemudian menjelang. *** Ibuku, kutahu? Dia sangat cantik. Suaranya merdu. Rambutnya yang sepunggung, hitam legam bak bulu gagak. Setiap wanita akan iri saat memandang wajahnya yang jelita. Setiap lelaki akan jatuh cinta melihat lekuk tubuhnya yang molek. Namun, menurutku, ia tak lebih dari seorang wanita tolol. Kecantikan dan suaranya yang mendayu, hanya bias mengantarkannya jadi biduanita kelas teri. Bersama grup music keliling d desanya. Ia menyanyi dari desa ke desa. Kata nenek, ketika masih belia, banyak pemuda bersahaja dating melamarnya. Namun, ia justru jatuh cinta pada seorang lelaki tidak beridentitas. Pecintaan ibu dengan lelaki itu membuahkanku. Tanpa nama ayah disurat kelahiraku, akupun menghirup udara dunia yang tak seramah rahim ibu. Ketika aku berumur 4 tahun, reputasi ibu sebagaibiduan naik daun. Ia tak lagi menyanyi di panggung keliling, melainkan menjadi penyanyi tetap



disebuah bar di Yogyakarta. Awalnya, ibu pulang seminggu sekali, dengan membawa banyak hadiah untukku. Lama-lama ibu pulang sebulan sekali, dan akhirnya aku tak lagi bias menghitung berapa lama ibuku pergi. “aku tak mau boneka lagi! Aku mau ibu disini!” aku ingat, usiaku 5 tahun saat aku menagis menjerit-jerit, menyaksikan ibu beranjak pergi dari pintu ruamh untuk kesekian kali. “Ibu pergi agar kau bias sekolah saat kau besar nanti,” bujuknya lembut. “aku tidak mau sekolah. Aku hanya mau ibu!” teriakkanku makin melengking.



*** “Mbak, belok ke kanan atau ke kiri ?” suara supir taksi membuyarkan lamunanku. “Kekiri, pak! Nanti sebelah kiri, ada gapura warna hitam, masuk kirakira dua ratus meter,” jawabku dengan suara berat. Taksi yang kutumpangi dari bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, semakin mendekati rumah nenek yang terlihat mulai lapuk dan mengelupas catnya dimana-mana. Rumah itu kini hanyadihuni oleh nenek seorang. Kakeku sudah meninggal jauh sebelum aku meninggalkan rumah. Beberapa bulan kemudian, ibuku pun meniggal. Saat itu aku baru dua belas tahun. Sanak saudara berdatangan untuk berbela sungkawa. Termasuk adik nenek yang menikah denganseorang prajurit Belanda dan tinggal di Groningen, belanda. Tepat tujuh hari setelah ibuku meninggal, aku ikut adik nenk untuk bersekolah dan tinggal di negeri kincir angin tersebut. *** Keesokaan painya aku mengunjungi rumah om Kus. Sewaktu kecil dulu, aku lebih suka memangilnya dengan sebutan Om Koko. Jika kebetulan ia menjadi wali yang mengambilkan raporku disekolah, dengan bangga aku akanmemperkenalkannya kepada teman-temanku sambil menyebutnya dengan nama lengkapnya yang thanya terdiri dari satu suku kata, yaitu Kuswidiatmoko.



Kata para tetangga, Om Koko adalah kekasih ibu. Mereka saling jatuh cinta karena Om Koko selalu mengiringi ibu menyanyi di panggung dengan piano klasiknya. Meski aku menyayangi lelaki itu, tapi aku tidak berharap kelak ia akan mejadi ayah tiriku. Pondok Om Koko sangat teduh. Dikelilingi oleh pagar kayu yang dililit oleh bunga alamanda. Sayup-sayup kudengar suara tuts piano beradu dengan pedal. Permainan itu amat akrab ditelingaku. Meski terlambat mendengarkan untaian nada-nada itu, tetapi aku hafal judulnya diluar kepala. Tristesse, gubahan Frederic Chopin, composer favorit Om Koko. *** Sepuluh tahun lalu. Suatu hari, dari balik jendela pondok Om Koko, kulihat ibuku yang cantik jelita duduk disamping piano. Ibu dengan sepassang tangannya yang kuning langsat, lengkap dengan sepuluh jemari lentiknya, memainkan tuts-tuts piano. Dengan senag Om Koko memberikannya tepuk tangan untuk ibuku. Aku tidak menyukai pemandangan mesra itu! Aku benci karena ibu bias belajar bermain piano bersama om Koko, sedangkan aku tidak. Kebencian itu semakin tak terkendali tatkala kupandangi kedua tanganku yang hanya sebatas siku orang normal, lengkap denga tonjolan dua daging yang mirip dengan kastengels disbanding denga ibu jari dan kelingking. Aku tidak bias belajar bermain piano, itu salah ibu! Aku bias berkata begitu karena kerap mendenga para tetangga bergunjing. Kata mereka aku cacat akibat ibu pernah berusaha keras menggugurkan kandungannya. Tapi, kini aku cukup puas karena takdir berkata lain. Aku tidak mati di tangan ibu, melainkan sebaliknya. Mungkin hanya nenek satu-satunya orang yang menyadari, kalu ibuku meninggal seetelah minum sirup lemon yang kubawakan untuknya. Sirup lemon yang sudah kucampuri dengan Eserine, sisa obat buat glaucoma kakek yang tertinggal dilemari. Untuk itulah, nenek mengirimku jauh ke Belanda, agar tak ada yang bias menyalahkanku atas kematian ibu. Mungkinaku harus berterima kasih pada Josephine, tokoh berusia 12 tahun yang ada di dalam novel yang kubaca. Atau sebetulnya, ibulah yang menyebabkan kematiannya sendiri, karena dialah yang menghadiahiku novel itu. Jadi, bukan salahku kalau aku meniru cara Josephine yang meracuni



kaeknya, dengan obat tetes mata yang namanya sama dengan obat mata kakek. Sayang sekali, ibu memang tidak pernah menyadari telah melahirkan anak cacat yang cerdas, sehingga akupun berhasil meracuninya dengan obat tetes mata itu. Dan dengan begitu, aku bias memiliki Om Koko untuk selamalamanya tanpa ada ibu sebagai penganggu.