Lamp V Baku Mutu Tanah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

149 LAMPIRAN V TENTANG NOMOR TANGGAL



: PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN : BAKU MUTU DAN KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP : 69 TAHUN 2010 : 15 NOVEMBER 2010



A. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN a. Kerusakan Tanah Mineral yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Sifat Fisik Tanah No. PARAMETER 1.



Struktur tanah



  



2.



Porositas (%)



    



3.



Bobot isi (g/cm3)







4.



Kadar air tersedia (%)



 



5.



6.



7.



Potensi mengembang dan mengkerut Penetrasi tanah (kg/cm2)



Konsistensi tanah



       



KERUSAKAN YANG TERJADI Terjadi kerusakan struktur tanah Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang Meningkatnya laju erosi tanah Terjadi penurunan porositas Menurunnya infiltrasi Meningkatnya aliran permukaan Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Terjadi pemadatan Akar tanaman tidak berkembang Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Terjadi penurunan kaaar air Kapasitas tanah menahan air berkurang Tanaman kekurangan air Tanah kehilangan sifat mengembang mengkerutnya Laju erosi meningkat Penetrasi tanah meningkat Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang Tanah kehilangan sifat piastisnya Laju erosi meningkat



METODE PENGUKURAN Pengamatan langsung (visual)



Perhitungan dari bcbot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum



Ring sample – gravimetri Pressure plate – gravirnetri



COLE



Penetrometer



Piridan tangan



150 b. Kerusakan Tanah Gambut Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Sifat Fisik Tanah No. PARAMETER 1. Porositas (%)



   



2. Bobot (gr/cm3)



isi   



3. Kadar air tersedia (%)



 



 4. Penetrasi tanah  (kg/cnr)   5. Subsidence



  



KERUSAKAN YANG TERJADI Terjadi penurunan porositas Menurunnya infiltrasi Meningkatnya aliran permukaan Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Terjadi pemadatan Akar tanaman kurang berkembang Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Terjadi penurunan kadar air Kapasitas tanah menahan air berkurang Tanaman kekurangan air Penetrasi tanah meningkat Infiltrasi air turun Akar tanaman tidak berkembang Terjadi penurunan permukaan tanah gambut Kedalaman efektif tanah menurun Umur pakai lahan turun



Sifat Kimia Tanah 1. C-organik (%)  Kadar C-organik turun  Kesuburan tanah turun 2. N total (%)



 Kadar N total turun  Kesuburan tanah turun



a. Amonium (ppm)



 Kadar Amonium turun  Kesuburan tanah turun



b. Nitrat (ppm)



 Kadar Nitrat naik  Meracuni air tanah



 Kadar P-tersedia naik  Keseimbangan unsur hara terganggu 4. pH  pH naik atau turun  Keseimbangan unsur hara terganggu 5. Daya Hantai  Daya hantar listrik naik Listrik (S/cm)  Pertumbuhan akar tanaman terganggu  Kadar garam naik 3. P (ppm)



METODE PENGUKURAN Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum



Ring sample - gravimetri



Pressure gravimetri



plate



-



Penetrometer



Patok subsidence lapang



di



Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analisis Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator Spectrofotometer atau autoanalisator pH-meter



Konduktometer



151



Sifat Biologi Tanah No. PARAMETE KERUSAKAN YANG R TERJADI 1 Carbon  Carbon mikroorganisme turun mikroorganism  Banyak mikroorganisme mati e  Reaksi biokimia tanah terganggu 2 Respirasi  Respirasi turun  Reaksi kimia tanah terganggu  Keragaman mikroorganisme tanah berkurang



c.



3



Metabolic quotien (qCOJ



4



Total mikro organisme (SPlOg)



5



Total Fungi (SPK/g)



METODE PENGUKURAN CFE-TOC atau CFEWalkley and Biack (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987) Metode S topics seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981



 Metabolic quotien naik  Mikroorganisme tanah strecs  Keragaman mikroorganisme berkurang  Total mikroorganisme turun  Keragaman mikroorganisme berkurang



Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme



 Total fungi turun  Keseimbangan populasi mikroorganisme terganggu



Plate counting



Plate counting



Kerusakan Flora yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan No. 1



2



PARAMETE KERUSAKAN YANG R TERJADI Keragaman  Terjadi perubahan keragaman spesies  Terjadi pengurangan dan penambahan varietas  Terjadi kepunahan spesies  Terjadi ketidakseimbangan ekosistem Populasi  Terjadi perubahan kepadatan  Terjadi perubahan populasi  Terjadi ketidakseimbangan ekosistem



METODE PENGUKURAN Sampling



Sampling



152 d. Kerusakan Fauna Yang Berkaitan dengan Kebakaran Hautan dan/atau Lahan No. 1



2



PARAMETE KERUSAKAN YANG R TERJADI Keragaman  Terjadi perubahan keragaman spesies  Terjadi perubahan perilaku  Terjadi pengurangan dan penambahan varietas  Terjadi kepunahan spesies  Terjadi ketidakseimbangan ekosistem Populasi  Terjadi perubahan kepadatan Terjadi perubahan perilaku  Terjadi perubahan populasi  Terjadi ketidakseimbangan ekosistem



METODE PENGUKURAN Sampling



Sampling



153



B. KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI DATARAN PERUNTUKAN ASPEK / SIFAT FISIK DAN HAYATI LINGKUNGAN 1. TOPOGRAFI Lubang galian a. Kedalaman



PEMUKIMAN DAN DAERAH INDUSTRI



TANAMAN TAHUNAN



Lebih dalam 1 m di atas muka air tanah pada musim hujan



8%



> 1 meter >8%



> 1 meter >3%



> 1 meter >8%



Tinggi > 3 meter Lebar < 6 meter



Tinggi > 3 meter Lebar < 6 meter



Tinggi > 3 meter Lebar < 6 meter



tinggi > 3 meter lebar < 6 meter



< 25 cm



< 50 cm



< 25 cm



< 25 cm



-



-



-



3.2. Tutupan tanaman tahunan



< 20% tanaman tumbuh di seluruh lahan tambang. -



-



-



3.3. Tutupan tanaman lahan basah



-



< 50% tanaman tumbuh di seluruh lahan penambangan. -



-



3.4. Tutupan tanaman lahan kering/ rumput



-



-



< 50% tanaman tumbuh diseluruh lahan tambang -



Melebihi muka air tanah pada musim hujan



60º disarankan untuk selalu memasang penyangga). 5. Kayu penyangga yang digunakan disarankan kayu kelas 1 (kayu jati, rasamala, dll). Ukuran diameter/garistengah kayu penyangga yang digunakan disarankan tidak kurang dari 7 cm. Jarak antar penyangga disarankan tidak lebih dari 0.75 x diameter bukaan (tergantung kelas kayu penyangga yang digunakan dan kekuatan batuan yang disangga). Gambar Bentuk Sistem Penyangga Pada Tambang Bawah Tanah



Ket : (ukuran disesuaikan dengan lubang bukaan yang dibuat) a. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk mendatar/horizontal-tampak depan. b. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk mendatar/horizontal-tampak samping. c. Contoh bentuk penyangga kayu untuk lubang masuk tegak/vertikal 6. Sirkulasi udara harus terjamin sehingga dapat menjamin kebutuhan minimal 2 m3/menit, bila diperlukan dapat digunakan kompresor dengan penghantar berupa selang/pipa plastik. 7. Disekitar lubang masuk dibuat paritan untuk mencegah air masuk, dan paritan diarahkan menuju ke kolam pengendap dengan pengendapan dilakukan bertahap.



165 Gambar Skema Lokasi Lubang Masuk Tambang



Aktivitas penambangan cebakan emas primer skala kecil dengan menggunakan metode gophering seperti Gambar berikut. Gambar Aktivitas Penambangan Metode Gophering



b. Cebakan Sekunder Cebakan emas sekunder atau yang lebih dikenal sebagai endapan emas aluvial merupakan emas yang diendapkan bersama dengan material sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau gelombang laut. Karakteristik dari endapan emas aluvial akan menentukan system dan peralatan dalam melakukan kegiatan penambangan. Secara umum penambangan emas aluvial dilakukan berdasarkan atas prinsip: a. Butir emas sudah terlepas sehingga bijih hasil galian langsung mengalami proses pengolahan. b. Berdasarkan lokasi keterdapatan, pada umumnya kegiatan penambangan dilakukan pada lingkungan kerja berair seperti sungai-sungai dan rawa-rawa, sehingga dengan sendirinya akan memanfaatkan air yang ada di tempat sekitarnya.



166 Dengan memperhatikan karakteristik endapan emas tersebut, metode penambangan yang umum diterapkan adalah dengan metode tambang terbuka dengan menggunakan peralatan berupa: 1. Tambang semprot (hydraulicking) 2. Pendulangan (panning) Gambar Pelaksanaan Tambang Semprot dan Pendulangan



Pada tambang semprot digunakan alat semprot (monitor) dan pompa untuk memberaikan batuan dan selanjutnya lumpur hasil semprotan dialirkan atau dipompa ke instalasi pencucian. Cara ini banyak dilakukan pada pertambangan skala kecil termasuk tambang rakyat dimana tersedia sumber air yang cukup, umumnya berlokasi di atau dekat sungai. Beberapa syarat yang menjadikan endapan emas aluvial dapat ditambang menggunakan metode tambang semprot antara lain: a. Kondisi/jenis material memungkinkan terberaikan oleh semprotan air, b. Ketersediaan air yang cukup, c. Ketersediaan ruang untuk penempatan hasil cucian atau pemisahan bijih. Penambangan dengan cara pendulangan banyak dilakukan oleh pertambangan rakyat di sungai atau dekat sungai. Cara ini banyak dilakukan oleh penambang perorangan dengan menggunakan nampan pendulangan untuk memisahkan konsentrat atau butir emas dari mineral pengotornya.



167 3. PENGOLAHAN Pengolahan bijih emas dilakukan dengan tujuan memisahkan bijih emas dari mineral/batuan yang tidak berharga. Secara umum, emas di alam terdapat dalam bentuk terikat dalam batuan induknya maupun berupa emas native dalam berbagai ukuran. Pada kasus emas yang terikat dalam batuan induk, cara pengolahan yang dilakukan meliputi proses : a. Kominusi Kominusi merupakan kegiatan pengecilan ukuran bijih yang mengandung emas dengan tujuan untuk membebaskan (meliberasi) mineral emas dari mineralmineral lain yang terkandung dalam batuan induk. Liberasi bijih ini menjadi sangat penting antara lain karena : 1. Dapat mengurangi kehilangan emas yang masih terperangkap dalam batuan induk. 2. Dapat dilakukan kegiatan konsentrasi bijih tanpa kehilangan emas berlebihan. 3. Dapat meningkatkan kemampuan ekstraksi emas, baik dengan amalgamasi maupun sianidasi. Perbedaan kondisi bijih dengan derajat liberasi baik dan jelek ditunjukkan pada Gambar berikut. Gambar Ilustrasi Mengenai Derajat Liberasi



Proses kominusi ini terutama diperlukan pada pengolahan bijih emas primer, sedangkan pada bijih emas sekunder bijih emas merupakan emas yang terbebaskan dari batuan induk yang kemudian terendapkan. Derajat liberasi yang diperlukan dari masing-masing bijih untuk mendapatkan perolehan emas yang tinggi pada proses ekstraksinya berbeda-beda bergantung pada ukuran mineral emas dan kondisi keterikatannya pada batuan induk. Proses kominusi ini bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan-peralatan mekanis seperti jaw crusher, cone crusher, stamp mill, hammer mill, ball mill dan lain-lain maupun dengan menggunakan peralatan manual seperti palu.



168 Gambar Beberapa Contoh Metode Kominusi



Proses kominusi ini dilakukan bertahap bergantung pada ukuran bijih yang akan diolah. Pada tabel berikut menunjukkan tahapan proses kominusi dengan diameter umpan dan diameter produknya. Tabel Ukuran Umpan dan Produk Pada Proses Kominusi



169 b. Konsentrasi Setelah ukuran bijih diperkecil, proses selanjutnya dilakukan proses konsentrasi dengan memisahkan mineral emas dari mineral pengotornya. Pada endapan emas aluvial, bijih hasil penggalian langsung memasuki tahap ini tanpa tahap kominusi terlebih dahulu. Prinsip konsentrasi/separasi sederhana yang digunakan dengan metode gravitasi. Metode ini memanfaatkan perbedaan massa jenis emas (19.5 ton/m3) dengan massa jenis mineral lain dalam batuan (yang umumnya berkisar 2.8 ton/m3). Metode gravitasi akan efektif bila dilakukan pada material dengan diameter yang sama/seragam, karena pada perbedaan diameter yang besar perilaku material ringan (massa jenis kecil) akan sama dengan material berat (massa jenis besar) dengan diameter kecil. Oleh karena itu proses pengecilan ukuran (kominusi) menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan baik. Peralatan konsentrasi yang menggunakan prinsip gravitasi yang umum digunakan pada pertambangan emas skala kecil antara lain adalah dulang, palong (sluice box), spiral konsentrator, meja goyang (shaking table) dan jig seperti pada Gambar berikut. Gambar Pengolahan Limbah Sederhana Proses Amalgamasi



Palong/sluice box lebih banyak digunakan karena mempunyai effisiensi yang sama dengan peralatan konsentrasi yang lain namun mempunyai konstruksi yang lebih sedarhana daripada spiral konsentrator, meja goyang dan jig, serta dapat memproses lebih banyak bijih per hari daripada dulang. Hasil dari proses ini berupa konsentrat yang mengandung bijih emas dengan kandungan yang besar, dan lumpur pencucian yang terdiri atas mineral-mineral pengotor pada bijih emas. Konsentrat emas selanjutnya diolah dengan proses ekstraksi.



170 Sistem Pengolahan yang baik Prinsip umum pengolahan bijih emas seperti terlihat pada gambar berikut. Gambar Perbandingan Proses pengolahan bijih emas yang baik dan tidak baik



Konsentrasi yang baik a. Tidak dibenarkan menggunakan merkuri dan sianida dalam proses ini. b. Dilarang menggunakan pelat amalgamasi dari tembaga. c. Konsentrat diperoleh dengan melakukan pencucian karpet yang sebaiknya dilakukan secara bertahap pada bak khusus. d. Tidak menggunakan merkuri untuk mencuci karpet.



171 c. Ekstraksi (Amalgamasi dan Sianidasi) 1. Ekstraksi yang baik: a. Lokasi ekstraksi bijih harus terpisah dari lokasi kegiatan penambangan. b. Dilakukan pada lokasi khusus baik untuk amalgamasi ataupun sianidasi untuk meminimalkan penyebab pencemar bahan berbahaya akibat peresapan kedalam tanah, terbawa aliran air permukaan maupun gas yang terbawa oleh angin. c. Dilengkapi dengan kolam pengendap yang berfungsi baik untuk mengolah seluruh tailing hasil pengolahan sebelumdialirkan ke perairan bebas. Gambar Konstruksi Kolam Pengendap



d. Lokasi pengolahan bijih dan kolam pengendap diusahakan tidak berada pada daerah banjir. Sebagai panduan, perhitungan sederhana kebutuhan kolam pengendapan di lokasi pengolahan sebagai berikut: Luas kolam pengendap I (m2) = 20 x volume tailing yang dihasilkan setiap proses (m3). Asumsi : 1. Kedalaman kolam = 2 m 2. Ukuran luas kolam pengendap II dapat lebih kecil dari kolam II (minimal 0.5 x luas kolam I). Perkiraan Interval waktu pengerukan terutama untuk kolam pertama (hari) = (volume kolam pengendap I)/[volume tailing/hari (m3/hari)] Catatan: : Kedalaman air pada titik keluaran minimal 0.5 m, kurang dari nilai tersebut kolam pengendap harus dikosongkan untuk menjaga kinerja pengendapan kolam tersebut.



172



Contoh Perhitungan : Volume tailing per proses : 1.6 m3 Waktu proses : 8 - 12 jam Luas kolam pengendap : 32 m2 Kedalaman kolam pengendap :2m Kapasitas kolam pengendap : 48 m3 Perkiraan waktu pengurasan kolam pengendap, (asumsi waktu operasi : 30 proses 8 jam/proses dan 2 x proses per hari) : 15 hari e. Gunakan merkuri dan sianida secukupnya. f. Bahan kimia ditempatkan pada ruangan tersendiri. g. Menggunakan perlengkapan yang mendukung keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Ekstraksi terdiri atas : a. Amalgamasi Amalgamasi merupakan proses ekstraksi emas dengan cara mencampur bijih emas dengan merkuri (Hg). Produk yang terbentuk adalah ikatan antara emas-perak dan merkuri yang dikenal sebagai amalgam. Merkuri akan membentuk amalgam dengan semua logam kecuali besi dan platina. Amalgamasi akan efektif pada emas yang terliberasi sepenuhnya maupun sebagian pada ukuran partikel yang lebih besar dari 200 mesh (0.074 mm). Tiga bentuk utama dari amalgam adalah AuHg2, Au2Hg and Au3Hg. 1) Metode pembentukan amalgam secara umum ada 2, yaitu : a) Seluruh bijih di amalgamasi pada proses menerus: merkuri dicampur dengan seluruh bijih dalam kotak pompa, dituangkan ke dalam sluice box selama proses konsentrasi, ditambahkan dalam system penggerusan (ball mill) atau seluruh bijih di amalgamasi dalam papan tembaga. b) Amalgamasi pada konsentrasi gravitasi hanya pada proses tidak menerus: merkuri dicampur dengan konsentrat dalam pengaduk, dulang maupun drum sehingga diperlukan pemisahan amalgam dari mineral berat. Proses penggerusan dan amalgamasi dengan ball mill berlangsung selama 8 hingga 12 jam. Sedangkan pada proses manual dengan dulang berkisar antara 15-30 menit. Hasil dari proses ini berupa amalgam basah (pasta) dan tailing. Amalgam basah kemudian ditampung di dalam suatu tempat yang selanjutnya didulang untuk pemisahan merkuri dengan amalgam. Terhadap amalgam yang diperoleh dari kegiatan pendulangan kemudian dilakukan kegiatan pemerasan (squeezing) dengan menggunakan kain parasut untuk memisahkan merkuri dari amalgam (filtrasi). Merkuri yang diperoleh dapat dipakai untuk proses amalgamasi selanjutnya. Jumlah merkuri yang tersisa dalam amalgan tergantung pada seberapa kuat pemerasan yang dilakukan. Amalgam dengan pemerasan manual akan mengandung 60 – 70 % emas, dan amalgam yang disaring dengan alat sentrifugal dapat mengandung emas sampai lebih dari 80 %. Pemurnian emas dari merkuri selanjutnya dilakukan dengan pembakaran amalgam untuk menguapkan merkuri, baik dengan pembakaran langsung maupun dengan retorting. Setelah merkuri menguap yang tertinggal berupa butiran emas.



173 2) Amalgamasi yang baik: a) Penambahan merkuri (amalgamasi) dilakukan hanya pada konsentrat akhir yang diperoleh dari pemisahan konsentrat dari bijih melalui proses konsentrasi gravitasi. Konsentrasi gravitasi dapat dilakukan dengan pendulangan, sluice box/palong, dan peralatan konsentrasi gravitasi yang lain. b) Untuk meningkatkan efisiensi proses amalgamasi, perlu didihindari faktor-faktor berikut: (1) derajat liberasi yang buruk sehingga menyebabkan permukaan emas tidak tersingkap. (2) permukaan emas kotor. (3) merkuri tidak teraktifasi sehingga tidak dapat menangkap emas. 3) Kolam Amalgamasi a) Amalgamasi harus dilakukan di kolam tertutup dengan lapisan kedap (semen, plastik, dll) di bawahnya, dan diupayakan jauh (minimal 50 m dan beda tinggi dari muka air badan perairan umum > 2 m) dari badan perairan umum (sungai, mata air dll), saluran air, danau dan sumur penduduk. Gambar Contoh Kolam Amalgamasi



b) Kolam amalgamasi ini harus diberi tanda/papan penamaan agar tidak digunakan untuk keperluan lain. 4) Penggunaan merkuri yang baik: a) Hindari kontak langsung ketika bekerja dengan merkuri, gunakanlah selalu sarung tangan. b) Simpanlah merkuri selalu dalam tempat yang tertutup rapat (bukan wadah dari aluminum). c) Selalu tambahkan air di atas cairan merkuri, kecuali pada merkuri yang sudah didaur ulang. d) Jangan sampai menumpahkan merkuri karena sangat sulit untuk membersihkannya. e) Gunakanlah merkuri sesedikit mungkin. 5) Pembakaran Amalgam/Retorting a) Selalu gunakan sistem retort yang baik. b) Jangan membakar raksa atau amalgam di dalam kamar atau ruangan tertutup, lakukanlah di luar atau di ruangan yang memiliki ventilasi yang baik. Lakukan pada bangunan khusus yang dilengkapi dengan cerobong, dengan ketinggian minimal 2 meter lebih tinggi terhadap atap bangunan.



174 c) Ambil posisi berlawanan dengan arah angin ketika membakar amalgam. Jangan menghirup asapnya. Jangan makan atau merokok ketika menggunakan raksa. d) Beberapa saran untuk proses retorting yang baik adalah sebagai berikut: (1) Ketika menggunakan retort untuk pertama kali, bakar seluruh bagian retort (dalam dan luar) dan dinginkan, ini akan menghilangkan minyak dan zinc (jika menggunakan baja galvanisasi). Tidak direkomendasikan untuk memakai retort baru dengan amalgam. (2) Tutupi interior untuk peleburan logam dengan lapisan tipis dari clay atau arang. (3) Tempatkan amalgam di dalam tempat peleburan (beberapa penambang membungkus dengan kertas). (4) Benamkan ujung pipa pendingin ke dalam segelas air. (5) Panasi seluruh bagian retort pada temperatur rendah selama 5– 15 menit (jangan panaskan pipa pendingin). (6) Akan terlihat gelembung udara keluar dari dalam gelas melalui bagian bawah pipa pendingin. (7) Tingkatkan temperatur dan distribusikan panas keseluruh bagian retort. (8) Ketukkan pipa pendingin untuk melepaskan Hg yang mungkin berada di dalam pipa. (9) Tingkatkan temperatur dan konsentrasikan api di bawah daerah peleburan. (10) Ketika tidak ada lagi merkuri yang keluar (sekitar 15–20 menit), pindahkan gelas air dan kemudian matikan api. (11) Dinginkan retort di dalam air sebelum membuka dan jangan buka retort yang masih hangat.



Gambar Kegiatan Retorting



175 6) Penyimpanan Merkuri Meskipun merkuri memiliki titik didih 357°C, namun memiliki kemampuan untuk menguap pada temperature kamar (25°C) karena tekanan penguapannya yang rendah. Untuk menghindari penguapan : (1) Simpan merkuri pada tempat yang teduh (temperature kamar ± 25°C) dan terhindar dari cahaya matahari secara langsung. (2) Simpan dalam wadah khusus (keramik, plastik atau kaca) yang tertutup dan pastikan merkuri terendam dalam air. b. Sianidasi Ekstraksi emas dengan menggunakan sianida saat ini telah menjadi proses utama ekstraksi emas dalam skala industri. Namun demikian, penggunaan metode ini sama halnya dengan metode ekstraksi yang lain yang masih memiliki potensi dampak berupa efek beracunnya bagi pekerja dan lingkungan. Proses Sianidasi terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan dan proses pemisahan emas dari larutannya. Pelarut yang biasa digunakan dalam proses sianidasi berupa NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau campuran ketiganya. Pelarut yang paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Secara umum reaksi pelarutan Au adalah sebagai berikut: 4Au + 8CN- + O2 + 2 H2O 4Au(CN)2- + 4OH-



176 1) Metode pelarutan emas dengan sianida, antara lain adalah : a) Metode heap leaching (pelindian tumpukan) : pelindian emas dengan cara menyiramkan larutan sianida pada tumpukan bijih emas (diameter bijih 1 mm) dapat digunakan kembali untuk proses penyerapan sampai 5 kali. Lebih dari itu karbon perlu diaktifkan kembali dengan cara dicuci dengan asam klorat (HCl) panas (85 ºC) dan dilanjutkan dengan pemanggangan pada temperatur 700 ºC. 3) Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan sianida dalam ekstraksi emas sebagai berikut : Kelebihan Kekurangan a. Hanya memerlukan sejumlah kecil a. Sianida bersifat sangat beracun, dan sianida untuk mengekstrak emas, pada konsentrasi tinggi akan biasanya kurang dari 1 kg/ ton batuan menyebabkan kematian pada ikan, b. Sianida akan mengekstrak emas secara burung bahkan manusia. lebih selektif dengan hanya b. Sianida akan bereaksi dengan merkuri mengikutkan sejumlah kecil mineral menghasilkan ikatan kimia terlarut lain dalam bijih. yang secara mudah tertransport c. Sianida dapat mengekstrak emas dalam dengan air sehingga akan rentang ukuran bijih dari yang kasar menyebarkan merkuri pada area yang sampai halus. lebih luas. d. Proses ekstraksi dapat berlangsung c. Ketika sianida bereaksi dengan cepat, pada tangki pelindian biasanya merkuri akan mengubah merkuri memerlukan waktu kurang dari 1 menjadi bentuk ikatan yang lebih hari. mudah masuk ke dalam makanan dan e. Sianida yang tersisa dan ikut terbuang menjadi lebih berbahaya. dalam tailing dapat dihancurkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. f. Sianida secara natural di alam dapat terdegradasi, terutama karena terkena sinar ultraviolet dari matahari, dan menjadi bentuk yang lebih tidak beracun dan terutama membentuk karbondioksida dan nitrat yang tidak beracun. g. Jika dilakukan dengan baik, resiko keracunan dapat diminimalkan h. Sianida tidak bersifat akumulasi dalam hewan maupun tanaman.



178 Gambar Contoh Diagram Pengolahan Bijih Emas Secara Sianidasi dengan C1



4) Sianidasi yang baik: (1) Dilakukan pada kondisi pH 10. (2) Setiap instalasi pengolahan harus memiliki tailing pan yang baik dengan kapasitas yang memadai guna penguraian larutan sianida yang tersisa bersama tailing. (3) Pada waktu pembuangan tailing akhir usahakan konsentrasi sianida sudah dibawah 10 ppm dan tidak boleh jatuh kebadan sungai. (4) Sianida harus disimpan dalam daerah dengan ventilasi yang cukup baik, jauhkan dari benda-benda asam, air, mudah terkorosi, dan mudah meledak. (5) Daerah penyimpanan harus dibatasi/dipagari dan dikunci untuk mencegah kecelakaan. (6) Harus berhati-hati ketika menyiapkan larutan karena resiko penguapan sianida. Tidak diperbolehkan untuk merokok, makan, dan minum selama melakukan proses sianidasi. (7) Sarung tangan plasik harus dipakai untuk menghindari kontak antara kulit dan sianida. (8) Beberapa kemampuan teknis dasar yang diperlukan untuk keberhasilan dan keamanan dalam proses sianidasi: (a) Proses perlu dikontrol melalui tes-tes yang relative mudah (misal: kertas pH) (b) Untuk melarutkan emas, ada 4 komponen yang diperlukan: air, sianida, udara (oksigen), dan alkalinity (pH tinggi). Jika salah satu dari 4 komponen tersebut hilang, proses tidak akan bekerja.



179 (c) Gunakan Sianida sesedikit mungkin ± 1 kg sianida per ton bijih. (d) Penambahan sianida yang berlebihan tidak akan meningkatkan jumlah emas yang diperoleh. (e) Sianida dapat bereaksi dengan unsur selain emas, seperti tembaga, besi, perak, dan merkuri. Ketika sianida bereaksi dengan zat tersebut, maka akan mengurangi sianida yang tersedia untuk melarutkan emas. Sehingga terkadang diperlukan sianida yang lebih banyak untuk melarutkan. Bijih tembaga dengan mineral seperti malachite dan azurite menyebabkan masalah besar karena mineral tersebut bereaksi dengan cepat dengan sianida. (f) Sianida bebas sangat beracun dan biasanya terserap melalui pernafasan atau kontak dengan kulit dan didistribusikan keseluruh tubuh melalui darah. Sianida menghentikan sel dalam menyerap oksigen sehingga mengakibatkan kematian yang dikarenakan terganggunya system saraf utama. (g) Hindarkan melakukan proses Sianidasi terhadap tailing hasil pengolahan secara amalgamasi. Karena sianida akan bereaksi dengan merkuri menghasilkan campuran kimia yang dapat saling melarutkan (merkuri akan menjadi bentuk yang lebih mudah masuk ke dalam rantai makanan dan menjadi lebih berbahaya). (h) Gunakan kembali air sisa pengolahan sianidasi untuk proses sianidasi berikutnya. (i) Sisa-sisa sianida pada waste (tailing) dapat dihancurkan untuk meminimalkan dampak lingkungan. Jika terekspose dengan sinar ultraviolet, sianida akan berubah menjadi bentuk yang kurang beracun dan akhirnya menjadi karbon dioksida yang tidak beracun dan nitrat. Sianida tidak terakumulasi pada binatang ataupun tumbuhan



180 E. KRITERIA BAKU BIOMASSA



KERUSAKAN



TANAH



UNTUK



PRODUKSI



a. Kerusakan Tanah di Lahan Kering akibat Erosi Air Tebal Tanah < 20cm 20 - < 50 cm 50 -< 100cm 100 - 150 cm > 150cm



Ambang Kritis



Ton/ha/tahu mm/10 tahun >0.1n- 0,2 - kuarsitik 1 ,4 g/cm3



5



Porositas total



6



Derajat pelulusan air pH (H2O) 1 : 2,5



< 0,7 cm/jam > 8,0 cm/jam < 4,5 ; > 8,5



Daya Hantar Listrik/DHL Redoks



> 4,0 mS/cm



7 8 9



10 Jumlah mikroba



< 30 % ; -» 70%



< 200 mV



METODE PERALATAN PENGUKURAN pengukuran Meteran langsung pengukuran meteran; langsung counter (line atau imbangan batu dan total) tanah dalam unit warna tabung ukur; luasan pasir, gravimetrik timbangan gravimetrik pada lilin, tabung ukur; satuan volume ring sampler, timbangan perhitungan berat piknometer, analitik . isi (Bl) dan berat timbangan jenis (BJ) analitik permeabilitas ring sampler; double ring permeameter potensiometrik pH meter; pH stick skala 0,5 satuan tahanan listrik EC meter tegangan listrik



< 102 cfu/g tanah plating technique



pH meter; elektroda platina cawan petri; colony counter



181



c. Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Basah NO 1



2



3 4 5 6 7 8



PARAMETE R



AMBANG KRITIS



METODE



PERALATAN PENGUKURAN



Subsidensi >35 cm/5 tahun gambut di atas untuk ketebalan pasir kuarsa gambut > 3 cm atau 10% 15 tahun untuk ketebalan gambut < 3 cm Kedalaman < 25 cm dengan lapisan berpirit pH < 2,5 dari permukaan tanali Kedalaman air > 25 cm tanah dangkal Redoks untuk >-100mV tanah berpint



pengukuran langsung



Redoks untuk gambut PH (H2O) 1 : 2,5 Daya Hantar listrik/DHL Jumlah mikroba



tegangan listrik pH meter; elektroda platina Potensiometrik pH meter; pH stick skala 0,5 satuan tahanan lislrik EC meter



> 200 mV 7,0 > 4,0 mS/cm



patok subsidensi



reaksi oksidasi cepuk plastik; H 2O2 pH dan pengukuran stick skala 0,5 satuan; langsung meteran pengukuran Meteran langsung tegangan listrik pH meter; elektroda platina



< 102 cfu/g tanah plating technique



cawan petri; colony counter



Catatan : 1) Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku. 2) Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak beriaku jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan alam.



F. KRITERIA BAKU KERUSAKAN MANGROVE Kriteria Baik Rusak



Sangat Padat Sedang Jarang



Penutupan (%) P 75 P 50 - < 70 < 50



Kerapatan (Pohon/ha) P 1500 P 1500 - < 1500 < 1000



G. METODE PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE a. Daerah Pengukuran 1) Sempadan Pantai Mangrove : minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Pada kondisi pantai yang terdapat hamparan endapan lumpur (mudflat), digunakan batasan 100 meter dari garis pasang tertinggi. 2) Sempadan Sungai Mangrove : 50 meter ke arah kiri dan kanan dari garis pasang tertinggi air sungai yang masih dipengaruhi pasang air laut.



182



b. Metode Pengukuran Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi mangrove adalah dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot). Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang akurat. c. Mekanisme Pengukuran 1) Wilayah kajian yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zone mangrove yang terdapat di wilayah kajian (Gambar.berikut);



Gambar Contoh Peletakan Garis Transek yang mewakili setiap zona mangrove. 2) Pada setiap wilayah kajian ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian; 3) Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal; 4) Pada setiap zona mangrove yang berada disepanjang transek garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot); 5) Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, sekitar 1,3 meter (Lihat gambar berikut).



183



(A)



(B)



Gambar (A) Penentuan lingkar batang mangrove setinggi dada. (B) Penentuan lingkar batang mangrove pada berbagai jenis batang mangrove. d. Metode Analisa 1) Penutupan: perbandingan antara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluru RCi = (Ci / C) /x 100 Ci = BA/A dimana, BA = DBH2/4 (dalam cm2), = (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohon dari jenis I, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/ (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada. 2) Kerapatan : perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah



Rdi= (ni/ n) x 100



H. KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN TINGKAT KERUSAKAN Tinggi Sedang Rendah



LUAS AREA KERUSAKAN (%) > 50 30 – 49,9 < 29,9



I. STATUS PADANG LAMUN



Baik Rusak



KONDISI Kaya Sehat Kurang Kaya/Kurang Sehat Miskin



PENUTUPAN (%) > 60 30 – 59,9 < 29,9



184 J. PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN 1. Metode Pengukuran Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot). Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. 2. Mekanisme Pengukuran a. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi padang lamun harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zone padang lamun yang terdapat di wilayah kajian b. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian. c. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah darat ke arah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun yang terjadi) di daerah intertidal. d. Pada setiap transek garis, letakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 1 m x 1 m dengan interval 15 m untuk padang lamun kawasan tunggal (homogenous) dan interval 5 m untuk kawasan majemuk. e. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan lamun yang ada dan hitung jumlah individu setiap jenis. 3. Analisa Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe. Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut: a. Petak contoh yang digunakan untuk pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm (Gambar berikut).



Gambar Petak Contoh untuk pengambilan contoh



185



b. Dicatat banyaknya masing-masing jenis pada tiap sub petak dan dimasukkan kedalam kelas kehadiran berdasarkan tabel berikut:



c. Adapun penghitungan penutupan jenis lamun tertentu pada masing-masing petak dilakukan dengan menggunakan rumus :



dimana, C = presentase penutupan jenis lamun i, Mi adalah presentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i, dan f adalah banyaknya sub petak dimana kelas kehadiran jenis lamun i sama. d. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia (Dimodifikasi dari Den Hartog 1970 dan Phillips & Menez 1988) 1. Daun pipih Daun berbentuk silindris (Syringodium isoetifolium) seperti pada Gambar 1. 2. Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali (Halophila) a. Panjang helaian daun 11 – 40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang daun (Halophila ovalis) seperti pada Gambar 2. b. Daun dengan 4-7 pasang tulang daun c. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai panjang (Halophila spinulosa) seperti pada Gambar 3. c1. Panjang daun 5-15 mm, pasangan daun dengan tegakan pendek (Halophila minor) seperti pada Gambar 4. c2. Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji (Halophila decipiens) seperti pada Gambar 5. c3. Daun membujur seperti garis, biasanya panjang 50 – 200 mm 3. Daun berbentuk selempang yang menyempit pada bagian bawah a. Tidak seperti diatas 4. Tulang daun tidak lebih dari 3 (Halodule) a. Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji (Halodule pinifolia) seperti pada Gambar 6. b. Ujung daun seperti trisula (Halodule uninervis) seperti pada Gambar 7. c. Tulang daun lebih dari 3 5. Jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm ujung daun seperti gigi (Thalassodendron ciliatum) seperti pada Gambar 8. 6. Tidak seperti diatas (Cymodocea)



186



a. Ujung daun halus licin, tulang daun 9-15 (Cymodocea rotundata) seperti pada Gambar 9. b. Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13-17 (Cymodocea serrulata) seperti pada Gambar 10. 7. Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku; panjang daun 100300 mm, lebar daun 4-10 mm (Thalassia hemprichii) seperti pada Gambar 11. 8. Rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku; panjang daun 300-1500 mm, lebar 13-17 mm (Enhalus acoroides) seperti pada Gambar 12.



Gambar 1. Syringodium iseotifolium



Gambar.2.Halophila ovalis



187



Gambar.3.Halophila spinulosa



Gambar.4. Halophila minor



188



Gambar.5. Halophila decipiens



Gambar.6. Halodule pinifolia



189



Gambar.7. Halodule uninervis



Gambar.8. Thalassodendron ciliatum



190



Gambar.9. Cymodocea rotundata



Gambar.10. Cymodocea serrulata



191



Gambar.11. Thalassia hemprichii



Gambar.12. Enhalus acoroides



192 K. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG (dalam %)



PARAMETER Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup



Rusak Baik



Buruk Sedang Baik Baik sekali



0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100



Keterangan : Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang: 50 – 100% L. PEDOMAN PENGUKURAN BERDASARKAN METODA PERTUMBUHAN KARANG



KONDISI TERUMBU TRANSEK GARIS



KARANG BENTUK



a. Pemilihan Tapak 1) Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada “lereng terumbu” (yaitu : terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk pemilihan tempat (Gambar 1).



Gambar 1: Metoda Manta Towing 2) Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang-kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2 (dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan tapak harus dilakukan pada semua kondisi. 3) Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat. Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih. 4) Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung. b. Pedoman Umum 1) Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek yang masing-masing berukuran panjang 50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang berdekatan minimal adalah 10 meter. 2) Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada kira-kira 9-10 meter dibawah tonjolan terumbu karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2



193 3) atau 6-8 meter. Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang, maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata surut terendah.



Gambar 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang. 4) Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sama untuk setiap pengamatan awal dan saat pengamatan. Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data di semua tempat selama pengamatan berlangsung yaitu 3 (tiga) orang pada setiap kedalaman. 5) Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggungjawab pada penggunaan alat ukur (roll meter), baik penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir pengamatan. 6) Pengamat harus mengamati sampai selesai (lengkap, paripurna) setiap 50 meter transek yang telah dipasang. 7) Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang bertanggungjawab terhadap alat ukur (roll meter), mengaitkan meteran tersebut pada masingmasing ujung awal meteran pada karang atau tempat lain dan mengulur meteran tersebut sejajar dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang sepanjang 50 meter. (catatan : Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka transek dapat diperpendek dan perubahan tersebut harus dicatat). 8) Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus selalu berada dekat (0-15 cm) dengan substratum (obyek pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan meteran pada karang, contohnya dengan mendorong meteran antara cabangcabang karang, tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau karang hidup, karena akan berdampak pada hasil pengamatan. Catatan 1 : apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil pengamatan disebut kategori air; Catatan 2 : bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu) hari, maka pengamat harus mempertimbangkan faktor keselamatan dalam penyelaman; Catatan 3 : Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter). Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai dengan pelampung dan atau menggunakan GPS. c. Pencatatan Data 1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat yang ditentukan, sebaiknya parameter-parameter lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet dan ini harus dilakukan bersamaan dengan pengamat yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut.



194 2. Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali transek sambil melakukan pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (cm) untuk semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek.



Gambar 3 : Pencatatan Data Tabel : Lembar Pengumpulan Data



Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat harus memperhatikan dan mencatat langsung setiap titik dimana tali meteran menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila pada koloni tersebut terdapat individu-individu yang tumpang tindih, maka setiap pertemuan (intersepsi) yang bersinggungan, harus dicatat sebagai individu yang berbeda (Gambar 4).



195



Gambar 4 : Penampilan dari atas Koloni yang Tumpang Tindih



Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c



196



197



198 Tabel : Bentuk Pertumbuhan dan Kode Karang Bentuk Pertumbuhan Hard Corai (Karang keras) Dead Coral (Karang Mati) Dead Coral with Algae (Karang mati tertutup ganggang) * Acropora - Branchina (bercabang) - Encrusting (pipih/merayap)



- Submassive (bercabang pendek dan gemuk) - Digitate (menjari)



- Tabulate (meja) * Non-Acropora - Branching (bercabang) - Encrusting



- Foiiose (daun)



- Massive (pejal/padat) - Submassive ( tombol yang menempel ) - Mushroom (jamur) - Millepora - Heliopora



Kode Catatan/Keterangan DC Terlihat baru saja mati, berwarna putih sampai putih kotor DCA Karang ini masih berdiri tegak dan utuh, tetapi sudah tidak berwarna putih lagi karena ditumbuhi atau tertutup oleh ganggang ACB Paling sedikit mempunyai percabangan ke-2, misalnya : Acropora grandis; Acropora formosa dll ACE Siasanya tapisan dassrnya (piringsnnys) dari bentuk-benfuk acropora yang belum devvasa, misalnya Acropora palifera; Acropora cuneata, Montipera. ACS Bulat panjang dengan penampakan seperti tombol atau padat terdapat tonjolan, misalnya: palifera ACD Acropora Dengan dua percabangan seperti jari tangan, tipe ini termasuk Acropora humulis, Acropora digitifera, Acropora gemmifera. ACT Meja atau berupa lembaran datar horisontal, tampak seperti meja, misalnya : Acropora hyacinthus. CB Paling sedikit mempunyai percabangan ke-2, misalnya : Seriatopora hystrix CE Sebagian besar menempel pada substratum seperti piringan yang beralis, misalnya : Porites vaughani, Moantipora undata. CF Karang menempel pada suatu tempat/titik atau lebih, nampak seperti helaian daun, misalnya : Marulina ampliata, Montipora aequituberculata. CM Tampak seperti batu besar / tempurung / gundukan tanah, misalnya Platygyra daedalea. CS



Tampak seperti tiang-tinng kecil, kancing atau irisan-irisan, misalnya Porites lichen, Psammocora digitata. CMR Menyendiri atau soliter, karang yang hidup bebas, tampak seperti payung/jamur (fungi). CME Karang api: berbulu lembut, berwarna: kuning, krem atau hijau, berbentuk pipih bercabang atau pipih semi pejal. CHL Karang biru : berbentuk semi pejal atau pipih semi pejal; jika dipatahkan ada warna biru pada kerangka kapurnya; berwarna; abu-abu kehijauan dengan polip pucat.



86



Bentuk Pertumbuhan Other Fauna : (Fauna lainnya) Soft Coral (karang lunak)



Kode



SC



Spone (Spon)



SP



Zoanthids



Zo



Other (lain-lain)



OT



Algae (ganggang) - Algae assemblage (kumpulan -ganggang) Co alline algae (ganggang berkapur)



AA



- Halimenda



HA



- Macroalgae (ganggang besar)



WV



- Turf - algae (ganggang lembut)



TA



Abiotic ( Benda mati ) - Sand (pasir) - Rubble (patahan/pecahan)



CA



S R



- Siit (Lumpur) - Water (Air)



SI WA



- Rock (Bebatuan)



RCK



Catatan/Keterangan Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung pada seperti pengetahuan Karang "berbadan lunak", terlihat yang melakukan pengamatan. pohon. Karang lembut berbentuK tabung / tubuh seperti spon. Mirip seperti anemon tetapi lebih kecil, bias; hidup sendiri/berkoloni atau seporti hewaihewan kecil menempei pada substratum, misalnya : Platyhea, Protoplayhoa. Fauna yang tidak separii sebelumnya, seperti Ascidans, Anemos, Gcrgonias. Terdiri lebih dari satu jenis spesies / algae yang sulit dipisahkan. Semua jenis ganggang yang dinding tubuhnya terbuat dari bahan kapur. Ganggang dari maiga (genus) halirneda. Ganggang berukur&n besar. Semacam rumput liar dan "berdaging", berwarna coklat, murah dan semc\csmnya. Ganggang halus berspiral lebat, seringk3l: ditemukan di dalam wilayah (teritori) ikan damsel (damsel fish) atau ditemukan di kerangka karang yang baru (beberapa buian mati. Pasir Bagian-bagian / kepingan-kepingar, karang yang tercerai berai (pecahan karang yang sudah mati). pasir bercampur lumpur. Lumpur, Belahan-helijhan /colah yang sempit (jarak antara dua obyek) yang dalarr.nya Isbih dan 50 cm. Pengerasan karang termasuk batu besar dar kapur, granit dan batu-batuan vulkanik.



87



d. Analisa Data Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan. - Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan: Panjang Total Setiap Kategori Angka (persentase) = ---------------------------------------------- X 100% tutupan Panjang Total Transek



- Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan : Panjang Total Seluruh Kategori Terumbu Karang Hidup Angka (persentase) = --------------------------------------------- X 100% Tutupan Panjang Total Transek



M. KRITERIA STATUS EKOSISTEM DANAU 1. Kriteria Status Ekosistem Akuatik Danau atau Waduk Parameter Danau Ekosistem Akuatik Status Trofik Status Mutu Air Keanekaragaman Hayati



Jejaring Makan (food web)



Tutupan Tumbuhan Air Alga/Ganggang biru (Microcystis) Limbah Pakan Perikanan Budidaya



Baik



STATUS EKOSISTEM DANAU Terancam Rusak



Oligotof-Mesotrof Tidak tercemar Masih terdapat jenis fauna/flora endemik dan asli



Eutrof Tercemar sedang Berkurangnya jenis fauna/flora endemik dana asli dan asli (indigenaus) Tingkat trofik Tingkat trofik tidak seimbang, seimbang (produsen, primer/ skunder, consumer/tersier) Terkendali tidak Kurang terkendali menyebar dan tidak dan mengganggu mengganggu fungsi fungsi danau danau Sedikit Sedang



Hypereutrof Tercemar berat Hilangnya jenis fauna/flora endemic dan asli; banyak ditemukan jenis introduksi/ invasive. Tidak terjadi tingkat trofik



Jumlah produksi ikan dan penggunaan pakan sesuai dengan daya tampung danau dan perizinan



Kegiatan budidaya dan pemakaian pakan tidak terkendali, tidak memenuhi perizinan dan tidak memnuhi daya tampung danau.



Jumlah produksi ikan dan penggunaan pakan melebihi daya tampung danau akan tetapi memenuhi perizinan.



Menyebar tidak terkendali sangan mengganggu fungsi danau Marak (blooming)



88



2. Kriteria Status Ekosistem Sempadan Danau atau Waduk Parameter Danau



Baik



STATUS EKOSISTEM DANAU Terancam Rusak



Ekosistem Sempadan adan Sempadan Danau Tidak bangunan a) Tidak ada bangunan ada Sempada Pasang- b) Tidak pengolahan Surut lahan, dan tidak ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan Tidak ada pembuangan limbah Pembuangan Limbah



Pemanfaatan Air Dana Tidak mengubah karakteristik Pemanfaatan pasang surut muka Tenaga air dan tidak Air PLTA mengganggu ekosistim akuatik Tidak mengubah Pengambilan Air karakteristik pasang surut muka Baku air dan tidak mengganggu ekosistim akuatik



Mulai ada sedikit Banyak bangunan bangunan Ada pengelolahan a) Ada bangunan lahan untuk b) Ada pengolahan perkebunan dan lahan, dan tidak ada sawah serta perkebunan dan pemupukan sawah dengan pemupukan



Ada pembuangan limbah, dan tidak ada system pengendalian pencemaran air, akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau.



Ada pembuangan limbah, dan system pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau.



Mengubah karakteristik pasang surut muka air tetapi tidak mengganggu ekosistim akuatik Mengubah karakteristik pasang surut muka air tetapi tidak mengganggu ekosistim akuatik.



Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan mengganggu ekosistem akuatik. Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastic dan mengganggu ekosistem akuatik



89



3. Kriteria Status Ekosistem Terestrial pada Daerah Tangkapan Air Danau atau Waduk. STATUS EKOSISTEM DANAU Baik Terancam Rusak Ekosistem Terestrial Daerah Tangkapan Air > 75% 30 - 75% < 30% Penutupan Vegetasi pada lahan DTA *) < 50 50 – 120 > 120 Parameter Danau



Koefisien regim sungan (Qmax/Qmin) masuk danau Erosi Lahan Data



Tingkat erosi masih dibawah batas toleransi erosi Tidak terjadi pendangkalan



Tingkat erosi masih menyamai batas toleransi erosi Pendangkalan ratarata pertahun < 2% dari kedalaman danau.



Ada pembuangan limbah, dan ada system pengendalian pencemaran air, serta sesuai dengan daya tampung pencemaran air danau.



Ada pembuangan limbah, dan tidak ada system pengendalian pencemaran air, akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau



Dampak pendakalan danau



Pembuangan Limbah



Tingkat erosi telah melebihi batas toleransi erosi a) Pendangkalan ratarata pertahun > 2% dari kedalaman danau. b) Pendangkalan menyebabkan ekosistem tipe danaun sangat dangkal berubah menjadi ekosistem rawa. Ada pembuangan limbah, dan system pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau.



90



N. METODE PENENTUAN STATUS MUTU EKOSISTEM DANAU Landasan teknis pengelolaan ekosistem danau adalah pencapaian status mutunya sama dengan atau lebih baik dari Baku Mutu Ekosistem Danau (BMED), yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang diinginkan atau berdasarkan penetapan peraturan perundangan. Sedangkan tahapan pengelolaannya berdasarkan Status Mutu Ekosistem Danau (SMED) yang sebenarnya pada saat ini dan akan dipulihkan untuk mencapai BMED yang telah ditetapkan, sebagai tolok ukur keberhasilannya. SMED yang ditetapkan berdasarkan beberapa aspek yang ditetapkan pada BMED, yaitu: a) Kriteria Baku Kerusakan Danau b) Baku Mutu Air Danau dan Penilaian Status Mutunya c) Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Sasaran atau daerah pengelolaannya adalah sebagai berikut : a) Ekosistem akuatik perairan danau b) Ekosistem lahan daerah sempadan dan lahan sempadan danau c) Ekosistem terestrial yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA) danau d) Pemanfaatan sumber daya air danau Lingkup dan intensitas pengelolaan pada setiap daerah sasaran pengelolaan tersebut sangat tergantung kepada status mutu danau pada saat ini, yaitu: a) Baik b) Terancam dan c) Rusak 1. KRITERIA STATUS EKOSISTEM AKUATIK Untuk menentukan status ekosistem akuatik (baik, terancam dan rusak) perlu ditetapkan terlebih dahulu kelas air dan baku mutu air danau, penentuan status mutu air serta penentuan status trofik danau. Adapun parameter lainnya adalah keanekaragaman hayati, jejaring makanan, tutupan tumbuhan air, alga/ganggang biru (Microcystis) dan limbah pakan perikanan budidaya. 1.1. Kelas Air dan Baku Mutu Air Kelas air danau yaitu terdiri dari Kelas 1 sampai dengan Kelas 4 yaitu sesuai dengan Lampiran I Peraturan Gubernur ini. Kualitas air danau dangkal tidak banyak berbeda dari permukaan sampai kedalaman mendekati dasar danau, akan tetapi danau dalam memiliki kualitas yang bebeda dan makin kedasar makin memburuk. Oleh karena itu penentuan status kelas air dan baku mutu air danau berbeda dengan air sungai, yaitu sebagai berikut: Danau sangat dangkal yang memiliki kedalaman kurang dari 10 m : penentuan satu baku mutu air untuk semua kedalaman danau. Danau dangkal yang memiliki kedalaman 10 - 50 m : penentuan dua baku mutu air untuk lapisan epilimnion dan hypolimnion. Danau medium, dalam dan sangat dalam : penentuan tiga kelas air, yaitu satu baku mutu air pada lapisan epilimnion dan dua baku mutu air (dua lapisan) pada hypolimnion bagian tengah danau dan bawah danau (2 m diatas dasar danau).



91



1.2. Status Mutu Air Penentuan status mutu air danau dan waduk dilakukan dengan Metode Storet dan Metode Indeks Pencemaran seperti yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini. Penilaian kadar parameter kualitas air mengacu kepada Baku Mutu Air (BMA) yang berlaku untuk danau, atau menggunakan Kelas Air bila BMA belum ditetapkan. Ada perbedaan dengan cara penentuan status mutu air sungai, yaitu perlu disebutkan selain lokasinya (koordinatnya), perlu pula dicatat kedalaman sampel kualitas air danau yang dinilai. Jumlah data pemantauan air juga harus mewakili kondisi musim hujan dan musim kemarau. Parameter danau dan kegiatan yang dinilai adalah: - Kelas Kualitas Air, yang menunjukkan tingkat pencemaran air. - Keanekaragaman hayati, yang menunjukkan keaneka ragaman biota air serta ikan endemik. - Jejaring makan (food web), yang menunjukkan struktur rangkaian makanan secara alami untuk mendukung kehidupan biota air. - Tutupan Tumbuhan Air, baik yang berfungsi untuk menunjang kehidupan biota akuatik maupun yang bersifat gulma menganggu ekosistem dan pemanfaatan air danau. - Alga/ganggang biru (Microcystis), yaitu jenis alga yang menganggu kelestarian dan kualitas air danau serta mengganggu kehidupan ikan. - Limbah pakan perikanan budidaya KJA, mengandung unsur organik dan unsur hara yang berpotensi mencemari air dan menimbulkan proses eutrofikasi. 1.3. Status Trofik Status trofik menunjukkan dampak adanya beban limbah unsur hara yang masuk air danau. Cara penentuan status trofik danau dapat dipilih menurut tiga metode, seperti berikut: Metode UNEP-ILEC Status Trofik



Kadar Ratarata Total N (ug/L)



Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hiperetrofik



< 650 < 750 < 1900 > 1900



Kadar Rata-rata Total P (ug/L) < 10 < 30 < 100 > 100



Kadar Ratarata Khlorofil-a (ug/L) < 2,0 < 5,0 < 15 > 200



Kecerahan Rata-rata (m) > 10 >4 > 2,5 < 2,5



Metode Indeks Status Trofik Carlson Klasifikasi Status Keterangan Trofik < 30 30 – 40 41 – 50 51 – 60



Ultraoligotrof Oligotrof Mesotrof Eutrof ringan



61 – 70



Eutrof sedang



71 – 80



Eutrof Berat



> 80



Hipereutrof



Air jernih, kadar unsure hara sangat rendah Air jernih, kadar unsure hara sedang Kecerahan air sedang, kadar unsure hara sedang Penurunan kecerahan air, kadar unsure hara meningkat Marak alga (microcystis) kandungan unsure hara tinggi Marak alga dan pertumbuhan gulma air seceara cepat, kandungan unsure hara tinggi Marak alga, keadaan perairan dalam kondisi anoxia yang menyebabkan kematian ikan secara massal, kadar unsure hara amat sangat tinggi



92



Rumus Perhitungan Indeks Status Trofik Carlson Trophic Status Indeks (TSI) Carlson’s (1977): TSI-TP = 14,42 x Ln [TP] + 4,15 (ug/L) TSI-Klorofil a = 30,6 +(9,81 x Ln [klorofil a] (ug/L) TSI-SD = 60 – (14,41 x Ln [Secchi] (meter) Keterangan: TSI-TP = Trofik Status Indeks Untuk Total Phosphor TSI-Klorofil a = Nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil a TSI-SD = Nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman Secchi Disk Rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan Comwell (1991): Log (klorofl a) = 1,09 + 1,46 Log TP Keterangan: Klorofil a = Konsentrasi klorofil a TP = Total Phosphor



(ug/L) (ug/L)



Kondisi kualitas air danau dan waduk diklasifikasikan berdasarkan status proses eutrofikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur Phosphor (P) dan Nitrogen (N). Pada umumnya rata-rata tumbuhan air mengandung Nitrogen dan Phosphor masing-masing 0,7% dan 0,09% dari berat basah. Phosphor membatasi proses eutrofikasi jika kadar Nitrogen lebih dari delapan kali kadar Phosphor, sementara Nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadari Phosphor (UNEP-IETC/ILEC, 2001). Klorofil-a adalah pigmen tumbuhan hijau yang diperlukan untuk fotosintesis. Parameter Klorofil-a tersebut mengindikasikan kadar biomassa algae, dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa. Eutrofikasi yang disebabkan oleh proses peningkatan kadar unsur hara terutama parameter Nitrogen dan Phosphor pada air danau dan waduk. Proses tersebut diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik kualitas air danau dan waduk berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya yaitu: 1) Oligotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Phosphor. 2) Mesotrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air. 3) Eutrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor. 4) Hipereutrof/Hipertrof adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Phosphor. Tingkat kesuburan perairan danau dan waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan Indeks Status Trofik atau Tropik Status Index



93



(TSI) yaitu: total Phosphor, klorofil-a, dan kecerahan menggunakan pengukuran cakram sechi. Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari masing-masing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa Phosphor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton di perairan tersebut yang ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a, akibat lebih lanjut dengan adanya kepadatan klorofil-a tersebut akan menyebabkan terhambatnya cahaya yang masuk kedalam kolom perairan danau yang ditandai dengan makin pendeknya kecerahan perairan. Hubungan antara kadar Total Phosphor (TP) dengan konsentrasi klorofil-a ada korelasi positip seperti ditunjukkan dalam rumus Jones dan Bachmann (1976) dalam Davis dan Cornwell (1991). 2. KRITERIA STATUS EKOSISTEM SEMPADAN 2.1.Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Daya tampung beban pencemaran air adalah batas kemampuannya untuk menerima masukan beban pencemaran yang tidak melebihi batas syarat kualitas air untuk berbagai pemanfaatannya atau memenuhi baku mutu airnya. Khususnya sumber daya air danau, pengertian daya tampung tersebut lebih spesifik yaitu kemampuan perairan danau menampung beban pencemaran air sehingga kualitas air tetap memenuhi syarat atau baku mutu serta sesuai dengan status trofik yang disyaratkan. Persyaratan kualitas air untuk berbagai pemanfaatan air danau atau baku mutunya terdiri dari syarat kadar kualitas air fisika, kimia dan mikrobiologi. Sedangkan persyaratan status trofik air danau terutama terdiri dari syarat kecerahan air, kadar unsur hara Nitrogen dan Phosphor serta kadar Klorofil-a. Oleh karena itu perhitungan daya tampung perairan danau perlu memperhatikan sumber dan beban pencemaran air dan dampaknya terhadap pemanfaatan air serta kesinambungan fungsi danau. Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau tercantum pada Rumus Umum Penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Dan Waduk. 2.2.Alokasi Beban Pencemaran Air Danau dan waduk sebagai sumberdaya air yang memiliki berbagai pemanfaatan, juga berfungsi sebagai penampung air dari daerah tangkapan air (DTA) dan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu berbagai unsur pencemaran air dari DTA dan DAS serta sempadan danau dan waduk terbawa masuk kedalam perairannya. Pada daerah tersebut terdapat berbagai kegiatan yang membuang limbah secara langsung dan tidak langsung ke danau dan waduk, antara lain limbah penduduk, pertanian, peternakan, serta industri dan pertambangan. Demikian juga erosi DAS merupakan sumber pencemaran air dan pendangkalan danau (Gambar 5.1) Beban pencemaran dari berbagai sektor pada DTA dan DAS akan meningkat terus sesuai dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu jumlah beban pencemaran yang masuk perairan danau dan waduk termasuk limbah pakan ikan dari budidaya ikan (KJA) perlu ditentukan alokasinya dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi serta konservasi sumberdaya air jangka panjang. Penentuan alokasi tersebut memerlukan kajian pada daerah setempat serta kebijaksanaan pemerintah daerah mengenai sumber dan beban pencemaran serta tingkat pengendaliannya yang ditargetkan. Sasaran pengendalian



94



pencemaran air pada berbagai sektor kegiatan perlu ditentukan alokasi beban pencemarannya, agar memenuhi daya tampung danau dan waduk terhadap beban pencemaran untuk memenuhi status mutu air yang diinginkan. Penentuan alokasi beban pencemaran dan daya tampungnya pada danau dan waduk perlu memperhatikan syarat pemanfaatan air dan kelestarian air danau dan waduk tersebut. 2.3.Daya Tampung Beban Pencemaran Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung Mengingat pada saat ini beban pencemaran air beberapa danau dan waduk telah meningkat oleh perkembangan budidaya perikanan keramba jaring apung (KJA), maka pada pedoman ini secara khusus' menguraikan cara perhitungan daya tampung beban pencemaran air limbah budi daya perikanan. Namun demikian rumus perhitungan ini memperhitungkan juga adanya beban pencemaran dari sumber lain, antara lain limbah penduduk, industri dan pertambangan, serta pertanian dan peternakan, yang secara langsung maupun tidak langsung memasuki perairan danau yaitu beban pencemaran air dari DAS dan DTA. Intensitas kegiatan atau jumlah produksi budidaya perikanan tergantung kepada daya tampung perairan danau. Sedangkan daya tampung perairan danau sangat tergantung kepada morfologi dan hidrologinya serta status trofik dan status kualitas airnya. Pakan ikan dan limbah budidaya ikan KJA terdiri dari berbagai unsur pencemaran air, sehingga kajian beban pencemarannya dan perhitungan daya tampungnya berdasarkan jenis unsur penecemaran akibat limbah budidaya ikan tersebut, seperti halnya perhitungan beban pencemaran dari sumber limbah lainnya. Namun demikian perhitungan daya tampung beban pencemaran limbah pakan ikan disederhanakan dengan memilih parameter indikator tingkat trofik danau. Parameter beban pencemaran limbah perikanan yang dipilih atau parameter indikator adalah total Phosphor (totalP), mengingat dasar perhitungannya adalah status trofik danau. Rumus perhitungan yang digunakan adalah Kotak 15.



95



Gambar 1. Model dan Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk



96



Gambar 2. Model dan Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk Untuk Limbah Budidaya Perikanan



97



Rumus perhitungan Daya Tampung Danau Dan Waduk Untuk Budidaya Perikanan menunjukkan contoh perhitungan daya tampung berbagai tipe danau terhadap beban pencemaran air, dan daya dukungnya terhadap budidaya perikanan KJA. Pemanfaatan danau adalah serbaguna untuk air baku, PLTA, irigasi pertanian, pengendalian banjir dan pariwisata. Selain itu danau juga menampung limbah penduduk, peternakan, pertanian, serta industri dan pertambangan dari DAS, DTA dan sempadan yang membuang limbah unsur Phosphor (P). Contoh hasil perhitungannya seperti tercantum pada tabel berikut: ......................... Penjelasan dari tabel di atas adalah sebagai berikut: a) Contoh a adalah danau yang hanya dimanfaatkan untuk budidaya perikanan dan pertanian dan tidak menampung limbah daerah tangkapan air, sehingga mempunyai toleransi yang tinggi terhadap unsur P, sehingga mempunyai daya dukung yang tinggi bagi budi daya ikan. b) Contoh b adalah danau serbaguna dan menampung limbah perkotaan, peternakan dan pertanian pada daerah tangkapan air, sehingga daya dukungnya bagi budidaya perikanan rendah.



98



c) Contoh c sama dengan danau pada Contoh b namun telah marak dengan budidaya perikanan yang melebihi daya tampung danau, sehingga produksinya harus dikurangi. Parameter danau dan kegiatan manusia pada sempadan tersebut yang dinilai adalah : o Sempadan Danau o Sempadan Pasang-Surut o Pembuangan Limbah



3. KRITERIA STATUS TANGKAPAN AIR



EKOSISTEM



TRESTRIAL



PADA



DAERAH



Kondisi danau dan keberhasilan pengelolaan sangat bergantung juga pada kondisi dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) atau daerah tangkapan air (DTA). Terdapat berbagai sebab kerusakan DAS atau DTA dan dampak negatif yang ditimbulkannya, namun sebagai indikator yang berdampak langsung kepada ekosistem danau adalah luas penutupan vegetasi dan tingkat erosi yang disebabkan oleh penggunaan lahan dan pengolahannya antara lain; pengolahan lahan pertanian, perkebunana dan pemukiman. Apabila kondisinya baik, maka debit air yang masuk danau akan terkendali dengan baik secara alamiah, yaitu DAS dan DTA mampu menyimpan air diwaktu musim hujan dan tetap mengalirkan air selama musim kemarau. Selain itu juga tingkat sedimentasi danau akan rendah karena rendahnya tingkat erosi. Indikator kondisi dan pengaruh ekosistem terstrial pada daerah tangkapan air tersebut adalah sebagai berikut: b) Penutupan vegetasi pada lahan daerah tangkapan air (DTA) adalah luas lahan vegetasi dibagi luas lahan DAS atau DTA. Kondisi yang baik adalah apabila c) nilainya lebih besar dari 75%, dan mulai terancam nilainya 30-75%, sedangkan kondisi rusak apabila nilainya < 30%. Pada danau vulkanik perhitungan luas vegetasi tersebut dikoreksi, yaitu luas DTA terlebih dulu dikurangi dengan luas lahan yang tidak dapat ditanami karena memiliki karakteristik solum tanah yang dangkal. d) Fluktuasi debit air antara debit maksimal pada musim hujan dan debit minimal pada musim kemarau, yang dinyatakan dengan nilai koefisien regim sungai, yaitu RS = Qmax/Qmin. Kondisi baik apabila KRS < 50; terancam apabila nilainya 50-120; rusak apabila nilainya >120. e) Erosi lahan DAS dan DTA: tingkat erosi baik apabila laju erosi masih di bawah batas toleransi erosi, terncam bila menyamai batas toleransi erosi dan rusak apabila melebih batas toleransi erosi. Batas toleransi erosi untuk berbagai jenis lahan mengacu kepada peraturan pada pedoman yang berlaku. f) PENDANGKALAN danau : kondisi danau adalah baik apabila tidak terjadi pendakalan, terancam apabila pendakngkalan rata-rata pertahun mencapai 2% dari kedalaman danau. g) Pembuangan limbah: kondisi danau adalah baik apabila tidak ada pembuangan limbah atau ada pembuangan limbah akan tetapi ada sistem pengendalian pencemaran air serta sesuai dengan daya tampung beban pencemaran air danau; terancam apabila tidak system pengendalian pencemaran air akan tetapi tidak melalui daya tampung beban pencemaran air danau; rusak apabila melampaui daya tampung beban pencemaran air danau.



99



Parameter danau dan kegiatan manusia pada daerah tangkapan air yang dinilai adalah: o Fungsi hidrologi Daerah Tangkapan Air (DTA) o Erosi dan pelumpuran Daerah Tangkapan Air (DTA) o Pembuangan limbah



O. KRITERIA DAN STANDAR KINERJA DAERAH ALIRAN SUNGAI Kriteria dan standar kinerja Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu ditentukan untuk mengetahui status kondisi “kesehatan” DAS yang dapat mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan kegiatan pengelolaan DAS dalam kurun waktu tertentu. Perlu ditekankan bahwa kriteria yang digunakan harus didekati dengan indikator yang obyektif dan bersifat sederhana, cukup praktis untuk dilaksanakan, terukur, dan mudah dipahami sehingga bisa ditentukan standar evaluasinya. Penetapan kriteria, standar dan indikator kinerja DAS diupayakan agar relevan dengan prinsip dan tujuan pengelolaan DAS terpadu dimana di dalamnya ditekankan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dimana terdapat keterkaitan yang kuat antar aktivitas hulu-hilir dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan DAS yaitu untuk mewujudkan kondisi tata air yang optimal, lahan yang produktif sesuai daya dukungnya (carrying capacity) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Penjelasan selanjutnya akan menyangkut kriteria, indikator dan standar kinerja DAS secara garis besar dan kualitatif yang meliputi kriteria pokok penggunaan lahan, tata air, sosial ekonomi dan kelembagaan. 1. Penggunaan Lahan DAS Kriteria penggunaan lahan DAS ditujukan untuk mengetahui perubahan kondisi lahan yang sedang terjadi serta dampaknya pada degradasi DAS. Evaluasi penggunaan lahan DAS dapat dilakukan dengan mengukur beberapa indikator antara lain penutupan lahan oleh vegetasi, kesesuaian penggunaan lahan, indeks erosi atau pengelolaan lahan dan kerawanan tanah longsor. Indikator penutupan lahan oleh vegetasi suatu DAS mencerminkan seberapa luas bagian DAS yang ditumbuhi vegetasi pohon-pohonan atau tanaman tahunan. Standar evaluasi penutupan lahan DAS oleh vegetasi permanen adalah semakin tinggi luas penutupan lahan bervegetasi permanen di DAS, maka semakin baik dalam mengurangi erosi, sedimentasi dan aliran permukaan sehingga akan berkontribusi positif kepada peningkatan kinerja DAS. Sebaliknya semakin kecil luas penutupan vegetasi permanen di suatu DAS, maka semakin tinggi potensi erosi, sedimentasi dan aliran permukaan yang ditimbulkannya sehingga fluktuasi debit maksimum dan debit minimum akan semakin besar, yang berarti DAS menjadi kurang sehat. Indikator kesesuaian penggunaan lahan DAS ditujukan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan/atau zona kelas kemampuan lahan yang ada di DAS. Standar evaluasi indikator kesesuaian penggunaan lahan dalam DAS adalah semakin tinggi kesesuaian penggunaan lahan di DAS, maka semakin baik kinerja DAS tersebut dan sebaliknya semakin kecil kesesuaian penggunaan di suatu DAS, maka kinerja DAS tersebut semakin tidak sehat karena lahan yang diusahakan tidak sesuai dengan peruntukan atau arahannya akan mengandung resiko kerusakan/degradasi ekosistem DAS. Indikator indeks erosi pada DAS adalah perbandingan antara besarnya erosi aktual (ton/ha/tahun) terhadap nilai batas erosi yang bisa ditoleransi (ton/ha/tahun) di DAS. Semakin tinggi nilai indeks erosi di DAS, maka semakin jelek kinerja DAS tersebut dan sebaliknya semakin kecil indeks erosi



100



di suatu DAS, maka kinerja DAS tersebut semakin sehat. Erosi yang lebih tinggi dari yang ditoleransi (nilai indeks erosi > 1) akan menurunkan kesuburan tanah, penurunan produktivitas lahan yang dalam jangka panjang akan menyebabkan lahan kritis. Dari segi indikator hidrologi, erosi yang berlebihan akan menyebabkan sedimentasi di waduk/danau atau saluran air (drainase) yang akhirnya mengurangi daya tampungnya. Indikator pengelolaan lahan ditujukan untuk mengetahui tingkat pengelolaan lahan di DAS yang merupakan fungsi dari faktor penutupan lahan oleh vegetasi dengan faktor praktek konservasi tanah. Tingkat pengelolaan lahan ini mempengaruhi terhadap potensi terjadinya erosi tanah, aliran permukaan dan infiltrasi air ke dalam tanah. Nilai pengelolaan lahan merupakan perkalian faktor penutupan lahan (vegetasi) dengan faktor praktek konservasi tanah dan air. Variasi nilai pengelolaan lahan berkisar antara 0-1. Nilai pengelolaan lahan yang semakin kecil di dalam DAS, maka kinerja DAS semakin baik dan sebaliknya semakin besar nilai pengelolaan lahan di suatu DAS, maka kinerja DAS tersebut semakin tidak sehat karena infiltrasi air ke dalam tanah menurun, tetapi limpasan permukaan (runoff) dan erosi tanah akan semakin besar, sehingga potensi banjir, sedimentasi dan kekeringan semakin besar. 2. Tata Air Indikator-indikator yang berkaitan dengan tata air DAS adalah koefisien regim sungai, indeks penggunaan air, koefisien limpasan, laju sedimentasi dan kandungan pencemar. Koefisien regim sungai adalah perbandingan debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Standar evaluasi indikator koefisien regim sungai adalah semakin kecil nilai koefisien regim sungai dalam suatu DAS, maka semakin baik kinerja tata air dalam suatu DAS yang mengalir dalam suatu aliran sungai. Sebaliknya, semakin besar nilai koefisien regim sungai dalam suatu DAS, maka semakin jelek kinerja tata air dalam suatu DAS yang dicirikan dengan kejadian banjir. Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Disamping itu juga terdapat banjir bandang yang pada dasarnya adalah banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan mengalir deras menghanyutkan bendabenda besar seperti kayu dan sebagainya. Dengan demikian banjir harus dilihat dari besarnya pasokan air banjir yang berasal dari air hujan yang jatuh dan diproses oleh daerah tangkapan airnya (catchment area), serta kapasitas tampung palung sungai dalam mengalirkan pasokan air tersebut. Perubahan penutupan lahan di DAS dari hutan ke lahan terbuka atau pemukiman, menyebabkan air hujan yang jatuh diatasnya secara nyata meningkatkan jumlah aliran pemukaan (runoff) yang selanjutnya bisa memicu terjadinya banjir di hilir. Indikator indeks penggunaan air ditujukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan/penggunaan lahan di DAS, misal untuk tanaman, rumah tangga, industri, dan lain-lain dibandingkan dengan persediaan air di DAS yang bersangkutan. Standar evaluasi indikator indeks penggunaan air adalah semakin kecil (< 1), maka semakin baik kinerja tata air dalam suatu DAS yang berarti bahwa persediaan air di DAS masih bisa memenuhi kebutuhan/permintaan air yang ada. Sebaliknya indeks penggunaan



101



air yang besar menunjukkan kondisi tata air yang jelek dalam suatu DAS karena air di DAS tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dan terjadi potensi kekeringan. Kekeringan adalah suatu keadaan di mana curah hujannya lebih rendah dari biasanya/normalnya. Klasifikasi kekeringan biasanya ditunjukkan dengan jumlah curah hujan yang akan mempunyai nilai impasnya dengan laju evapotranspirasi rata-rata bulanan. Semakin sering terjadi kekeringan dalam suatu DAS, maka semakin buruk kinerja DAS tersebut. Indikator koefisien limpasan merupakan salah satu indikator di dalam kriteria tata air. Koefisien limpasan mencerminkan seberapa besar jumlah curah hujan yang jatuh di suatu DAS berubah menjadi aliran permukaan. Nilai koefisien limpasan air berkisar dari 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Standar evaluasi indikator koefisien limpasan dalam aliran sungai adalah semakin kecil nilai koefisien tersebut, maka semakin baik kinerja suatu DAS. Sebaliknya semakin besar nilai koefisien limpasan maka semakin jelek kinerja suatu DAS. Nilai koefisien limpasan yang bertambah besar bisa disebabkan oleh semakin banyak permukaan tanah yang tertutup oleh lapisan kedap air seperti beton, aspal dan bangunan atau perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan lain. Indikator kandungan sedimen adalah jumlah material tanah yang terangkut (kadar lumpur) dalam aliran air sungai yang berasal dari proses erosi di hulu, yang diendapkan pada suatu tempat di hilir dimana kecepatan pengendapan butir-butir material suspensi telah lebih kecil dari kecepatan air yang membawanya. Indikator terjadinya sedimentasi dapat dilihat dari besarnya kadar lumpur (kekeruhan) air sungai, atau banyaknya endapan sedimen pada badan-badan air dan atau waduk. Makin tinggi kadar sedimen yang terbawa oleh aliran berarti kondisi DAS makin tidak sehat, demikian sebaliknya makin kecil kadar sedimen yang terbawa oleh aliran berarti makin sehat kondisi suatu DAS. Indikator lain dalam kriteria tata air adalah tingkat pencemaran air DAS yang dievaluasi dengan melihat parameter kualitas air atau mutu air dari suatu badan air atau aliran air di sungai. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh jenis penutupan vegetasi, tanah/geologi, tetapi juga dipengaruhi oleh limbah buangan domestik, buangan industri, limbah pertanian, dan lain-lain. Kualitas air dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, dan/atau air sumur. Kondisi DAS tidak sehat jika nilai unsur-unsur fisika, kimia, dan biologi yang ada dalam tubuh air telah melebihi nilai ambang batas standar untuk penggunaan tertentu. 3. Sosial Ekonomi DAS Kriteria sosial ekonomi digunakan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh dan hubungan timbal balik antara faktor-faktor sosial ekonomi dengan sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja DAS. Indikator untuk mengetahui pengaruh sosial pada kinerja DAS, yaitu kepedulian individu, partisipasi masyarakat, tekanan penduduk; dan untuk indikator ekonomi yaitu, ketergantungan penduduk terhadap lahan dan tingkat pendapatan. Indikator kepedulian individu di DAS dinilai untuk mengetahui ada atau tidaknya kegiatan positif konservasi tanah dan air secara mandiri yang telah dilakukan oleh masyarakat di DAS. Standar evaluasi indikator kepedulian individu yang berada dalam suatu DAS dinyatakan baik apabila terdapat kepedulian individu terhadap upaya konservasi tanah dan air lebih tinggi.



102



Sebaliknya kondisi DAS diperkirakan sangat tidak sehat apabila tidak ada individu yang hidup dalam suatu komunitas masyarakat DAS peduli terhadap upaya-upaya konservasi hutan, tanah dan air. Indikator partisipasi masyarakat di DAS dievaluasi dengan mengetahui keikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan pengelolaan DAS yaitu tingkat kehadiran masyarakat dalam kegiatan bersama dalam pengelolaan DAS. Semakin tinggi tingkat kehadiran dan/atau partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan bersama, maka kondisi DAS akan menunjukkan kinerja yang baik. Demikian pula sebaliknya apabila semakin rendah tingkat kehadiran dan/atau partisipasi masyarakat dalam suatu untuk kegiatan bersama, maka kondisi DAS akan menunjukkan kinerja yang kurang baik Indikator tekanan penduduk terhadap lahan bisa diukur dengan membandingkan ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan dengan jumlah kepala keluarga petani. Makin besar jumlah penduduk makin besar pula kebutuhan akan sumberdaya lahan sehingga tekanan terhadap lahan juga meningkat sebanding dengan dengan kenaikan jumlah penduduk. Semakin sempit ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan untuk tiap keluarga petani dalam suatu DAS, maka semakin besar potensi kerusakan DAS tersebut karena semakin intensif masyarakat memanfaatkan lahan dan hutan semakin terancam. Sebaliknya jika terdapat cukup luas lahan pertanian dan perkebunan untuk setiap keluarga petani disuatu DAS, maka kondisi kesehatan DAS diasumsikan akan lebih baik. Ketergantungan penduduk terhadap lahan dicerminkan oleh proporsi kontribusi pendapatan dari usaha tani (bertani) terhadap total pendapatan keluarga. Semakin tinggi ketergantungan keluarga terhadap pendapatan yang berasal dari usaha lahan, maka lahan akan semakin dieksploitasi untuk kegiatan usaha tani dan kondisi DAS cenderung semakin buruk. Sebaliknya penduduk yang sebagian besar penghasilannya berasal dari luar usahatani (off-farm), maka tekanan penduduk terhadap lahan akan semakin kecil dan diharapkan DAS lebih sehat. Indikator tingkat rata-rata pendapatan penduduk merupakan cerminan dari pendapatan keluarga yang diperoleh dari berbagai usaha tani dan hasil dari non-usaha tani. Dengan asumsi hasil usaha pertanian rata-rata keluarga petani relatif rendah dibandingkan dengan hasil usaha-usaha non pertanian (industri di Jawa), standar evaluasinya adalah semakin besar rata-rata pendapatan per kapita di suatu DAS, maka kondisi DAS diasumsikan lebih baik dari DAS yang rata-rata pendapatan per kapitanya lebih rendah. 4. Kelembagaan DAS Pengelolaan DAS melibatkan stakeholders yang banyak, multi sektor, dan lintas wilayah administratif. Kriteria kelembagaan yang ada di DAS didekati dengan indikator keberdayaan lembaga masyarakat lokal (adat), ketergantungan masyarakat kepada pemerintah, KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplipikasi) dan keberadaan usaha bersama. Dalam analisis kelembagaan pengelolaan DAS yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi lembaga-lembaga/instansi yang terlibat dalam pengelonaan DAS serta tugas pokok dan fungsiya masing-masing termasuk lembaga lokal yang ada di DAS. Jika lembaga lokal berperan dalam pelestarian sumberdaya alam di DAS, maka kinerja DAS bisa baik sedang jika tidak berperan, maka kondisi DAS bisa buruk. Indikator ketergantungan masyarakat pada pemerintah dilakukan dengan menganalisis dan mengidentifikasi lembaga-lembaga/instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS serta fungsinya masing-masing termasuk lembaga lokal yang ada di DAS. Tinggi rendahnya intervensi pemerintah dalam kegiatan pengelolaan DAS, terutama rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi



103



tanah dan air bisa mencerminkan kemandirian masyarakat dalam pelestarian DAS. Semakin tinggi ketergantungan masyarakat terhadap intervensi pemerintah berarti masyarakat masih banyak memerlukan intervensi pemerintah dengan demikian diasumsikan bahwa DAS tersebut kondisinya masih tidak sehat. Standar evaluasi indikator-indikator koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi (KISS) dilakukan dengan menganalisis dan mengidentifikasi berapa banyak konflik para pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di DAS. Jika tingkat konflik rendah, maka bisa dikatakan kegiatan dari masing-masing lembaga (sesuai perannya) dalam penanganan dan pengelolaan DAS sudah ada keterpaduan (integrated) dan keserasian dan diharapkan kondisi DAS lebih sehat, sebaliknya jika konflik antar lembaga yang ada relatif banyak, maka keterpaduan dan keserasian kegiatan pengelolaan DAS tidak akan tercapai sehingga berpotensi terjadinya degradasi SDA yang mengakibatkan kesehatan DAS lebih jelek/menurun. Indikator Kegiatan Usaha Bersama (KUB) dilakukan dengan menganalisis perubahan jumlah unit usaha KUB terutama unit usaha yang berbasis sumberdaya alam dan/atau mendukung pelestarian sumberdaya alam. Apabila unit usaha KUB bertambah maka diasumsikan kondisi DAS semakin baik, sebaliknya apabila berkurang maka diasumsikan kondisi DAS semakin buruk. Selain kriteria utama di atas, bisa ditambahkan kriteria dan indikator evaluasi sesuai dengan tujuan evaluasi, misalnya untuk evaluasi DAS prioritas dapat digunakan kriteria tambahan berupa pola ruang wilayah, besarnya investasi bangunan vital seperti waduk dan bendungan, serta penerapan norma konservasi sumberdaya alam. Pengelolaan DAS masih menghadapi berbagai permasalahan yang komplek yang mengharuskan pelibatan banyak pihak, lintas sektor, lintas wilayah administrasi pemerintahan dari hulu sampai hilir. Atas dasar Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, maka disusunlah Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu. Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu ini selanjutnya agar dipergunakan sebagai salah satu panduan umum Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, masyarakat dan pihak lain terkait dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan DAS di Indonesia. Sedangkan untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi DAS tertentu, haruslah dilakukan pengelolaan DAS yang dijabarkan dalam program dan kegiatan-kegiatan sektoral yang tepat sesuai dengan karakteristik biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di DAS yang bersangkutan.