Laporan 6 Kelompok 6 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI VETERINER I PENGAMATAN HASIL INOKULASI VIRUS NEWCASTLE DISEASE DENGAN UJI AGLUTINASI CEPAT DAN UJI HAEMAGLUTINASI



KELOMPOK 6 :



Fitri Nurrachmah



(130210180008)



Dwi Idfitria



(130210180014)



Sulthan Naufal Putrta



(130210180019)



Ernesta Quevara Iseki



(130210180023)



Stevanie Andrea Wijaya



(130210180029)



PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2019



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI..............................................................................................................................1 BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................2 1.1



Latar Belakang ............................................................................................................2



1.2



Tujuan..........................................................................................................................3



BAB II METODE .....................................................................................................................4 2.1



Alat dan Bahan ............................................................................................................4



2.2



Prosedur.......................................................................................................................4



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................6 3.1



Hasil ............................................................................................................................6



3.2



Prinsip Dasar ...............................................................................................................7



3.3



Pembahasan .................................................................................................................7



BAB IV PENUTUP ................................................................................................................13 4.1



Kesimpulan................................................................................................................13



4.2



Saran ..........................................................................................................................13



DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................14 LAMPIRAN .............................................................................................................................16



1



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Virus adalah mikroorganisme terkecil diantara mikroorganisme lain (bakteri, parasit, klamedia, riketsia). Ukuran virus sangat kecil (ukuran virus 20-30 nm) sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Virus hanya bias dilihat dengan mikroskop elektron. Namun demikian virus dapat diketahui berdasarkan atas sifat biologinya. Virus disebut sebagai parasit obligat karena virus mutlak memerlukan sel hidup untuk menunjuang keperluannya hidupnya, untuk memperbanyak diri atau yang disebut bereplikasi. Virus hanya mampu bereplikasi pada sel hidup yang disukainya, virus tidak bisa hidup dan bereplikasi pada benda mati. Oleh karena itu perbanyakan virus hanya dapat dilakukan dengan cara diisolasikan pada media hidup, misalnya: telur ayam bertunas (telur berembrio), pada biakan sel atau kultur jaringan, atau diisolasikan pada hewan percobaan atau menggunakan hospes alami. (Gusti Ayu, Y.K. 2017) Menurut Mac Lachlan NJ (2011, dalam Gusti Ayu, Y.K. 2017)Uji serologi dilakukan untuk mengidentifikasi virus guna menentukan



agen penyebab penyakit. Diagnose



demikian disebut diagnose pasti. Caranya dengan menggunakan serum standar yang sudah diketahui. Prinsip dasar uji serologi adalah terjadinya ikatan antara antigen dengan antibodi yang homolog untuk membentuk ikatan antigen-antibodi komplek. Pada uji hemaglutinasi, ikatan tersebut (kompleks antigen- antibodi homolog) dapat diketahui dengan menambahkan sel darah merah 1% sebagai indikator uji. Uji hemaglutinasi (HA/HI) digunakan khusus untuk virus-virus yang memiliki protein hemaglutini pada amplopnya. Misalnya: Virus Newcastle Disease, virus Avian Influenza, virus Parvo. Terjadinya hemaglutinasi ditandai dengan butiran berpasir akibat adanya ikatan antara sel darah merah 1% dengan protein hemaglutinin pada amplop virus. Menurut Ke et al (2010, dalam Maya Sofa, 2017) Hemaglutinin-Neuraminidase merupakan glikoprotein membran dengan berat molekul 74 kDa dan termasuk protein membran tipe II (Ganar et al. 2014).



struktur HN yang tersusun atas N-terminal



cytoplasmic tail, transmembrane domain (TMD), daerah tangkai (stalk domain), dan daerah globular (C-terminal globular head domain) (Lamb dan Parks 2013). Glikoprotein HN berperan dalam proses attachment virus pada reseptor sialic acid pada permukaan sel 2



inang, turut serta dalam keberhasilan fusi antara virus dan sel inang, dan mencegah terjadinya self-aggregation. Menurut Miller dan Koch (2013, dalam Maya Sofa, 2017) Hemagglutinin berperan dalam proses attachment virion dengan sel inang, sedangkan neuraminidase berperan menghilangkan residu sialic acid pada sel inang untuk mencegah reattachment pada sel inang dan self-agregation diantara progeni virus. Menurut OIE (2012, dalam Maya Sofa, 2017) Isolasi VND dapat dilakukan dengan menggunakan menginokulasikan sampel pada telur ayam berembrio (TAB) specific pathogen free (SPF) ataupun sel kultur. Isolasi VND dengan TAB SPF dilakukan pada saat telur berumur 9โ€“11 hari. Sel kultur yang digunakan dalam isolasi VND dapat berasal dari avian maupun non-avian, diantaranya sel chicken embryo liver (CEL), chicken embryo kidney (CEK), chicken embryo fibroblasts (CEF), African green monkey kidney (Vero), avian myogenic (QM5) dan chicken-embryo-related (CER). Menurut OIE (2012, dalam Maya Sofa, 2017) Uji HA digunakan untuk mendeteksi aktivitas hemaglutinasi pada cairan alantois yang dipanen dari hasil inokulasi sampel pada TAB SPF. Uji HA tidak dapat berdiri sendiri dalam diagnosis VND karena aktivitas agglutinasi SDM dapat ditunjukkan oleh virus lain seperti avian paramyxovirus serotipe 2โ€“10, avian influenza dan Adenovirus grup III. Oleh sebab itu, konfirmasi VND dilanjutkan dengan uji HI (hambatan aglutinasi) menggunakan antisera poliklonal spesifik ND.



1.2 Tujuan Dapat mengamati hasil panen virus newastle disease yang telah diinokulasikan ke dalam telur ayam berembrio melalui rute ruang allantois dan dapat mengetahui apakah virus tersebut tumbuh atau tidak dengan melakukan uji aglutinasi cepat dan uji haemaglutinasi.



3



BAB II METODE 2.1 Alat dan Bahan 1. Virus ND (Newcastle Disease) dari hasil pupukan percobaan inokulasi ke ruang alatois. 2. Suspense sel darah merah ayam 5%. 3. NaCl fisiologis (0,85%). 4. Pipet Pasteur. 5. Gelas objek dan tusuk gigi. 2.1 Prosedur a. Uji Aglutinasi Cepat (rapid test) 1. Siapkan gelas objek yang bersih dan bebas lemak kemudian teteskan (dua) suspense sel darah merah 5% di kedua ujung gelas objek. 2. Tambahkan dua tetes NaCl fisiologis pada satu ujung dan dua tetes cairan allantois yang dipanen pada ujungnya. 3. Aduk campuran dengan tusuk gigi tang berbeda. Biarkan sesaat dan amati terjadinya aglutinasi atau tidak. 4. Sebagai control negative adalah bagian yang ditetesi NaCl dimana suspense sel darah merah tidak teraglutinasi. Dan sebaliknya yang ditetesi virus RBC akan teraglutinasi. b. Uji haemaglutinasi mikrotitrasi 1. Masukkan 0,25 ๐œ‡l NaCl fisiologis pada sumur pertama hingga sumur terakhir pada microplate menggunakan micropipette. 2. Ambil 0,25 ๐œ‡l suspense virus hasil panen dan masukkan ke dalam sumur pertama. Lakukan pencampuran suspense virus dengan NaCl pada sumur pertama dengan cara menghisap dan mengeluarkan cairan tersebut. Lakukan 5x. 3. Ambil 0,25 ๐œ‡l dari sumur pertama kemudian pindahkan ke sumur kedua dan lakukan pencampuran selanjutnya pindahkan 0,25 ๐œ‡l ke sumur ketiga, begitu seterusnya sampai sumur ke 11. Dari sumur ke 11 diambil 0,25 ๐œ‡l dan dibuang. Pada sumur ke 12 sebagai control negative yang hanya berisi NaCl fisiologis saja. 4. Tambahkan 0,25 ๐œ‡l keseluruh sumur. 4



5. Tambahkan 0,25 ๐œ‡l suspense sel darah merah 1% ke seluruh sumur. 6. Kocok microplate dengan cara menggoyangkan dan kemudian diinkubasi pada suhu ruangan kurang lebih 30 menit. Kemudoan baca hasil.



5



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari praktikum yang dilakukan kali ini yaitu mengamati hasil inokulasi virus ND dengan Uji Aglutinasi cepat dan Uji Haemaglutinasi, didapatkan hasil: a. pengamatan inokulasi telur hari ke- : Nama



1



2



3



4



aglutinasi cepat



Titer HA



keterangan



Fitri



hidup



hidup



hidup



hidup



+



1024 HAU



Cairan alantois bening



hidup



Dwi



hidup



hidup



hidup



+



1024 HAU



Cairan alantois bening



Sulthan



hidup



mati



mati



mati



-



0



Ernesta



hidup



hidup



hidup



hidup



-



0



Vanie



mati



mati



mati



mati



-



0



Cairan alantois sudah terkontaminasi yolk sac dan membran alantoisnya lisis. Cairan alanyois bercampur dengan yolk sac Cairan alantois tidak ada, embrio lisi, dan membran korio alantois lisi(tidak terlihat)



b. Titer virus yang diperoleh untuk uji haemaglutinasi adalah 1024 HAU. Sumur yang teraglutinasi adalah sumur ke- 1 sampai 10, sedangkan sumur yang mengendap adalah pada sumur ke- 11 dan 12. Untuk hasil uji aglutinasi cepat cairan alantois yang diberi sel darah merah dan Nacl tidak terdapat butiran pasir, sedangkan cairan alantois yang diberi sel darah 6



merah saja menujukan adanya butiran pasir yang menandakan bahwa cairan alantois tersebut positif mengandung virus ND.



3.2 Prinsip Dasar Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1), genus Avulavirus famili Paramyxoviridae, merupakan virus RNA dengan genom serat tunggal (single stranded/ss) dan berpolaritas negatif. Famili Paramyxoviridae berbentuk pleomorfik, biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm, namun ada pula yang berbentuk filamen, dan beramplop. Ada sembilan serotype dari avian Paramyxovirus yaitu APMV-1 sampai APMV-9 (OIE, 2002). Uji HA cepat pada kaca benda merupakan uji yang sesuai dan cepat dilakukan yang penerapannya lebih luas untuk kontrol berbagai penyakit Avian seperti Newcastle Disease maupun Micoplasmosis.Tes HA positif akan menunjukkan adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping. Uji HA cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Sedang uji HI cepat biasanya dipakai untuk identifikasi NDV (Darminto,2004). Uji HA untuk menentukan titer virus ND didasarkan pada prinsip kemampuan hemaglutinasi dari virus ND terhadap sel darah merah (Grimes, 2002). Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih dapat mengaglutinasi eritrosit. HA sempurna ditandai dengan lapisan sel darah merah secara merata pada dasar sumuran microplate dan penjernihan dari cairan di bagian atas tanpa terjadinya pengendapan. Sedangkan hasil negative menunjukan sel darah merah berbentuk titik di tengah sumuran (Ernawati dkk, 1996).



3.3 Pembahasan Setelah telur dihapushalamakn, kerabang telur bagian air sac dibuka hingga batas air sac. Kemudian membrane allantois dibuka agar dapat diambil cairan alantoisnya. Membrane allantois tersebut berfungsi sebagai kantung pembuangan sisa metabolism, khususnya asam urat yang merupakan limbah bernitrogen yang tidak larut dari embrio (Campbell, 2004). Pada telur yang mati dalam 24 jam dan 48 jam diperoleh cairan allantois yang keruh dan berwarna kuning karena tercampur dengan kuning telur yang pecah. Selain itu, embrio lisis karena kuning telur kemungkinan pecah sejak awal saat memasukkan virus. Yolk sac atau kuning telur pada aves penuh dengan nutrisi 7



untuk perkembangan dan pematangan embrio (Sheng et al., 2012). Dengan uji aglutinasi cepat, terdapat 3 telur yang menghasilkan positif dengan ditandai adanya aglutinasi berbentuk seperti butir pasir, sedangkan 2 telur menghasilkan hasil negative yang ditandai dengan tidak teraglutinasinya sel darah merah. Uji aglutinasi cepat dilakukan untuk mengetahui apakah virus yang dibiakkan dalam telur ayam berembrio tumbuh atau tidak. Kemudian, telur yang positif aglutinasi cepat dilanjutkan dengan uji hemaglutinasi atau HA test untuk mengetahui jumlah titer virus yang terdapat dalam telur ayam berembrio dan hasil yang diperoleh adalah sumur 1-10 positif sehingga jumlah titer virus adalah 1024 HAU / 0.25 mL. Protein



Haemagglutinin-Neuraminidase



(HN)



berperan



dalam



tahap



penempelan virus ND pada reseptor sel inang atau induk semang yang mengandung sialic acid. Molekul sialic acid ini adalah glycoprotein dan glycolipid. Penempelan virus dilakukan dengan penyatuan virus dan membran sel yang diperantarai oleh protein Fusion (F). Virus RNA kemudian dilepaskan dalam sitoplasma dan terjadi replikasi. Envelope virus masuk ke dalam sel melalui 2 jalan utama yaitu pertama, penyatuan secara langsung antara envelope virus dengan membran plasma dan kedua, diperantarai oleh reseptor endositosis. Penetrasi virus melalui reseptor endositosis tergantung pada kondisi pHnya. Paramyxoviruses, proses penyatuan membran virus dengan membran plasma inang atau induk semang tidak tergantung pH. Walaupun demikian, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penyatuan virus ND dengan sel mampu meningkatkan pH. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penetrasi virus ND pada sel inang melalui reseptor endositosis juga dipengaruhi oleh kondisi pH (Herwajuli dan Dharmayati, 2011). Kepekaan sel terhadap virus ND yang tidak virulen dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sel tersebut harus mempunyai reseptor yang cocok sehingga virus dapat melakukan penempelan dan masuk ke dalam sel. Disamping itu, sel tersebut juga harus memiliki tripsin yang menyerupai protease dimana enzim ini berperan dalam pemecahan protein F0 menjadi F1 dan F2. Penyebaran reseptor sel pada ayam yang peka terhadap virus ND bentuk tidak virulen bersifat terbatas dan hanya ditemukan pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan bagian atas. Sedangkan virus bentuk virulen tidak selalu memerlukan enzim protease dan replikasi virus biasanya terjadi di sebagian besar jaringan induk semang. Replikasi virus yang terjadi di limfosit menghasilkan suatu respon imun dan produksi antigen virus yang cukup dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem imun. Dalam saluran pencernaan terdapat 8



faktor-faktor nonspesifik yang mempengaruhi replikasi virus ND. Enzim protease dan pH yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam proses penempelan virus pada reseptor sel. Dimana keberadaan tripsin pada beberapa bagian saluran pencernaan dapat mengaktifkan virus ND bentuk tidak virulen setelah virus tersebut dilepaskan dari sel yang kekurangan enzim protease (Herwajuli dan Dharmayati, 2011). Virus tetelo mempunyai dua protein utama yang terdapat pada envelope, yaitu protein yang berfungsi untuk attachment virus, yang terdiri dari protein fusi hemaglutinin/neuramidase dan protein fusion (F). Hemaglutinin merupakan protein untuk menempel dan mengikat reseptor pada bagian luar membran sel inang, termasuk juga pada membran luar sel darah merah. Neuramidase merupakan protein aktif yang merupakan enzim untuk pelepasan virus tetelo dari membran luar sel inang setelah selesai menginfeksi. Protein F pada virus tetelo berfungsi untuk proses penyatuan envelope virus dengan membran sel hospes sebagai target infeksi dan replikasi virus (Haryanto et al., 2013). Telur ayam berembrio merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkang telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio (Cattoli et al., 2011). Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan alantois. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio. Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus (Cattoli et al., 2011). Inokulasi dilakukan pada ruang korio-alantois, dan hasil yang didapatkan jika 9



positif atau terdapat adanya virus ND adalah embrio pada telur ayam akan menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Digunakan TAB umur 9โ€“11 hari karena, pada saat itu ruang dan cairan korio-alantoisnya sedang berkembang sehingga daerahnya menjadi luas, maka inokulasi pada ruang alantois ini akan lebih mudah dan mengurangi resiko. Injeksi dilakukan ke dalam cairan korio-alantois untuk membuat daerah aman sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan agar virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor yang cocok dengan virus sebab pada ruang korio-alantois terdapat banyak pembuluh darah, yang nantinya dapat membawa virus memasuki inangnya dan melakukan infeksi lebih cepat (Putra et al., 2012). Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada. Produksi antibodi berlangsung dengan cepat setelah terinfeksi NDV. Antibodi penghambat hemaglutinasi dapat diamati dalam waktu 4-6 hari setelah infeksi. Antibodi yang berasal dari induk dapat melindungi anak ayam sampai 3-4 minggu setelah menetas. Antibodi IgA yang dihasilkan secara lokal berperan penting dalam melindungi saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Newcastle disease biasa dikenal sebagai penyakit tetelo, merupakan penyakit unggas, khususnya ayam bersifat sangat mudah menular, akut serta menimbulkan gejala gangguan pencernaan, pernafasan dan syaraf. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus tetelo, genus Paramixovirus, keluarga Paramixoviridae. Virus tetelo merupakan virus RNA yang mempunyai genom single stranded (SS) dengan polaritas negatif. Paramixovirus berbentuk sangat pleomorfik, antara bentuk membulat sampai filamen serta berdiameter 100 sampai 150 nยต. Nukleokapsid bersimetri heliks dan dikelilingi oleh amplop yang berasal dari membran permukaan sel. Pada amplop tersebut menempel spike glikoprotein hemaglutinin (H/ HA) dan neuraminidase (N/NA). Spike tersebut mempunyai peran dalam hemaglutinasi eritrosit dan proses elusi, dan merupakan salah satu sifat virus tetelo yang dapat digunakan dalam karakterisasi biologi virus tersebut (Alexander, 1991; Alexander, 2003; Allan et al., 1978; Fenner et al., 1993).



10



Hemaglutinin virus tetelo mempunyai kemampuan berikatan secara spesifik dengan reseptor asam sialat yang terdapat pada membran plasma sel darah merah (SDM) ayam, di samping SDM unggas, juga mengaglutinasi eritrosit marmot dan manusia. Beberapa strain tertentu mempunyai kemampuan mengagglutinasi SDM mamalia, yaitu sapi, kuda, domba dan babi, tikus putih, kelinci, dan kucing. Sifat tersebut dapat digunakan sebagai penanda strain virus tetelo meskipun tidak mempengaruhi perbedaan dalam uji serologi. Proses hemaglutinasi terjadi karena SDM yang dicampur dengan virus tetelo dalam proporsi yang seimbang. Koteteloisi tersebut dapat terjadi karena adanya kecocokan virus tetelo dengan reseptor yang terdapat pada permukaan SDM. Beberapa faktor yang memengaruhi uji HA tersebut, antara lain: konsentrasi SDM berkisar 1%, pelarut mengandung elektrolit (0,85% NaCl) dan partikel virus mencapai 105 sampai 106 per mL suspensi. Virus tetelo yang memperlihatkan uji HA positif dapat dihambat oleh antibodi spesifik yang dihasilkan oleh hemaglutinin virus tetelo. Aktivitas hambatan hemaglutinasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar yang memungkinkan identifikasi virus tetelo (Alexander, 2003). Hemaglutinat yang terbentuk pada HA positif dapat terurai kembali oleh aktivitas enzim neuraminidase. Proses tersebut dinamakan elusi. Stabilitas hemaglutinat di antara virus tetelo bervariasi, beberapa strain virus tetelo menunjukkan elusi cepat kurang dari 24 jam tetapi beberapa strain menunjukkan elusi lambat, yaitu lebih dari 24 jam. Waktu elusi beberapa virus tetelo bervariasi. Virus patotipe velogenik mempunyai waktu elusi dari 84 sampai 189 menit, sedangkan virus mesogenik mempunyai waktu elusi antara 43 sampai 78 menit. Proses elusi virus tetelo dapat meningkat pada suhu 37o C, tetapi dapat tertunda apabila ditempatkan pada suhu 4Oo C. Isolasi virus tetelo dapat dilakukan secara in ovo menggunakan telur ayam berembrio umur 9-12 hari specific pathogen free atau setidaknya bebas antibodi terhadap virus tetelo. Sejauh ini inokulasi ditempatkan pada ruang alantois dianggap yang paling peka, meskipun inokulasi pada ruang amnion maupun pada yolk sac dapat juga dipertimbangkan. Pertumbuhan virus dapat menyebabkan kematian embrio, meskipun antar strain virus tetelo juga bervariasi. Kematian embrio akibat infeksi virus tetelo tersebut dapat dipakai sebagai evaluasi virulensi virus yang dikenal dengan chick embryo virulence (CEV). Virus tetelo dikatakan virulen jika dapat menyebabkan kematian embrio dalam 48 jam, moderat jika mampu menyebabkan kematian 50% 11



embrio dalam waktu 48 jam. Virus tersebut dikatakan kurang virulen jika tidak menyebabkan kematian embrio dalam waktu 48 jam. Virus tetelo dibedakan sebagai patotipe velogenik, mesogenik, dan lentogenik berdasarkan kemampuan menyebabkan kematan embrio ayam berturut-turut kurang dari 60 jam, antara 60 sampai 90 jam dan di atas 90 jam. Kemampuan menyebabkan kematian embrio tersebut juga dapat dipakai untuk mengira patogenisitas virus pada ayam. Kematian embrio akibat infeksi virus tetelo tersebut dapat dipakai sebagai evaluasi virulensi virus yang dikenal dengan chick embryo virulence (CEV). Penentuan patotipe pada embrio tersebut juga mirip dengan batasan waktu kematian embrio akibat inokulasi virus tetelo pada TAB yang disampaikan oleh Subcommittee on Avian Diseases, Committee on Animal Health, Agricultural Board National Research Council of America yaitu virus tetelo yang termasuk velogenik dapat menyebabkan kematian embrio sekitar 50 jam, virus mesogenik menyebabkan kematian embrio antara 60 sampai 90 jam, sedangkan virus lentogenik menyebabkan kematian embrio di atas 100 jam. Lesi embrio secara makroskopis teramati kekerdilan, pertumbuhan bulu minimal dan hemoragi pada kulit. Pertumbuhan Virus tetelo virulen dapat merusak selsel epitel, makrofag, fibroblast, endotel dan akhirnya menyebar ke seluruh embrio dan menyebabkan kematian embrio. Lesi tersebut menyebabkan gangguan pertumbuhan embrio sehingga kerdil, teramati tanpa bulu, dan mengalami hemoragi kulit. Lesi makroskopis embrio ayam karena pertumbuhan virus tetelo tersebut menunjukkan kemiripan dengan lesi yang ditimbulkan oleh virus AI, yaitu hemoragik kulit, kekerdilan embrio, dan gangguan pertumbuhan bulu. Kondisi tersebut berbeda dengan virus vaksin atau galur lentogenik karena titer virus yang rendah dalam darah sehingga tidak dapat melewati barier hyperplastic inner lining dari kantong alantois dan oleh karenanya tidak dapat menyebabkan kematian embrio dengan cepat. Pertumbuhan Paramyxovirus dan Orthomyxovirus pada cairan alantois ayam berembrio ditentukan oleh suatu enzim yang disebut virus activating protease (VAP), yaitu sejenis Ca 2+ dependent serin yang berperan dalam memfasilitasi proses cleavage virus tetelo (Wibowo et al., 2006).



12



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dengan menggunakan uji aglutinasi cepat (rapid test) kita dapat mengetahui bahwa dari ke 5 telur yang ditanamkan virus ND pada bagian alantoisnya, virus dapat tumbuh pada 2 telur. Sedangkan untuk ketiga telur lainnya virus tidak dapat tumbuh dikarenakan terjadinya kontaminasi saat penanaman virus. Pada uji haemaglutinasi mikroskopis didapatkan titer pada virus yang dipanen yaitu 1024 HAU.



4.2 Saran Dalam melakukan praktikum inokulasi virus pada telur ayam berembrio seharusnya dilakukan dengan lebih hati โ€“ hati sehingga mengurangi terjadinya kontaminasi agar virus dapat tumbuh dengan baik di allantois telur dan mendapatkan hasil yang lebih baik.



13



DAFTAR PUSTAKA Alexander DJ. 1991. Newcastle and Other Paramixovirus Infection. Dalam: Disease of Poultry. Calnek, B.W., Barnes, H.J., Beard, C.W., Mc. Daugld, L.R., dan Saif, Y.M. (eds.). Tenth edition. Iowa State University Press., Ames, Iowa. Pp.: 496-513. Alexander DJ. 2003. Newcastle and Other Avian Paramixovirus and Pneumovirus Infection. Dalam: Disease of Poultry. Saif, Y. M., Barnes, H.J., Fadly, A.M., Glisson, J. R., McDaugld, L.R., and Swayne, D. E. (eds.). 11th edition. CD-ROM version produced and distributed by Iowa State University Press. Blackwell Publishing Company. Pp.: 63-85. Allan WH, Lancester JE, Toth B. 1978. Newcastle Disease Vaccines, Their Production and Use Food and Agriculture Organization of the United Nation, Rome. Italy. Pp.: 1-5. Cattoli, G., Susta, L., Terregino, C., Brown, C. 2011. Newcastle disease: a review of field recognition and current methods of laboratory detection. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation, 23 (4) pp: 637โ€“656. Dharmayanti, R., Damayanti, A., Wiyono, R., Indriani & Darminto. (2004). Identifikasi Virus Avian Influenza Isolat Indonesia dengan Reverse Transcriptase Poly-merase Chain Reaction (RTPCR). JITV, 9(2), 136-143. Ernawati, R., J. Rahmahani., N. Sianita, Suwarno, W. Tjahjaningsih. 1996. Pengaruh Pemberian Vaksin Kombinasi Newcastle Disease Dan Infectious Bronchitis Dengan Vaksin Tunggal Newcastle Disease Terhadap Titer Antibodi Pada Ayam Serta Pertumbuhan Dan Perubahan Histopatologis Pada Telur Ayam Bertunas. Lembaga Penilitian Universitas Airlangga. Surabaya. Fenner FJ, Gibb EP, Murphy FA, Studdert MJ, and White DO. 1993. Veterinary Virology. Academic Press, Inc. Pp.: 471-481. Grimes, S.E. 2002. A Basic laboratory manual for the small scale production and testing of one-two Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Haryanto, A., Kristiawan D., Irianingsih, S. H., Yudianingtyas, D.W. 2013. Amplifikasi Gen Penyandi Protein Fusion Virus Tetelo dari Spesimen Lapangan dengan Metode One Step RT-PCR. Jurnal Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM. 14 (3), pp: 387393. Hewajuli, D. A., & Dharmayanti, N.L.P.I. 2012. Patogenitas Virus Newcastle Disease Pada Ayam. Makalah Balai Besar Penelitian Veteriner. pp: 72-80. OIE. 2002. Newcastle disease. http://www.oie.int/eng/maladies/ fiches/a_A160.htm. Putra H. H., Wibowo, M. H., Untari, T., Kurniasih. 2012. Studi Lesi Makroskopis dan Mikroskopis Embrio Ayam yang Diinfeksi Virus Newcastle Disease Isolat Lapang yang Virulen. Jurnal Sains Veteriner. 30 (1), pp: 57-67.



14



Shofa, Maya. 2017. Isolasi dan Karakterisasi Molekuler Virus Newcastle Disease dari Peternakan Ayam Petelur yang Telah Divaksinasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wibowo MH, Asmara W, Tabbu CR. 2006. Isolasi dan Identifikasi Serologis Virus Avian Influenza dari Sampel Unggas yang Diperoleh di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. J Sain Vet 24 (1): 77-83. Y.K, Gusti Ayu. 2017. Cara Mengisolasi Virus dan Mengidentifikasi dengan Uji Serologi Hemaglutinsi. Training dan Workshop Laboratorium, Timor Leste. 13-21 Nopember 2017, di Denpasar, Bali.



15



LAMPIRAN



Gambar 1. Hasil uji aglutinasi cepat.



Gambar 2. Proses pembukaan bagian air sac pada telur yang diuji.



Gambar 3. Bagian air sac yang telah terbuka (kelompok 6).



Gambar 4. Hasil uji haemaglutinasi.



16