Laporan Kasus - Kolelitiasis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP KOLELITIASIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Internsip Dokter Indonesia



Disusun Oleh : dr. Herlin Putri Yeni



Pendamping : dr. Nurafdaliza



PROGRAM DOKTER INTERNSIP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUNGAI DAREH KABUPATEN DHAMASRAYA 2021



i



KATA PENGANTAR



Puji dan syukurkepada ALLAH SWT. Atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Kolelitiasis”yang disusun dalam rangka untuk memenuhi persyaratan Syarat Program Internsip Dokter Indonesia. Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya Laporan Kasus ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan semua pihak.



Dhamasraya, Januari 2021



Penulis



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................ i DAFTAR ISI...............................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3 A. Definisi........................................................................................3 B. Epidemiologi...............................................................................3 C. Etiologi dan Patofisiologi............................................................4 D. Klasifikasi...................................................................................5 E. Patofisiologi................................................................................6 F. Dignosis.......................................................................................7 G. Penatalaksanaan........................................................................14 H. Komplikasi................................................................................24 BAB III LAPORAN KASUS PASIEN................................................... 30 BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN.................................44 DAFTAR PUSTAKA



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolelitiasis adalah keadaan dimana terdapatnya batu di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya (Wibowo et al., 2002). Kolelitiasis merupakan masalah kesehatan yang penting di negara Barat, sedangkan di Indonesia kolelitiasis baru mendapatkan



perhatian (Lesmana, 2009). Diperkirakan lebih dari 95%



penyakit yang mengenai kandung empedu dan salurannya adalah penyakit kolelitiasis (Kumar et al., 2007). Prevalensi kolelitiasis berbeda-beda di setiap negara dan berbeda antar setiap etnik di suatu negara. Prevalensi kolelitiasis tertinggi yaitu pada orang-orang Pima Indians di Amerika Utara, Cili, dan ras Kaukasia di Amerika Serikat. Sedangkan di Singapura dan Thailand prevalensi penyakit kolelitiasis termasuk yang terendah (Ko dan Lee, 2009). Perbaikan keadaan sosial ekonomi, perubahan menu diet yang mengarah ke menu gaya negara Barat, serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, mengakibatkan prevalensi penyakit empedu di negara berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat (Ginting, 2013). Walaupun kolelitiasis memiliki angka mortalitas yang rendah, namun penyakit ini berdampak signifikan terhadap aspek ekonomi dan kesehatan penderita (Chang et al., 2013). Diperkirakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat menderita kolelitiasis (Ko dan Lee, 2009) . Kolelitiasis juga merupakan penyakit tersering dan termahal dari seluruh penyakit digestif di Amerika Serikat, setiap tahun, sekitar 1 juta orang dirawat dan 700.000 orang menjalani kolesistektomi (Corte et al., 2008). Sekitar 2% dari dana kesehatan Amerika Serikat dihabiskan untuk penyakit kolelitiasis dan komplikasinya (Kumar et al., 2007). Di Negara Asia prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%. Berdasarkan data terakhir



4



prevalensi kolelitiasis di Negara Jepang sekitar 3,2 %, China 10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0% (Chang et al., 2013). Angka kejadian kolelitiasis dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara (Wibowo et al., 2002). Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2010-2011 didapatkan 101 kasus kolelitiasis yang dirawat (Girsang JH, 2011). Kolelitiasis terutama ditemukan di negara Barat, namun frekuensinya di negaranegara Afrika dan Asia terus meningkat selama abad ke 20. Di Tokyo angka kejadian penyakit ini telah meningkat menjadi dua kali lipat sejak tahun 1940 (Nuhadi M, 2010). Angka kejadian



kolelitiasis sangat dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Terdapat



peningkatan kejadian kolelitiasis yang progesif berhubungan dengan peningkatan usia seseorang (Kumar dan Clark, 2006).Di Amerika Serikat 5%6% populasi yang berusia kecil dari 40 tahun menderita kolelitiasis, dan pada populasi besar dari 80 tahun angka kejadian kolelitiasis menjadi 25%-30% (Kumar et al., 2007). Kolelitiasis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria (Tierney et al., 2010). Menurut Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) dalam Greenberger dan Paumgartner (2011), prevalensi kolelitiasis di Amerika Serikat



yaitu 7,9% pada laki-laki dan 16,6% pada



perempuan. Perbandingan kejadian kolelitiasis pada pria dan wanita yaitu 3:1, dan pada dekade keenam dan ketujuh kehidupan perbandingan akan semakin kecil (Kumar et al., 2007). Selain umur dan jenis kelamin, angka kejadian kolelitiasis juga dipengaruhi oleh obesitas,



kehamilan,



intoleransi



glukosa,



resistensi



insulin,



diabetes



mellitus,



hipertrigliseridemia, pola diet, penyakit Crohn’s, reseksi ileus terminal, dan faktor



lain



(Hunter dan Oddsdettir, 2007; Conte et al., 2011). Kolelitiasis umumnya berada di kandung empedu, tetapi kolelitiasis dapat juga berada di saluran empedu ketika batu di kandung empedu bermigrasi, dan disebut batu saluran empedu



5



sekunder. Sekitar 10%-15% pasien dengan batu di kandung empedu juga memiliki batu di saluran empedu. Batu di saluran empedu juga dapat terbentuk tanpa melibatkan kandung empedu, disebut sebagai batu saluran empedu primer (Lesmana, 2009). Sebagian besar pasien (80%) dengan kolelitiasis tidak bergejala, hanya sedikit pasien yang mengeluhkan nyeri (Lesmana, 2009). Nyeri yang dirasakan pasien adalah nyeri kolik (Kumar et al., 2007). Sebelum dikembangkannya beberapa modalitas diagnosa seperti ultrasound (US), pasien kolelitiasis sering salah terdiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang. Dalam sebuah penelitian di Jakarta dari 74 pasien dengan kolelitiasis, 60% diantaranya terdiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang (Lesmana, 2009). Kolelitisis dapat menimbulkan komplikasi berupa kolesistitis akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, pankreatitis, dan perubahan keganasan (Wibowo et al., 2002). Tatalaksana



yang



diberikan



untuk pasien kolelitiasis



harus



mempertimbangkan keadaan dan gejala yang dialami pasien (Ko dan Lee, 2009) . Tatalaksana kolelitiasis dapat berupa terapi non bedah dan bedah. Terapi non bedah dapat berupa lisis batu yaitu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik, dan pengeluaran secara endoskopik. Sedangkan terapi bedah dapat berupa kolesistektomi (Wibowo et al., 2002).



6



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis. 



B. Etiologi Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:



7



a. Jenis Kelamin Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu. b. Usia Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia> 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. c. Obesitas Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi



kolesterol



hepatica



dan



merupakan



pengembangan batu empedu kolesterol.



8



faktor



resiko



utama



untuk



d. Statis Bilier Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal. e. Obat-obatan Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu. f. Diet Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.



g. Keturunan



9



Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal. h. Infeksi Bilier Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. i. Gangguan Intestinal Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu. j.



Aktifitas fisik Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.



k.



Nutrisi intravena jangka lama Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.



C. Manifestasi Klinik



10



1. Asimtomstik Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali. Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.



2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih.



11



Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada. Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.



3. Ikterus Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa



12



berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.



4. Perubahan Warna Urin dan Feses Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan clay-colored.



5. Defisiensi Vitamin Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitaminvitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah normal. Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.



D. Anatomi dan Fisiologi a. Anatomi Hati



13



Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004). Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006). Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).



b. Fisiologi Hati Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu: a) Metabolisme karbohidrat Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. b) Metabolisme lemak



14



Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat. c) Metabolisme protein Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino. d) Lain-lain Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.



15



E. Patofisiologi Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis). Faktor yang mendukung: 1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu 2. Pengeluaran empedu yang berkurang 3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun 4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung empedu.



16



F. Pathway



17



G. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.



2. Pemeriksaan sinar-X abdomen Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.



18



Gambar: hasil sinar-x pada kolelitiasis



3. Foto polos abdomen Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.  Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.



19



Gambar: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis



4. Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.



20



Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa. USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.



21



Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis 5. Kolesistografi Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen



sehingga



dapat



dihitung



jumlah



dan



ukuran



batu.



Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, 22



muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyakwaktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.



Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi



6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP) 23



Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.



Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis



7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras 24



yang disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.



8. Computed Tomografi (CT) CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.



Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis



9. Magnetic



resonance



imaging



(MRI)



cholangiopancreatography (MRCP)



25



with



magnetic



resonance



H. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.



a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda



26



dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.



b. Farmakoterapi  Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare. Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami kegemukan.Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada. Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif. Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan 27



sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan. Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini  dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.



c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal. 28



Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral. Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.



2. Penatalaksanaan Pembedahan a. Koleksistektomi Terbuka



29



Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.



b. Mini Kolesistektomi Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.



c. Kolesistektomi laparoskopi



30



Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.



d. Bedah Kolesistotomi Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system



bilier



tidak



jelas.



Kndung



empedu



dibuka



melalui



pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu 31



disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.



e. Kolesistotomi Perkutan Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.



f. Koledokostomi 32



Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga mngandung batu, dan



umumnya



koledokostomi



dilakukan



bersama-sama



kolesistektomi.



I. Komplikasi Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.



33



Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis: a. Hidrops Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.



b. Kolesistitis akut



34



Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.



c. Empiema Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.



d. Nekrosisdan Perforasi Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local.



35



Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu. e. Peritonitis Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan. f. Kolesistitis kronis



g. Fistel bilioentrik Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organorgan tersebut.



h. Kolangitis Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. 36



Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.



i. Pankreatitis Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi ampula vetri. BAB III LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. U Umur : 75 tahun Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Jenis Kelamin : Wanita Agama : Islam Alamat :Pulau Mainan II. KELUHAN UTAMA Nyeri perut kanan atas III.ANAMNESA Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas sejak kurang lebih 10 hari SMRS. Nyeri juga kadang dirasakan pada daerah ulu hati, nyeri dirasakan hingga ke bahu dan punggung kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul danberlangsung ± 10 menit dan terasa seperti terpelintir, tidak 37



pasti saat timbulnya baik sebelum ataupun setelah makan dan nyeri hilang dengan sendiri. Air kencing normal tidak ada perubahan warna seperti berwarna teh. Sejak 7 hari SMRS pasien tidak BAB. Pasien merasakan mual dan muntah. Muntah berisi makanan dan cairan lambung, muntah berdarah disangkal, BAB berdarah disangkal, dan pasien juga mengeluh badan terasa demam. Pasien menyangkal adanya kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Tidak terdapat perubahan dalam pola makan pasien, nafsu makan pasien menurun. Pasien juga merasa tidak terjadi perubahan berat badan. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat menderita sakit kuning disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal serupa Riwayat Alergi : Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau makanan tertentu. IV. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Kesadaran : CM 1.Tanda vital Tekanan darah : 100/70 mmHg Nadi : 80 x/menit Pernafasan : 24 x/menit Suhu : 36,2ᵒC 2.Pemeriksaan fisik umum - Kepala-leher : DBN



38



Anemis (-/-) ikterus (-/-) pembesaran KGB (-) - Thorax : DBN Abdomen : Sesuai status lokalis Genitalia : DBN Ekstremitas : DBN Status lokalis : Abdomen Inspeksi : kulit tampak normal, pelebaran pembuluh darah (-), distensi (-), ascites (-), massa (-). Auskultasi : Bising usus (+) Palpasi : terdapat nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas, nyeri lepas (-), hepar tidak teraba, tidak teraba massa pada ke empat kuadran abdomen. Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen Pemeriksaan Penunjang Hematologi Hb : 10 mg/dl Ht : 31 % Leukosit : 13.400 /mm3 Trombosit : 186.000/mm3 BT : 1.00 CT : 3.0 Kimia Darah : Bilirubin Total : 1,15 mg/dl



39



Bilirubin Indirect : 0,7 mg/dl Bilirubin direct : 0,45 mg/dl Faal Ginjal : Ureum : 43 mg/dl Kreatinin : 1,06 mg/dl Elektrolit Na : 140 K : 3,7 Ca : 1,09 USG ABDOMEN Kelenjar limpa baik, pancreas tidak ada kelainan. Ginjal tidak tampak bendungan, buli-buli baik, empedu tampak batu ukuran 2 cm. Kesan : Kolelitiasis V.DIAGNOSIS BANDING Kolelitiasis Ureterolithiasis dextra VI. DIAGNOSIS KERJA Kolelitiasis VII.PENATALAKSANAAN RL 20 gtt/menit Ceftriaxon 1x2 gr (iv ST) Ranitidine 2x1 amp iv Operasi : kolesistektomi



40



VIII. PROGNOSIS Qua ad vitam : Dubia ad bonam Qua ad fungsionam : Dubia ad bonam



BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Dari kasus ini diagnosis fungsional yaitu kolelitiasis, Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan yaitu : 1. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. 2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar. 3. Ikterus



41



Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas sejak kurang lebih 10 hari SMRS. Nyeri juga kadang dirasakan pada daerah ulu hati, nyeri dirasakan hingga ke bahu dan punggung kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul danberlangsung ± 10 menit dan terasa seperti terpelintir, tidak pasti saat timbulnya baik sebelum ataupun setelah makan dan nyeri hilang dengan sendiri. Air kencing normal tidak ada perubahan warna seperti berwarna teh. Sejak 7 hari SMRS pasien tidak BAB. Pasien merasakan mual dan muntah. yang dapat membantu menegakkan diagnosis dari kolelitiasis.



42