Laporan KLT Fito FF UH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FITOKIMIA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN LAPORAN PRAKTIKUM KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)



OLEH: NAMA



: MUKARRAM MUDJAHID



NIM



: N111 14 077



KELOMPOK



: 1 (SATU)



GOLONGAN



: SELASA PAGI A



ASISTEN



: EKA SELVINA



MAKASSAR 2014



BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik pemisahan cara lama, digunakan secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber alam. Kromatografi lapis tipis lebih unggul bila sejumlah kondisi pemisahan yang berbeda-beda diperlukan untuk menangani penetapan kadar seluruh cuplikan, karena sejumlah bejana pengembang yang berisi berbagai sistem pelarut dapat lebih hemat dipakai. Keuntungan lain, tiadanya gangguan pelarut pada penyelidikan secara fotometri karena pelarut sebagai fase gerak telah diuapkan. (1) Pemisahan secara kromatografi `dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul, pada sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan sedemikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut yaitu kelarutan, adsorbsi, dan keatsirian.(1) I.2 Maksud Percobaan Mengetahui dan memahami teknik pemisahan senyawa dalam suatu ekstrak tumbuhan dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).



I.3 Tujuan Percobaan Memisahkan senyawa dari ekstrak daun Legundi (Vitex trifolia) dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). I.4 Prinsip Percobaan Suatu metode pemisahan komponen kimia yang berdasarkan prinsip partisi dan adsorpsi secara selektif, komponen kimia bergerak naik mengikuti cairan pengembang karena daya serap adsorben terhadap komponen-komponen kimia tidak sama maka komponen dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan. Pemisahan senyawa pada ekstrak daun legundi dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan silika gel GF 254 sebagai fase diam dan fase gerak campuran Metanol-etil asetat 1 : 1. 1 : 2, 1 : 3.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain



kromatografi



kertas



dan



elektroforesis.



Berbeda



debgan



kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom. (1) Kromatografi campuran



Lapis



senyawa



Tipis



menjadi



(KLT) senyawa



merupakan murninya



cara



pemisahan



dan



mengetahui



kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. (2) KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi. (2)



Adapun manfaat dari Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yaitu : 1. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat. 2. Pemeriksaan simplisia hewan dan tanaman. 3. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat. 4. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif campuran senyawa obat. II.2. Pelaksanaan KLT 1. Fase Diam (1) Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsi dan partisi. Beberapa contoh penyerap yang digunakan untuk pemisahan dalam kromatografi lapis tipis adalah sebagai berikut : (2) 1. Silika gel Ada beberapa jenis silika gel, yaitu : a. Silika gel G Silika gel G adalah silika gel yang mengandung 13 % kalsium sulfat sebagai perekat. Jenis silika gel ini biasanya



mengandung ion logam, terutama ion besi. Kandungan ion besi dapat dihilangkan dengan mengembangkan plat TLC silika gel G dengan sstem pelarut metanol : asam HCl pekat 9 : 1. b. Silika gel H Perbedaan silika gel G dan silika gel H ialah, bahwa silika gel H tidak mengandung perekat kalsium sulfat. Silika gel H dipakai untuk pemisahan yang bersifat spesifik, terutama lipida netral. c. Silika gel PF Jenis silika gel ini diketemukan belakangan, yang dibuat sedemikian rupa sehingga senyawa-senyawa organik terikat pada plat ini dapat mengadakan fluoresensi. Oleh karena itu visualisasinya dapat dikerjakan dengan menempatkan plat yang telah dikembangkan di dalam ruangan gelap atau dengan sinar ultra violet yang bergelombang pendek. 2. Alumina Penggunaan



alumina



dalam



TLC,



yang



semula



diperkenalkan oleh peneliti dari Cekoslowakia, tidak sesering silika gel. Sebenarnya alumina netral mempunyai kemampuan untuk memisahkan bermacam-macam senyawa, seperti terpena, alkaloid, steroid, dan senyawa-senyawa alisklik, alifatik, serta aromatik. Sebagai zat perekat alumina tidak mengandung zat



perekat, memepunyai sifat alkalis dan dapat digunakan baik tanpa maupun dengan aktivasi (6)



3. Kieselguhr Kieselguhr merupakan adsorben yang lebih lemah dari silika gel dan alumina, oleh karena itu lebih cocok untuk memisahkan senyawa-senyawa polar (1) Penjerap



Mekanisme sorpsi



Silika gel



Adsorpsi



Penggunaan As.amino, hidrokarbon, vitamin, alkaloid Senyawa-senyawa non



Silika + hidrokarbon



Partisi termodifikasi polar As.amino, nukleotida,



Serbuk selulosa



Partisi karbohidrat Hidrokarbon,ion logam,



Alumina



Adsorpsi



pewarna makanan, alkaloid Gula, asam-asam



Kieseguhr



Partisi lemak As.nukleat, nukleotida,



Selulosa penukar ion



Pertukaran ion



halida dan ion-ion logam Polimer, protein,



Gel sephadex



Ekslusi kompleks logam Interaksi adsorpsi,



β-siklodekstrin



Campuran enansiomer stereospesifik



2. Fase Gerak (1)



Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak : a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT teknik yang sensitif. b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. c. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan. d. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa dan asam. 3. Aplikasi (Penotolan) Sampel (1) Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari



2-10 μl, maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan. 4. Pengembangan (1,4) Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan sampel. Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit mungkin (akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan). Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Gambar berikut ini menunjukkan posisi dari totolan sampel, posisi lempeng dalam bejana serta ketinggian eluen dalam bejana :



Gambar 1 : Lempeng dalam beaker(chamber) dengan garis pembatas penotolan sampel dan batas eluen.



Gambar 2 : Lempeng dengan penunjukan kenaikan bercak dan batas atas pengelusian. 5. Deteksi Bercak (1,4) Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan



bercak adalah dengan dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak : a. Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan



bereaksi



secara



kimia



dengan



solute



yang



mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi



berwarna.



Kadang-kadang



dipanaskan



terlebih



dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. b. Mengamati lempeng dibawah



lampu



ultraviolet



yang



dipasang panjang gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluorosensi terang pada dasar yang berfluorosensi seragam. Lempeng yag diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk



lempeng



yang



sudah



diberi



dengan



senyawa



fliorosen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluorosensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluorosensi setelah dilakukan pengembangan. c. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-coklatan.



d. Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup. e. Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrument yang dapat mengukur intensitas



radiasi



yang



direfleksikan



dari



permukaan



lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyera[p sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatatan (recorder). Reagen yang umum digunakan sebagai penampak bercak dalam KLT dapat dibedakan menjadi 2, yaitu reagen umum (yang berlaku untuk hampir semua senyawa organik) sebagaimana ditunjukkan tabel 1 dan reagen spesifik yang hanya mendeteksi jenis atau golongan senyawa tertentu (tabel 2). Tabel 1 Beberapa reagen umum yang digunakan pada KLT Metode deteksi Asam fosfomolibdat + pemanasan



Warna bercak solut Biru gelap



Penggunaan Beberapa senyawa organik



Asam sulfat pekat + pemanasan



Hitam kecoklatan



Semua senyawa organik



Uap iodium



Coklat



Beberapa senyawa organik



Tabel 2 Beberapa reagen spesifik yang digunakan pada KLT Metode deteksi Ninhidrin 2,4-dinitrofenil hidrazon



Warna bercak solut Pink ke ungu Orange/merah



Penggunaan Asam-asam amino Senyawa-senyawa karbonil



Bromokresol



Kuning



Asam-asam organik



hijau/biru 2,7-Fluoresein Vanilin/asam asetat Rhodamin B



Kuning-kehijauan Merah/hijau/pink Berfluoresensi



Senyawa organik Alkohol, keton Lemak



Anisaldehid/antimon



merah Berbagai macam



Steroid



triklorida Difenil amin/seng



Berbagai macam



Pestisida



6. Perhitungan Nilai Rf (4)



Gambar 3 : Perbandingan jarak bercak dan jarak tempuh eluen Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen, dengan persamaan : Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut



Nilai



Rf



dinyatakan



hingga



angka



1,0



beberapa



pustaka



menyatakan nilai Rf yang baik yang menunjukkan pemisahan yang cukup baik adalah berkisar antara 0,2-0,8. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai Rf adalah :



a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.



Pelarut Bahan pengembang (jenis dan ketebalan lapisan) Kejenuhan ruangan akan pelarut Kelembaban udara Konsentrasi Komposisi larutan diperiksa Panjang trayek migrasi Senyawa asing Ketidak homogenan kertas Arah serabut kertas Mutu dan sifat dari lapisan adsorbsi dan kertas Derajat kejenuhan bejana pemisah.



BAB III METODE KERJA III.1



Alat dan Bahan



III.1.1 Alat Alat yang digunakan dalam percobaan kromatografi lapis tipis adalah lempeng, pinset, pipa kapiler, vial, III.1.2 Bahan



Bahan yang digunakan dalam percobaan kromatografi lapis tipis adalah aluminium foil, ekstrak awal, ekstrak latur heksan, ekstrak larut butanol jenuh air, etil asetat, heksan, metanol. III.2



Cara Kerja



a. Penyiapan Lempeng KLT 1. Lempeng KLT diaktifkan dalam oven 2. Lempeng dikeluarkan dan digunting dengan ukuran tertentu 3. Lempeng siap digunakan. b. Identifikasi Kromatografi Lapis Tipis 1. alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan 2. Ekstrak Daun Legundi Dilarutkan 3. chamber yang berisi Eluen masing-masing dijenuhkan dengan pelarut Metanol dan etil 1 : 1, 1 : 2, dan 1 : 3. 4. Setelah jenuh Sampel ditotolkan ke lempeng menggunakan pipa kapiler 5. Kemudian dikeringkan dan dimasukkan dalam chamber. 6. Noda yang terbentuk diamati pada lampu UV 254 dan 366 nm. 7. Noda yang terlihat diberi tanda, dan dihitung nilai Rf nya c. Identifikasi noda menggunakan Reagen H2SO4 10% 1. Lempeng yang telah telah ditotol dikeringkan 2. Lempeng yang telah kering disemprotkan dengan Reagen H2SO4 10% 3. Lempeng kemudian Dikeringkan Dalam Oven



4. Lempeng dibiarkan beberapa menit, dan diamati Noda yang terbentuk 5. Noda yang terlihat diberi tanda, dan dihitung nilai Rf nya



BAB IV HASIL PENGAMATAN



Perbandingan Eluen Metanol : Etil 1:1 Metanol : Etil 1:2 Metanol : Etil 1:3



Rf Senyawa A



Rf Senyawa B



0,825



0,975



0,85



0,95



0,8



0,95



Rf Senyawa C 0,8 0,825 0,8125



BAB V PEMBAHASAN Pada percobaan praktikum Fitokimia ini dilakukan percobaan kromatografi lapis tipis yang mempunyai tujuan untuk mempelajari dan memahami metode pemisahan dengan metode kromatografi lapis tipis dan juga agar dapat mengetahui bagaimana cara menentukan nilai Rf komponen-komponen yang dipisahkan dan mengidentifikasi zat yang dipisahkan. Pada percobaan ini menggunakan teknik fase diam dan fase geraknya yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan dinamakan eluen (pengembang). Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen, maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Pada percobaan ini terlebih dahulu Lempeng yang akan digunakan harus diaktifkan terlebih dahulu. Pengaktifan lempeng bertujuan untuk



mengurangi kadar air (gugus –OH) silika gel agar pada proses elusi lempeng silika gel dapat menyerap dan berikatan dengan sampel namun tidak membentuk ikatan hidrogen sehingga sulit dielusi oleh pelarut/eluen (pengembang) yang digunakan. Pengaktifan lempeng dilakukan dalam oven. Sebagai fase gerak digunakan eluen non polar yaitu metanol : etil asetat sebanyak 1 : 1, 1 : 2, dan 1 : 3. Eluen yang digunakan merupakan kombinasi dari dua atau tiga macam pelarut, hal ini dimaksudkan untuk mencapai semua tingkat kepolaran sehingga diharapkan eluen ini dapat mengangkat noda dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda pula. Dengan



perbandingan



jumlah



pelarut



yang



digunakan



adalah



perbandingan yang didasarkan pada perhitungan bahwa eluen tersebut dapat menarik komponen kimia yang maksimal. Namun jika pada penampakan noda belum didapat jumlah noda yang maksimal atau posisi noda yang terlalu ke atas atau ke bawah maka perbandingan eluen yang digunakan dapat dimodifikasikan kembali. Selanjutnya lempeng dielusi di chamber berisi eluen yang terlebih dahulu sudah dijenuhkan. Tujuan penjenuhan chamber ini yaitu untuk menghilangkan uap air atau gas lain yang mengisi fase penjerap yang akan menghalangi laju eluen. Kemudian lempeng tersebut diberi batas atas 0,5 cm dan batas bawah 1 cm. Batas bawah digunakan untuk menotolkan sampel. Tujuan diberi batas bawah ini adalah untuk mencegah agar sampel tidak sampai tercelup dan larut dalam eluen. Batas atas digunakan untuk mengakhiri proses elusi yang ditandai bahwa



migrasi eluen sampai tanda batas. Proses migrasi eluen ini diharapkan agar sampel juga ikut bermigrasi keatas. Selain itu juga batas atas dan batas bawah pelat harus diberi tanda dengan pensil karena jika menggunakan bolpoin maka noda bolpoin akan ikut terelusi atau mengembang. Setelah jenuh, masing-masing ekstrak) dari daun legundi (Vitex trifolia) ditotolkan pada lempeng silika gel yang berfungsi sebagai fase diam. Setelah jenuh kemudian lempeng dimasukkan ke dalam chamber menggunakan pinset dengan posisi berdiri dan tempat penotolan tidak terendam dengan eluen. Kemudian lempeng yang telah dielusi selanjutnya dikeringkan dan diamati noda-noda yang tampak pada lampu UV 254 nm dilanjutkan ke lampu UV 366 nm. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm dan 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Yang dimaksud dengan gugus kromofor adalah suatu gugus fungsi yang memiliki peranan menyebabkan suatu senyawa memiliki warna. Gugus kromofor juga merupakan menyerap



radiasi



dalam



gugus kovalen tidak jenuh yang dapat daerah



UV-Vis.



Sedangkan



auksokrom



merupakan gugus fungsi yang mempunyai peranan untuk memberikan warna yang lebih intensif pada suatu senyawa. Auksokrom tidak lepas kaitannya dengan adanya kromofor di dalam senyawa tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari



tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.



Energi inilah yang



menyebabkan perbedaan fluoresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Bedanya, pada UV 254 warna noda yang nampak adalah berwarna gelap karena lempeng yang digunakan adalah lempeng dengan penjerap silika gel GF 254 yang berfluorosensi pada lampu UV 254 nm sehingga penjerap disekitar noda berfluorosensi terang sedangkan nodanya berwarna gelap



atau dengan



kata



lain



yang



berpendar adalah



lempengnya. Sedangkan pada lampu UV 366 nm, penjerap tidak berfluorosensi sehingga yang berfluorosensi benar-benar adalah noda sehingga warna noda yang tampak adalah terang atau dengan kata lain nodanya yang berpendar. Untuk menghindari noda berekor, maka ekstrak yang ditotolkan dibuat dalam konsentrasi yang rendah. Apabila konsentrasi ekstrak terlalu pekat maka akan diperoleh noda yang berekor atau bertumpuk. Noda-noda yang diperoleh biasanya berekor disebabkan karena : d. e. f. g.



Penotolan yang berulang-ulang dan letaknya tidak tepat Kandungan senyawa yang terlalu asam atau basa Lempeng yang tidak rata Chamber yang tidak jenuh Penampakan noda juga dapat dilihat dengan cara penyemprotan



dengan H2SO4. Hal ini dilakukan karena pada konsentrasi tersebut memililki efektifitas yang sama dan selain itu lebih ekonomis serta lebih aman karena oleh H2SO4



konsentrasinya lebih rendah. Prinsip penampakan noda adalah karena asam sulfat ini bersifat reduktor sehingga



dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang sehingga dapat terlihat oleh mata. Pergeseran dari serapan ke panjang gelombang yang lebih panjang karena sisipan atau pengaruh pelarut (geseran merah) disebut pergeseran batokromik. Sedangkan pergeseran hipsokromik adalah pergeseran dari serapan ke kepanjang gelombang yang lebih pendek karena sisipan atau pengaruh pelarut (geseran biru). Setelah dilihat penampakan noda-nodanya, maka diukur jarak noda dari titik awal (batas bawah) serta jarak eluen. Hasilnya akan digunakan untuk menentukan harga Rf. Adapun Nilai Rf yang didapatkan pada Uji KLT tersebut yakni. Pada perbandingan Metanol : etil Asetat (1 : 1) didapatkan Senyawa A = 0,825, Senyawa B = 0,975, Senyawa C = 0,8. Pada perbandingan Metanol : etil Asetat (1 : 2) didapatkan Senyawa A = 0,85, Senyawa B = 0,95, Senyawa C = 0,825. Pada perbandingan Metanol : etil Asetat (1 : 3) didapatkan Senyawa A = 0,8, Senyawa B = 0,95, Senyawa C = 0,8125.



BAB VI PENUTUP VI.1



Kesimpulan Pengembangan dengan eluen non polar perbandingan Metanol :



etil Asetat (1 : 1) didapatkan Senyawa A = 0,825, Senyawa B = 0,975, Senyawa C = 0,8. Pengembangan dengan eluen non polar perbandingan Metanol : etil Asetat (1 : 2) didapatkan Senyawa A = 0,85, Senyawa B = 0,95, Senyawa C = 0,825 Pengembangan dengan eluen non polar perbandingan Metanol : etil Asetat (1 : 3) didapatkan Senyawa A = 0,8, Senyawa B = 0,95, Senyawa C = 0,8125 VI.2



Saran Sebaiknya alat-alat praktikum KLT lebih diperbanyak lagi agar



praktikum dapat berjalan baik dan efisien.



DAFTAR PUSTAKA 1. Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2. Anonim. http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 21191/ 4/ Chapter% 20II.pdf. Diakses pada tanggal 31 Maret 2014 3. Gritter, Roy J. dkk. (1991). “Pengantar Kromatografi”. Edisi II. Penerbit ITB, Bandung. 4. Ditjen



POM,



1986."Sediaan



Galenik",



Departemen



Kesehatan



Republik Indonesia, Jakarta. 5. Fachruddin, Tobo. 2001, "Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia I", Laboratorium Fitokimia Jurusan Farmasi Unhas, Makassar. 6. Harbone, J.B, 1987. “Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Mengekstraksi Tumbuhan” Terjemahan Padmawinata, K. Penerbit ITB Bandung



Lampiran 1. Penyiapan Lempeng Lempeng KLT Diaktifkan dalam Oven pada suhu 100OC



Lempeng Dukur dengan ukuran tertentu



Lempeng Siap Digunakan



2. Identifikasi KLT EkstraK legundi Dilarutkan



Eluen dimasukkan kedalam chamber dan dibiarkan hingga jenuh



Sampel Ditotolkan pada lempeng



Dimasukkan ke dalam chamber



dikeringkan



Amati dibawah Lampu UV 254 dan 366



Dihitung Nilai Rf sampel Ekstrak



3. Identifikasi Noda denga reagen H2SO4 10%



Lempeng yang telah ditotol Dikeringkan



Disemprotkan dengan Reagen H2SO4 10%



Dikeringkan Dalam Oven



Diamati Penampakan Noda Dihitung Nilai Rf sampel



Perhitungan IV.2.1. methanol : Etil Asetat ( 1 : 1) Rf noda Senyawa A Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,3 cm = 4 cm =



0,825



Rf noda Senyawa B Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,9 cm = 4 cm =



0,975



Rf noda senyawa C Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,2 cm = 4 cm =



0,8



Lampiran II : Perhitungan 



methanol : Etil Asetat ( 1 : 2) Rf noda Senyawa A Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,4 cm = 4 cm =



0.85



Rf noda Senyawa B Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut



3,8 cm = 4 cm =



0,95



Rf noda Senyawa C Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,3 cm = 4 cm =







0,825



methanol : Etil Asetat ( 1 : 3) Rf noda senyawa A Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,2 cm = 4 cm =



0.8



Rf noda Senyawa B Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,8 cm = 4 cm =



0,95



Rf noda Senyawa C Jarak yang ditempuh senyawa terlarut Rf



= Jarak yang ditempuh pelarut 3,25 cm = 4 cm =



0,8125