13 0 269 KB
LAPORAN KUNJUNGAN PERUSAHAAN POTENSI BAHAYA FAKTOR FISIK DAN KIMIA LINGKUNGAN KERJA PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) UPT. BALAI YASA YOGYAKARTA
Disusun oleh: KELOMPOK 1
dr. Achmad Jauhar Firdaus dr. Agnes Permata Seto dr. Aldera Asa Dinantara dr. Alifina Khairunnisa dr. Aulia Fash Farabi dr. Aulia Taufik Akbar dr. Billy Thionatan dr. Bryan Dennis Bogar dr. Desy Lila Nurdiana dr. Desyana Perwitahati dr. Devi Anggraeni Pramulawati dr. Dian Rizki Fitria dr. Emika Ambar Pangesti dr. Endah Inti Wening dr. Engla Pama Delah
PELATIHAN HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA BAGI DOKTER PERUSAHAAN/INSTANSI BALAI HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DESEMBER 2017
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, kami penulis bisa menyelesaikan Tugas Kunjungan Perusahaan dalam rangka Pelatihan Dokter Hiperkes dengan materi Laporan Potensi Bahaya Faktor Fisik dan Kimia di Lingkungan Kerja.
Pembuatan laporan tugas akhir bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca dan sarana untuk penyempurnaan pelatihan dalam rangka syarat kelulusan dari pelatihan hiperkes. Laporan ini disusun berdasarkan wawancara, pengamatan, pengukuran dan materi-materi yang didapatkan dari kunjungan ke PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) UPT BALAI YASA YOGYAKARTA.
Kami penulis berharap banyak pihak dapat saling melengkapi dan mendukung Pelatihan Hiperkes bagi para dokter ini. Juga diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi perbaikan sistem K3 bagi PT. KAI (Persero) UPT Balai Yasa Yogyakarta. Walaupun laporan ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 22 Desember 2017
Penulis
1
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….
1
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...
2
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………...
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………
5
2.1.
HIPERKES …………………………………………………………………...
5
2.2.
HIGIENE PERUSAHAAN …………………………………………………..
5
2.3.
FAKTOR FISIKA ............................................................................................
5
2.4.
FAKTOR KIMIA …………………………………………………………….
11
BAB III PEMBAHASAN …………………………………………………………...
14
BAB IV KESIMPULAN ……………………………………………………………
22
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
23
2
BAB I PENDAHULUAN Kesehatan dan keselamatan kerja di era globalisasi seperti ini dianggap sangat penting, sebab sudah waktunya pekerja-pekerja mendapatkan hak keselamatan bagi diri sendiri bahkan bagi keluarga yang dalam kasus tertentu bisa saja ditinggalkan karena kecelakaan dalam lingkungan kerja. Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku di tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu persyaratan yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh Negara anggota, termasuk Negara Indonesia. Cukup memprihatinkan kondisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan rendah. Pada tahun 2005 didapati Indonesia menempati posisi yang lebih rendah dari jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Apalagi dalam pertumbuhan ekonomi sekarang di Indonesia yang cenderung rendah pula mengakibatkan banyak investor-investor asing yang memilih hengkang dari Indonesia. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) Soekotjo Joedoatmojo menyatakan bahwa frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan semakin meningkat, sementara kesadaran pengusaha terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) masih rendah, yang lebih memprihatinkan pengusaha dan pekerja sektor kecil-menengah menilai K3 identik dengan biaya sehingga menjadi beban, bukan kebutuhan. Catatan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2015 menunjukkan telah terjadi kecelakaan kerja sejumlah 105.182 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 2.375 orang. Salah satu penyebab kejadian ini adalah pelaksanaan dan pengawasan K3 yang belum maksimal, sekaligus perilaku masyarakat industri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, belum optimal. Berdasarkan data kasus diatas perlu upaya-upaya yang nyata untuk mengurangi jumlah kasus kecelakaan kerja. Salah satunya melalui program hiperkes (higiene perusahaan dan kesehatan kerja).
3
Tenaga kesehatan secara umum merupakan satu-kesatuan tenaga yang terdiri dari tenaga medis, tenaga perawat, tenaga paramedis, non-perawat dan tenaga non-medis. Dari semua kategori tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, tenaga medis merupakan salah satu tenaga terbanyak dan mereka mempunyai waktu kontak dengan pasien lebih lama dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, sehingga mereka mempunyai peranan penting dalam menentukan baik buruknya kesehatan di rumah sakit. Oleh karena itu dokter sebagai orang yang banyak melakukan kontak dengan pasien harus memahami fungsi dan tugasnya dalam hiperkes ini, sehingga pelayan kesehatan yang akan diberikan terhadap pasien akan optimal.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hiperkes Hiperkes dan Keselamatan Kerja merupakan suatu keilmuan multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja. Keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap resiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan keija, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan, atau pencemaran lingkungan kerja. Oleh karena itu, Hiperkes dan Keselamatan kerja bertujuan agar lingkungan kerja higienis, aman dan nyaman yang dikelola oleh tenaga kerja sehat, selamat dan produktif. Hal tersebut akan mendukung tercapainya peningkatan produksi dan produktivitas suatu industri sehingga mampu bersaing dalam proses perubahan global. Hiperkes dan keselamatan kerja mengandung pengertian tentang aspek Higiene Perusahaan (Industrial Hygiene), Ergonomi (Ergonomic), Kesehatan Kerja (Occupational Health) dan Keselamatan Kerja (Safety), yang dalam penerapannya saling berkaitan erat.
2.2 Higiene Perusahaan Menurut Suma’mur (1976), Higiene Perusahaan sendiri adalah spesialisasi dalam ilmu higiene beserta prakteknya yang dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit kualitatif & kuantitatif dalam lingkungan kerja dan perusahaan melalui pengukuran yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif kepada lingkungan tersebut serta lebih lanjut pencegahan agar pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dan akibat bahaya kerja serta dimungkinkan mengecap derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kegiatan Higiene Perusahaan atau Higiene Industri bertujuan agar tenaga kerja terlindung dari berbagai resiko akibat lingkungan kerja, melalui upaya identifikasi atau pengenalan, pengujian atau evaluasi, dan pengendalian serta menerapkannya dalam bentuk pemantauan dan tindakan korektif atau perbaikan lingkungan kerja, melalui metode teknik yang bersifat spesifik.
2.3 Faktor Fisika Standar potensial bahaya faktor flsika di tempat kerja (iklim kerja, kebisingan, getaran, radiasi microwave, radiasi sinar UV, radiasi sinar inframerah, penerangan). Standar tersebt 5
diatas telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor. Kep-5l/MEN/ 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
No.
Faktor
1.
Penerangan
Parameter
Standar (NAB)
Intensitas
50-2000
Satuan Lux
(tergantung jenis pekerjaan) 2.
Iklim Kerja
ISSB
Jenis Pekerjaan: Berat: 25,0 Sedang: 26,7 Ringan: 30,0
3.
Suara
4.
Getaran
Intensitas Kebisingan
Getaran
85
pada 4
tangan
dBA m/det
dan
lengan
Getaran
pada
seluruh tubuh
Getaran
pada
tempat kerja
Getaran
pada
alat kerja 5.
Gelombang Makro
Radiasi
6.
Sinar Ultraviolet
Radiasi
1
mW/cm PW/cm
Nilai ambang batas tersebut diatas adalah nilai yang dianggap aman bagi kesehatan tenaga kerja yang bekerja terus menerus selama 8 jam perhari atau 40 jam perminggu.
6
1. Pencahayaan
Pencahayaan Umum Dari hasil pengukuran pencahayaan di area tersebut secara umum didapatkan rata-rata tingkat pencahayaan umum sebesar 118 lux yang rnenandakan tingkat pencahayaan umum masih kurang (standar pencahayaan umum untuk industri sebesar 150 lux)
Pencahayaan Lokal Hasil pengukuran pencahayaan lokal di tempat pengelasan, rakit bogie, pembubutan, mesin bubut, junghenthai, bongkar pasang rida, area komponen DEI, dan area cuci dan bongkar MD adalah 103 lux, 216 lux, 155 lux, 205 lux, 218 lux, 264 lux, dan 88 lux. Dari hasil pengukuran di tujuh area tersebut, secara umum tingkat pencahayaan masih kurang.
Penilaian Terhadap Kondisi Cahaya (Kualitatif) Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pencahayaan yang baik sudah terpenuhi atau belum. Hal-hal yang menjadi syarat untuk memenuhi sebagai pencahayaan yang baik, antara lain: 1. Pengarnatan terhadap distribusi cahaya. Berdasarkan hasil pengamatan, distribusi cahaya secara keseluruhan tidak merata. 2. Pengamatan terhadap menetapnya cahaya Berdasarkan hasil pengamatan, pencahayaan tetap dan tidak berkedip-kedip karena menggunakan sumber cahaya utama sinar matahari. Ketika keadaan mulai gelap, misalnya saat mendung atau sore hari, lampu baru dinyalakan. 3. Pengamatan terhadap adanya kesilauan Berdasarkan hasil pengamatan, pencahayaan tidak menimbulkan kesilauan bagi para pekerja. Namun ketika menggunakan lampu, sebagian pekerja mulai merasa silau. 4. Pengamatan terhadap adanya perubahan susunan udara Berdasarkan hasil pengamatan, sumber pencahayaan tidak menimbulkan perubahan susunan udara seperti timbulnya asap dan gas karena pada saat pengamatan menggunakan sinar matahari. 5. Pengamatan terhadap adanya perubahan warna Berdasarkan hasil pengamatan cahaya tidak mengakibatkan perubahan warna karena mesin-mesin di PT KAI sudah berwama gelap.
7
2. Kebisingan Berdasarkan pengukuran kebisingan dibeberapa tempat di BALAI YASA PT. KAI, pada tempat-tempat tertentu masih didapatkan kebisingan melebihi NAB yang dijinkan. Kebisingan yang melebihi NAB tersebut berasal dari: Mesin motor diesel di lokasi final test I, benturan logam di lokasi pengelesan logam panas, mesin KA di final test II, Kunci angina di lokasi derektakel, mesin bubut dilokasi mang mesin bubut, mesin bor di lokasi pengelasan, dan be! KA di lokasi final test I. Namun ada juga tempat dengan kebisingan yang tidak melebihi NAB yaitu di lokasi pengecoran logam. Berdasarkan pengamatan, di Balai Yasa sulit dilakukan engineering control karena rata-rata sumber kebisingan berasal dari mesin yang mobile, benturan logam yang intermiten, dan adanya sumber kebisingan dari lokasi lain karena antar lokasi tidak diberi sekat ataupun peredam suara. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan administrative control seperti membatasi jam kerja pegawai yang terpapar bising yang melebihi NAB, atau dengan memberikan istirahat setiap beberapa menit setiap terpapar kebisingan yang melebihi NAB. Bila pengendalian kebisingan secara administratif tidak bisa dilakukan atau kurang maksimal, dapat digunakan alat pelindung diri (APD) yang diwajibkan kepada pekerja ataupun manajemen dan pihak-pihak yang berada di lokasi kerja dengan kebisingan tinggi. Pada pengamatan secara langsung masih didapatkan pekerja dan supervisor yang terpapar kebisingan tinggi tidak menggunakan APD (earmuff, ear plug). Namun mengingat alat pelindung telinga tidak nyaman digunakan secara terus-menerus, maka manajemen sebaiknya tetap memikirkan pengendalian bising secara teknis dan administratif. Oleh karena itu, sebaiknya manajemen melakukan pemeriksaan (misal: audiometri) secara berkala. Dapat juga dilakukan controlling oleh supervisor secara rutin untuk monitoring ketaatan para pekerja dalam menggunakan APD. Pihak manajemen dan supervisor juga diharapkan menerapkan pemakaian APD dengan benar agar dapat menjadi panutan bagi para tenaga kerja. Bising adalah suara/bunyi yang tidak diinginkan. Telinga manusia mampu mendengar frekuensi 16-20.000 Hz. Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja diantaranya: 1. Mengurangi kenyamanan dalam bekerja. 2. Mengganggu komunikasi/percakapan antar pekerja. 3. Mengurangi konsentrasi. 4. Menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara maupun permanen. 5. Tuli akibat kebisingan (Noise Index Hearing Loss = NIHL).
8
Intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja. Dasar hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor: KEP-5l/MEN/l 999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Waktu Pemajanan Per Hari
Intensitas Kebisingan dalam dBA
8 Jam
85
4
88
2
91
1
94
30 Menit
97
15
100
7,5
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12 detik
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
Tidak Boleh
140
Pengendalian 1. Pengendalian secara teknis a. Mengubah cara kerja, mengganti alat yang digunakan, membah kecepatan dan tekanan untuk mengurangi kebisingan b. Menggunakan penyekat dinding dan langit-langit yang kedap suara c. Mengisolasi mesin-mesin yang menimbulkan kebisingan d. Substitusi mesin yang bising dengan mesin yang kurang bising e. Modifikasi mesin atau proses 9
2. Pengendalian secara administratif a. Pengendalian ruang kontrol pada bagian tertentu (misal: bagian diesel). Tenaga kerja dibagian tersebut hanya melihat dari ruang berkaca yang kedap suara dan sesekali memasuki ruang berbising tinggi dalam waktu yang telah ditentukan, serta menggunakan APD (ear muff). b. Pengaturan kerja disesuaikan dengan NAB yang ada.
3. Pengendalian secara media Pemeriksaan audiometri sebaiknya dilakukan pada saat awal masuk kerja, secara periodik, secara khusus dan pada akhir masa kerja.
4. Penggunaan APD Merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain telah dilakukan. Menggunakan sumbat telinga (ear muff) disesuaikan dengan jenis pekerjaan, kondisi dan penumnan intensitas kebisingan yang diharapkan.
3. Iklim Kerja l. Iklim Kerja Panas Suhu yang tinggi mengakibatkan: a. Heat Cramps, terjadi sebagian akibat bertambahnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari dalam tubuh. Gejalanya antara lain, kejang kejang otot tubuh dan perut yang sangat sakit, pingsan, kelemahan, enek dan muntah-muntah. b. Heat Exhaustion, terjadi oleh karena cuaca yang sangat panas. Penderita biasanya berkeringat sangat banyak, sedangkan suhu badan normal atau subnormal. Tekanan darah menurun dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya, penderita akan merasa lemah dan mungkin pingsan. c. Heat Stroke, terjadi akibat pengaruh suhu panas yang sangat hebat, penderita kebanyakan adalah laki-laki yang pekerjaannya berat. Gejala-gejala yang menonjol adalah suhu badan naik, kulit kering dan panas.
10
2. Iklim Kerja Dingin Pengaruh suhu dingin dapat mempengaruhi efisiensi dengan keluhan kaku atau kekurangan koordinasi otot. Sedangkan pengaruh suhu ruangan yang sangat rendah terhadap kesehatan dapat mengakibatkan penyakit yang sering disebut; a. Chilblains. Pada bagian tubuh yang terkena meunjukkan tanda yang khas yaitu membengkak, merah, panas, dan sakit dengan diselingi gatal. b. Trench foot adalah kerusakkan anggota-anggota badan terutama kaki, akibat kelembaban atau dingin walaupun suhu masih diatas titik beku. Awalnya kaki akan terlihat pucat, nada tidak teraba dan tampak pucat. Penderita akan merasa kesemutan, kaku dan kaki berat. c. Frostbite. Terjadi akibat suhu yang sangat rendah di bawah titik beku. Kondisi penderita sama dengan yang mengalami penyakit trench foot, namun stadium terakhir dari penyakit ini adalah gangren.
Standar Iklim Kerja di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999, yaitu scbagai berikut: Pengaturan Waktu Kerja Setiap
Indeks Suhu Basah dan Bola (ISSB)
Jam
Beban Kerja
Waktu Kerja
Istirahat
Ringan
Sedang
Berat
-
30,0
26,7
25,0
75%
25%
28,0
28,0
25,9
50%
50%
29,4
29,4
27,9
25%
75%
32,2
31,1
30,0
Beban kerja terus-menerus (8 Jam/hari)
2.4. Faktor Kimia Bahaya yang dikandung bahan kimia bergantung pada sifat fisik, kimia dan racun dari setiap bahan kimia yang bersangkutan. Secara umum, bahan kimia berbahaya dapat dikelompokkan menjadi: 1.
Bahan kimia mudah meledak adalah bahan kimia berupa padatan atau cairan, atau campurannya sebagai akibat suatu perubahan (reaksi kimia, gesekan, tekanan, panas atau perubahan lainnya) menjadi bentuk gas yang berlangsung dalam proses yang relatif singkat dsertai dengan tenaga perusakan yang besar serta suara yang keras. 11
2.
Bahan kimia mudah terbakar adalah bahan kimia yang apabila mengalami suatu' reaksi oksidasi pada suatu kondisi tertentu akan menghasilkan nyala api. Hidrogen, propane, butane, etilenem asetilanem hydrogen sufide, gas arang batu dan etana merupakan gas yang mudah terbakar.
3.
Bahan kimia beracun merupakan bahan kimia yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia atau bahkan menyebabkan kematian, apabila terabsorbsi tubuh manusia.
4.
Bahan kimia korosif adalah bahan kimia yang sering mengakibatkan kerusakan logamlogam benjana. Senyawa asam alkali dapat menyebabkan luka bakar pada tubuh, merusak mata, merangsang kulit dan sistem pernafasan. Bahan kimia yang bersifat korosif antara lain asam florida, asam klorida, asam nitrat, asam semut, dan asam perklorat.
5.
Bahan kimia oksidator merupakan bahan kimia yang sangat reaktif untuk memberikan oksigen yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran.
6.
Bahan kimia reaktif adalah bahan kimia yang sangat mudah bereaksi dengan bahanbahan lainnya, disertai pelepasan panas dan menghasilkan gas-gas yang mudah terbakar atau keracunan, atau korosi.
7.
Bahan kimia radioaktif yakni bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk memancarkan sinar-sinar radioaktif.
Standar Potensi Bahaya Faktor Kimia di udara tempat kerja telah ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE.0l/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) di udara lingkungan kerja. No. 1.
Nama Bahan Kimia
NAB
Air Raksa
Senyawa Organik
0,025 mg/mm3
Senyawa Alkil
0,010 mg/mm3
Senyawa Aril
0,100 mg/mm3
2.
Benzene
32 mg/mm3
3.
Diazinon
0,100 mg/mm3
4.
Timah Hitam
0,050 mg/mm3
Logan dan Persenyawaan Organik Nilai Ambang Batas (NAB) tersebut diatas adalah nilai yang dianggap aman bagi kesehatan tenaga kerja yang bekerja terus-menerus selama 6 jam per hari atau 40 jam per minggu.
12
Pengamanan Bahan Kimia Berbahaya Di bawah ini disajikan keselamatan yang berkaitan dengan penyimpanan bahan berbahaya, yaitu: 1. Bahan mudah meledak a. Udara dalam ruang tempat penyimpanan bahan kimia mudah meledak harus baik, bebas dari kelembaban, serta aman dari percikan api. b. Tempat penyimpanan harus jauh dari bangunan lainnya, dan jauh dari keramaian untuk menghindari jatuhnya lebih banyak korban bila terjadi ledakan. c. Penerangan ditempat ini harus terbuat dari penerangan alami atau listrik anti-ledakan. 2. Bahan yang mengoksidasi a. Tempat penyimpanan harus sejuk dan dilengkapi dengan pertukaran udara yang baik serta bangunan tahan api. b. Untuk keamanannya, harus menjauhkan bahan yang dapat menyala dari bahan-bahan yang mengoksidasi. 3. Bahan kimia mudah terbakar a. Daerah penyimpanan harus terletak jauh dari sumber panas dan terhindar dari bahaya kebakaran. b. Instalasi listrik tempat penyimpanan harus dihubungkan ke tanah dan diperiksa secara berkala. 4. Bahan kimia beracun Tempat penyimpanan bahan kimia ini harus sejuk dengan pertukaran udara yang baik, tidak kena sinar matahari langsung, jauh dari sumber panas dan harus dipisahkan dari bahan kimia lainnya. 5.. Bahan kimia korosif a. Bahan kimia korosif harus didinginkan diatas titik bekunya. b. Tempat penyimpanan bahan kimia korosif harus terpisah dari bangunan lainnya, terbuat dari dinding dan lantai yang tahan korosi dan tidak tembus serta dilintasi fasilitas penyalur tumpahan.
13
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Identitas Perusahaan Nama perusahaan
: PT. Kereta Api Indonesia (Persero) UPT Balai Yasa Yogyakarta
Jenis perusahaan
: Perawatan armada lokomotif
Alamat perusahaan
: J1. Koesbini No 1, Yogyakarta, 55221, Indonesia
Jumlah tenaga kerja
: 447 orang
Tanggal Kunjungan
: Jumat, 22 Desember 2017, pk 08.30 -10.30
3.2 Proses Produksi 1. Bahan yang diperlukan Bahan baku
: Plat baja
Bahan tambahan
:-
2. Mesin / peralatan kerja digunakan: a. Crane b. Mesin bubut c. Mesin Gerinda d. Oven e. Alat cutting f. Alat Las g. Mesin Press
3. Proses produksi: Pada tahun ke-2 atau ke-4 setelah masa pakai awal kereta api, dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap semua kereta baik yang rusak maupun yang tidak rusak. Pertama, kereta api dicuci dan kemudian dibongkar antara rangka atas dan bawah. Selanjutnya bagian lokomotif yang berukuran kecil dibongkar lagi dan dikirim ke bagian masing-masing untuk diperiksa lebih lanjut. Apabila pada pemeriksaan terdapat kerusakan, maka akan dinilai lebih lanjut apakah mesin masih dapat diperbaiki atau tidak. Jika mesin masih dapat diperbaiki, akan dilakukan proses revisi. 14
Dalam perbaikan kereta api, PT KAI sebagian memproduksi sendiri sparepart yang mereka pakai seperti baut, AS (Shaft), dan part kecil lainnya dengan menggunakan peralatan yang sudah mereka miliki sebelumnya, seperti: mesin bubut, alat cutting, alat las, oven, dan mesin press. Namun, sebagian lainnya yang tidak bisa mereka perbaiki, mereka mendatangkan sparepart dari produsen. Proses perbaikan dilakukan selama 32 hari setiap lokomotif.
4. Barang yang dihasilkan Produk utama
: Jasa perbaikan lokomotif kereta api
Produk Sampingan
: Spare Part Kereta Api
5. Limbah:
Gram logam
Oli bekas
Air aki
Aki rusak
Soda api dan grease
3.3 Identifikasi Potensi Bahaya 1. Faktor Fisik Potensi Bahaya
Sumber Bahaya
Pengendalian yang sudah dilakukan
Kebisingan
Mesin bubut
Tidak ada, pada mesin bubut
Mesin diesel produksi
sudah ada peredam suara dari
Proses
pembongkaran
/ mesinnya
perakitan spare part Getaran Mekanik
-
-
Iklim Kerja Tinggi (panas)
Di semua tempat kerja
Kipas
angin
+
ventilasi
memadai, exhaust fan Iklim Kerja Tinggi (dingin) Tidak Terpapar Pencahayaan
Radiasi:
Tidak ada pengendalian
Pencahayaan hampir di setiap Lampu lokal di beberapa tempat kerja kurang
station kerja
-
-
15
2.Faktor Kimia Potensi Bahaya
Sumber Bahaya
Pengendalian yang sudah dilakukan
Debu
Pembubutan, pengecatan dan Ventilasi, pengelasan
exhaust
fan,
blower, dan APD (kacamata dan masker)
Gas/Uap/Asap
Asap pengelasan dan genset
Ventilasi,
exhaust
fan,
cerobong asap dan APD (kacamata dan masker) Kimia Cair: Asam
Pencucian
Sulfat
kereta
api, APD: Helm, Sepatu boot,
(H2SO4), pengisian air aki, pengecatan, Sarung Tangan, Baju Apron,
natirum hidroksida, oli dan dan lubrikasi mesin
masker
cat Kimia
Padatt:
Logam Pembubutan dan cutting
APD: Helm, Sepatu boot,
dingin (gram)
kacamata google, masker, sarung
tangan,
pengait
magnet
HASIL PENGUJIAN PENCAHAYAAN Hasil pengukuran pencahayaan di Balai Yasa Yogyakarta yang dilakukan secara kuantitatif. Pengukuran dilakukan dengan dua objek yaitu pencahayaan umum dan lokal. HASIL PENGUJIAN PENCAHAYAAN No.
LOKASI
TINGKAT PENCAHAYAAN (LUX)
JENIS
TINGKAT
KERJA
PENCAHAYAAN
KET.
YANG DIPERLUKAN UMUM RANGE
RATA-
LOKAL RANGE
RATA 1.
Rangka
108-122
115
RATARATA
183-215
199
Pekerjaan
200 lux
sedang –
Atas
Pencahayaan kurang
agak teliti 2.
Rangka Bawah
108-122
115
154-320
237
Pekerjaan sedang –
300 lux
Pencahayaan kurang
teliti
16
3.
Ruang
113-140
125
rakit 4.
5.
6.
Ruang
110-143
127
Pekerjaan
traksi
sedang –
listrik
teliti
Ruang
64-181
86
Pekerjaan
traksi
sedang –
motor
agak teliti
Ruang
Ruang
50 lux
kasar
60-140
71
baterai 7.
Pekerjaan
Pekerjaan
cukup 300 lux
113
Pekerjaan
logam
sedang -
panas
sepintas
Pencahayaan kurang
200 lux
Pencahayaan kurang
50 lux
kasar 85- 183
Pencahayaan
Pencahayaan cukup
100 lux
Pencahayaan cukup
Pembahasan:
Tenaga kerja di lokasi rangka atas bekerja dengan pencahayaan umum dengan kisaran 108-122 lux dan pencahayaan lokal dengan rata-rata 199 lux berdasarkan jenis kerja “pekerjaan sedang” dilihat dari kebutuhan pencahayaan minimum adalah “kurang”.
Tenaga kerja di lokasi rangka bawah bekerja dengan pencahayaan umum dengan kisaran 108-122 lux dan pencahayaan lokal dengan rata-rata 237 lux berdasarkan jenis kerja “pekerjaan sedang-teliti” dilihat dari kebutuhan pencahayaan minimum adalah “kurang”.
Tenaga kerja di lokasi ruang rakit bekerja dengan pencahayaan umum dengan kisaran 113-140 lux berdasarkan jenis kerja “pekerjaan kasar” dilihat dari kebutuhan pencahayaan minimum adalah “cukup”.
Tenaga kerja di lokasi ruang traksi motor bekerja dengan pencahayaan umum dengan kisaran 64-181 lux berdasarkan jenis kerja “pekerjaan sedang-agak teliti” dilihat dari kebutuhan pencahayaan minimum adalah “kurang”.
Tenaga kerja di lokasi ruang baterai bekerja dengan pencahayaan umum dengan kisaran 60-14- lux berdasarkan jenis kerja “pekerjaan kasar” dilihat dari kebutuhan pencahayaan minimum adalah “cukup”.
Tenaga kerja di lokasi ruang logam panas bekerja dengan pencahayaan umum dengan kisaran 85-183 lux berdasarkan jenis “pekerjaan sedang-sepintas” dilihat dari kebutuhan pencahayaan minimum adalah “cukup”.
17
HASIL PENGUJIAN IKLIM KERJA: Catatan: NAB berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 NO LOKASI
1
Rangka
HASIL PENGUJIAN
JENIS
SUMBER
NAB
KETERANGAN
Tnwb
RH
ISBB
KERJA PANAS
(oC)
(%)
(oC)
25,0
83
28,4
berat
-
29,0
< NAB
25,0
83
28,4
berat
-
29,0
< NAB
25,0
79
29,0
berat
Tidak
29,0
Sesuai NAB
ISBB (oC)
atas 2
Rangka bawah
3
Logam dingin
4
Logam
terpapar 24,5
89
26,3
berat
pengelasan 29,0
< NAB
panas
Pembahasan: Berdasarkan dari data pengujian dilapangan. Hasil pengujian suhu diseluruh ruangan maka dapat disimpulkan bahwa ISBB PT Balai Yasa KAI dibawah nilai ambang batas (NAB). Namun hal ini dapat disebabkan karena: 1. Suhu dan cuaca saat kunjungan yang hujan 2. Sedikitnya proses produksi yang berlangsung sehingga jumlah pekerja hampir tidak ada 3. Hampir tidak ada alat yang sedang digunakan 4. Sudah baiknya pengendalian yang dilakukan oleh PT Balai Yasa KAI berupa ventilasi yang memadai, kipas angin, exhaust fan dan blower Namun keadaan iklim kerja yang diatas NAB secara terus-menerus dapat berpengaruh terhadap: (1). Efek kerja, berupa: penurunan konsentrasi, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu saraf perasa dan motorik serta memudahkan untuk dirangsang, dan, (2). Efek Fisiologis, berupa: Heat Syncope, Heat Cramps, Heat Exhaustion, Heat Stroke, dan Miliaria.
18
HASIL PENGUJIAN KEBISINGAN: Catatan: NAB berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 NO
1
LOKASI
Rangka
Tk. Kebisingan
JENIS
SUMBER NAB
(dB)
BISING
BISING
KETERANGAN
L eq
L max
72,8
80,6
continuous Crane
85
< NAB
71,5
81,3
continuous Crane
85
< NAB
73,4
81,5
fluktuatif
85
< NAB
atas 2
Rangka bawah
3
Mesin bubut
Crane + mesin bubut
4
Battery
83,2
89,8
fluktuatif
Crane
85
< NAB
80,5
87,3
fluktuatif
Crane +
85
< NAB
repair 5
Bor besi
bor besi
Pembahasan: Menurut Permenaker No. 13 Tahun 2011 Nilai Ambang Batas yang diizinkan pada pekerjaan sehari-hari adalah 85dB selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Dari tabel dapat dilihat angka kebisingan PT. Balai Yasa KAI, pada tempat-tempat tertentu tidak ada yang melebihi dari NAB yang diizinkan, namun hal tersebut dikarenakan oleh tidak adanya proses produksi yang sedang berlangsung. Berdasarkan pengamatan beberapa alat sudah memiliki peredam sehingga bising yang dihasilkan minimal (engineering control). Sehingga pekerja dapat bekerja selama 8 jam secara terus-menerus di tempat tersebut karena masih dibawah NAB. Namun apabila terdapat proses produksi dari data yang didapatkan melalui narasumber kebisingan dapat melibihi NAB sehingga para pekerja diharuskan menggunakan alat pengaman berupa earplug (administrative control). Namun mengingat alat pelindung telinga tidak nyaman dipakai secara terus menerus maka manajemen sebaiknya tetap memikirkan pengendalian bising secara teknis dan administratif. Sebaiknya manajemen tetap mengadakan pemeriksaan kesehatan secara berkala terkait dengan paparan kebisingan. Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada 19
tenaga kerja, terutama akan mempengaruhi pada indera pendengaran. Mereka memiliki resiko mengalami penurunan daya pendengaran yang terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa mereka sadari. Pengaruh kebisingan terhadap pelaksanaan tugas para pekerja di Balai Yasa adalah: 1. Frekuensi kebisingan, nada tinggi lebih beresiko mengalami NIHL dari pada nada rendah. terutama pada tempat penempaan yang menggunakan mesin gerinda. 2. Jenis kebisingan, kebisingan terputus-putus lebih beresiko mengalami NIHL daripada kebisingan kontinu. Dapat dilihat terdapat jenis kebisingan impulsif dibagian penempaan. 3. Sifat pekerjaan, pada pekerjaan yang rumit atau kompleks lebih banyak beresiko mengalami NIHL daripada pekerjaan yang sederhana. 4. Variasi kebisingan, makin sedikit variasinya maka makin sedikit pula variasinya. dari data dapat dilihat variasi kebisingan sudah sedikit. 5. Sikap individu, karyawan yang tidak menggunakan alat pelindung diri, yaitu earplug/eannuff akan lebih banyak beresiko mengalami NIHL daripada yang menggunakan APD. Masih banyak yang tidak menggunakan APD.
DEBU Tabel Hasil Pengukuran Kadar Debu NO
LOKASI
JENIS
KADAR
SUMBER
NAB
KETERANGAN
DEBU
DEBU
DEBU
(mg/m3)
0,217
perlintasan
10
< NAB
0,333
Perlintasan
10
< NAB
(mg/m3) 1
Rangka atas
Sisa kotoran yang menempel traksi
2
Rangka
Sisa
bawah
kotoran yang menempel traksi
20
3
4
Mesin bubut
Asap
roda
logam
Area
Logam
pembuatan
panas
0,298
Logam
10
< NAB
0,453
Pengelasan
10
< NAB
12,167
Partikel cat
10
>NAB
kabin 5
Area printing
Partikel cat
Keterangan: Nilai Ambang Batas (NAB) kadar debu berdasarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan kimia ditempat kerja.
Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan secara keseluruhan, beberapa tempat yang ada di Balai Yasa PT. KAI Yogyakarta memiliki potensi bahaya rendah yang berasal dari faktor debu. Dari hasil pemeriksaan, hanya ada satu lokasi yang ditemukan adanya potensi bahaya tinggi dari faktor debu, yaitu di area painting. Di area ruang painting memiliki kadar debu tertinggi, yakni 12,167 mg/m3 . Walaupun nilai tersebut di atas NAB, pekerja yang bertugas di area ini telah menggunakan masker respirator yang dapat mengurangi jumlah partikel aerosol yang terhirup antara 95%-l00%. Walaupun sebagian besar lokasi pengukuran masih menunjukkan hasil di bawah NAB, penggunaan masker masih tetap kami sarankan untuk mengurangi potensi PAK yang menyerang sistem respirasi, mengingat sebagian besar pekerja yang diamati tidak menggunakan masker dalam bekerja. Selain penggunaan APD, ada hal lain yang dapat dilakukan untuk mengrirangi paparan debu, antara lain engineering control, yaitu dengan memasang penyedot debu dan melakukan penyemprotan berdasarkan arah angin. Administrative kontrol dengan melakukan rotasi karyawan yang bekerja di area painting dengan area lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan risiko terjadinya penyakit respirasi akibat debu menyusup dan menetap di paru-paru, bila terpapar debu terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Dari hasil wawancara dengan pihak pabrik, pengendalian potensi bahaya debu yang sudah dilakukan adalah alat Pelindung Diri (APD) berupa masker untuk pekerja. Sayangnya dari hasil observasi di lapangan, sebagian besar pekerja belum menerapkan upaya pencegahan yang optimal, diantaranya tidak menggunakan masker. 21
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Angka kebisingan pada beberapa lokasi pada Balai Yasa Yogyakarta (PT. KAI) dibawah NAB dikarenakan oleh minimalnya proses produksi yang sedang berlangsung. Namun menurut narasumber kebisingan umumnya tinggi saat proses produksi sedang maksimal. 2. Tingkat pencahayaan di area kerja relatif kurang pada semua area kerja, namun hal ini dikarenakan proses produksi yang sedang berlangsung hanya sedikit sehingga lampu tidak dinyalakan. 3. Pengujian ISBB pada rangka atas, rangka bawah, ruang logam dingin dan ruang logam panas dibawah NAB ISBB. 4. Angka pengukuran debu di area painting memiliki nilai tinggi yaitu mencapai 12,167 mg/m3 yang melebihi NAB, sedangkan di area kerja lain masih dalam normal (dibawah NAB).
4.2. Saran 1. Pemeriksaan berkala terhadap lingkungan kerja yang berkelanjutan terkait bising, iklim, pencahayaan dan debu. 2. Administrative control, berupa pembatasan waktu kerja berdasarkan tingkat kebisingan, pemberian waktu istirahat yang cukup setelah paparan bising yang tinggi. Menggunakan APD sesuai aturan serta controlling yang baik. Pemeriksaan awal untuk pegawai serta pemeriksaan paripurna untuk pegawai yang akan pensiun. 3. Engineering Control, berupa dengan memasang penyedot debu dan melakukan penyemprotan berdasarkan arah angin dan Administrative kontrol dengan melakukan rotasi pegawai dibagian painting penting untuk diterapkan dalam mengurangi resiko PAK. 4. Diharapkan para pekerja dapat mengerti dan mengetahui dampak-dampak bahaya yang terjadi di setiap unit kerja. 5. Kedisiplinan para pekerja dalam penggunaan APD harus ditingkatkan, walaupun proses produksi yang sedang berlangsung minimal.
DAFTAR PUSTAKA 22
ASEAN ASHNET Owupational Safety And Health Network (jejaring Kerja Di Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Antara Negara-Negara Asean). 2003; http://www/asean-osh.net/indonesia/osha%20statistic.htm
Bennet,dkk. 1985. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Departemen Kesehatan. Keputusan Menkes nomor: 405/menkes/SK/XI/2002.www.depkes.go.id
K3 (Keselamatan Dan Kesehatan Kerja) 21 Agustus 2008 diambil di website http://gedbinlink.wordpress.com/tag/k3/
Konradus,
Dangur.
2003.
Hukum
Keselamatan
dan
Kesehatan
Kerja.
Pada
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/02/opi01-html
McComick, EJ and MS. Sanders: Human Factor in Engineering and Design. New York: McGraw Hill Book Company, 1994.
Muhaimin. Teknologi Pencahayaan. Bandung: Refika Aditama, 2001.
PT. Pustaka Binaman Pressindo Dalih. 1982. Keselamatan Kerja Dalam Tatalaksana Bengkel I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Santa H. Pengaruh Kebisingan, Temperatur, dan Pencahayaan Terhadap Performa Karyawan. http:/www.mercubuana.ac.id Suma’mur. Hiperkes Kesehatan Kerja dan Ergonomi. Jakarta: Muara Agung Dharma Bhakti, 1987.
Sutaryono. 2002. Hubungan Antara Tekanan Panas, Kebisingan, dan Penerangan dengan Kelelahan Pada Tenaga Kerja di PT. Aneka Adhe Logam Km'ya Ceper klaten, Skripsi. Semarang: UNDIP
23