Laporan Manajemen Ekowisata Bahari [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MENJAGA KESEIMBANGAN EKOWISATA BAHARI OLEH: ARIEF ANSHORI LANGGA 17051106002



UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN AGROBISNIS PERIKANAN 2019



BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata (tourism) atau kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha (UU 10/2009 tentang Kepariwisataan). Pengembangan ekowisata dalam perspektif alternative tourism pada kawasan hutan pada tahap awal seolah-olah mengurangi kendali pemerintah terhadap kawasan hutan. Namun partisipasi masyarakat yang sangat besar, justru mengurangi beban pemerintah dalam pembinaan dan pelestarian lingkungan. Dalam jangka panjang peran pemerintah lebih besar pada fungsi koordinasi dan pembinaan. Pengembangan pariwisata dapat menimbulkan dampak negatif yang disebabkan oleh kunjungan wisatawan. Untuk penanganan dampak negatif dapat dianggarkan dari penghasilan yang didapat oleh kawasan. Biaya yang timbul dari pengembangan pariwisata ada tiga macam yaitu : biaya finansial dan ekonomi, biaya sosial budaya dan biaya lingkungan (Fandeli dan Nurdin, 2005). Salah satu ciri dalam pengembangan ekowisata adalah pembatasan jumlah pengunjung atau wisatawan sesuai dengan daya dukung (carrying capacity) kawasan. Pembatasan jumlah pengunjung dilakukan karena terjadinya kerusakan lingkungan dan sumberdaya, salah satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah wisatawan yang melebihi daya dukung kawasan. Pada dasarnya ekowisata merupakan perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Sementara itu, menurut kamus bahasa, ekowisata merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memperhatikan atau sejalan dengan kegiatan konservasi. Dengan pengelolaan yang terpadu, ekowisata berpotensi untuk menggerakkan ekonomi nasional dan mensejahterakan rakyat di sekitar kawasan yang dikembangkan sebagai pariwisata alam. Strategi untuk membuat pengelolaan ekowisata merupakan bentuk dari suatu seni yang mempergunakan kecakapan dan sumberdaya dalam mencapai sasaran program jangka panjang dengan memperhatikan kelestarian alam dan peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Strategi pengelolaan ekowisata di suatu daerah akan sangat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat maupun dalam upaya pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Ekowisata dapat mendorong perekonomian masyarakat disekitarnya, dengan cara memberikan jasa keindahan alam kepada wisatawan dimana cara ini dapat memotivasi masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan alam di kawasan yang dilindungi.



Kawasan yang dilindungi memiliki ciri dan karakteristik tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan ekowisata dan wisata minat khusus lainnya, dimana kawasan yang dilindungi mengandung aspek pelestarian dan pemanfaatan yang didasarkan pada keanekaragaman dalam ekosistemnya. kawasan yang dilindungi yang dapat berfungsi sebagai ekowisata atau ecoturism yang berbasis lingkungan. Dalam rangka mencari model pengelolaan ekowisata dalam kawasan yang dilindungi perlu diketahui faktor eksternal dan internal yang merupakan entry point pengelolaan dari kawasan tersebut. Faktor eksternal dari kawasan berupa kebijakan pembangunan. Faktor internal dari kawasan berupa potensi sumberdaya alam, potensi wisata, aksesibilitas, lahan, adat istiadat, SDM, sarana dan prasarana, pengusahaan ekowisata, pengelolaan kawasan topografi, SDM dan tata ruang. Bintang Samudra merupakan salah satu tempat wisata yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata dengan konsep ekowisata. Ekowisata bahari merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi. Konsep ekowisata tidak mengedepankan faktor pertumbuhan ekonomi, melainkan menjaga keseimbangan antara kegiatan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya. Dari uraian diatas maka perlu dilakukannya praktek manajemen ekowisata perairan, sehingga kita mengetahui strategi pengelolaan ekowisata.



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Ekowisata Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga (Edi, dkk., 2010). Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang dikenal dengan ekowisata, merupakan sebuah peluang besar bagi negara kita dengan potensi alam yang luar biasa ini. Hal ini terjadi akibat kecenderungan semakin banyaknya wisatawan yang mengunjungi objek berbasis alam dan budaya penduduk lokal. Secara definitif, ekowisata yang didefinisikan sebagai suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat memperlihatkan kesatuan konsep yang terintegratif secara konseptual tentang keseimbangan antara menikmati keindahan alam dan upaya mempertahankannya. Sehingga, pengertian ekowisata dapat dilihat sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya (Satria, 2009). Produk dan jasa ekowisata meliputi enam jenis (Manurung, 2002): (i) pemandangan dan atraksi lingkungan dan budaya, misalnya titik pengamatan atau sajian budaya; (ii) manfaat lansekap, misalnya jalur pendakian atau trekking; (iii) akomodasi, misalnya pondok wisata, restoran; (iv) peralatan dan perlengkapan, misalnya sewa alat penyelam dan camping; (v) pendidikan dan ketrampilan, dan (vi) penghargaan, yakni prestasi di dalam upaya konservasi.



B. Perkembangan Pariwisata Pariwisata (tourism) sering diasosiasikan sebagai rangkaian perjalan seseorang atau kelompok orang (wisatawan, turis) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kerabat dan tujuan lainnya (Ramly, 2007). Dampak atau isu yang berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata antara lain : penguasaan ekonomi yang tidak seimbang, terbatasnya nilai tambah lokal (local added value), minimnya keterlibatan masyarakat lokal,



dampak lingkungan pariwisata, terkikisnya kearifan sosial dan nilai budaya serta meningkatkan biaya hidup dan beban bagi penduduk lokal (Hadi, 2007). Lebih lanjut Hadi (2007) menyatakan bahwa, pariwisata dewasa ini cenderung memberikan manfaat kepada perusahaan global (imperialisme baru) dan bersifat wisata masal (mass tourism), yang berorientasi hanya sekedar menikmati keindahan alam (sea, sand and sun), tanpa mempertimbangkan pengembangan nilai tambah untuk masyarakat lokal (local value added), nilai sosial budaya dan dampak lingkungan. Pengembangan kawasan wisata merupakan alternatif yang diharapkan mampu mendorong baik potensi ekonomi maupun upaya pelestarian. Pengembangan kawasan wisata dilakukan dengan menata kembali berbagai potensi dan kekayaan alam dan hayati secara terpadu. Pada tahap berikutnya dikembangkan model pengelolaan kawasan wisata yang berorientasi pelestarian lingkungan (Ramly, 2007). Lebih lanjut Ramly (2007) menyatakan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi penting dan strategis di masa datang. Identifikasi dan perencanaan pengembangan industri pariwisata perlu dilakukan secara lebih terperinci dan matang. Pengembangan industri pariwisata ini diharapkan juga mampu menunjang upaya pelestaraian alam, kekayaan hayati dan kekayaan budaya.Pengembangan kawasan wisata merupakan alternatif yang diharapkan mampu mendorong baik potensi ekonomi daerah maupun upaya-upaya pelestarian lingkungan. Fandeli dan Nurdin (2005) menyatakan bahwa, pariwisata selama ini telah terbukti menghasilkan beberapa keuntungan ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai masalah utamanya menyebabkan terjadinya dampak negatif terhadap sosial budaya dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian pariwisata massal ini tidak sesuai dengan sebutan green industry. Green industry sangat sesuai dengan pariwisata yang berbasis alam utamanya ekowisata. Pembangunan pariwisata hendaknya dilaksanakan secara bertahap/gradual, disertai dengan pengukuran dampak ekonomi untuk menimbang sejauhmana pariwisata telah mampu meningkatkan PAD dan perbandingannnya dengan anggaran yang telah dikeluarkan. Pengukuran ekonomis lain yang diperlukan adalah sejauhmana pengeluaran masyarakat terserap dalam perekonomian lokal (retention) dan sejauhmana timgkat kebocoroan ekonomi (leakages) yang diakibatkan oleh sektor pariwisata (Gunawan, dkk. 2000). Menurut Mitchell, Setiawan dan Rahmi (2000), dampak ekonomi suatu kegiatan dapat diketahui dengan menggunakan Analisis Untung Rugi (benefit-cost analysis). Dalam bentuknya yang paling sederhana analisis untung rugi meliputi identifikasi semua keuntungan dan kerugian selama jangka waktu tertentu,



menjabarkan nilai-nilai keuntungan dan kerugian serta menghitung perbandingan antara keuntungan dan kerugian. Pariwisata di suatu kawasan sering dianggap sebagai nilai penggunaan langsung, tetapi kunjungan ke kawasan pariwisata mempengaruhi nilai yang lain. Setelah wisatawan mengunjungi suatu kawasan mereka menyadari keberadaan kawasan tersebut dan medorong untuk mnyumbangkan dana dan meminta untuk dilindungi untuk generasi yang akan datang. Dalam hal ini dapat dipahami adanya nilai penggunaan dan nilai non penggunaan. Pembangunan pariwisata telah mengubah lingkungan alami di lokasi tertentu sehingga perlu dipantau dan diikuti perkembangannya, agar dampak negatif yang mungkin terjadi dapat segera ditanggulangi sebelum menjadi lebih parah dan makin mahal penanganannya (Gunawan, dkk. 2000). Pengembangan pariwisata dapat menimbulkan dampak negatif yang disebabkan oleh kunjungan wisatawan. Untuk penanganan dampak negatif dapat dianggarkan dari penghasilan yang didapat oleh kawasan. Biaya yang timbul dari pengembangan pariwisata ada tiga macam yaitu : biaya finansial dan ekonomi, biaya sosial budaya dan biaya lingkungan (Fandeli dan Nurdin, 2005). Kompenen pengembangan pariwisata sebagaimana tergambar dalam diagram berikut :



Gambar 1. Komponen Pengembangan Pariwisata Sumber : Inskeep (1990) dalam Kuswara (2007) dengan modifikasi Gunawan, dkk. (2000) menyatakan bahwa pengembangan industri pariwisata berkelanjutan berarti mengitegrasikan pertimbangan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan / manajeman di seluruh komponen industri pariwisata. Untuk itu perlu dilakukan program-program sebagai berikut ; (1) pengembangan system manajemen pariwisata berkelanjutan, (2) pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, (3) minimisasi dan pengelolaan limbah (4) perencanaan dan pengelolaan tata guna



lahan (5) pelestarian sumberdaya alam dan warisan budaya serta (6) pengembangan sistem dan mekanisme keamanan dan keselamatan. Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (Gunawan, dkk., 2000). Kepariwisataan global telah mengalami pergeseran pola wisata dari mass tourism ke individual atau small group tourism. Di indonesia kedua pola wisata tersebut berjalan bersamaan. C. Prinsip Ekowisata Rencana pengembangan kawasan bahari harus dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang mendasar, yaitu pemberdayaan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi obyektif wilayahnya, oleh karena itu dalam pengembangan kawasan wisata bahari, senantiasa hendaknya di mulai pendekatan terhadap masyarakat setempat sebagai suatu model pendekatan perencanaan partisipatif yang menempatkan masyarakat pesisir memungkinkan saling berbagi, meningkatkan dan menganalisa pengetahuan mereka tentang bahari dan kehidupan pesisir, membuat rencana dan bertindak (Sastrayuda, 2010). Pembangunan yang berpusat pada masyarakat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment), yang memandang potensi masyarakat sebagai sumber daya utama dalam pembangunan dan memandang kebersamaan sebagai tujuan yang akan dicapai dalam proses pembangunan. Masyarakat pesisir adalah termasuk masyarakat hukum adat yang hidup secara tradisional di dalam kawasan pesisir maupun di luar kawasan pasisir. Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan kawasan wisata bahari maka prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah (Ardika, 2000): 1. Prinsip co-ownership, yaitu bahwa kawasan wisata bahari adalah milik bersama untuk itu ada hak-hak masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang harus dilakukan bersama. 2. Prinsip co-operation/co management, yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan, pengelolaan pesisir untuk dilakukan bersama-sama seluruh komponen masyarakat (stakeholder) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan organisasi non pemerintah (ORNOP) yang harus bekerja sama.



3.



Prinsip co-responsibility, yaitu bahwa keberadaan kawasan wisata bahari menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan wisata bahari merupakan tujuan bersama. Ketiga prinsip tersebut dilaksanakan secara terpadu, sehingga fungsi kelestarian pesisir tercapai dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sekitar pesisir. Oleh karena itu, agar masyarakat mampu berpartisipasi, maka perlu keberdayaan baik ekonomi, sosial dan pendidikan, untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dalam memberdayakan masyarakat sekitar pesisir agar meningkatkan kesejahteraannya melalui 6 prinsip pemberdayaan yaitu (Sastrayuda, 2010). 1. Modal masyarakat (social capital), merupakan kerjasama dan nilai-nilai yang disepakati. 2. Infrastruktur dan pengembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan informal yang berorientasi kepada kemajuan. 3. Orientasi kepemilikan (asset orientation), yaitu pengembangan yang bertumpu pada penggalian kemampuan masyarakat sebagai model pengembangan. 4. Kerjasama (collaboration), yaitu mengembangkan pola kerjasama yang tumbuh dari dalam. 5. Visi dan tindakan strategis yaitu membangun visi, misi dan tindakan. 6. Seni demokrasi, yaitu mengembangkan peran dan partisipatif yang tumbuh dari dalam . Selain itu, prinsip ekowisata menurut Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) dalam Damayanti dan Handayani (2003) antara lain : 1. Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan. 2. Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat. 3. Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat. 4. Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat setempat. 5. Memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan dan kepariwisataan. D. Kriteria Ekowisata Salah satu upaya pemanfaatan sumberdaya lokal yang optimal adalah dengan mengembangkan pariwisata dengan konsep ekowisata. Dalam konteks ini, wisata yang dilakukan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upayaupaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari



perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya (Satria, 2009). Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bahwa ekowisata harus memberikan nilai konservasi yang dapat dihitung, mencakup partisipasi publik, serta menguntungkan dan dapat memelihara dirinya sendiri (Oetama, 2013). Pergeseran konsep kepariwisataan dunia ke model ekowisata, disebabkan karena kejenuhan wisatawan untuk mengunjungi obyek wisata buatan. Oleh karena itu, peluang ini selayaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menarik wisatawan asing mengunjungi objek wisata berbasis alam dan budaya penduduk lokal. Pengembangan ekowista bahari yang hanya terfokus pada pengembangan wilayah pantai dan lautan sudah mulai tergeser, karena banyak hal lain yang bisa dikembangkan dari wisata bahari selain pantai dan laut. Salah satunya adalah konsep ekowisata bahari yang berbasis pada pemadangan dan keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Selanjutnya, kegiatan ekowisata lain yang juga dapat dikembangkan, antara lain: berperahu, berenang, snorkling, menyelam, memancing, kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati atmosfer laut (Sukoraharjo dkk, 2012). Orientasi pemanfaatan pesisir dan lautan serta berbagai elemen pendukung lingkungannya merupakan suatu bentuk perencanaan dan pengelolaan kawasan secara merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi dan saling mendukung sebagai suatu kawasan wisata bahari. Suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan pada empat aspek, yaitu (Gunn 1993 dalam Situmorang, 2001): 1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut 3. Menjamin kepuasan pengunjung 4. Meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya Selain keempat aspek tersebut, ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan untuk pengembangan ekowisata bahari, anatara lain (Satria, 2009): 1. Aspek Ekologis, daya dukung ekologis merupakan tingkat penggunaan maksimal suatu kawasan 2. Aspek Fisik, daya dukung fisik merupakan kawasan wisata yang menunjukkan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang diakomodasikan dalam area tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas 3. Aspek Sosial, daya dukung sosial adalah kawasan wisata yang dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan



4.



dimana melampauinya akan menimbulkan penurunanan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan Aspek Rekreasi, daya dukung reakreasi merupakan konsep pengelolaan yang menempatkan kegiatan rekreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan kemampuan kawasan.



E. Pola Pemanfaatan Lahan di Kawasan Wisata Lingkungan hidup adalah lingkungan di sekitar manusia, tempat organisme dan anorganisme berkembang dan saling berinterakasi (Borong, 1999). Sebagai suatu sistem, lingkungan hidup terdiri atas lingkungan sosial (sociosystem), lingkungan buatan (technosystem) dan lingkungan alam (ecosystem) (Soerjani, 1997). Menurut Ramly (2007), lingkungan alami (ekosistem) adalah lingkungan yang tidak terlalu didominasi manusia sehingga mahluk hidup lainnya mempunyai kesempatan dan ruang untuk hidup wajar. Lingkungan sosial (sosiosistem) adalah lingkungan yang di dalamnya manusia berinteraksi dengan sesamanya baik berdasarkan pola hubungan struktural maupun fungsional. Lingkungan buatan atau lingkungan binaan (teknosistem) adalah lingkungan tempat manusia memenuhi kebutuhannya dengan menerapkan tehnologi seperti pertanian, perumahan, transportasi, perindustrian, kawasan wisata dan lainnya. Lingkungan buatan didominasi oleh manusia. F. Potensi Ekowisata Selanjutnya Hadi (2007) menyatakan bahwa prinsip-psinsip ekowisata adalah meminimalkan dampak, menumbuhkan kesadaraan lingkungan dan budaya, memberikan pengalaman positif baik kepada turis (visitors) maupun penerima (host) dan memberikan manfaat dan keberdayaan masyarakat lokal. Daya dukung (carrying capacity) lingkungan secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan (alam) untuk mendukung kehidupan manusia atau benda hidup lainnya. Menurut Clark (1966), bahwa daya dukung adalah suatu cara untuk menyatakan batas-batas penggunaan terhadap sumberdaya. Analisis daya dukung merupakan salah satu pendekatan bahwa alam mempunyai batas maksimum untuk menerima aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam kurun waktu tertentu. Kajian daya dukung wisata bahari bertujuan untuk menentukan jumlah maksimum pengujung wisata yang masih ditolerir suatu kawasan wisata. Hal ini



dilakukan karena dalam ekowisata, pengembangan kegiatan wisata bahari tidak bersifatmass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas. Dengan demikian untuk mengembangkan ekowisata bahari di kawasan pesisir perlu penentuan daya dukung agar kegiatan wisata yang dilakukan dapat berlangsung secara terus menerus (sustainable).



BAB III Masalah yang di hadapi Wisata bahari seharusnya membentuk kesadaran tentang bagaimana menentukan sikap dalam melestarikan wilayah lautan dan pesisir untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kegiatan pariwisata membutuhkan partisipasi dari wisatawan untuk mengembangkan konservasi lingkungan dan pemahaman mendalam tentang ekosistem laut dan pesisir. Namun, minimnya pengetahuan pengelola dan wisatawan mengenai pentingnya ekosistem menyebabkan kegiatan pariwisata tersebut tidak memperhitungkan dampak terhadap ekosistem laut (Khrisnamurti, Utami, & Darmawan, 2016). Industri pariwisata Indonesia termasuk dalam 13 negara yang mengalami pertumbuhan industri pariwisata tercepat di dunia. Pertumbuhan industri yang pesat ini memiliki resiko yang dapat mengancam kesetimbangan ekosistem lewat pembangunan infrastruktur, fasilitas, serta pemenuhan kebutuhan untuk pariwisata bahari (WWF, 2015). Aktivitas pariwisata juga memiliki dampak pada sumber daya air, udara, mineral dan masyarakat lokal yang berada di pinggir laut (WWF, 2015). Pada artikel ini akan dibahas beberapa contoh kasus praktek wisata bahari yang merusak ekosistem laut dan pendekatan-pendekatan alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif pada ekosistem laut. Wisata bahari jadi ancaman bagi terumbu karang di Nusa Penida, Bali Luh De Suriyani dalam Mongabay melaporkan sejumlah laporan dan fotofoto hasil pemantauan dari hasil kolaborasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan, komunitas penyelam, dan pemerintah daerah selama bulan Juli 2017 yang menunjukkan intensitas kerusakan di area penambatan ponton kapal-kapal yang memuat turis dalam jumlah banyak di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Klungkung, Bali. Kawasan konservasi ini meliputi tiga kepulauan: Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan, namun skala kerusakan yang diamati paling parah ada di Mangrove Point. Kerusakan-kerusakan terbentuk salah satunya disebabkan oleh pemberat beton pengikat tali ponton yang bergeser dan terseret arus dan peletakan alat bantu wisata jalan di bawah air yang terbuat dari beton di atas hamparan karang. Meresponi kerusakan-kerusakan ini, para wisatawan disarankan untuk lebih bijak dalam berwisata dengan cara menimbang dahulu apakah aktivitas wisata berpotensi untuk merusak lingkungan, untuk tidak menyentuh ikan dan makhluk laut, untuk tidak menginjak karang, untuk tidak memberi makan ikan, dan untuk meminimalisasikan interaksi dengan makhluk laut dengan menjaga jarak apabila ingin mengobservasi lebih dekat.



(sumber: mongabay.co.id) Wisata bahari jadi ancaman bagi terumbu karang di Labuan Bajo Selain di Nusa Penida, Bali, kerusakan terumbu karang juga terjadi di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diakibatkan oleh transportasi laut atau kapal pengangkut wisatawan ke Kementerian Perhubungan RI. Pemerhati lingkungan Gabriel Mahal dalam Republika.co.idmenyatakan bahwa kapal yang hilir mudik di Labuan Bajo kerap sembarangan melakukan lego jangkar bahkan menabrak terumbu karang sehingga merusak terumbu karang yang ada. Markus Makmur dalam travel.kompas.com menambahkan salah satu penyebab terumbu karang di Manggarai Barat rusak dan berkurang disebabkan karena buang jangkar dari kapal-kapal ikan milik nelayan. Sama seperti yang disebutkan sebelumnya, jika jangkar kapal tersangkut pada terumbu karang maka terumbu karang akan terangkat dan rusak. Sampah yang bersumber dari bawaan dari laut, dibuang oleh pengunjung, dan sampah warga lokal juga merusak lingkungan. Diperkirakan dalam sehari kawasan Taman Nasional Komodo dan di pesisir Labuan Bajo menghasilkan sampah sebanyak 13 ton per hari di mana 80% dari 13 ton tersebut adalah sampah plastik.



Sampah plastik berserakan di pinggir Pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT, Rabu (30/8/2017); foto oleh Markus Makur (2017). Selain sampah dan kapal, Markus Makmur juga menuturkan bahwa perikanan ilegal (illegal fishing) yang dilakukan dalam skala tradisional maupun skala industri menghancurkan lingkungan laut di Manggarai Barat. Dari hasil survei di pendaratan ikan Labuan Bajo, terdapat 700 bayi ikan hiu dijual dan ditemukan juga ikan pari manta yang dijual dalam dua bulan (Mei 2017-Juli 2017) oleh nelayan. Padahal ikan pari manta termasuk hewan dilindungi dan menjadi daya tarik utama wisatawan asing dan Nusantara. Wisata bahari jadi ancaman bagi terumbu karang di Lombok Barat Ekosistem terumbu karang merupakan komponen penting ekosistem laut yang berfungsi sebagai habitat bagi sejumlah hewan-hewan laut. Terumbu karang memiliki nilai ekologis sebagai habitat, tempat untuk mencari makan, serta tempat pemijahan bagi biota laut (Amalia, 2017). Terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh perubahan fisik dan kimia lingkungan yang disebabkan oleh perubahan alami ataupun perubahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Amalia Hapsari dalam artikelnya di Tribuners.com menyebutkan bahwa terumbu karang di kawasan Gili Terawangan Lombok kini mengalami kerusakan akibat peningkatan kegiatan wisata bahari bawah laut. Kerusakan terumbu karang itu terjadi karena adanya aktivitas pelayaran kapal wisatawan, penangkapan ikan karang dalam kegiatan wisata, serta kegiatan menyelam para wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam bawah laut. Wisata yang seharusnya memperkaya pengetahuan manusia akan kekayaan ekosistem laut Indonesia justru menyebabkan kerusakan alam itu sendiri, oleh karena itu, diperlukan perencanaan program konservasi terumbu karang yang mengikutsertakan wisatawan dan penduduk lokal sebagai pelaku utama dalam memelihara ekosistem laut, terutama ekosistem terumbu karang.



Wisata bahari jadi ancaman bagi terumbu karang di Karimunjawa Salah satu penelitian yang di lakukan di Kepulauan Karimunjawa yang merupakan salah satu obyek wisata bahari yang terkenal menyimpulkan bahwa ada beberapa dampak negatif dari wisata bahari yang menyebabkan perubahan zonasi yang diperuntukan sebagai zonasi pemanfaatan pariwisata (Limbong & Soetomo, 2013). Perubahan fungsi zona tersebut mengancam kondisi lingkungan dan hal ini dapat dilihat dari banyaknya patahan terumbu karang di wilayah yang diteliti. Pengembangan akomodasi pariwisata mengakibatkan berkurangnya lahan terbuka karena menggunaan lahan tanaman bakau (mangrove), sehingga bertentangan dengan penataan ruang wilayah dan pesisir dan pulau pulau kecil (Limbong & Soetomo, 2013). Dari kasus dan dampak-dampak yang disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kerusakan ekosistem pantai dan laut disebabkan terutama oleh beberapa hal berikut:  Perubahan zonasi yang diperuntukan sebagai zonasi pemanfaatan pariwisata mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi terancam, hal ini dapat dilihat dari banyaknya patahan terumbu karang, dan berkurangnya lahan tanaman bakau.  Adanya wisatawan yang menginjak bahkan mengambil terumbu karang sebagai cindera mata ketika snorkeling sehingga mengancam keanekaragaman hayati terumbu karang  Kapal wisata pembawa turis yang bergerak dan melakukan lego jangkar sembarangan  Wisatawan yang kurang mengerti menyentuh, memberi makan, dan mengganggu ikan dan binatang-binatang laut lainnya  Pembangunan jalan di bawah air untuk wisatawan yang tidak menyesuaikan dengan terumbu karang yang sudah ada  Mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut. Penelitian oleh Branchini et al. (2015) menyatakan bahwa kerusakankerusakan pada ekosistem pantai mengurangi kenikmatan rekreasi sehingga kerusakan pada ekosistem juga akan memperburuk performa bisnis pariwisata. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakat dan perusahaan sebagai pemegang kepentingan dalam bisnis pariwisata bahari harus dilakukan secara bertanggungjawab dan didasari oleh sistem manajemen yang ramah lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama sektor pemerintah, swasta, dan pendidikan dalam penyamaan persepsi dan pembentukan best practice pengelolaan ekosistem laut dan pantai. Melalui hal ini diharapkan akan terjadi



sinergi antar sektor sehingga pemenuhan kebutuhan dapat dijalankan secara lestari dan usaha penanggulangan kerusakan dapat berjalan dengan efektif. Penanggulangan kerusakan ekositem laut juga harus mengikutsertakan dan memberdayakan warga yang ada di daerah pesisir laut dalam usaha mempertahankan kelestarian ekosistem laut. Perlu adanya edukasi untuk meningkatkan kesadaran akan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak merusak pada ekosistem laut sehingga masyarakat lokal, terutama yang mata pencahariannya bergantung pada sumber daya alam laut, dan wisatawan yang berkunjung dapat berperan aktif dalam melestarikan lingkungan yang menjadi sumber penghidupan dan sumber rekreasi mereka. Selain pemberdayaan warga, pemerintah juga harus memperkuat kebijakan mengenai peraturan sampah, peraturan mengenai wisata laut, pengembangan dan pembangunan wisata laut, serta transportasi laut dengan bantuan pemberian pengawas. Dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini, maka akan memperkuat pondasi dalam melindungi keberlanjutan ekosistem dan ekologi laut yang diakibatkan oleh aktivitas pariwisata. Pada akhirnya semua kerjasama ini akan terwujud dengan komunikasi semua stakeholder, baik pemerintah (daerah maupun pusat), penduduk setempat dan pengelola, maupun masyarakat yang berperan sebagai penikmat wisata bahari tersebut. Keberlanjutan ini merupakan tanggung jawab semuanya, demi keberlangsungan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.



BAB IV Kesimpulan Banyaknya kendala yang akan menghadang kemajuan wisata bahari di Indonesia. Sehingga untuk memajukan wisata bahari di Indonesia perlu langkahlangkah dan strategi yang diharapkan secara garis besar dapat menciptakan dan mendorong pertumbuhan ekonomi selain itu sebagai perwujudan untuk melestarikan kekayaan alam sehingga tetap tercapai keseimbangan antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan yang lestari untuk diri kita, masyarakat, bangsa, dan generasi penerus dimasa mendatang.



DAFTAR PUSTAKA Ardika, I Gede. 2000. Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengembangan Wisata Bahari di Bali. Naskah Lengkap Seminar nasional. Denpasar. Universitas Udayana. Aziz, Z., P. Subardjo., I. Pratikto. Studi Kesesuaian Perairan Pantai Tanjung Setia Sebagai Kawasan Wisata Bahari Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Journal Of Marine Research. 2 : 125-134. BPKS Sabang. 2012. http//:www.bpks_sabang.com. Clark, J. R. 1996. Coastal Zone Managemet. Handbook. Boca, Raton, Boston, London, New York, Washington D.C: Lewis Publishers. Damayanti, A., Handayani, T. 2003. Peluang dan Kendala Pengelolaan Ekowisata Pesisir Muaragembong Kabupaten Bekasi. Departemen Geografi FMIPA UI. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Kongres Ikatan Geografi Indonesia (IGI). Edi, M., Okik H., Nur, F., 2010. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus Fandeli, C dan Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. UGM. Yogyakarta. Fandeli, C. dan Nurdin, M. 2005. Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional. UGM. Yogyakarta. Gunawan M.P. dkk. 2000. Agenda 21 Sektoral : Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. UNDP Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Hadi, S. P. 2007. Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism). Makalah Seminar Sosialisasi Sadar Wisata ”Edukasi Sadar Wisata bagi Masyarakat di Semarang. Kuswara, E. 2007. Peningkatan Sadar Wisata dalam Pengembangan Pariwisata Indonesia. Makalah Seminar Sosialisasi Sadar Wisata ”Edukasi Sadar Wisata bagi Masyarakat di Semarang. Manurung. 2002. Ecotourism in Indonesia. In: Hundloe, T (ed.). Linking Green Productivity to Ecotourism : Experiences in the Asia-Pacific Region. Asian Productivity Organization (APO), Tokyo, Japan. 98-103 Mitchell, B., Setiawan, B dan Rahmi, D. H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.