Laporan Mikroteknik Tumbuhan K1 B [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBUATAN PREPARAT TUMBUHAN DENGAN METODE EMBEDDING



Oleh : M. Nuruzzaman De Ajeng Qurnia Intan Nabila Fatin Dandi Puspita Diana Istiqomah



B1J013050 B1J014002 B1J014003 B1J014005 B1J014007



Kelompok :1 Rombongan : B1



LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017



I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Suatu organisme baik tumbuhan maupun hewan adalah suatu unit kehidupan yang lengkap. Organisme mempunyai susunan yang terdiri dari organ, jaringan dan sel yang fungsi dan hubungannya merupakan ciri khas suatu individu maupun spesies. Bentuk kehidupan yang paling sederhana suatu organisme dapat terdiri dari satu sel. Setiap organisme hidup ataupun hasil pertumbuhannya merupakan suatu sumber yang penting sebagai bahan mikroteknik. Tingkat kekerasan jaringan tumbuhan pada umumnya ditentukan oleh tingkat pertumbuhannya yang berkaitan dengan lignifikasinya. Jaringan tumbuhan berbeda dengan jaringan hewan, sel tumbuhan terdiri dari selulosa. Membran tersebut berasal dari sel, sedangkan membran sitoplasma yang asli, yang sesuai dengan membran luar pada sel hewan berada sedikit di sebelah dalam (Lachumy & Sasidharan, 2012). Semua sel yang menyusun tubuh tumbuhan dewasa berasal dari kegiatan selsel jaringan muda. Pada proses pencapaian dewasa sel-sel tersebut tidak hanya bertambah volumenya, tetapi strukturnya lebih termodifikasi untuk memenuhi fungsi fisiologis tertentu pada tumbuhan dewasa. Modifikasi untuk memiliki fungsi yang khusus tersebut dinamakan deferensiasi dan merupakan tahap pematangan sel (Sumardi & Pudjoarinto, 2002). Sel tumbuhan mempunyai bentuk, ukuran dan struktur yang bervariasi. Struktur sel rumit, namun demikian semua sel mempunyai persamaan dalam beberapa segi dasar. Jaringan yang menyusun tumbuh-tumbuhan terdiri dari jaringan muda dan dewasa. Jaringan-jaringan ini dapat ditemukan pada bagian akar, batang dan daun tumbuhan. Jaringan ini dapat dilihat dengan membuat suatu preparat penampang dari bagian-bagian tumbuhan (Johansen, 1940). Mikroteknik atau teknik histologi adalah ilmu atau seni untuk mempersiapkan organ, jaringan atau bagian yang lainnya untuk dapat diamati dan dipelajari dengan lebih teliti. Pada umumnya untuk melihat jaringan atau organ ini dilakukan dengan bantuan mikroskop, karena struktur jaringan secara terperinci pada dasarnya terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Suatu spesimen mikroteknik dapat merupakan sebagian ataupun keseluruhan dari struktur yang ditetapkan. Selain diletakkan pada kaca preparat, spesimen tadi umumnya dilindungi dengan kaca



penutup, yaitu sepotong kaca yang sangat tipis ataupun plastik yang tembus pandang yang direkatkan di atas spesimen (Sugiharto, 1989). Banyak cara dalam pembuatan preparat jaringan tumbuhan, diantaranya adalah dengan metode parafin. Metode ini sekarang banyak digunakan, karena hampir semua macam jaringan dapat dipotong dengan baik apabila menggunakan metoda ini. Kebaikan-kebaikan metode ini adalah irisan yang dihasilkan jauh lebih tipis dari pada menggunakan metode beku atau metoda seloidin. Tebal irisan ratarata diatas 10 mikron apabila menggunakan metode beku, tetapi dengan metode parafin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6 mikron (Mannus & Robert, 1960). Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah apabila menggunakan metode ini. Prosedurnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin. Namun metode parafin juga memiliki kelemahan yaitu jaringan menjadi keras, mengerut dan mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan, apabila menggunakan metode ini. Sebagian besar enzim-enzim akan larut dengan metode ini (Wu et al., 2012). Metode parafin termasuk metode sayatan yang banyak digunakan, karena hampir semua jaringan dapat dipotong dengan metode ini. Pengamatan secara mikroskopis dari suatu jaringan dalam berbagai kondisi dan berbagai elemen jaringan dapat diamati atau diteliti melalui preparat permanen yang dibuat dengan metode parafin. Pembuatan preparat dengan metode parafin adalah metode yang paling umum digunakan untuk pembuatan preparat permanen, baik pada tumbuhan ataupun pada hewan (Navid et al., 2004). Irisan utuh suatu spesimen sangat bermanfaat bagi studi pembelajaran. Adanya preparat utuh maka dapat diamati bagian-bagian jaringan dan jenis sel yang ada dalam satu preparat. Pembuatan preparat utuh diupayakan permanen atau awet agar sewaktu-waktu dapat diamati kembali. Keberhasilan pembuatan preparat permanen ini tergantung pada lima tahap yang utama yaitu fiksasi, dehidrasi, penjernihan, perembesan dan pengeblokan parafin serta pewarnaan. Larutan fiksatif yang dipilih, perembesan parafin yang bagus dan zat warna yang akan digunakan menentukan keberhasilan preparat irisan (Navid et al., 2004). B. Tujuan Mengetahui cara pembuatan preparat daun sirih (Piper betle) dengan metode embedding.



II. MATERI DAN METODE



A. Materi Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah mikrotom putar beserta asesorinya, kuas kecil dan sedang, pinset, cutter, thermostat, pipet tetes, silet, gelas benda, gelas penutup, oven, dan mikroskop. Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah organ tumbuhan (daun sirih), FAA, safranin 1%, xilol, xilol I, xilol II, parafin, parafin murni, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 96%, alkohol absolut, akuades, gliserin, albumin, dan entellan new. B. Metode Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah dengan menggunakan metode embedding: 1. Semua alat-alat dan bahan yang digunakan dipersiapkan. 2. Organ tumbuhan (daun sirih) diiris tipis secara melintang 3. Daun dipotong menggunakan silet dengan ukuran 1x1 cm pada bagian yang melewati pertulangan daun, tepi daun dan tengah daun. 4. Kemudian difiksasi dalam botol yang berisi larutan fiksatif FAA selama 24 jam. 5. Larutan fiksatif dibuang, kemudian dicuci dengan alkohol 70% dan digojoggojog. 6. Setelah pencucian, dilanjutkan pewarnaan safranin 1% selama 3 jam, kemudian dicuci kembali dengan alkohol 70%. 7. Setelah diberi pewarna, masuk ke tahap dehidrasi dimana pewarna safraniin dalam botol diganti dengan alkohol bertingkat yaitu:  Alkohol 70% . . . . . . 30 menit  Alkohol 80% . . . . . . 30 menit  Alkohol 96% . . . . . . 30 menit  Alkohol absolut . . . . 30 menit 8. Setelah tahap dehidrasi selesai, masuk ke tahap dealkoholisasi atau clearing dengan menggunakan:  Alkohol absolut : Xylol = 3:1



 Alkohol absolut : Xylol = 1:1



masing-masing selama 30 menit



 Alkohol absolut : Xylol = 1:3  Xylol I . . . . . . 30 menit  Xylol II. . . . . . 30 menit 9. Selanjutnya masuk ke dalam tahap infiltrasi, yang digunakan:  Xylol : Parafin = 1 : 9 selama 24 jam  Parafin murni = selama 1 jam  Tahap infiltrasi ini dilakukan dalam oven dengan suhu 600 C. 10. Campuran xilol : parafin dibuang dan diganti dengan parafin murni selama 1 jam. 11. Kemudian masuk ke tahap embedding. Pada tahap ini parafin murni dituang kedalam cetakan berbentuk kubus. Sebelum menuang parafin, cetakan diberi label dan diolesi dengan gliserin. 12. Parafin dituangkan, kemudian dimasukan potongan daunnya hingga terendam dalam parafin (diatur orientasi letaknya). 13. Didiamkan selama 24 jam hingga mengeras. 14. Daun yang telah diselubungi parafin, kemudian dibuat potongan dan ditempelkan pada holder untuk selanjutnya tahap pemotongan. 15. Preparat yang telah ditempel pada holder, kemudian diiris (sectioning) dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 10 µm. 16. Setelah pita diiris, dipilih pita yang bagus untuk ditempel pada objek gelas. 17. Objek gelas ditetesi gliserin albumin, kemudian diratakan lalu ditetesi dengan air dan diletakan potongan pita parafin diatasnya. 18. Irisan ditutup dengan gelas penutup dengan ditetesi entellan new terlebih dahulu. Preparat dikeringkan di atas thermostat pada temperatur 450C sampai cukup kering. 19. Disebelah kiri gelas penutup diletakkan label dengan diberi keterangan meliputi : Nama spesies, organ dan penampang. Diamati di mikroskop.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil



(1)3.1 Gambar



(2) 3.2 Gambar



(3) 3.3 Gambar



(4)3.4 Gambar



(5)3.5 Gambar



(6)3.6 Gambar



(7)3.7 Gambar



Gambar (8)3.8



Gambar (9) 3.9



Keterangan: Gambar 3.1



Pemotongan daun sirih (Piper betle)



Gambar 3.2



Fiksasi dalam larutan FAA 1x24 jam



Gambar 3.3



Dehidrasi alkohol 70%, 80%, 96%, absolut, masing-masing 30 menit



Gambar 3.4



Clearing alkohol absolut : xylol (3:1 ; 1:1 ; 1:3), xylol I dan xylol II masing-masing 30 menit



Gambar 3.5



Infiltrasi xylol : parafin (1:9) selama 24 jam dilakukan dalam oven dengan suhu 600 C



Gambar 3.6



Penempelan parafin



Gambar 3.7



Pengirisan (sectioning)



Gambar 3.8



Mounting



Gambar 3.9



Hasil mikroskopis irisan melintang daun sirih.



B. Pembahasan Percobaan kali ini, kelompok kami menggunakan bahan yaitu daun sirih (Piper betle) yang dipotong secara melintang dengan panjang 1x1 cm. Setelah dipotong, kemudian melalui tahap fiksasi dengan menggunakan larutan FAA (Formalin, Asam asetat glasial, dan Alkohol 96%), tahap ini bertujuan untuk menjaga atau mengawetkan seluruh stuktur sel sehingga berada dalam keadaan sama atau hampir sama dengan keadaan aslinya pada waktu masih hidup serta memperlambat atau menghentikan proses metabolisme sel pada jaringan. Larutan FAA yang digunakan bertujuan untuk mempercepat penetrasi alkohol dan asam asetat ke dalam jaringan agar pematian dan fiksasi dapat berjalan dengan cepat, serta merupakan larutan yang stabil dan pengawet yang baik (Gunarso, 1986). Tahap fiksasi selesai, kemudian larutan fiksatif dibuang, dicuci dengan alkohol 70% dan digojog-gojog. Setelah pencucian, dilanjutkan pewarnaan safranin 1% dalam alkohol 70% selama 3 jam, dan dicuci dengan alkohol 70%. Menurut Darmanti (2015), metode embedding adalah modifikasi dan pewarnaan dengan menggunakan safranin dan methylene blue. Selanjutmya, masuk ke tahap dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat dengan konsentrasi mulai dari 70%, 80%, 96%, dan alkohol absolut. Daun sirih direndam ke dalam alkohol bertingkat dengan waktu masing-masing selama 30 menit. Tujuan dari tahap dehidrasi adalah mengeluarkan molekul air yang terdapat didalam jaringan. Penggunaan dari alkohol bertingkat tersebut agar kandungan airnya dapat keluar sedikit demi sedikit hingga pada konsentrasi tinggi, pengeluaran airnya pun maksimal, serta mencegah terjadinya lisis pada sel dalam jaringan tersebut (Handari, 1983). Selanjutnya, jaringan direndam ke dalam larutan campuran alkohol absolute : xilol secara bertingkat dengan perbandingan 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing selama 30 menit yang biasa disebut dengan tahap dealkoholisasi. Tahap ini bertujuan untuk mengeluarkan alkohol yang terdapat di dalam jaringan yang kemudian digantikan oleh larutan xilol yang mampu berikatan dengan parafin. Selain itu, tujuan dari perbandingan pada campuran tersebut dimana campuran alkohol : xilol pertama ialah 3 : 1 supaya sel tidak kaget akan penambahan larutan lain sehingga mencegah kerusakan pada sel (Handari, 1983). Tahap berikutnya ialah penjernihan dimana jaringan direndam ke dalam larutan xilol murni I dan xilol murni II dengan waktu masing-masing 30 menit.



Langkah ini dilakukan untuk mengeluarkan alkohol yang masih tersisa dalam jaringan sehingga larutan dalam jaringan hanya larutan xilol saja. Selanjutnya, direndam ke dalam campuran larutan xilol : parafin dengan perbandingan 1 : 9. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan xilol. Selanjutnya masuk ke tahap infiltrasi, dimana jaringan direndam ke dalam parafin cair murni selama 1 jam yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan xilol secara maksimum serta untuk merekatkan jaringan (Gunarso, 1986). Tahap ini di lakukan dalam oven dengan suhu 600 C. Setelah tahap infiltrasi, dilakukan proses penanaman atau embedding dengan cara menuangkan parafin cair ke dalam kertas kubus dengan ukuran ± 1,5 cm yang disebut blok. Kemudian dimasukan potongan daun hingga terendam dalam parafin diatur orientasinya dan didiamkan selama 24 jam hingga mengeras. Hal ini bertujuan agar preparat dapat dengan mudah terpotong tanpa merusak jaringan batang tersebut. Daun yang telah diselubungi parafin, kemudian dibuat potongan dan ditempelkan pada holder untuk selanjutnya tahap pemotongan (Jasin, 2008). Masuk ke tahap pengirisan (sectioning), preparat yang telah ditempel pada holder, kemudian diiris dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 10 µm. Proses penyayatan (sectioning) diawali dengan pengirisan blok parafin dengan cutter, sehingga permukaan blok parafin yang akan diiris dengan mikrotom berbentuk trapesium. Letak mata pisau pada mikrotom menentukan hasil yang diperoleh (Duarte & Claudia, 2012). Hasil sayatan diambil dengan menggunakan kuas secara hati-hati dan dipilih pita yang bagus untuk ditempel pada gelas objek. Pita hasil sayatan ditempel pada gelas objek dengan menggunakan gliserin albumin, kemudian diratakan lalu ditetesi dengan air dan diletakan potongan pita parafin diatasnya. Gliserin albumin memiliki kandungan putih telur dan gliserin dan merupakan pelakat alami yang sangat baik (Arisworo, 2000). Selanjutnya dilakukan mounting dengan ditetesi entellen new sehinggastruktur sel dan jaringan pada irisan akan tetap awet. Objek gelas diletakan diatas kotak pemanas dan diberi label untuk selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Berdasarkan hasil praktikum didapatkan bahwa preparat yang dihasilkan kurang baik karena jaringan pada daun sirih yang dibuat preparat parafin kurang terwarnai. Preparat juga terdapat sedikit gelembung di sekitar jaringan sehingga jaringan kurang terlihat secara jelas. Menurut Suntoro (1983), Karakteristik tumbuhan yang akan diambil spesimennya juga menentukan waktu pada tahap-tahap pemrosesan. Misalnya waktu yang berlebih pada suatu tahap pengecatan akan



mengakibatkan suatu warna menjadi terlalu gelap dan mungkin warna lainnya menjadi kurang atau bahkan hilang. Keberhasilan pembuatan preparat permanen ini tergantung pada lima tahap yang utama yaitu fiksasi, dehidrasi, penjernihan, perembesan dan pengeblokan parafin serta pewarnaan. Larutan fiksatif yang dipilih, perembesan parafin yang bagus dan zat warna yang akan digunakan menentukan keberhasilan preparat irisan. Irisan utuh suatu spesimen sangat bermanfaat bagi studi pembelajaran. Adanya preparat utuh maka dapat diamati bagian-bagian jaringan dan jenis sel yang ada dalam satu preparat. Pembuatan preparat utuh diupayakan permanen atau awet agar sewaktu-waktu dapat diamati kembali. Keberhasilan pembuatan preparat permanen ini tergantung pada lima tahap yang utama yaitu fiksasi, dehidrasi, penjernihan, perembesan dan pengeblokan parafin serta pewarnaan. Larutan fiksatif yang dipilih, perembesan parafin yang bagus dan zat warna yang akan digunakan menentukan keberhasilan preparat irisan (Imron, 2008). Metode parafin adalah suatu metode pembuatan preparat dengan melakukan penanaman jaringan di dalam blok parafin untuk menghasilkan preparat jaringan hewan ataupun tumbuhan yang tipis. Preparat parafin ini dilakukan penyelubungan karena jaringan merupakan bahan yang lunak. Pembuatan sediaan dengan pemotongan jaringan menggunakan parafin dan mikrotom sebagai alat pemotongnya. Infiltrasi dilakukan supaya parafin yang masuk berfungsi sebagai penyangga jaringan saat diiris dengan mikrotom, lalu diembedding (proses penanaman) yaitu merendam jaringan ke dalam parafin cair, dan parafin akan masuk ke seluruh bagian jaringan, proses pemotongan dengan mikrotom, penempelan pada kaca objek, pewarnaan dengan haematoksilin (pada umumnya bahan ini yang sering digunakan untuk jaringan hewan) sedangkan jaringan tumbuhan seringkali menggunakan safranin ataupun fast green. Setelah diwarnai lalu dimounting, diberi perekat entellan, dan diberi label nama (Tjiptrosoepomo, 1993). Manfaat dari metode parafin menurut Gunarso (1986), sebagai berikut: 1. Metode parafin merupakan cara pembuatan preparat permanen dengan menggunakan parafin sebagai media embedding dengan tebal irisan kurang lebih mencapai 6 µm-8 µm. 2. Metode ini memiliki irisan yang lebih tipis dibandingkan dengan menggunakan metode beku atau metode seloidin yang tebal irisannya kurang lebih mencapai 10 µm.



3. Prosesnya juga jauh lebih cepat dibandingkan metode seloidin. Selain itu metode parafin juga memiliki kelemahan yaitu jaringan menjadi keras, mengerut dan mudah patah, jaringan-jaringan yang besar menjadi tidak dapat dikerjakan, dan sebagian besar enzim-enzim akan larut karena menggunakan metode ini. Menurut Gunarto (1986), evaluasi hasil dari pembuatan preparat organ tumbuhan (daun sirih) dengan metode embedding, sebagai berikut: 1. Penggunaan pipet harus disesuaikan dengan larutannya, karena pipet yang berbeda dapat menyebabkan tidak sempurnanya saat fiksasi atau clearing. 2. Pada saat penyimpanan organ daun sirih pada blok cetakan yang berisi parafin cair harus langsung diletakkan, karena parafin akan cepat mengeras. Orientasinya harus diperhatikan, karena apabila terlalu kanan, atau kiri, pada saat pengirisan (sectioning) hasilnya tidal akan maksimal. 3. Pada saat pengirisan dengan mikrotom blok parafin hasil pita parafin dari setiap praktikan terpotong dengan rapih, karena sesuai dengan prosedur oleh asisten dan dosen. 4. Pada saat pengamatan dibawah mikroskop pita jangan sampai mongering, usahakan selalu basah, kemudian tutup dengan menggunakan cover glass. 5. Penutupan cover glass pada saat mounting harus lebih hati-hati, karena jika langsung menutup dan menekannya akan terdapat gelembung disekitarnya.



IV. KESIMPULAN



A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1. Tahapan dari proses pembuatan preparat organ tumbuhan dari daun sirih (Piper betle) dengan metode embedding adalah pemotongan daun sirih, pewarnaan, fiksasi, dehidrasi, dealkoholisasi, infiltrasi, penanaman, pengirisan (sectioning), mounting dan pengamatan di bawah mikroskop. 2. Hasil preparat menunjukan bahwa jaringan pada daun sirih yang dibuat preparat parafin kurang terwarnai. Preparat juga terdapat sedikit gelembung di sekitar jaringan sehingga jaringan kurang terlihat secara jelas



DAFTAR REFERENSI



Arisworo, K. N. 2000. Histologi Dasar. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Darmanti, Sri. 2015. Penebalan Dinding Sel Xilem Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr. ] var. Grobogan akibat Cekaman Ganda Interferensi Teki (Cyperus rotundus L.) dan Kekeringan. Buletin Anatomi dan Fisiologi, 23(2), pp. 2328. Duarte, M. R. & Claudia B. E. 2012. Leaf and Stem Microscopic Identification of Tithonia Diversifolia (Hemsl.) A. Gray (Asteraceae). Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences, (48): 3-95. Gunarso W. 1986. Pengaruh Dua Jenis Cairan Fiksatif yang Berbeda pada Pembuatan Preparat dari Jaringan Hewan Dalam Metoda Mikroteknik Parafin. Bogor: IPB Press. Handari. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Imron, T. A. 2008. Pembuatan Preparat Jaringan Tumbuhan dengan Metode Parafin. Malang: Universitas Brawijaya. Jasin, M. 2008. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Johansen, D. A. 1940. Plant Microtechnique. Ist ed. New York: McGraw-Hill Publications in the Botanical Sciences. Lachumy S. J & Sasidharan S. 2012. The Usage of Microscopy Method for Herbal Standardizations. Current Microscopy Contributions to Advances in Science and Technology. Malaysa: Institute for Research in Molecular Medicine, Universiti Sains Malaysia. Mannus J. F & Robert W. 1960. Staining Method Histologic and Histochemical. New York (US): Medical Divition of Harper Inc. Navid A. M. D., Anna M & Theisl M. T. A. 2004. Paraffin embedding technique for specimens obtained by vitrectomy, 122(10): 1537-1538 Sugiharto, 1989. Mikroteknik. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Sumardi, I & Pudjoarinto, A. 2004. Struktur Perkembangan Tumbuhan. Makassar: Universitas Hasanuddin. Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan Histologi dan Histokimian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara Tjiptrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: UGM Press.



Wu, S., Tobias I Baskin & Kimberly L Gallagher. 2012. Mechanical Fixation Techniques for Processing and Orienting Delicate Samples, Such as the Root of Arabidopsis thaliana, for Light or Electron Microscopy. Nature Protocols, 7(6): 1113–1124.



METODE NON EMBEDDING PADA TUMBUHAN



Oleh : M. Nuruzzaman De Ajeng Qurnia Intan Nabila Fatin Dandi Puspita Diana Istiqomah



B1J013050 B1J014002 B1J014003 B1J014005 B1J014007



Kelompok :1 Rombongan : B1



LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017



I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Mikroteknik adalah ilmu yang mempelajari tentang pembuatan preparat. Setiap pembuatan preparat pada umumnya selalu dilakukan fiksasi terlebih dahulu. Sedangkan fiksasi itu sendiri adalah suatu cara atau proses (metode) yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah fungsi dan struktur di dalam sel itu sendiri. Jika telah dilakukan fiksasi maka preparat yang dibuat akan menjadi lebih awet dan tahan lama (Nurliani, 2007). Preparat irisan adalah preparat yang objeknya merupakan irisan dari bagian objek yang diamati. Tujuan pembuatan preparat ini adalah untuk dapat menyediakan preparat mikroskopis yang dapat memperlihatkan struktur bagian yang diiris secara lengkap seperti keadaan yang sebenarnya. Jika bahan yang bersangkutan diiris secara langsung menggunakan silet tajam dengan bantuan gabus atau hand mikrotom sebagai penahan bahan pada waktu proses pengirisan, maka preparat tersebut juga disebut dengan preparat irisan bebas atau non embedding (Rudyatmi, 2012). Organisme mempunyai susunan yang terdiri atas organ, jaringan, dan sel yang fungsi dan hubungannya merupakan ciri khas suatu individu maupun spesies. Jaringan tumbuhan berbeda dengan jaringan hewan dalam satu hal penting yaitu bahwa setiap sel tumbuhan terbungkus yang terdiri dari selulosa (Sugiharto, 1989). Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang berhubungan erat satu sama lain dan mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Tumbuhan berpembuluh matang dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yang semua dikelompokkan menjadi jaringan (Kimball, 1992). Sirih (Piper betle) merupakan Famili dari Piperaceae (sirih-sirihan) dalam ordo Piperales yang memiliki ciri-ciri habitus semak atau perdu, juga ditemukan dalam bentuk memanjat dengan akar lekat dan jarang berbentuk pohon. Daun duduknya berbeda, tunggal, tepi rata, bertulang daun menyirip atau menjari dan berbau aromatis atau rasa pedas. Bunga kecil, dalam bulir, yang terakhir kadangkadang keseluruhannya berbentuk payung, masing-masing dalam ketiak daun pelindung, tanpa perhiasan bunga, berkelamin 2 atau 1. Benang sari berjumlah 1 sampai 10, ruang sari 2. Bakal buah beruang 1. Kepala putik 1-5, duduk atau dengan tangkai putik yang pendek kemudian buah buni berbiji 1 (Kurniawati et al., 2016).



Ciri khas masing-masing dari Piper betle ini mengindikasikan adanya perbedaan dalam struktur anatomi jaringan pembuluhnya. Jaringan pembuluh tumbuhan terdiri dari xilem dan floem. Xilem dan floem memiliki fungsi yang berbeda dan spesifik. Xilem berfungsi mengangkut air dan mineral dari dalam tanah melalui akar, sedangkan floem berfungsi mengangkut hasil fotosintesis ke seluruh organ tumbuhan. Xilem mempunyai struktur yang lebih kuat sehingga dapat utuh sewaktu berubah menjadi fosil dan dapat dipakai sebagai bahan identifikasi. Oleh karena itu dipilihlah xilem untuk dapat mengetahui perbedaan struktur anatomi jaringan pembuluh tersebut (Kurniawati et al., 2016). Menurut Esau (1964), struktur anatomi batang setiap jenis tumbuhan sangat bervariasi sehingga dapat digunakan untuk kunci identifikasi. Salah satu cara untuk mengidentifikasi penampakan anatomi unsur pengangkut berupa xilem ini adalah dengan pengamatan preparat dengan bantuan mikroskop. Pembuatan preparat batang sirih (Piper betle) ini dilakukan dengan menggunakan metode non embedding. Metode ini merupakan salah satu metode dalam mikroteknik. Mikroteknik itu sendiri merupakan ilmu atau seni yang mempersiapkan organ, jaringan atau bagian jaringan untuk dapat diamati dengan bantuan mikroskop (Kurniawati et al., 2016).



B. Tujuan Praktikum kali ini bertujuan untuk memahami dan melakukan pembuatan preparat metode non embedding batang Piper betle serta mengevaluasi preparat yang telah dibuat.



II. MATERI DAN METODE



A. Materi Alat yang digunakan antara lain botol fial, silet, gelas arloji, object glass, cover glass, pipet tetes, tissue, kertas label, pensil, thermostat, kuas, pinset, mikroskop cahaya, alat tulis, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah batang sirih (Piper betle), larutan FAA, larutan safranin 1%, larutan alkohol 70%, larutan alkohol 80%, larutan alkohol 96%, larutan alkohol absolut, larutan xylol, dan entellan.



B. Metode Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah: a. Pengirisan sampel dan fiksasi 1. Batang sirih (Piper betle) diiris melintang secara tipis, lalu dimasukkan ke dalam botol fial. 2. Irisan batang sirih difiksasi dengan larutan FAA selama 24 jam. b. Pencucian dan pewarnaan tunggal 1. Larutan fiksatif dibuang, lalu dibilas larutan alkohol 70% dengan cara digoyangkan secara perlahan. 2. Larutan alkohol 70% dibuang dan diganti dengan pewarna safranin 1% selama 60 menit. 3. Pewarna safranin dibuang lalu dicuci kembali dengan larutan alkohol 70%. c. Dehidrasi 1. Dehidrasi dengan larutan alkohol 70% dan diganti berturut-turut dengan larutan alkohol 80%, 96% dan absolut, masing-masing selama 15 menit sambil digoyangkan secara perlahan. d. Dealkoholisasi atau Clearing 1. Alkohol absolut dibuang dan berturut-turut diganti dengan campuran alkohol : xylol (3:1), (1:1), (1:3), xylol I, dan xylol II masing-masing selama 15 menit sambil digoyangkan secara perlahan. e. Pemilihan irisan dan pengamatan di bawah mikroskop 1. Irisan batang sirih (Piper betle) dikeluarkan dari botol fial dan diletakkan di atas gelas arloji berisi xylol.



2. Irisan batang sirih (Piper betle) dipilih yang terbaik berdasarkan (bentuk, ketebalan, dan pewarnaannya baik, serta struktur yang akan diamati lengkap). 3. Irisan yang terbaik diletakkan di atas object glass agak menepi pada 2/3 bagian object glass. f.



Penutupan dan pemberian label 1. Irisan ditutup dengan cover glass dengan ditetesi entellan terlebih dahulu. 2. Preparat dikeringkan di atas thermostat pada temperatur 450C sampai entellan cukup kering. 3. Label diletakkan di sebelah kanan cover glass dengan diberi keterangan meliputi : nama spesies, organ dan penampang; ØL batang sirih (Piper betle). 4. Preparat diamati dan dievaluasi.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil



Gambar 3.1 Preparat Melintang dari Batang Piper betle Perbesaran 40x



B. Pembahasan Batang merupakan organ tumbuhan yang tumbuh di permukaan tanah. Fungsi batang, antara lain menyalurkan air dan garam mineral dari akar ke daun, menyalurkan zat makanan dari daun ke seluruh tubuh, tempat penyimpanan cadangan makanan, serta tempat menempelnya daun, bunga, dan buah. Jaringan penyusun batang, antara lain epidermis, korteks, stele, endodermis, perisikel, empulur, xilem, floem, dan cambium (Mulyani, 2010). Pembuatan preparat jaringan tumbuhan batang sirih (Piper betle) dapat dilakukan dengan metode irisan. Metode irisan merupakan suatu metode pembuatan sediaan dengan cara membuat suatu irisan dengan ketebalan tertentu sehingga dapat diamati bagian-bagiannya di bawah mikroskop. Tujuan dari pembuatan preparat irisan ialah untuk menyediakan preparat mikroskopis yang dapat memperlihatkan struktur bagian yang diiris secara lengkap seperti keadaan yang sebenarnya. Penggunaan metode non embedding diketahui dapat dilakukan dalam pembuatan preparat irisan melintang, dimana jaringan terlihat pada mikroskop tidak mengalami perubahan struktur atau susunan (Sass, 1961). Proses pembuatan preparat non embedding dimulai dari organ batang sirih (Piper betle) dewasa dan segar diiris melintang tipis secukupnya menggunakan silet tajam. Hasil irisan lalu dimasukkan ke dalam botol fial yang berisi larutan fiksatif FAA dan didiamkan selama 24 jam. Larutan fiksatif FAA (formaldehida, asam asetat, & etanol) merupakan pewarnaan kuantitatif. Protokol larutan fiksatif ini biasanya digunakan pada metode embedding & non-embedding. Selain itu larutan fiksatif ini digunakan pada berbagai prosedur pewarnaan histologi lainnya, dan biasanya mewarnai pada bagian sitoplasma (Kladnik, 2013). Tujuan dilakukannya fiksasi adalah untuk mencegah kerusakan jaringan, menghentikan proses metabolisme secara cepat, mengawetkan komponen sitologis dan histologis, mengawetkan keadaan sebenarnya, mengeraskan materi yang lunak, dan jaringanjaringan dapat diwarnai sehingga bisa diketahui bagian-bagian jaringan. Larutan FAA. Faktor-faktor yang berperan dalam fiksatif adalah buffer (pH), suhu yang rendah mencegah autolisis, untuk mendapatkan daya penetrasi yang tinggi digunakan irisan setipis mungkin, perubahan volume, osmolaliitas pada larutan fiksatif, penambahan deterjen sehingga fiksatif cepat masuk, konsentrasi, dan waktu fiksasi (Berlyn & Miksche, 1976).



Fiksatif dibuang ke botol sisa, lalu pencucian irisan menggunakan larutan alkohol 70% dalam botol yang bebas fiksatif sambil digoyangkan secara perlahan selama kira-kira satu menit. Larutan pencuci kemudian dipindahkan ke dalam botol sisa dan diganti dengan pewarna safranin 1% selama 60 menit. Zat warna dipindahkan ke dalam botol sisa lalu irisan dicuci kembali dengan larutan alkohol 70%. Larutan pencuci kemudian dipindahkan dalam botol sisa. Selanjutnya pendehidrasian irisan organ batang sirih dengan larutan alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%, 96% dan absolut masing-masing selama 15 menit sambil digoyangkan secara perlahan. Dehidrasi memiliki fungsi menghilangkan air dalam jaringan. Bahan yang digunakan untuk dehidrasi harus mampu menggantikan fungsi air. Dehidrasi yang baik dilakukan secara bertahap yaitu mulai dari alkohol konsentrasi 70% kemudian berturut-turut 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut (Berlyn & Miksche, 1976). Larutan dehidran dipindahkan ke dalam botol sisa. Pendealkoholisasian irisan dengan alkohol : xylol bertingkat masing-masing 3:1, 1:1, dan 1:3, lalu clearing ke xylol I dan xylol II selama 15 menit sambil digoyangkan secara perlahan. Irisan batang sirih (Piper betle) selanjutnya ditampung pada gelas arloji yang berisi xylol. Penyortiran irisan organ batang menggunakan mikroskop dan dipilih beberapa irisan yang yang benar-benar representatif (bentuk, ketebalan, dan pewarnaannya baik, serta struktur yang akan diamati lengkap). Sedikitnya satu irisan batang sirih yang representatif diletakkan agak menepi pada 2/3 bagian object glass yang bebas lemak dengan bantuan kuas. Penutupan (mounting) dengan meneteskan 1-2 tetes entellan di atas irisan. Irisan ditutup dengan cover glass dengan dengan bantuan pinset untuk mengatur letak cover glass. Preparat dikeringkan di atas thermostat pada temperatur 450C sampai entellan cukup kering dan diberi label 1 cm dari tepi kanan object glass. Keterangan meliputi nama spesies, organ dan penampang; ØL batang sirih (Piper betle). Stok irisan direndam dalam 1 ml xylol. Preparat yang telah dibuat dievaluasi hasilnya dengan bantuan mikroskop (Pfeiffer et al., 2003). Batang tumbuhan tersusun atas jaringan epidermis, endodermis, korteks, dan stele. Epidermis terdiri atas selaput sel yang tersusun rapat, tidak mempunyai ruang antar sel. Fungsi epidermis untuk melindungi jaringan di bawahnya. Batang yang mengalami pertumbuhan sekunder, lapisan epidermis digantikan oleh lapisan gabus yang dibentuk dari kambium gabus. Korteks batang disebut juga kulit pertama, terdiri dari beberapa lapis sel, yang dekat dengan lapisan epidermis tersusun atas



jaringan kolenkim, makin ke dalam tersusun atas jaringan parenkim. Endodermis batang disebut juga kulit dalam, tersusun atas selapis sel, merupakan lapisan pemisah antara korteks dengan stele. Endodermis tumbuhan Angiospermae mengandung zat tepung, tetapi tidak terdapat pada endodermis tumbuhan Gymnospermae. Stele atau silinder pusat merupakan lapisan terdalam dari batang. Lapisan terluar dari stele disebut perisikel atau perikambium. lkatan pembuluh pada stele disebut tipe kolateral yang artinya xilem dan floem. Letak saling bersisian, xilem di sebelah dalam dan floem sebelah luar (Gembong, 2005). Preparat



irisan



yang



dihasilkan



bersifat



mikroskopis



dan



dapat



memperlihatkan struktur bagian secara keseluruhan. Preparat irisan bebas (non embeding) merupakan preparat irisan yang dibuat secara langsung tanpa melakukan penyelubungan terlebih dahulu. Preparat irisan yang baik memenuhi kriteria teramati cukup baik, preparat tampak tipis transparan, terwarna serta kontras, selain itu struktur bagian yang diiris juga lengkap. Irisan batang tampak terwarnai zat warna safranin dengan baik (Sass, 1961). Hasil preparat irisan non embedding batang sirih (Piper betle) yang telah dibuat oleh kelompok 1 rombongan B1 memperlihatkan jaringan epidermis dan endodermis yang terwarnai jelas, namun pewarnaanya terlalu sedikit tebal. Tingkat ketebalan irisan batang sirih (Piper betle) juga dapat menyebabkan penyerapan warna merah dari pewarna safranin 1% terlihat berlebihan. Menurut Suntoro (1983), waktu yang berlebih pada suatu tahap pewarnaan akan mengakibatkan suatu warna menjadi terlalu gelap dan mungkin warna lainnya menjadi kurang atau bahkan hilang. Selain itu, faktor dari mikroskop cahaya menyebabkan preparat ketika diperbesar terlihat sedikit buram. Pembuatan preparat ini tidak mudah dilakukan, dan tidak dilakukan sekali atau dua kali, melainkan dibuat berulang kali sampai mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Mulanya, irisan yang dipilih terlalu tebal dan terlalu tipis, sehingga pada irisan yang terlalu tebal, bagian-bagian dalam irisan tidak nampak dalam mikroskop karena irisan yang terlalu tebal menyebabkan cahaya tidak dapat menembus irisan dan sulit ditutup dengan cover glass. Irisan yang terlalu tipis, sel-selnya tidak terlihat karena ada bagian yang terbuang. Kendala lain saat proses mounting yaitu terdapat gelembung udara yang mengganggu visualisasi preparat. Metode non embedding memiliki beberapa keuntungan diantaranya proses non embedding lebih cepat dan lebih sederhana untuk dilakukan. Pembuatan preparat non embedding hanya dapat dilakukan untuk jaringan



atau organ yang sifatnya kaku, seperti akar dan batang. Guna mendapatkan hasil yang baik irisan jaringan dibuat setipis mungkin dan diusahakan irisan dalam keadaan utuh sehingga dapat diamati setiap bagian yang dikehendaki (Widjajanto & Setjo, 2001).



IV. KESIMPULAN



A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1. Langkah-langkah dalam membuat preparat non embedding batang sirih (Piper betle) yaitu batang segar disayat melintang dengan silet, difiksasi dalam botol fial dengan larutan FAA selama 24 jam, diganti dengan alkohol 70% pencuci sambil dikocok, diganti dengan safranin 1% selama 60 menit, diganti dengan alkohol 70% sambil dikocok, didehidrasi bertingkat dengan alkohol 70%, 80%, 96% dan absolut masing-masing 15 menit sambil digoyang, didealkokoholisasi dengan campuran alkohol dan xylol (3:1,1:1,1:3) dan xylol murni I dan II masing-masing 15 menit sambil digoyang, irisan disortir didapatkan irisan yang representatif, diletakkan di object glass, ditetesi entellan pada proses mounting, diberi label, dievaluasi hasil preparatnya. 2. Evaluasi yang didapatkan yaitu jaringan epidermis dan endodermis yang terwarnai jelas, namun pewarnaanya terlalu sedikit tebal. Tingkat ketebalan irisan batang sirih (Piper betle) juga dapat menyebabkan penyerapan warna merah dari pewarna safranin 1% terlihat berlebihan. Aaktu yang berlebih pada suatu tahap pewarnaan akan mengakibatkan suatu warna menjadi terlalu gelap dan mungkin warna lainnya menjadi kurang atau bahkan hilang. Selain itu, faktor dari mikroskop cahaya menyebabkan preparat ketika diperbesar terlihat sedikit buram.



DAFTAR REFERENSI



Berlyn, G.P. & J.P. Miksche. 1976. Botanical Microtechnique and Cytochemistry. Iowa: The Iowa State University Press. Ames. Esau, K. 1964. Anatomy of Seed Plants, 2nd ed. New York: John Wiley & Sons Gembong, T. 2005. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: UGM Press Kimbal, J. W. 1998. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga Kladnik, A. 2013. Maize Kernels–Fixation in FAA, Embedding, Sectioning and Feulgen Staining. Bio-protocol. 3(15). Kurniawati, F., Zaenab, S., & Wahyuni, S. 2016. Analisis Perbandingan Bentuk Jaringan Pembuluh Trakea pada Preparat Maserasi Berbagai Genus Piper Sebagai Sumber Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia, 1(2). Mulyani, S. 2010. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius. Nurliani, A. 2007. Petunjuk Praktikum Teknik Laboratorium. Banjarbaru: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Biologi. Pfeiffer, S., M. Beese, M. Boettcher, K. Kawaschinski, & K. Krupinska. 2003. Combined Use of Confocal Laser Scanning Microscopy and Transmission Electron Microscopy for Visualisation of Identical Cells Processed by Cryotechniques. Protoplasma. 222(3-4): 129-137. Rudyatmi, Ely. 2012. Bahan Ajar Mikroteknik. Semarang: Jurusan Biologi FMIPA UNNES. Sass, J.E. 1961. Botanical Microtechnique. Ames, Lowa: The Iowa State University Press. Sugiharto, 1989. Mikroteknik. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Suntoro, H. S. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Penerbit Bhatara Karya Aksara. Widjajanto & S. Setjo. 2001. Mikroteknik Tumbuhan. Malang: Universitas Negeri Malang.



METODE ASETOLISIS



Oleh : Muhammad Nuruzzaman De Ajeng Qurnia Intan Nabila Fatin Dandi Puspita Diana Istiqomah



B1J013050 B1J013002 B1J013003 B1J013005 B1J013007



Kelompok : 1 Rombongan : B1



LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017



I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bunga merupakan diferensiasi suatu tunas (daun maupun batang) yang morfologi, pigmentasi maupun strukturnya disesuaikan dengan jenis tumbuhan. Bunga yang lengkap (completes) memiliki empat bagian, yaitu kelopak (calyx), tajuk atau mahkota (corolla), benang sari (stamen), putik (pistillum). Bagian bunga ini dapat menyerupai daun biasa dengan perbedaan yang sedikit. Kelopak bunga dan tajuk disebut perhiasan bunga (perianthium) karena warna dan bangunnya banyak sekali yang indah dan beragam, oleh sebab itu dapat menarik perhatian banyak serangga. Kelopak atau calyx, yaitu rangkaian daun-daun bunga pertama dari bawah yang pada kuncup bunga terletak paling luar. Fungsi kelopak untuk melindungi bagian-bagian lainnya dari gangguan luar sebelum kuncup bunga itu mekar. Tajuk bunga atau mahkota bunga (corolla) adalah rangkaian daun-daun bunga yang kedua dari bawah yaitu yang terletak pada lingkaran diatas kelopak, selama kuncup bunga belum mekar tajuk bunga membungkus dan melindungi benang sari serta putik dari berbagai gangguan eksternal (Darjanto, 1984). Benang sari atau stamen memiliki tangkai sari (filamentum) dan kepala sari (anthera). Benang sari pada umumnya duduk pada dasar bunga namun seringkali nampak seperti berdiri diatas kelopak atau daun-daun tajuk. Tangkai-tangkai sari dari sebuah bunga tidak selalu sama panjangnya. Jumlah benang sari tergantung dari jenis atau spesies tanaman. Serbuk sari pada keadaan yang masih muda dibentuk oleh beberapa butir sari yang masih muda berdekatan membentuk tetrad (bangun 4) namun setelah dewasa lazimnya setiap butir serbuk sari hanya terdiri dari satu sel. Lapisan kulit luar serbuk sari yang permukaannya kasar merupakan lapisan pelindung terhadap penguapan dan perusakan serta menunjang dalam hal penyebaran sari dalam rangka polinasi atau persarian (Darjanto, 1984). Kotak sari (theca), ruang sari (loculus) dan serbuk sari (pollen) merupakan bagian atau organ-organ yang melengkapi anther. Bunga pada tanaman dapat terletak diujung batang atau cabang dan ketiak daun yang letaknya sama dengan tempat tunas yang akan tumbuh menjadi cabang. Bunga seringkali hanya memliki satu putik (pistillum) yang terdiri atas kepala putik (stigma), tangkai putik (stylus) dan bakal buah (ovarium). Banyaknya serbuk sari sangat berkaitan dengan polinasi atau persarian dan propagasi atau penyebaran serbuk sari tersebut. Metode yang paling



sering dan paling tepat digunakan untuk mengamati proses propagasi maupun sekedar mengamati morfologi dari polen telah banyak dilakukan, Menurut Cain (1994), salah satu metode pengawetan polen yaitu metode asetolisis (acetolysis). Pertimbangan penggunaan metode asetolisis dalam praktikum ini dikarenakan cara kerja yang relatif mudah, selain itu preparat polen yang diawetkan juga mampu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama (Susandarini, 2004). B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik pembuatan preparat dengan menggunakan metode asetolisis.



II. MATERI DAN METODE A. Materi Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah scalpel atau silet steril, tabung reaksi (tabung vial), batang pengaduk, botol ukuran ± 4cm, kaca benda dan kaca penutup, sentrifuge, mikroskop cahaya dan kertas tisu. Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah pollen dari bunga bougenvil (Bougainvillea spectabilis), asam asetat glacial, H2SO4, akuades, gliserin gel (safranin+gliserin) dan alkohol 70%. B. Metode 1.



Pollen dipotong dari anther bunga bougenvil (Bougainvillea spectabilis).



2.



Pollen difiksasi dengan asam asetat glacial selama 24 jam.



3.



Pollen dipindahkan dalam tabung sentrifuge, kemudian ditetesi H2SO4 1 tetes, kemudian tabung dipanaskan dalam waterbath dengan temperatur kamar sampai mendidih dan warna pollen berubah kecoklatan.



4.



Setelah mendidih pemanasan dihentikan dan tabung diambil, kemudian diamkan selama ± 15 menit sampai dingin.



5.



Kemudian disentrifuge I dan setelah itu cairan dibuang dan diganti akuades I.



6.



Sentrifuge II dan diganti akuades II.



7.



Sentrifuge III dan diganti akuades dibuang.



8.



Natan diteteskan pada object glass diamati dibawah mikroskop, terlihat pollen atau tidak.



9.



Apabila pollen sudah dapat dilihat, maka pollen yang ada ditabung sentrifuge diwarnai menggunakan gliserin gel 1% (safranin+gliserin) dalam alkohol 70%.



10. Diamati di bawah mikroskop.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil



] Gambar 3.1 Pollen Bunga Bougenvil (Bougainvillea spectabilis) Perbesaran 400x



B. Pembahasan Pollen setiap jenis tumbuhan berbeda, baik itu pada bentuk butir sari, besar atau volume maupun warna butir sarinya. Jumlah serbuk sari sangat berkaitan dengan ukuran sel, dengan demikian jumlah serbuk sari pada setiap antera tidak terhingga banyaknya tergantung jenis bunganya. Tumbuhan yang persariannya berlangsung dengan bantuan angin (anemophily), biasanya memiliki serbuk sari jauh lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan yang persariannya dibantu oleh insekta atau binatang lainnya (Sutejo, 1989). Morfologi atau bentuk serbuk sari dari berbagai jenis bunga bermacammacam dan terkadang nampak seperti butir-butir tepung yang sangat halus, kering dan ringan dan bila tertiup angin dapat melayang-layang diudara sampai tinggi. Jenis tanaman lain membentuk serbuk sari (pollen) yang sangat berlemak, lengket, sehingga dapat merupakan gumpalan-gumpalan besaar yang berat yang tidak mudah terbawa oleh angin. Serbuk sari yang lengket itu mudah melekat pada tubuh serangga atau binatang-binatang kecil lain yang mendatangi bunga dan kemudian dapat terbawa kemana-mana. Serbuk sari sangat disukai serangga terutama lebah karena banyak mengandung zat organik (protein, lemak dan karabohidrat) yang merupakan sumber nutrisi (Darjanto, 1984). Praktikum metode asetolisis kali ini menggunakan pollen yang didapat dari bunga bougenvil (Bougainvillea spectabilis). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pollen bunga bougenvil (Bougainvillea spectabilis) berbentuk bulat, berwarna putih kekuningan, dan berukuran kecil. Hasil pewarnaan dengan menggunakan gliserin gel safranin menunjukan warna yang cukup baik, yaitu polen terwarnai merah, akan tetapi karena ukuran pollen yang relatif lebih kecil dari pollen bunga yang lain maka bagian-bagian pollen tidak jelas terlihat, hasil tersebut sangat mendukung untuk kebutuhan pengamatan preparat awetan pollen. Menurut Alexandre (2001), pada dasarnya untuk mengamati morfologi pollen dapat menggunakan metode asetolisis, yaitu teknik pewarnaan dan pengawetan pollen. Menurut Shubharani et al. (2013), langkah-langkah metode asetolisis yang dilakukan saat praktikum antara lain: pertama adalah memotong pollen dari anther bunga, memasukkannya pada botol fial lalu dihancurkan tabung yang berisi pollen, agar pollen keluar, lalu fiksasi dengan asam asetat glacial selama 24 jam. Menurut Oodriyyah et al., (2013), fiksasi dengan asam asetat glacial bertujuan untuk



melisiskan selulosa pada dinding pollen sehingga hasil akan mudah diamati morfologinya Setelah dilakukan fiksasi, lalu dilanjutkan dengan memindahkan hasil fiksasi pada tabung sentrifuge dan menambahkan H2SO4 sebanyak 1 tetes. Tabung dipanaskan dalam waterbath dengan temperature kamar sampai mendidih dan warna pollen berubah kecoklatan. Penambahan H2SO4 dan pemanasan bertujuan untuk mempercepat terjadinya reaksi yang terjadi pada dinding pollen oleh H2SO4. Pemanasan dihentikan setelah larutan mulai mendidih dan tabung diambil, kemudian tabung didinginkan kembali selama ± 15 menit. Langkah selanjutnya yaitu melakukan sentrifugasi sebanyak 30 putaran selama kurang lebih 5 menit, dan setelah itu cairan dibuang dan diganti dengan akuades I. Sentrifuge bertujuan untuk memisahkan pollen (natan) dengan asam asetat glacial (supernatan) karena pollen berukuran kecil namun memiliki berat jenis yang lebih besar dari larutan asam asetat glacial, pencucian dengan akuades untuk memperoleh pollen bersih tanpa ada sisa zat-zat kimia. Kemudian dilakukan sentrifuge II dan diganti akuades II. Sentrifuge III dan akuades dibuang. Sentrifuge 2-3 kali untuk menghilangkan bau asam asetat glacial. Natan diteteskan pada object glass diamati dibawah mikroskop untuk memastikan pollen yang terlihat. Apabila pollen sudah dapat dilihat, maka pollen yang ada ditabung sentrifuge diwarnai menggunakan gliserin gel (safranin+gliserin) dalam alkohol 70%. Pewarnaan ini bertujuan untuk memberikan kontras warna pollen dengan sekitarnya agar mudah diamati. Selanjutnnya pollen diamati di bawah mikroskop dengan hasil warna merah, sedangkan daerah sekitarnya tidak terwarnai sehingga hal tersebut akan mempermudah dalam pengamatan pollen.



IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengamatan morfologi pollen dapat dilakukan dengan menggunakan metode asetolisis. 2. Pollen bunga bougenvil (Bougainvillea spectabilis) berbentuk bulat, berukuran kecil, berwarna kuning, dan warna merah setelah diwarnai dengan gliserin gel safranin.



DAFTAR REFERENSI Alexandre C.,Valdely F.K, Maria L.A., Warwick E.K. 2001. Morfologia Polinica e Estudo Dos Visitantes (Hymenoptera, Apidae) de Solanum stramoniiform Jacq. (Solanaceae) na Amazonia Central. Universidade Federal de Uberlandia, Brasil. Cain S. A. 1994. Size-Frequency Characteristic of Abies Fraseri Pollen by Different Methods of Preparation. American Midland Naturalist, 31(1): 232-236. Darjanto dan Siti S. 1984. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga Dan Teknik Penyerbukan silang Buatan. Jakarta: Gramedia. Oodriyyah, T. N., Suedy, S. W. A., & Haryanti, S. 2016. Morfoanatomi Polen Tumbuhan Mangrove Di Pantai Banjir Kanal Timur, Semarang. Buletin Anatomi Dan Fisiologi Dh Sellula, 23(2), 59-66. Shubharani, R., Roopa, P., & Sivaram, V. 2013. Pollen morphology of selected bee forage plants. Global Journal of Bio-Science and Biotechnology, 2(1): 82-90. Susandarini. 2004. Teknik Preparasi Serbuk Sari dan Pengamatan Preparat Serbuk Sari. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gadjah Mada. Sutejo M.M. dan R.T.G.S. Kartasapoetro. 1989. Tumbuhan dan Organ-Organ Pertumbuhannya. Jakarta: Bina Aksara.



METODE SQUASH



Oleh : M. Nuruzzaman De Ajeng Qurnia Intan Nabila Fatin Dandi Puspita Diana Istiqomah



B1J013050 B1J014002 B1J014003 B1J014005 B1J014007



Kelompok :1 Rombongan : B1



LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017



I.



PENDAHULUAN



A. Latar belakang Reproduksi sebuah sel terutama sel-sel somatis (sel penyusun tubuh pada organisme multiseluler) dilakukan dengan cara pembelahan sel. Umumnya para ahli biologi mengelompokkan pembelahan sel ke dalam dua kelompok besar, yaitu pembelahan sel secara langsung dan pembelahan secara tidak langsung. Pembelahan sel secara langsung yaitu sel membelah tanpa bisa diketahui adanya tahapan-tahapan tertentu atau disebut dengan istilah amitosis. Pembelahan sel secara tidak langsung, yaitu sel membelah melewati tahapan-tahapan tertentu (Suntoro, 1983). Pembelahan sel secara tidak langsung dikelompokkan menjadi 2 yaitu, pembelahan mitosis dan pembelahan meiosis. Pembelahan mitosis terjadi pada sel tubuh yang menghasilkan sel yang sama dengan sel sebelumnya dan bersifat diploid, sedangkan pembelahan meiosis terjadi pada sel gamet yang menghasilkan sel yang bersifat haploid. Mitosis adalah pembelahan sel yang terjadi secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan pada pembelahan sel secara mitosis terdapat adanya tahapantahapan tertentu. Tahapan (fase) yang terdapat pada pembelahan mitosis ini meliputi: profase, metafase, anafase, dan telofase (Tripathy et al., 2013). Preparat pencet atau yang disebut dengan squash preparation merupakan preparat yang dibuat dengan cara memencet sebuah objek diatas gelas objek atau kaca preparat dengan menggunakan karet pensil. Preparat squash biasanya digunakan untuk melihat proses mitosis pada akar bawang. Mitosis merupakan pembelahan sel yang mana sel anakannya memiliki sifat yang sama dengan induk selnya. Tahapan dalam pembelahan mitosis ialah profase, metafase, anafase dan telofase (Ratnawati, 2010). Mitosis pada tumbuhan terjadi selama mulai dari 30 menit sampai beberapa jam dan merupakan bagian dari suatu proses yang berputar dan terus-menerus. Mitosis terjadi di dalam sel somatik yang bersifat meristematik. Mitosis biasanya diikuti dengan pembelahan sel yang disebut dengan sitokenesis yang mana sel akan terpisah menjadi dua. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan praktikum preparat segar mitosis (Ratnawati, 2010). Proses pembuatan preparat mitosis dan meiosis secara garis besar ada dua macam, yaitu dengan metode pencet (squash) dan metode irisan. Sementara untuk



melihat kromosom juga diperlukan pewarna kromosom yang antara lain asetocarmin, anilin gentian violet, hematoksilin-whitman, dan sebagainya. Kesulitan pembuatan preparat mitosis dan meiosis adalah menentukan waktu yang tepat pada saat pembelahan sel tersebut, hal ini harus dilakukan uji coba untuk menentukan waktu pembelahan (Dane, 2005). B. Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui fase yang terjadi pada preparat squash yang diamati beserta ciri-cirinya.



II. MATERI DAN METODE



A. Materi Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikroskop cahaya, gelas ukur, gelas benda, gelas penutup, pipet tetes, pinset, gelas arloji, silet, botol sampel, tisu, dan pensil berkaret. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air, ujung akar bawang bombay (Allium cepa Linn.), zat warna acetocarmin dan HCl.



B. Metode 1. Pemotongan ujung akar bawang bombay (Allium cepa Linn.) 2. Akar yang telah dipotong-potong di fiksasi dengan larutan HCl selama 15 menit. 3. Akar dipindahkan ke gelas arloji kemudian diteteskan acetocarmin 2% sebanyak 2 tetes diamkan 10-15 menit. 4. Letakan di gelas objek dan ditutup dengan cover glass. 5. Kemudian akar diketuk-ketuk menggunakan pensil berkaret dan ditekan dengan ibu jari. 6. Dilewatkan diatas api bunsen sebanyak 3 sampai 4 kali kemudian diamati dengan mikroskop.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil



Gambar 3.1 Hasil Squash Akar Bawang Perbesaran 40 X 10



B. Pembahasan Ketika ingin mempelajari bentuk kromosom suatu sel, maka saat yang tepat adalah pada waktu sel sedang membelah baik secara mitosis maupun meiosis. Pembelahan mitosis terjadi pada sel tubuh yang menghasilkan sel yang sama dengan sel sebelumnya dan bersifat diploid, sementara pembelahan meiosis terjadi pada sel gamet yang menghasilkan sel yang bersifat haploid (Bandiati, 2007). Mitosis adalah pembelahan sel yang terjadi secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan pada pembelahan sel secara mitosis terdapat adanya tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan (fase-fase) yang terdapat pada pembelahan mitosis ini meliputi: profase, metafase, anafase, dan telofase. Sel paling banyak dijumpai pada bagian akar yaitu ujung akar. Pada mitosis, bahan inti sel terbagi sedemikian rupa sehingga dari satu sel dihasilkan dua buah sel anakan. Mitosis merupakan alat untuk duplikasi dan pemisahan (pada anafase) kromosom. Biasanya, mitosis diikuti dengan pembelahan sel yang disebut dengan sitokenesis dimana sel akan terpisah menjadi dua oleh karena mitosis merupakan peristiwa yang penting bagi kelangsungan hidup suatu organisme, dalam hal ini adalah tanaman dan juga dapat bermanfaat untuk berbagai hal. Misalnya untuk melakukan sebuah penelitian sehubungan dengan pertumbuhan serta perkembangan tanaman (Campbell et al., 2002). Proses mitosis terjadi bersama dengan pembelahan sitoplasma dan bahanbahan diluar inti sel. Pada mitosis setiap induk yang diploid (2n) akan menghasilkan dua buah sel anakan yang masing-masing tetap diploid serta memiliki sifat keturunan yang sama dengansel iduknya. Urutan terjadinya mitosis adalah sebagai berikut: 1) Tahap Profase : a) Benang-benang kromonema memendek dan menebal membentuk kromosom homolog dengan duplikatnya. Sehingga tampak jumlah kromosom 2 kali lebih banyak. b) Membran inti dan nukleolus menghilang c) Sentriol membelah menjadi dua, dan bergerak saling menjauh menuju ke arah 2 kutub berlawanan d) Dari masing-masing sentriol, menjulur benang-benang spindel (benang gelendong) 2) Tahap Metafase :



a) Masing-masing kromosom homolog dengan duplikatnya berjajar disepanjang bidang metafase atau dataran metafase b) Kedua kromatid (kromatid bersaudara) dalam satu kromosom masih dihubungkan oleh satu sentromer 3) Tahap Anafase : a) Masing-masing kromosom homolog memisahkan diri dengan duplikatnya, dan bergerak menuju ke arah dua kutub yang berlawanan. Gerakan ini disebabkan oleh adanya kontraksi atau gaya tarik dari benang spindel. b) Proses ini didahului oleh membelahnya sentromer menjadi dua bagian. 4) Tahap Telofase : a) Kromosom homolog maupun kromosom duplikat mencapai kutub selnya masing-masing b) Mulai terlihat adanya membran inti sel dan nukleolus c) Pada bagian tengah sel mulai terbentuk adanya sekat pemisah d) Terbentuk dua buah sel anak Setelah tahap telofase berakhir, dan terbentuk 2 sel anak. Maka sel sel anak tersebut akan mengalami masa istirahat (interfase). Meskipun istilah istirahat di sini kurang tepat, karena pada interfase sel tersebut akan mengalami berbagai aktifitas pertumbuhan baik pertumbuhan atau pembentukan organel-organel sel, pengumpulan energi, proses sintesis untuk mempersiapkan pembelahan mitosis berikutnya (Subowo, 1995). Mitosis terjadi di dalam sel somatik yang bersifat meristematik, yaitu sel-sel yang hidup terutama sel-sel yang sedang tumbuh (ujung akar dan ujung batang). Proses pembelahan secara mitosis menghasilkan dua sel anak yang identik dan bertujuan untuk mempertahankan pasangan kromosom yang sama melalui pembelahan inti secara berturut-turut. Mitosis pada tumbuhan terjadi selama mulai dari 30 menit sampai beberapa jam dan merupakan bagian dari suatu proses yang berputar dan terus-menerus (Campbell et al., 2002). Praktikum preparat pembelahan (metode squash) kali ini menggunakan akar bawang bombay (Allium cepa). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan kelompok 1 didapatkan hasil yaitu fase profase, anafase dan telofase. Namun yang paling mendominasi adalah fase profase. Akar bawang merupakan salah satu yang sangat mudah diamati tahapan mitosisnya karena bisa langsung diamati dengan bantuan mikroskop dan tahapan pembelahan selnya dapat terlihat jelas. Bagian yang akan



diamati adalah ujung akar karena pada ujung akar merupakan bagian meristem yang masih berkembang dengan baik sehingga masih mudah untuk diamati (Setjo, 2004). Proses pembuatan preparat squash akar bawang bombay terlebih dahulu disiapkan bawang bombay yang sebelumnya telah ditumbuhkan pada medium air. Setelah akar bawang bombay tumbuh, dipotong bagian ujungnya sepanjang 0,5 cm. Pemotongan akar bawang untuk membuat pengamatan kromosom dilakukan pada waktu-waktu tertentu agar dapat ditemukan fase mitosis (Imaniar & Pharmawati, 2014). Ujung akar yang sudah dipotong direndam dalam larutan HCl 10% selama 15 menit. Larutan HCl tersebut berfungsi untuk melunakkan sel agar mudah disquash saat pembuatan preparat nantinya. HCl akan melarutkan pectin maupun selulose yang ada pada dinding sel sehingga sel menjadi lunak. Akar diletakkan di gelas benda dan ditetesi pewarna acetocarmin sebanyak 2 tetes. Proses pewarnaan ini bertujuan untuk memberi warna pada benang-benang kromatin, sehingga sel yang akan diamati terlihat di bawah mikroskop. Dengan adanya pewarnaan, bagian ujung akar yang aktif membelah akan berwarna lebih tua dibandingkan sel-sel yang telah terdiferensiasi. Selanjutnya ditutup dengan gelas penutup kemudian dilewatkan diatas api bunsen sebanyak 2-3 kali. Pembakaran diatas api bunsen ini bertujuan untuk mempercepat reaksi pelunakan sel dimana suhu yang digunakan selama pemanasan yakni berkisar anatara 50-60oC yang merupakan suhu optimal terjadinya reaksi. Jika lebih dari 60oC maka akan terjadi kerusakan komponen sel sedangkan bila di bawah 50oC maka reaksi berjalan lambat. Tahap berikutnya, diketuk-ketuk menggunakan pensil berkaret dan dipejet (squash) menggunakan ibu jari. Setelah proses squashing selesai, diamati menggunakan mikroskop dan dicatat tahap mitosis yang terlihat.



IV.



KESIMPULAN



Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: 1. Metode yang digunakan untuk membuat preparat ujung akar bawang bombay (Allium cepa) yaitu metode squash. 2. Metode squash merupakan metode penekanan pada preparat ujung akar sehingga diperoleh lapisan tipis preparat yang memudahkan untuk diamati di bawah mikroskop. 3. Tahapan mitosis yang teramati adalah fase profase, anafase dan telofase.



DAFTAR REFERENSI



Bandiati, Sri. 2007. Buku Ajar Genetika Ternak. Bandung : Sri Lestari Network. Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L. W. Mitchell. 2002. Jakarta: Biologi Edisi Kelima Jilid I. Erlangga. Dane F., Dalgic O. 2005. The effects of fungicide Benomyl (Benlate) on growth and mitosis in onion (Allium cepa L.) root apical meristem. Acta Biologica Hungarica 56(1–2): 119–128. Imaniar, E. F., dan Pharmawati, M. 2014. Kerusakan Kromosom Bawang Merah (Allium cepa L.) Akibat Perendaman dengan Etidium Bromida. Jurnal Simbiosis, 2 (2): 173-183. Ratnawati. 2010. Petunjuk Pratikum Mikroteknik. Yogyakarta: FMIPA UNY. Setjo, S. 2004. Anatomi Tumbuhan. Malang: JICA. Subowo. 1995. Biologi Sel. Bandung: Angkasa. Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Tripathy S. K., Bijayinee S., Samad I. & Das R. K. 2013. Endosulfan: A potential Genotoxicant on Allium cepa Root Tip Cells. Journal of Agricultural Biotechnology and Sustainable Development. 5(2): 9 –35.



MIKROMETRI



Oleh: M. Nuruzzaman De Ajeng Qurnia Intan Nabila Fatin Dandi Puspita Diana Istiqomah Kelompok Rombongan



B1J013050 B1J014002 B1J014003 B1J014005 B1J014007 :1 : B1



LAPORAN PRAKTIKUM MIKROTEKNIK TUMBUHAN



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2017



I. PENDAHULUAN Pembelajaran dan penelitian di bidang biologi seringkali mengamati struktur yang mikroskopis atau tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikroskop merupakan alat bantu utama dalam melakukan pengamatan dan penelitian dalam bidang biologi, karena dapat digunakan untuk mempelajari struktur benda-benda yang kecil. Ada dua macam mikroskop, yaitu mikroskop optik dan mikroskop elektron. Mikroskop optik yang sering digunakan adalah mikroskop biologi dan mikroskop stereo. Salah satu pengukur objek mikroskopis adalah mikrometer. Ada dua macam mikrometer yaitu mikrometer objektif dan mikrometer okuler. Alat ini dapat berfungsi apabila dipakai bersama-sama dengan mikroskop (Saas, 1958). Mikroskop cahaya terbaik mampu memperbesar benda 2000 kali. Saat ahli biologi melihat sebuah spesimen lewat mikroskop cahaya, bukan hanya mereka tertarik dengan bentuk dan detailnya, namun juga ukurannya. Satuan Pengukuran yang dipakai mikroskop cahaya adalah mikron. Bila dihubungkan dengan satuan lainnya, maka satu mikron sama dengan satu perseribu milimeter, atau sama dengan seribu nanometer, atau sama dengan 10 ribu angstrom (Moebadi, 2000). Pengamatan dan pengenalan struktur tertentu maupun mikroorganisme seringkali memerlukan ukuran obyek yang diamati. Pengukuran dapat dikerjakan dengan menggunakan mikrometer okuler yang telah dikalibrasi. Mikrometer okuler diletakkan di bawah lensa okuler serta gambaran ukuran dapat dilihat saat diamati pada lensa okuler mikroskop. Mikrometer okuler dapat dibesarkan oleh signifikasi dari ukuran mikroskop dan mikrometer, sehingga perlu dilakukan kalibrasi dan didapatkan suatu skala yang sama yang akan dimanfaatkan sebagai standar (Dwidjoseputro, 2003). Mikrometer merupakan alat bantu ukur yang terbuat dari kaca dan terdapat skala yang menggunakan satuan mikron. Ada dua jenis mikrometer yaitu mikrometer okuler dan mikrometer objektif. Mikrometer okuler dipasang pada lensa okuler mikroskop sedangkan mikrometer objektif ditempatkan pada meja preparat mikroskop. Dalam pengamatan obyek mikroskopis, mikrometer digunakan untuk mengukur obyek mikroskopis. Yang dapat diukur oleh mikrometer adalah panjang suatu objek dan luas permukaan suatu objek. Ada dua jenis mikrometer yaitu mikrometer objektif dan mikrometer okuler. Mikrometer objektif terbuat dari kaca. Pada mikrometer objektif, didalamnya terdapat skala tertentu.Biasanya terbagi



menjadi 10 skala besar yang masing-masing berukuran 0,1mm. Masing-masing skala besar tersebut terbagi lagi dengan ukuran 0,01mm. Sedangkan mikrometer okuler terdapat skala-skala kecil yang ukurannya dapat ditentukan dengan mengkalibrasi dengan mikrometer objektif. Mikrometer okuler ada dua jenis yaitu mikrometer okuler linier dan mikrometer okuler kuadran. Mikrometer okuler linier berbentuk lingkaran gelas yang dipasan pada tabung lensa okuler yang terdiri dari 100 skala berukuran mikron. Mikrometer okuler kuadran dipasang pada tabung lensa okuler yang terdiri dari kotak-kotak kecil. Kotak tersebut memiliki ukuran yang dapat



diketahui



dengan



mengkalibrasi



dengan



mikrometer



objektif



(Dwidjoseputro, 2003). B. Tujuan Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mengukur panjang dan lebar stomata daun Rhoeo discolor dengan menggunakan mikrometer pada mikroskop.



II. MATERI DAN METODE



A. Materi Alat-alat yang digunakan diantaranya yaitu object glass. Cover glass. Silet, kertas tissue, mikrometer obyektif, dan mikrometer okuler. Bahan-bahan yang digunakan diantaranya yaitu sayatan daun Tradescantia sphatacea B. Metode Metode yang dialakukan dalam praktikum ini adalah: 1. Mencari nilai skala okuler mikrometer : a. Kalibrasi dilakukan setelah skala mikrometer okuler dan skala mikrometer objektif tersebut jelas kemudian titik 0 dari kedua skala tersebut diletakkan berhimpit sama tinggi. b. Kalibrasi dilakukan antara mikrometer okuler dengan mikrometer objektif pada perbesaran 10x40 sebanyak 5 kali. c. Dicari garis skala kedua mikrometer tersebut yang berhimpit (sama tinggi) kembali kemudian dihitung jumlah bagian skala pada masing-masing mikrometer. d. Hasil kalibrasi yang diperoleh dihitung untuk memperoleh 1 skala okuler dengan rumus: 1 skala ok = jumlah kalibrasi pada objektif (Ob) x 10 µm Jumlah kalibrasi pada okuler (Ok) Kalibrasi dilakukan dengan menghimpitkan skala mikrometer objektif dan okuler pada perbesaran yang diinginkan. Skala ke nol (garis pertama) kedua mikrometer disimpulkan menjadi 1 garis kemudian dilihat pada skala ke berapa kedua jenis mikrometer tersebut bertemu/berhimpit kembali. Dari hasil tersebut dapat diketahui satu satuan panjang pada skala mikrometer okuler itu berdasarkan beberapa jumlah skala kecil mikrometer objektif yang berada di antara garis yang berhimpit tadi.



Contoh : Jika skala ke 0 mikrometer okuler berhimpit dengan skala ke 0 mikrometer objektif lalu skala ke 13 mikrometer okuler berhimpit dengan skala ke 2 mikrometer objektif maka berapa 1 skala okuler?



Cara kalibrasi :



Kalibrasi dimulai dengan menyejajarkan antara mikrometer okuler dengan mikrometer objektif dengan cara memutar bagian atas dari lensa okuler. 2. Mengukur diameter stomata a.



Setelah mengetahui nilai skala okuler mikrometer maka objek mikrometer diambil dan diganti dengan preparat awetan serbuk sari yang akan diukur. Okuler mikrometer tetap di tempatnya semula.



b.



Bayangan preparat stomata Rhoeo discolor dicari. Lensa objektif yang akan digunakan pada waktu mengukur preparat awetan serbuk sari harus sama dengan lensa objektif yang digunakan saat menghitung nilai skala okuler mikrometer.



c.



Bayangan skala okuler mikrometer ditempatkan pada bayangan preparat sedemikian rupa sehingga arah bayangan skala itu sesuai dengan arah



diameter preparat yang diukur. Jumlah bagian skala dikalikan dengan nilai skala okuler adalah diameter yang dicari. 3. Perhitungan Kerapatan Stoma a. Alat square micrometer dipasang pada lensa okuler dan tanpa adanya kalibrasi karena telah memiliki ukuran 1 mm2. b. Daun Rhoeo discolor yang telah diiris membujur dan diletakkan pada gelas benda serta diberi air lalu dihitung stoma yang terlihat. c. Jumlah stomata yang ada di dalam square dihitung, apabila stomata berada setengah dari square maka dihitung tetapi jika tidak terdapat setengah maka tidak dihitung. d. Pengukuran dilakukan pada perbesaran 10x10 sebanyak 5 kali atau 5 lapang pandang.



III.



HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil



Gambar 3.1. Hasil Perbesaran dengan Skala Objektif



Gambar 3.3. Hasil Perbesaran Panjang Stomata



Gambar 3.2. Hasil Perbesaran dengan Skala Okuler



Gambar 3.4. Hasil Perbesaran Lebar Stomata



Perhitungan Kalibrasi: 1. Ob = 1



2. Ob = 2



Ok = 4



Ok = 8



3. Ob = 5 Ok = 10



Sob x 10 = 1 x 10 = 2,5 µm Sok



4 2 x 10 = 2,5 µm 8 5 x 10 = 2,5 µm 10



Tabel 3.1. Hasil Pengukuran Panjang dan Lebar Stoma Stoma



Panjang



Lebar



1



23



7



2



19



4



3



21



8



4



20



4



5



20



5



Perhitungan: Panjang stomata = 23+19+21+20+20 = 20,6 5 = 20,6 x nilai kalibrasi = 20,6 x 2,5 µm = 51,5 µm Lebar Stomata = 7+4+8+4+5 = 5,6 5 = 5,6 x nilai kalibrasi = 5,6 x 2,5 µm = 14 µm



Tabel 3.2. Hasil Perhitungan Kerapatan Stoma No.



Kerapatan (per 1 mm2)



1.



2



2.



2



3.



1



4.



1



5.



1



Rata-rata



1,4



B.



Pembahasan



Anatomi tumbuhan atau fitotomi merupakan analogi dari anatomi manusia dan hewan. Walaupun secara prinsip kajian yang dilakukan adalah melihat keseluruhan fisik sebagai bagian-bagian yang secara fungsional berbeda, anatomi tumbuhan menggunakan pendekatan metode yang berbeda dari anatomi hewan. Organ tumbuhan terekspos dari luar, sehingga umumnya tidak perlu dilakukan “pembedahan”. Anatomi tumbuhan biasanya dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan heirarki dalam kehidupan, yaitu: (1) sitologi, mempelajari struktur dan fungsi sel serta organel-organel di dalamnya, proses kehidupan dalam sel, serta hubungan antara satu sel dengan sel yang lainnya, (2) histologi, mempelajari struktur dan fungsi jaringan berdasarkan bentuk dan peran sel penyusunnya, dan (3) organologi, mempelajari struktur dan fungsi organ berdasarkan jaringan-jaringan penyusunnya. (Djukri, 2009). Sel adalah bagian terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sel sangat kecil sehingga untuk melihatnya harus menggunakan alat yang disebut mikroskop (Volk & Wheeler, 1993). Mikrometer merupakan kaca berskala dan dikenal 2 jenis micrometer yaitu mikrometer okuler dan mikrometer objektif. Mikrometer okuler dipasang pada lensa okuler mikroskop, sedangkan micrometer objektif berbentuk slide yang ditempatkan pada meja preparat mikroskop. Jarak antar garis skala pada mikrometer okuler tergantung pada perbesaran lensa objektif yang digunakan yang menentukan lapang pandang mikroskop. Jarak ini dapat ditentukan dengan mengkalibrasi antara mikrometer okuler dan objektif. Mikrometer objektif memiliki skala yang telah diketahui, menjadi tolak ukur untuk menentukan ukuran skala mikrometer okuler. Satu skala mikrometer objektif = 0,01 mm / 10 µm. Kebanyakkan mikroskop laboratorium dilengkapi dengan tiga lensa objektif : lensa 16 mm, berkekuatan rendah (10 X); lensa 4 mm, berkekuatan kering tinggi (40-45X); dan lensa celup minyak 1,8 mm (97-100X). Objektif celup minyak memberikan perbesaran tertinggi dari ketiganya. Lensa okuler terletak pada ujung atas mikroskop, terdekat dengan mata. Lensa okuler biasanya mempunyai perbesaran: 5X, 10X, 12,5X dan 15X. Lensa okuler terdiri dari lensa plankonveks yaitu lensa kolektif dan lensa mata (Pramesti, 2000). Mikrometri merupakan suatu cara untuk mengukur panjang atau lebar sel secara mikroskopis menggunakan okuler mikrometer yang ditempatkan di bagian



okuler dan objek mikrometer yang ditempatkan di lensa objektif. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari nilai skala okuler mikrometer, kemudian baru mengukur panjang atau lebar sel karena panjang atau lebr sel adalah merupakan perkalian bagian skala paa saat pengukuran panjang atau lebar sel dengan nilai skal okuler (Saas, 1958) Kalibrasi menurut ISO/IEC Guide 17025:2005 dan Vocabulary of International Metrology (VIM) adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan antara nilai yang ditunjukkan oleh instrumen ukur atau sistem pengukuran, atau nilai yang diwakili oleh bahan ukur, dengan nilai-nilai yang sudah diketahui yang berkaitan dari besaran yang diukur dalam kondisi tertentu. Dengan kata lain, kalibrasi adalah kegiatan untuk menentukan kebenaran konvensional nilai penunjukkan alat ukur dan bahan ukur dengan cara membandingkan terhadap standar ukur yang mamputelusur (traceable) ke standar nasional untuk satuan ukuran dan/atau internasional (Santoso, 2002). Prinsip dari kalibrasi mikrometer okuler yaitu kalibrasi dengan menggunakan mikrometer objektif. Kalibrasi dilakukan dengan cara menghimpitkan skala mikrometer objektif dan okuler pada perbesaran yang diinginkan. Skala ke nol (garis pertama) dari kedua mikrometer tersebut disimpulkan menjadi satu garis. Kemudian dilihat pada skala ke berapa kedua mikrometer tersebut berhimpit kembali. Dari hasil tersebut dapat diketahui satu satuan panjang pada skala mikrometer okuler itu berdasarkan jumlah skala mikrometer objektif yang berada pada garis berhimpit. Mikrometer okuler perlu dikalibrasi karena jika tidak dilakukan kalibrasi, maka skala pada mikrometer okuler liner maupun ukuran kotak-kotak kecil yang terdapat pada mikrometer okuler kuadran tidak dapat diketahui. Sehingga perlu dilakukan kalibrasi untuk mengetahui skala dan ukuran dari kotak-kotak tersebut. Skala pada mikrometer okuler linier tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengukur panjang suatu objek, sedangakan ukuran dari kotak-kotak pada mikrometer okuler kuadran dapat digunakan untuk mengukur luas permukaan suatu objek mikroskopis. Selain itu mikrometer okuler perlu dikalibrasi agar memiliki nilai nilai dari perbandingan skala objektif dengan skala okuler disetiap perbesaran (Santoso, 2002). Tujuan kalibrasi adalah untuk mencapai ketertelusuran pengukuran. Hasil pengukuran dapat dikaitkan/ditelusur sampai ke standar yang lebih tinggi/teliti (standar primer nasional dan / internasional), melalui rangkaian perbandingan yang tak terputus. Pengukuran diameter stomata Rhoeo discolor ini menggunakan



mikrometer sebagai alat bantu pengukuran karena stomta berukuran sangat kecil dan membutuhkan alat ukur dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Satuan pengukuran yang diperoleh yaitu dalam satuan μm. Mikrometer yang dimaksud adalah mikrometer okuler yang diletakkan pada lensa okuler mikroskop dimana sebelumnya dilakukan kalibrasi dengan mikrometer objektif



untuk memperoleh nilai



perbandingan antara skala objektif dengan skala okuler yang merupakan patokan bagi standar pengukuran (Santoso, 2002). Langkah pertama sebelum pengukuran diameter yaitu melakukan kalibrasi. Mikrometer okuler diletakkan pada lensa okuler dengan cara membuka tabung lensa okuler. Kemudian mencari bayangan mikrometer okuler hingga skalanya dapat terlihat jelas. Selanjutnya meletakkan mikrometer objektif di bawah lensa objektif dan seperti yang dilakukan pada mikrometer okuler, bayangan skala pada mikrometer juga dicari hingga terlihat jelas. Kalibrasi dimulai dengan menyejajarkan kedua bayangan skala dan menghimpitkan kedua angka 0 pada masing-masing skala mikrometer. Lalu mencari bayangan garis skala kedua mikrometer yang berhimpit serta menghitung jumlah bagian skala pada masing-masing mikrometer dari titik 0 sampai garis skala yang berhimpit. Dengan cara ini nilai skala mikrometer okuler dapat diketahui. Selanjutnya melakukan pengukuran dengan menggunakan mikrometer okuler terhadap diameter stomata Rhoeo discolor. Bayangan skala mikrometer okuler ditempatkan sedemikian rupa sehingga arah bayangan skala itu sesuai dengan arah diameter preparat awetan serbuk sari yang akan diukur. Selanjutnya mencari diameter stomta dengan cara mengalikan jumlah bagian skala dengan nilai skala okuler yang telah diperoleh (Rudyatmi & Rahayu, 2004). Jumlah stomata daun dapat dipengaruhi oleh lokasi tempat tumbuh dan jenis tanaman. Berkurangnya jumlah stomata pada permukaan daun, dapat disebabkan oleh debu yang terjerap di permukaan daun, sehingga menutupi stomata (Gardner et al., 1985). Menurut Fitter & Hay (1981), pada permukaan daun terdapat sejumlah stomata yang berfungsi sebagai tempat difusi CO2 saat stomata terbuka. Absorpsi CO2 ke dalam jaringan daun secara fisiologis berhubungan dengan banyaknya stomata per satuan luas daun. Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan oleh kelompok 1 rombongan B1 diperoleh perhitungan kalibrasi mikrometer yaitu 2.5 µm. Selain itu perhitungan lebar dan panjang stomata tanaman Rhoeo discolor didapatkan lebar stomata 14 µm, untuk panjangnya 51,5 µm, sedangkan kerapatan stomata didapatkan hasil 1,4



stomata/mm2. Menurut Hidayat (1995), ukuran panjang stomata dapat memiliki ukuran yang berbeda-beda, yaitu kurang panjang (< 20 µm), panjang (20-25 µm) dan sangat panjang (>25 µm). Kerapatan stomata: rendah (< 300 stomata mm-2), sedang (300-500 stomata mm-2) dan tinggi (> 500 stomata mm-2). Menurut Gole et al. (2013), Jumlah stomata pada permukaan daun bervariasi antara berbagai jenis tanaman. Umumnya, epidermis bagian bawah daun cenderung memiliki lebih banyak jumlah stomata daripada permukaan atas. Botanis telah mengetahui jumlah stomata penting bagi banyak spesies.



IV. KESIMPULAN



Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil pengkalibrasian yang didapatkan sebesar 2,5 µm 2. Lebar dan panjang sebenarnya dari stomata Rhoeo discolor yaitu 14 µm dan 51,5 µm. 3. Perhitungan kerapatan stomata didapatkan hasil sebesar 1,4 stomata/mm2



DAFTAR REFERENSI



Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta Rudyatmi, E & Nur Rahayu U. 2004. Diktat Mikroteknik. Semarang: FMIPA UNNES. Moebadi. 2000. Dasar - Dasar Mikroteknik. Malang: Universitas Negeri Malang. Santoso, H. B. 2002. Bahan Kuliah Teknik Laboratorium. Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat. Saas. J.E. 1958. Foto Mikroskop. 3 ed. Ames, iowa: The Iowa State College Press Volk & Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta Hidayat, E.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: ITB Bandung. Fitter, A.H. & R.K.M. Hay, 1981. Environmental Physiology of Plants. London: Arrangement with Academic Press Inc. Gardner, F.P., R.B. Pearce & R.L. Mitchell, 1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press. Gole, A.A, Ramugade M.A, Bhagwat H.R, Gaikwad S.S, Mohite P.C & Aparadh VT. 2013. Taxonomic Diversity Of Stomata in Some Angiospermic Plants Satara Region India. Int. Res J Pharm. App Sci. 3(1): 52-55.