Laporan PKPA Apotek [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA) FARMASI PERAPOTEKAN



PELAYANAN RESEP DI APOTEK KIMIA FARMA PETTARANI GELOMBANG I PERIODE 01 SEPTEMBER – 30 SEPTEMBER 2021 MUH AFDI TAUFIQ FURQANI ARIEF N014202098



SEMESTER AWAL 2021/2022 PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2021



LEMBAR PENGESAHAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA) FARMASI PERAPOTEKAN



PELAYANAN RESEP DI APOTEK KIMIA FARMA PETTARANI GELOMBANG I PERIODE 01 SEPTEMBER – 30 SEPTEMBER 2021



MUH AFDI TAUFIQ FURQANI ARIEF N014202098



Mengetahui,



Menyetujui,



Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin



Pembimbing PKPA Farmasi Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin



Dr. Aliyah, M.S., Apt. NIP. 19570704 198603 2 001



Sumarheni, S.Si., M.Sc., Apt. NIP. 19811007 200812 2 001 Makassar, Oktober 2021



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekan di Apotek Kimia Farma Pettarani Makassar, dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa selama melaksanakan kegiatan PKPA ini, terdapat tantangan yang dihadapi. Namun berkat adanya bantuan dan doa dari berbagai pihak, sehingga penulis mampu menyelesaikan rangkaian kegiatan selama PKPA hingga saat ini. Oleh sebab itu, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sumarheni, S.Si. M.Sc., Apt. sebagai pembimbing teknis PKPA Farmasi Perapotekan, Bapak Drs. Muh. Akbar Asis, S.Si., M.Kes., Apt. selaku manager dari apotek Kimia Farma Pettarani yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk senantiasa menggali ilmu selama pelaksanaan PKPA Perapotekan, juga kepada koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada kedua orang tua dan saudara yang senantiasa memberi dukungan kepada penulis, serta kepada apoteker penanggung jawab apotek, seluruh asisten apoteker dan pegawai Apotek Kimia Farma Pettarani yang telah membantu penulis selama melaksanakan PKPA ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan sehingga laporan ini jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Makassar,



2021



Muh Afdi Taufiq Furqani Arief



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan Pelayanan Resep BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Umum Apotek II.2 Apoteker II.3 Standar Pelayanan Kefarmasian II.4 Penggolongan Obat BAB III PELAYANAN RESEP DI APOTEK III.1 Resep III.2 Skrining Resep III.3 Uraian Obat III.4 Penyiapan Obat III.5 Etiket dan Salinan Resep III.6 Penyerahan Obat IV PENUTUP IV.1 Kesimpulan IV.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



iii v vi vii viii



1 1 2 3 3 7 19 32 32 33 42 49



50 51 53 53 53



54 57



DAFTAR TABEL



Tabel 1. Skrining administratif resep



33



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Logo obat bebas



20



Gambar 2. Logo obat bebas terbatas



20



Gambar 3. Peringatan pada obat bebas terbatas



21



Gambar 4. Logo obat keras



21



Gambar 5. Logo obat narkotika



24



Gambar 6. Logo obat jamu



30



Gambar 7. Logo obat herbal terstandar



30



Gambar 8. Logo obat fitofarmaka



31



Gambar 9. Resep



49



Gambar 10. Etiket Obat R/ 1



50



Gambar 11. Etiket Obat R/ 2



50



Gambar 12. Copy Resep



51



DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran 1. Contoh Form Surat Pesanan Narkotika



57



Lampiran 2. Contoh Form Surat Pesanan Narkotika



58



Lampiran 3. Contoh Form Surat Pesanan Prekursor



59



Lampiran 4. Contoh Form Pelaporan Narkotika



60



Lampiran 5. Contoh Form Pelaporan Psikotropika



61



1



BAB I PENDAHULUAN I.1



Latar Belakang Pelayanan resep merupakan salah satu pelayanan kefarmasian di apotek



yang mempunyai peranan strategis dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dimana resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan dan prakitisi lain yang memiliki izin kepada apoteker pengelola apotek untuk menyediakan, membuat obat dan menyerahkannya kepada pasien. Pelayanan resep di apotek saat ini harus berubah orientasi dari drug oriented menjadi patient oriented yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Bogadenta, A, 2012). Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di masyarakat, telah dikeluarkan standar pelayanan kefarmasian di apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 73 Tahun 2016 dimana meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Standar pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari kegiatan pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling dengan pasien, pelayanan kefarmasian di rumah sakit, pemantauan terapi obat, serta monitoring efek samping obat (PerMenKes, No.73, 2016). Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam standar pelayanan farmasi klinik yaitu kegiatan pengkajian resep yang dilakukan di apotek. Skrining resep diperlukan salah satunya untuk meninjau kelengkapan resep, menganalisis rasionalitas, dan kesesuaian pengobatan yang diberikan untuk menjamin keamanan obat dan menghindari efek yang tidak diinginkan pasien. Hal tersebut berakibat pada pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan



1



penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien (efek samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi yang lebih luas (resistensi kuman terhadap antibiotika tertentu) dan mutu pelayanan pengobatan secara umum (PerMenKes, No.51, 2009). Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional diperlukan beberapa upaya perbaikan, baik di tingkat pembuat resep, penyerah obat, dan pasien/masyarakat, hingga sistem kebijakan obat nasional. Masih kurang tertatanya sistem informasi pengobatan ke pasien menjadi salah satu masalah dalam proses terapi (PerMenKes, No.51, 2009). Berdasarkan hal tersebut, laporan pelayanan resep disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program studi profesi apoteker. Praktik kerja profesi apoteker (PKPA) yang dilakukan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan mahasiswa profesi apoteker dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh terutama pelayanan kefarmasian serta melaksanakan perannya dalam menjalankan tugas sebagai pusat informasi obat sehingga mampu berkompeten. I.2



Tujuan Adapun tujuan dari pelayanan resep adalah memberikan kesempatan kepada calon apoteker agar dapat :



1. Mengetahui tahapan-tahapan atau alur dalam pelayanan resep 2. Meningkatkan keterampilan dan sikap dalam pelayanan resep di apotek mulai dari penerimaan resep hingga penyerahan obat kepada pasien 3. Mengetahui cara berkomunikasi yang baik kepada pasien dalam hal yang berkaitan dengan obat sehingga dapat dimengerti oleh pasien 4. Mampu mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan resep untuk meminimalkan terjadinya medication error



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1



Definisi, Tugas dan Fungsi Apotek



II.1.1



Definisi Apotek Apotek merupakan salah satu fasilitas kefarmasian tempat dilakukannya



praktek/pekerjaan kefarmasian oleh apoteker. Pelayanan kefarmasian yang dimaksud adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik) dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam penyelenggaraannya, apotek menjalankan fungsi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas (PMK RI No. 73, 2016; PMK RI No. 9, 2017). Berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No.51 tahun 2009 apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Praktik kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan pekerjaan kefarmasian yaitu pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PerMenkes, No.51, 2009). II.1.2



Tugas dan Fungsi Apotek



Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 menyebutkan tugas dan fungsi apotek adalah: 1. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. 2. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian. 3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi



2



3



antara lain obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika. 4. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat. 5. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (DEPKES RI, 2009). Peraturan Menteri Kesehatan no. 9 Tahun 2017 tentang Apotek Pasal 16 menjelaskan bahwa apotek menyelenggarakan fungsi sebagai pengelola sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik termasuk di komunitas. II.2



Apoteker



II.2.1 Definisi Apoteker Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PERMENKES, 2016). Apoteker pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan: 1. Persyaratan administrasi: a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi. b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) 2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal. 3. Wajib



mengikuti



Development



pendidikan



(CPD)



dan



berkelanjutan/continuing



mampu



memberikan



Professional



pelatihan



yang



berkesinambungan. 4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan



3



4



diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri. 5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang-undangan,



sumpah



Apoteker,



standar



profesi



(standar



pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.(PERMENKES, 2016) II.2.2 Apoteker Pengelola Apotek Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang diberi Surat Izin Apotek (SIA) dan dalam profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker dan apoteker pedamping dan/atau tenaga administrasi dalam menyelenggarakan apotek (PERMENKES, 2017). Apoteker pengelola apotek dapat didampingi oleh apoteker pendamping yang juga dapat menggantikan apoteker pengelola apotek dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian (DEPKES, 2009). Apoteker pengelola apotek (APA) yang berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoeker pendamping berhalangan melakukan tugasnya karena hal-hal tertentu maka apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (KEPMENKES, 2002). Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan hadir melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus menerus surat izin apoteker atas nama apoteker bersangkutan dicabut (KEPMENKES, 2002). II.3.



Standar Pelayanan Kefarmasian



Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman



bagi



tenaga



kefarmasian



dalam



menyelenggarakan



pelayanan



kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan



4



5



tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana (PERMENKES, 2016). Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk: a.



Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian



b.



Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan



c.



Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). (PERMENKES, 2016).



Standar pelayanan kefarmasian menurut permenkes no.73 tahun 2016 mempunyai 4 parameter: A. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai undang-undang yang berlaku meliputi: 1.



Perencanaan Dalam membuat perencanaan perlu memperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.



2.



Pengadaan Untuk menjamin kualitas pelayanan maka pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus melalui jalur resmi.



3.



Penerimaan Untuk menjamin kesesuaian maka kegiatan penerimaan harus memperhatikan kesesuaian yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.



4.



Penyimpanan a.



Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli pabrik kecuali jika harus dipindahkan ke wadah lain maka wadah baru harus memuat informasi obat.



b.



Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi sesuai.



c.



Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk menyimpan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.



5



6



d.



Penyimpanan dilakukan secara alfabetis dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat.



e.



Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan FIFO (first expire first out).



5.



Pemusnahan dan penarikan a.



Obat kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai jenis dan bentuk sediaan.



b.



Resep yang telah disimpan melebihi 5 tahun dapat dimusnahkan oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas lain di apotek.



c.



Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.



d.



Penarikan



sediaan



farmasi



yang



tidak



memenuhi



standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar. e.



Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh menteri.



6.



Pengendalian Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan untuk menghindari terjadinya kelebihan,



kekurangan,



kekosongan,



kerusakan



kadaluarsa,



kehilangan da pengembalian pesanan. 7.



Pencatatan dan pelaporan Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan, penyimpanan, penyerahan dan pencatatan lainnya sesuai kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.



B. Pelayanan farmasi klinik Kegiatan farmasi klinik di apotek meliputi: 1. Pengkajian dan pelayanan resep



6



7



Kegiatan pegkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. 2. Dispensing Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian infromasi obat. 3. Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat atau PIO merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat kepada profesi kesehatan lain pasien atau masyarakat. 4. Konseling Konseling



adalah



proses



interaktif



antara



apoteker



dengan



pasien/keluarga pasien untuk meningkatkan kepatuhan, kesadaran, pengetahuan dan pemahaman sehingga terjadi perubahan perilaku dalam menggunakan obat dan menyelesaikan masalah pasien. 5. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care) Apoteker diharapkan dapat memberikan layanan kunjungan rumah khususnya untuk lansia dan pasien dengan pengobatan kronis. 6. Pemantauan terapi obat (PTO) Proses pemastian bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau. 7. Monitoring efek samping obat (MESO) Kegiatan pemantauan setiap respon obat pada dosis normal yang merugikan atau tidak diharapkan. C. Sumber daya kefarmasian 1. Sumber daya manusia Apoteker harus memenuhi kriteria: a. Persyaratan administrasi b. Menggunakan atribut praktik c. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan d. Apoteker



harus



mampu



pengembangan diri



7



mengidentifikasi



kebutuhan



akan



8



e. Harus memahami dan melaksanakan serta petuh terhadap peraturan 2. Sarana dan prasarana Sarana-prasarana



yang



diperlukan



untuk



menunjang



pelayanan



kefarmasian di apotek meliputi: a.



Ruang penerimaan resep



b.



Ruang pelayanan resep dan peracikan



c.



Ruang penyerahan obat



d.



Ruang konseling



e.



Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai



f.



Ruang arsip



D. Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian Evaluasi mutu di apotek dilakukan terhadap: 1. Mutu manajerial a. Metode evaluasi 



Audit







Review







Observasi



b. Indikator evaluasi mutu 



Kesesuaian proses terhadap standar







Efektifitas dan efisiensi



2. Mutu pelayanan farmasi klinik a. Metode evaluasi mutu 



Audit







Review







Survei







Observasi



b. Indikator evaluasi mutu 



Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication error



8



9



II.4







Standar prosedur operasional







Lama waktu pelayanan resep







Keluaran pelayanan kefarmasian secara klinik.



Penggolongan Obat Golongan obat adalah penggolongan yang bertujuan untuk meningkatan



keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika. II.4.1 Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Obat ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Penandaan khusus lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat bebas. Ukuran lingkaran tanda khusus obat bebas disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar dengan ukuran diameter lingkaran luar dan tebal garis tepi yang proporsional, berturut-turut minimal 1 cm dan 1 mm. Penandaan dari golongan obat bebas dapat dilihat pada gambar 1.



Gambar 1. Logo obat bebas Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017



II.4.2 Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat bebas terbatas yaitu Antimo®, Combantrin®, dan Rohto®.



9



10



Gambar 2. Logo obat bebas terbatas Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017



Kemasan obat bebas terbatas selalu mencantumkan tanda peringatan berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut : 



P1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan memakainya. Contoh : tablet Decolgen®, Neozep®, CTM®, Antimo®, Ultraflu®, Proris® dan Fatigon®.







P2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, Jangan ditelan. Contoh : obat kumur Minosep®, Betadine®, Enkasari® dan Isodine Mundipharma®.







P3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contoh : Peditox®, Rohto® (tetes mata), Neo Ultrasiline® (krim) dan Kalpanax® (krim dan salep).







P4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. Contoh : Sigaret Astma







P5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. Contoh : Bufacetin® (salep), Bufacort® (krim), Bravoderm® (krim) dan Sulfanilamide® (bubuk steril).







P6: Awas! Obat keras. Obat wasir. Jangan ditelan. Contoh : supositoria Laxarec® dan Dulcolax®.



10



11



Gambar 3. Peringatan pada obat bebas terbatas Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017



(Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI, 2007)



II.1.3



Obat Keras Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep



dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat keras yaitu Ponstan®, Dexa-M®, dan Super Tetra® (Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI, 2007).



Gambar 4. Logo obat keras Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017



II.1.4



Obat Wajib Apotek Obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh



apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Obat yang dimaksud merupakan obat yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat wajib apotek diwajibkan untuk (Kemenkes RI No. 347, 1990) : 1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam obat wajib apotik yang bersangkutan 2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan 3. Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien Selain itu, apoteker perlu mempertimbangkan beberapa kriteria sebelum menyerahkan obat wajib apotek, seperti (PMK RI No. 919, 1993) : 1. Tidak dikontraindikasikan bagi wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun 2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit 3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan/atau alat khusus yang harus



11



12



dilakukan oleh tenaga kesehatan 4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia 5. Obat



yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamana



yang



dapat dipertanggung hawabkan untuk pengobatan sendiri Obat wajib apotek (OWA) dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan tahun dikeluarkannya regulasi yang mengatur obat-obat tersebut, yaitu : 1. Obat wajib apotek No.1 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/Menkes/SK/VII/1990. Contohnya adalah metoklopramid, salbutamol, dan asam mefenamat. Pada tahun 1993 OWA No.1 mengalami perubahan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 925/MENKES/PER/X/1993, dimana terdapat beberapa OWA yang diubah menjadi obat bebas terbatas, seperti hexetidine, bromheksin, mebendazol dan lain-lain. 2. Obat wajib apotek No. 2 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993.



Contohnya



seperti



bismuth



subsalisilat,



deksametason, omeprazole dan lain-lain. 3. Obat wajib apotek No. 3 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1176/Menkes/SK/X/1999. Contohnya seperti alopurinol, siproheptadin, orsiprenalin, dan lain-lain. Regulasi terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah mengatur tentang Perubahan, Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat termasuk di dalamnya beberapa obat wajib apotek. Hal ini menyebabkan beberapa OWA yaitu asetilsistein, piroksikam, famotidine, ranitidine dan cetirizine berubah menjadi obat bebas terbatas (PMK RI No.3, 2021). II.1.5



Psikotropika dan Narkotika



II.1.5.1 Psikotropika Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik. Obat ini memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Berdasarkan potensi dalam menyebabkan sindrom ketergantungan, obat psikotropika dibedakan menjadi (UU RI No. 5, 1997) :



12



13



1. Psikotropika golongan I, adalah zat psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Cathione dan LSD. 2. Psikotropika golongan II, adalah zat psikotropika yang berkasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Metilfenidat, Secobarbital dan Amineptine. 3. Psikotropika golongan III, adalah zat psikotropika yang berkasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amobarbital dan Pentobarbital. 4. Psikotropika golongan IV, adalah zat psikotropika yang berkasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Diazepam, Fenobarbital dan Klordiazepoksid. Selain pengaturan penggolongan di atas, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras. II.1.5.2 Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU RI No. 35, 2009).



Gambar 5. Logo obat narkotika Sumber: Ditjen Binfar dan Alkes DepKes RI Tahun 2017



13



14



Berdasarkan potensi terjadinya ketergantungan, narkotika dibagi menjadi beberapa golongan yaitu (PMK RI No. 20, 2018) : 1. Narkotika golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai reagensia diagnostic maupun reagensia laboratorium secara terbatas dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Opium, Kokain, dan Heroin. 2. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Difenoksin, Morfin, dan Petidin. 3. Narkotika golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Kodein, Propiram, dan Buprenorfina. II.1.5.3 Pengelolaan Psikotropika dan Narkotika di Apotek Pengelolaan psikotropika dan narkotika di apotek yang diatur berdasarkan regulasi, meliputi (PMK RI No. 3, 2015; PerBPOM No. 4, 2018) : 1. Pengadaan Pengadaan dalam hal ini pemesanan baik psikotropika maupun narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. Surat pesanan (SP) khusus psikotropika atau khusus narkotika dari Apoteker Penanggung Jawab Apotek b. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan obat lain. Khusus untuk narkotika, 1 (satu) surat pesanan hanya dapat digunakan untuk satu jenis dengan satu kekuatan/dosis narkotika c. Surat pesanan dibuat minimal 3 (tiga) rangkap d. Narkotika hanya dapat dipesan melalui PBF resmi yang memiliki izin khusus menyalurkan narkotika, yaitu Kimia Farma 2. Penerimaan Penerimaan psikotropika dan narkotika harus berdasarkan faktur pembelian



14



15



yang dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek. Bila berhalangan, penerimaan dapat didelegasikan pada tenaga kefarmasian lain dilengkapi surat pendelegasian. Bila dinyatakan sesuai, maka faktur ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab atau tenaga kefarmasian yang didelegasikan. 3. Penyimpanan Tempat penyimpanan psikotropika dan narkotika harus dapat menjaga agar keamanan, khasiat dan mutu tetap terjaga. Penyimpanan dilakukan di lemari khusus yang terbuat dari bahan yang kuat masing-masing untuk narkotika dan psikotropika yang mempunyai 2 (dua) buah kunci berbeda yang dipegang oleh Apoteker Penanggung Jawab dan satu pegawai lain. Lemari penyimpanan diletakkan di tempat yang tidak terlihat oleh umum. 4. Penyerahan Penyerahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi berdasarkan resep dokter untuk kepentingan pengobatan. Penyerahan tidak dapat dilakukan berdasarkan salinan resep yang resep aslinya tidak dilayani di apotek yang bersangkutan. Untuk resep mengandung narkotika yang diulang (iter) tidak dapat dilakukan penyerahan. 5. Pencatatan dan pelaporan Persediaan psikotropika dan narkotika dicatat pada kartu stok yang disimpan dalam lemari penyimpanan serta dilakukan stock opname setiap bulannya. Pelaporan psikotropika dan narkotika dilakukan paling lambat tanggal 10 pada bulan berikutnya. 6. Pengembalian Pengembalian psikotropika dan narkotika kepada pemasok harus disertai dengan dokumen serah terima pengembalian yang sah dan fotokopi arsip faktur pembelian. Setiap psikotropika dan narkotika yang dikembalikan harus dicatat dalam kartu stok. Seluruh dokumen pengembalian harus didokumentasikan dengan baik serta mudah ditelusuri dan disimpan terpisah dari dokumen pengembalian obat lain. 7. Pemusnahan Pemusnahan dilakukan untuk psikotropika dan narkotika yang tidak



15



16



memenuhi standar yang berlaku, kedaluwarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan, dibatalkan izin edarnya, dan yang berhubungan dengan tindak pidana. Pemusnahan dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek dengan disaksikan oleh pihak dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Pengawas Obat dan Makanan serta pihak aparat setempat dengan tidak mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Pemusnahan harus dilaporkan dengan membuat Berita Acara Pemusnahan. II.1.6



Prekursor Farmasi Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang



dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/ phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau potasium permanganat. Contoh produk obat yang termasuk dalam golongan prekursor yaitu: Pimtrakol®, Edrin®, dan Intunal®. Adapun pengelolaan prekursor di apotek meliputi (PerBPOM No. 4, 2018) : 1. Pengadaan Pengadaan prekursor bersumber dari Pedagang Besar Farmasi resmi dan dilengkapi dengan surat pesanan khusus prekursor (terpisah dari pesanan obat lainnya) minimal 3 (tiga) rangkap. 2. Penerimaan Penerimaan prekursor harus berdasarkan faktur pembelian yang dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek. Bila berhalangan, penerimaan dapat didelegasikan pada tenaga kefarmasian lain dilengkapi surat pendelegasian. Bila dinyatakan sesuai, maka faktur ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab atau tenaga kefarmasian yang didelegasikan. 3. Penyimpanan Penyimpanan dilakukan dalam wadah asli pada kondisi yang sesuai dengan rekomendasi produsen. Penyimpanan prekursor harus terpisah dari produk lain di tempat yang aman sesuai dengan analisis risiko (akses personil terbatas dan mudah untuk diawasi oleh penanggung jawab). Penyimpanan dilengkapi dengan kartu stok manual maupun elektronik. Stock opname untuk prekursor



16



17



dilakukan secara berkala minimal sekali dalam 6 (enam) bulan. 4. Penyerahan Penyerahan prekursor golongan obat keras hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter, sementara penyerahan prekursor golongan obat bebas terbatas dilakukan dengan memperhatikan kewajaran dan kerasionalan jumlah sesuai kebutuhan terapi. Penyerahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi, termasuk dalam bentuk racikan obat. 5. Pengembalian Pengembalian prekursor kepada pemasok harus disertai dengan dokumen serah terima pengembalian prekursor yang sah dan fotokopi arsip faktur pembelian. Setiap prekursor yang dikembalikan harus dicatat dalam kartu stok. Seluruh dokumen pengembalian harus didokumentasikan dengan baik serta mudah ditelusuri dan disimpan terpisah dari dokumen pengembalian obat lain. 6. Pemusnahan Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian harus



memastikan



kemasan dan label prekursor yang akan dimusnahkan telah dirusak, dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengontrolan prekursor di apotek tidak dilakukan pelaporan seperti psikotropika dan narkotika namun tetap dilakukan pengawasan melalui kartu stok dan stock opname secara berkala. Berdasarkan regulasi, penggolongan dan jenis prekursor antara lain (PP No. 44, 2010) : 1. Prekursor tabel 1, meliputi a. Acetic Anhydride b. N-Acetylanthranilic Acid c. Ephedrine d. Ergometrine e. Ergotamine f. Isosafrole



17



18



g. Lysergic Acid h. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-Propanone i. Norephedrine j. 1-Phenyl-2-Propanone k. Piperonal l. Potassium Permanganat m. Pseudoephedrine n. Safrole 2. Prekursor tabel 2, meliputi a. Acetone b. Anthranilic Acid c. Ethyl Ether d. Hydrochloric Acid e. Methyl Ethyl Ketone f. Phenylacetic Acid g. Piperidine h. Sulphuric Acid i. Toluene II.1.7



Obat Herbal Obat herbal atau obat bahan alam Indonesia merupakan obat bahan alam



yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat herbal dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu (KepKBPOM No. HK 00.05.4.2411, 2004) : 1. Jamu Jamu adalah obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Contoh obat jamu yaitu Tolak Angin® dan Laxing® (PerBPOM No. 32, 2019). Logo jamu dibuat dengan memenuhi beberapa ketentuan seperti :



18



19



a. Logo berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur b. Logo dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo c. Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”



Gambar 6. Logo obat jamu Sumber: Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.2411 Tahun 2004



2. Obat herbal terstandar Obat herbal terstandar adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi. Contoh obat herbal terstandar yaitu Lelap®, OB Herbal®, dan Virugon® (PerBPOM No. 32, 2019). Logo obat herbal terstandar dibuat dengan memenuhi beberapa ketentuan seperti : a. Logo berupa “JARI-JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur b. Logo dicetak dengan warna hijau di atas warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo c. Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah



19



20



dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang mencolok kontras dengan tulisan



“OBAT HERBAL



TERSTANDAR”



Gambar 7. Logo obat herbal terstandar Sumber: Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.2411 Tahun 2004



3. Fitofarmaka Fitofarmaka adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Contoh obat fitofarmaka yaitu Stimuno®, Tensigard®, dan Nodiar® (PerBPOM No. 32, 2019). Logo fitofarmaka dibuat dengan memenuhi beberapa ketentuan seperti : a. Logo berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur b. Logo dicetak dengan warna hijau di atas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo c. Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”



Gambar 8. Logo obat fitofarmaka Sumber: Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.4.2411 Tahun 2004



20



BAB III PELAYANAN RESEPDI APOTEK III.1



Resep



Tn R.



Gambar 9. Resep



32



33



III.2



Skrining Resep



III.2.1



Skrining Administrasif Berdasarkan skrining administratif



pada resep maka diperoleh



kelengkapan administratif seperti pada Tabel 1. Tabel 1.Skrining administratif resep



Bagian Resep



Komponen Resep Nama Dokter



Inscriptio



Invocatio



Keterangan Tidak Tercantum



SIP Dokter







-



Tidak Tercantum



Alamat Dokter



-







Tidak Tercantum



-







Tidak Tercantum



-



Pare-Pare, 13 Oktober 2021



-



Ada



No. Telp Praktek/Rumah Tempat/Tanggal Penulisan Resep  Tanda R/  Nama Obat Dosis



Prescriptio



Kelengkapan Administratif Ada Tidak Ada √



Jumlah yang diminta







-







-



R/ Amoxillin No. IV CTM No.III Dexamethason No. III m. f. pulv No. X S 3dd I



 -



Bentuk Sediaan Aturan Pakai



R/  1



-



Krim



R/  2



-



Serbuk



R/ 1







-



Untuk pemakaian luar



R/ 2







-



3 kali sehari 1







-



An. A



Nama Pasien Jenis Kelamin Signatura



Subscriptio







-



Umur Pasien



-







Berat Badan



-



Alamat Pasien



-



Tidak Tercantum







2 tahun Tidak Tercantum







Tidak Tercantum



No. Telp Pasien







-



Tercantum



Paraf Dokter







-



Tercantum



Berdasarkan skrining administratif terhadap contoh resep di atas, terdapat beberapa kelengkapan resep yang tidak terpenuhi. Berikut adalah permasalahan terhadap kelengkapan resep yang tidak terpenuhi : 1. Skrining administratif dokter



34



Kajian administratif dokter menurut PerMenKes RI No. 73 Tahun 2016, meliputi nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon, paraf, serta tanggal penulisan resep. a. Nama, SIP, alamat dan nomor telepon dokter Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai nama, SIP, alamat dan nomor telpon dokter. Hal ini sangat penting karena nama dokter menunjukkan identitas dokter yang memeriksa dan memberikan terapi pegobatan terhadap pasien tersebut. Selain itu berdasarkan PerMenKes No. 2052 Tahun 2011, SIP merupakan bukti tertulis yang menunjukkan bahwa seorang dokter telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik kedokteran. Resep juga tidak tercantum alamat dan nomor telepon dokter yang juga sangat penting karena dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apabila terdapat masalah pada resep. Solusi yang dapat dilakukan adalah apoteker



dapat



mengkonfirmasi



langsung



kepada



dokter



yang



bersangkutan yang melakukan praktik di klinik tempat resep tersebut dikeluarkan. Namun nomor telepon yang dicantumkan adalah nomor telepon fasilitas kesehatan tempat resep dikeluarkan sehingga ketika apoteker ingin melakukan konfirmasi mengenai resep yang dituliskan dapat menghubungi fasilitas kesehatan untuk meminta konfirmasi pada dokter. b. Aturan penggunaan obat Pada



resep



tidak



tercantum



keterangan



mengenai



aturan



penggunaan/waktu konsumsi obat (dalam Bahasa latin disingkat a.c (ante coenam = sebelum makan), d.c (durante coenam = pada waktu sementara makan), dan p.c (post coenam = sesudah makan)). Hal ini sangat penting karena dapat mempengaruhi efektivitas penggunaan obat maupun risiko terjadinya interaksi obat di dalam tubuh oleh pasien nantinya. Solusi yang dapat dilakukan adalah apoteker berkewajiban untuk memberikan keterangan/ informasi pada etiket serta pada saat penyerahan obat terkait aturan penggunaan obat tersebut berdasarkan ilmu farmasi yang telah dimilikinya.



35



2. Skrining administratif pasien Kajian administratif pasien menurut PerMenKes RI No.73 Tahun 2016, meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, serta berat badan pasien. a. Jenis kelamin pasien Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai jenis kelamin pasien. Solusi yang dapat dilakukan adalah dapat melihat langsung dari nama pasien, atau dapat mengonfirmasi langsung kepada yang menebus resep mengenai informasi jenis kelamin pasien. b. Berat badan pasien Pada resep tidak tercantum berat badan pasien. Hal ini sangat penting karena dalam melakukan perhitungan dosis, berdasarkan berat badan pasien paling tepat dalam menentukan kesesuaian dosis yang telah diberikan. Solusi yang dapat dilakukan adalah apoteker menanyakan langsung pada penebus resep apakah



pasien yang bersangkutan ikut



dalam penebusan obat di apotek, jika “iya” maka apoteker dapat mengarahkan pasien untuk melakukan penimbangan berat badan secara langsung di apotek. Namun apabila resep tidak mencantumkan berat badan pasien dan pasien tidak hadir dalam penebusan obat, perhitungan dosis dapat dilakukan menggunakan data umur pasien. c. Alamat pasien Pada resep tidak tercantum keterangan mengenai alamat pasien. Hal ini sangat penting



karena dengan adanya



informasi alamat



pasien



mempermudah apoteker dalam melakukan pemantauan terapi obat dan follow-up serta mengurangi resiko terjadinya medication error dalam hal kesalahan pemberian obat maupun informasi obat kepada pasien apabila pasien tidak dapat dihubungi melalui nomor telefon. Tidak semua kondisi pelayanan resep memerlukan informasi alamat pasien, kecuali untuk resep yang diperuntukkan untuk pasien dengan kondisi tertentu (seperti menerima polifarmasi, pasien kanker, geriatri, pediatric dll), mengandung jenis obat dengan resiko tinggi, serta regimen yang kompleks (missal polifarmasi). Solusi yang dapat diberikan adalah dengan mengonfirmasi



36



langsung kepada pasien pada saat menebus obat di apotek. III.2.2



Skrining Farmasetik Berdasarkan skrining farmasetik pada resep maka diperoleh kelengkapan



farmasetik seperti pada Tabel 1. III.2.2.1 Kesesuaian bentuk sediaan Bentuk sediaan pada R/ pertama adalah krim dan R/ kedua adalah serbuk (pulveres). Hal ini telah sesuai dengan kondisi pasien dimana pasien merupakan anak-anak berusia 2 tahun. Anak-anak pada usia tersebut cenderung tidak menyukai mengonsumsi obat terutama bila berbentuk tablet atau kapsul, masih cukup sulit menelan, serta dalam kondisi yang tidak sehat sehingga mempengaruhi psikologi atau mood anak dalam mengonsumsi obat. Bentuk sediaan serbuk memudahkan pasien dalam menelan obat, selain itu bentuk sediaan krim mudah diaplikasikan secara merata dan langsung dapat diabsobsi pada jaringan luka. III.2.2.2 Stabilitas Sediaan krim cenderung stabil asalkan kondisi penyimpanan sesuai dengan yang tertera pada kemasan sementara sediaan serbuk yang diracik diharapkan stabil selama pasien mengonsumsi obat dan selama penyimpanan. Salah satu kelebihan sediaan serbuk adalah lebih stabil dibanding bentuk sediaan cair. Zat-zat aktif dalam racikan serbuk pada resep juga diketahui bersifat tidak larut dalam air sehingga lebih stabil bila diracik dalam bentuk sediaan padat dalam hal ini bentuk serbuk. Adapun batas penggunaan obat racikan puyer tidak boleh lebih dari 25% dari waktu kedaluwarsa terdekat obat atau enam bulan dari waktu peracikan jika waktu kedaluwarsa masing-masing obat lebih dari 6 (enam) bulan (Allen, 2009). III.2.2.3 Inkompatibiltas obat Secara farmasetika, obat-obat dalam resep racikan pada contoh resep di atas tidak terdapat masalah ketidak-tercampuran obat yang dapat mengganggu stabilitas fisika dan kimia campuran obat sehingga dapat diracik menjadi sediaan



37



pulveres. III.2.3



Skrining Klinis Berdasarkan contoh resep di atas diketahui pasien berusia 2 tahun



namun data berat badan pasien tidak tercantum sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan dosis sesuai berat badan. Mengatasi hal ini maka perlu dilakukan konversi dosis menggunakan informasi usia pasien dengan menggunakan rumus Young : Dosisi anak ≤ 8 t ahun =



n ( tahun ) X dosis dewasa n ( tahun ) + 12tahun



III.2.3.1 Kesesuaian Dosis dan Aturan Pakai 1. Resep 1 (Sweetman, 2009) R/ Gentamicin



No.I



S. u. e



Resep 1 merupakan sediaan krim dengan indikasi untuk infeksi kulit. Berdasarkan contoh resep pertama digunakan dosis gentamisin 0,1%, diketahui bahwa pemberian gentamicin krim 0,1% memenuhi dosis yang dibutuhkan pasien sehingga obat tersebut dapat memberikan efek terapi tanpa menimbulkan risiko overdosis bagi pasien. 2. Resep 2 R/ Amoxicillin No.IV CTM No.III Dexamethason No.III M. f. pulv. No.X S. 3 d d I



Resep 2 merupakan racikan yang dibuat dalam bentuk serbuk (pulveres) dengan indikasi untuk mengatasi infeksi kulit. a. Amoxicillin (Sweetman, 2009)



38



DL (sekali)



: 250-500mg (dewasa)



DL (sehari)



:-



DL konversi (sekali) :



2 x 250-500mg=35,7-71,4 mg 14



DL konversi (sehari) : Perhitungan dosis berdasarkan resep Sekali : 500mg x 4tablet=



2000 mg =200mg/bungkus 10 bungkus



Sehari : 3 x 200mg=600mg/hari Berdasarkan hasil perhitungan dosis di atas, diketahui bahwa pemberian amoxicillin dengan dosis 200 mg sebanyak 3 kali sehari melebihi dosis lazim sehingga obat tersebut dapat saja memberikan efek terapi namun beresiko menimbulkan efek samping yang besar bagi pasien. Dari sudut pandang apoteker, sebaiknya dosis diturunkan menjadi 35,7-71,4 mg agar tidak menimbulkan risiko bagi pasien. 3. Chlorpeniramine maleat (MIMS, 2021) DL (sekali)



: 1 mg (2-5 tahun)



DL (sehari)



:-



DM (sehari)



: 6 mg (2-5 tahun)



DL konversi (sekali) : DL konversi (sehari) : DM konversi (sehari) : Perhitungan dosis berdasarkan resep Sekali : 4mg x 3 tablet=



12 mg =1,2mg/bungkus 10 bungkus



Sehari : 3 x 1,2 mg = 3,6 mg/hari % DM :



3,6 mg x 100% = 60% (12 tahun Sama seperti dosis dewasa.



Lansia : Pengurangan dosis mungkin diperlukan. Maks: 12 mg/hari. 10. Farmakokinetik Absorpsi



: Mudah menyerap dari saluran pencernaan. Ketersediaan hayati: 25-50%. Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 2-3 jam.



Distribusi



: Didistribusikan secara luas di tubuh dan SSP. Masuk ASI. Volume distribusi: 6-12L/kg. Ikatan protein plasma: Sekitar 70%.



Metabolisme : Mengalami metabolisme lintas pertama yang ekstensif di hati oleh enzim CYP450 menjadi metabolit aktif dan tidak aktif. Ekskresi



: Melalui urin (22% sebagai obat yang tidak berubah); feses (jumlah jejak). Waktu paruh eliminasi: 2-43 jam.



III.3.4



Deksamethasone (MIMS, 2021; Sweetman, 2009)



1. Komposisi Tiap tablet mengandung dexamethasone 0,5 mg 2. Nama Generik dan/atau Nama Dagang 3. Mekanisme Kerja Deksametason adalah glukokortikoid yang sangat poten dan long-acting yang bertindak sebagai agen anti-inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, menurunkan



produksi



mediator



inflamasi,



membalikkan



peningkatan



permeabilitas kapiler, dan menekan respon imun. Ini tidak memiliki sifat mineralokortikoid dan memiliki sifat penahan Na minimal yang membuatnya



48



cocok untuk mengobati kondisi di mana retensi air tidak menguntungkan. 4. Indikasi Anti-inflamasi atau imunosupresif 5. Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik; infeksi sistemik kecuali diobati dengan anti infeksi spesifik, perforasi membran gendang (otic), pemberian vaksin virus hidup. 6. Efek Samping Muskuloskeletal, saluran pencernaan, dermatologi, sistem saraf, gangguan cairan dan elektrolit, endrokrin, metabolic dan reaksi hipersensitifitas 7. Peringatan dan Perhatian Pasien dengan hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, diabetes mellitus, penyakit gastrointestinal (misalnya divertikulitis anastomosis usus, kolitis ulseratif ulkus peptikum aktif atau laten); penyakit mata (misalnya katarak, glaukoma, riwayat herpes simpleks okular); osteoporosis, riwayat gangguan kejang, penyakit tiroid, gangguan ginjal dan hati, anak-anak, lansia, kehamilan dan menyusui, hindari penghentian mendadak atau pengurangan dosis secara cepat. 8. Interaksi Obat Penurunan konsentrasi plasma dengan penginduksi CYP3A4 (misalnya barbiturat, karbamazepin, efedrin, fenitoin, rifabutin, rifampisin). Peningkatan konsentrasi plasma dengan inhibitor CYP3A4 (misalnya eritromisin, ketoconazole, ritonavir). Dapat meningkatkan pembersihan ginjal dari salisilat. Dapat meningkatkan efek hipokalemia diuretik (acetazolamide, loop, thiazide), injeksi amfoterisin B, kortikosteroid, karbenoksolon, dan agen penipis K. Dapat meningkatkan efek antikoagulan warfarin. Berpotensi Fatal: Dapat mengurangi efek terapeutik dari vaksin virus hidup. 9. Dosis dan Aturan Pakai Dewasa : Awalnya, 0,5-9 mg/hari dalam dosis terbagi. Maks: 1,5 mg/hari Anak



: Awalnya, 0,02-0,3 mg/kg setiap hari dalam 3-4 dosis terbagi



10. Farmakokinetik



49



Absorpsi



: Mudah diserap dari saluran pencernaan. Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 1-2 jam (oral); kira-kira 30-120 menit (IM); 5-10 menit (IV).



Distribusi



: Melewati plasenta dan memasuki ASI. Ikatan protein plasma: Sekitar 77%, terutama pada albumin.



Metabolisme : Dimetabolisme di hati oleh enzim CYP3A4. Ekskresi



: Melalui urin (hingga 65%). Waktu paruh eliminasi: 4±0,9 jam (oral); kira-kira 1-5 jam (IV).



III.4



Penyiapan Obat



III.4.1



Resep I



1. Perhitungan bahan Gentamicin cream : 1 tube @5 gram 2. Penyiapan obat dan pengemasan a. Diambil obat dari lemari penyimpanan sejumlah 1 tube b. Dikemas ke dalam sak obat c. Diberi etiket biru yang memuat nomor resep, tanggal penyiapan obat, nama pasien dan aturan pakai dioleskan dengan lembut ke area yang luka setelah dibersihkan 3-4 kali sehari III.4.2



Resep II (Racikan) Resep racikan dibuat dalam bentuk serbuk pulveres sebanyak 10



bungkus dengan perhitungan sebagai berikut : 1. Perhitungan bahan a. Amoxicillin @ 500mg Amoxicillin 4 x @ 500 mg = 4 kaplet b. CTM @ 4 mg CTM 3 x @ 4 mg = 3 tablet c. Dexamethasone @ 0,5 mg Dexamethason 3 x @ 0,5 mg = 3 tablet 2. Peracikan obat a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam peracikan obat



50



b. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70% c. Disiapkan obat yang akan diracik sesuai dengan jumlah perhitungan masing-masing bahan yaitu amoxicillin 4 kaplet, CTM 3 tablet dan dexamethasone 3 tablet d. Dimasukkan obat amoxicillin, CTM dan



dexamethasone ke dalam



lumpang lalu digerus hingga homogen e. Ditimbang campuran serbuk obat yang telah digerus, hasil pertimbangan kemudian dibagi 10 dan ditimbang satu per satu untuk mendapatkan bobot yang seragam f. Dibagi ke dalam 10 kertas pulveres g. Disegel masing-masing kertas pulveres 3. Pengemasan Dikemas 10 bungkus puyer ke dalam sak obat dan diberi etiket putih yang nomor resep, tanggap penyiapan obat, nama pasien dan aturan pakai 3 kali sehari 1 bungkus serta keterangan diminum setelah makan dan harus dihabiskan III.5



Etiket dan Salinan Resep



III.5.1



Etiket



Gambar 10. Etiket Obat R/ 1



51



Gambar 11. Etiket Obat R/ 2



III.5.2



Salinan Resep



Gambar 12. Copy Resep



III.6



Penyerahan Obat Obat yang telah disiapkan dan dikemas diperiksa kembali terlebih



52



dahulu terhadap kesesuaian resep. Pemeriksaan kesesuaian meliputi nama pasien, alamat pasien, umur pasien, obat (nama, dosis, bentuk sediaan, dan jumlah obat), aturan pakai dan etiket obat untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penyerahan obat. Setelah pemeriksaan, apoteker memanggil nama pasien yang tertera pada resep dan mengkonfirmasi usia atau alamat pasien. Kemudian obat diserahkan kepada pasien disertai pemberian informasi terkait obat yang diterima, yaitu : 1. Obat pertama diberikan sebagai obat infeksi pada permukaan kulit pasien. Obat dioleskan tipis-tipis setiap 8 jam atau 3 kali sehari pada tempat yang terinfeksi lalu oles secara merata. 2. Obat kedua merupakan racikan yang berfungsi untuk mengatasi infeksi. Obat dikonsumsi setiap 8 jam atau 3 kali sehari sebanyak 1 bungkus setelah makan. Obat racikan ini juga harus dihabiskan karena mengandung antibiotik amoxicillin sehingga tetap dihitung meskipun kondisi tubuh dirasakan telah membaik sebelum obat habis. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap bakteri penyebab infeksi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu mengantuk 3. Apabila terjadi masalah setelah meminum obat seperti timbulnya alergi atau reaksi yang cukup berat maka pasien harus menghentikan konsumsi obat dan segera melakukan konsultasi kepada dokter atau apoteker 4. Obat krim harus disimpan sesuai aturan pada kemasan, sementara racikan puyer disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya dan lembab Apoteker juga dapat menyertakan nomor kontak yang dapat dihubungi oleh pasien pada etiket apabila suatu waktu pasien membutuhkan informasi terkait obat yang diberikan.



BAB IV PENUTUP IV.1



Kesimpulan Setelah



melakukan



pengkajian



resep



yang



mencakup



skrining



administratif, skrining farmasetik dan skrining klinis, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Secara administratif, resep dianggap tidak lengkap karena ditemukan beberapa bagian yang tidak tercantum meliputi nama, SIP, alamat, nomor telepon dokter, jenis kelamin dan berat badan pasien. 2. Secara farmasetik, resep telah memenuhi kesesuaian bentuk sediaan obat untuk pasien berusia 2 tahun yaitu krim dan serbuk pulveres. 3. Secara klinis, peresepan beberapa obat dianggap tidak rasional berkaitan dengan tidak tepat obat dan tidak tepat dosis. Tidak tepat dosis ditemukan pada obat amoxicillin dimana dosisnya melebihi dosis lazim. Tidak tepat pemilihan obat ditemukan pada pemberian gentamicin sebagai antibiotik, dimana gentamicin diracik bersama dengan obat-obat simptomatik. IV.2



Saran Untuk meningkatkan keamanan dan efikasi obat yang diberikan kepada



pasien serta menghindari terjadinya kesalahan dalam pengobatan (medication error), proses dan alur pelayanan serta pengkajian resep harus dilakukan secara menyeluruh dan sebaik mungkin.



53



DAFTAR PUSTAKA



Allen, L.V. 2009. Beyond-Use Dates and Stability Indicating Assay Methods in Pharmaceutical Compounding. Secundum Artem; 15(3):1-6. Anief, 1995. Ilmu Meracik Obat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug Information Handbook 17th Edition, American Pharmacist Association Departemen Kesehatan. 2011. Modul Penggunan Obat Rasional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 6-7, 93-94, 265, 338-339, 691. DitJen Binfar dan Alkes DepKes RI. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: DepKes RI. Garnett, S., Winland-Brown, J., & Porter, B. (2019). Bacterial skin infections. In L. Dunphy, J. Winland-Brown, B. Porter, & D. Thomas (Eds.), Primary care: The art and science of advanced practice nursing – an interprofessional approach (5th ed., pp. 185-199). Philadelphia, PA: F. A. Davis. Harlim, Ago. 2019. Buku ajar ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Jakarta: FK UKI. Katzung, B, G. 2004. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. SIPNAP: User Manual untuk Apotek. Versi 1.2. Jakarta: Bakti Husada. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta : Kemenkes RI. Keputusan KBPOM Republik Indonesia No. HK. 00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. 2004. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VlI/1990 tentang Obat Wajib Apotik. 1990. Jakarta. MIMS. 2021. www.mims.com diakses pada September 2021. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 4 Tahun 2018 tentang



54



Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika,



55



55



dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. 2018. Jakarta. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 14 Tahun 2019 tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu dan Label. 2019. Jakarta. Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 32 Tahun 2019 Tentang Persyaratan Keamanan Dan Mutu Obat Tradisional. 2019. Jakarta, Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi. 1993. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. 1993. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. 2015. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat. 2021. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek. 2017. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. 2018. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan. 2018. Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. 2016. Jakarta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga Kesehatan. 2016. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 2010 tentang Prekursor.2010. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor Kefarmasian. 2009. Jakarta.



51



Tahun



2009



Tentang



Saskatchewan, R.N. association. 2019. Impetigo: adult and pediatric.



Pekerjaan



56



Suprapti T., 2016. Praktikum Farmasetika Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Sweetman, Sean C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36 th Edition. London: Pharmaceutical Press. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 1997. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2009. Jakarta. Wells, Barbara G, DiPiro, Joseph T., Schwinghammer, Terry L., DiPiro, Cecily V.. 2017. Pharmacotherapy Handbook, Tenth Edition. New York: Mc Graw Hill Education.



57



LAMPIRAN Lampiran 1. Contoh Form Surat Pesanan Narkotika



58



Lampiran 2. Contoh Form Surat Pesanan Psikotropika



59



Lampiran 3. Contoh Form Surat Pesanan Prekursor



60



Lampiran 4. Contoh Form Pelaporan Narkotika



61



Lampiran 5. Contoh Form Pelaporan Psikotropika