Laporan PPG 2021 (PKM Sakra) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PROGRAM PERENCANAAN GIZI (PPG) “DETERMINAN MASALAH GIZI PADA BALITA DAN IBU HAMIL DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2021”



Oleh : 1. BAIQ NISA LAILIM S.



( P07131118005 )



2. DIAH AYU PARAMUDITA



( P07131118010 )



3. FERDINAN YAZID R.



( P07131118014 )



4. JULYANA DEWI



( P07131118061 )



5. MAWADDAH INAYATUL M.



( P07131118026 )



6. SITI PARHIYAH ISNAENI



( P07131118043 )



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA 2021



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat



yang



setinggi



tingginya,



sebagai



investasi



bagi



pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan



ekonomis. Keberhasilan



pembangunan



kesehatan



sangat



ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program dan sektor, serta kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh periode sebelumnya. (HK.02.02/MENKES/52/2015). Dengan Peraturan Menteri ini ditetapkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 yang selanjutnya disebut Renstra Kementerian Kesehatan 2020-2024. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 merupakan dokumen perencanaan yang bersifat indikatif yang memuat visi, misi, tujuan dan



sasaran



strategis,



program



dan



kegiatan



pembangunan



sesuaidengan tugas dan fungsi Kementerian Kesehatan yang berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh banyak faktor, sehingga penanggulangannya tidak cukup dengan pendekatan medis maupun pelayanan kesehatan saja (Supariasa dkk, 2012). Indonesia mempunyai tiga beban masalah gizi (triple burden) yaitu stunting, wasting dan obesitas serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 25,7%



remaja usia 13-15 tahun dan 26,9% remaja usia 16-18 tahun dengan status gizi pendek dan sangat pendek. Selain itu terdapat 8,7% remaja usia 13-15 tahun dan 8,1% remaja usia 16-18 tahun dengan kondisi kurus dan sangat kurus. Sedangkan prevalensi berat badan lebih dan obesitas sebesar 16,0% pada remaja usia 13-15 tahun dan 13,5% pada remaja usia 16-18 tahun. Data tersebut merepresentasikan kondisi gizi pada remaja di Indonesia yang harus diperbaiki. Berdasarkan baseline survey UNICEF pada tahun 2017, ditemukan adanya perubahan pola makan dan aktivitas fisik pada remaja (KEMENKES RI, 2020) Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) erat kaitannya dengan kejadian balita gizi buruk, balita kurus, dan balita pendek. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 secara nasional status gizi balita menurut indikator BB/U, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6%. terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Sedangkan hasil Riskesdas tahun 2018 angka prevalensi nasional tahun 2018 adalah 17,7% terdiri dari 3,9% gizi buruk dan 13,38% gizi kurang. Jika di bandingkan angka prevalensi hasil Riskesdas 2013 dan 2018 sekilas terlihat menurun. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.7% tahun 2013, dan 3.9% tahun 2013. Prevalensi gizi kurang turun sebesar 0,1% dari 2007 dan 2013. Untuk status gizi balita



berdasarkan



indikator



TB/U,



prevalensi



sangat



pendek



berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2018 yaitu 30,8%. terdiri dari 11.5% sangat pendek dan 19,3% pendek.



Terjadi penurunan



persentase dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013 (37,2%) sebesar 6,4%. Untuk status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB, Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2018 yaitu 3,5% dan 6,7% kurus, dan



prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus



menurun dari 12,1% pada tahun 2013 menjadi 10,2% persen pada tahun 2018. Peningkatan prevalensi anemia pada wanita hamil secara



nasional sebanyak 11,8% dari 37,1% pada tahun 2013 menjadi 48,9% pada tahun 2018. (Riskesdas,2018) Zat besi dianggap sebagai salah satu zat gizi mikro yang berperan terhadap terjadinya anemia. Kekurangan gizi besi dalam tingkat lanjut dapat menyebabkan anemia, yang disebut sebagai anemia gizi besi. Kategori untuk anemia yaitu apabila kadar hemoglobin (Hb) ibu hamil ≤11 g/dL berdasarkan data diperkirakan ibu hamil di seluruh Indonesia yang mengkonsumsi Fe yaitu sebesar 73,2% dan yang tidak mengkonsumsi Fe sebesar 26,8% (Utami, 2015). Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. usia 6-11 bulan dengan kapsul warna biru dan anak usia 12-59 bulan dengan kapsul warna merah. berdasarkan data Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan menurut propinsi pada tahun 2018 sebesar 83,3%. Cakupan pemberian vitamin A meningkat sebesar 7,8% dari tahun 2013 (75,5%). (Riskesdas,2018) Kekurangan



yodium



memiliki



konsekuensi



buruk



bagi



kesehatan yang disebut sebagai Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Gangguan akibat kekurangan yodium mencakup keterbelakangan mental yang permanen, gondok,



dan kegagalan



reproduksi. Anak dengan kekurangan yodium memiliki rata-rata IQ 13,5 point lebih rendah dibandingkan yang cukup yodium. Untuk mengatasinya penanggulangan GAKY difokuskan pada peningkatan konsumsi garam beryodium. Berdasarkan data Riskesdas 2013 di NTB proporsi konsumsi garam yodium oleh rumah tangga yaitu garam yang mengandung cukup yodium sebesar 54,5%, kurang yodium sebesar 25,6%, dan yang tidak mengandung yodium sebesar 19,8% (Riskesdas,2018)



Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 di NTB bahwa persentase menurut status gizi dengan indeks BB/U yaitu 4,30 % gizi buruk, 18,30% gizi kurang; Indikator TB/U : 11,20% sangat pendek, 26,00% pendek ; sedangkan menurut indikator BB/TB ; 2,20% sangat kurus, 6,40% kurus. Berdasarkan Profil Kesehatan Dinas Kesehatan kabupaten NTB Tahun 2017 memperlihatkan bahwa cakupan pemberian ASI Eksklusif pada bayi rata-rata sebesar 77,66%, cakupan ini turun jika dibandingkan dengan cakupan ASI Eksklusif tahun 2016 sebesar 86,63%. sedangkan untk rata-rata cakupan anak balita (12-59 bulan) yang mendapat pelayanan kesehatan sebesar 93,02%, meningkat jika dibandingkan capaian tahun 2016 sebesar 85,02%. (Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten NTB,2017) Hasil pemantauan rumah tangga pada tahun 2017, dari 84.340 rumah tangga yang dipantau (6,3% dari jumlah rumah tangga yang ada) sebanyak 35.322 (41.88%) rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat. Pada tahun 2016 dari 42.324 rumah tangga yang dipantau (3,2% dari jumlah rumah tangga yang ada) sebanyak 14.198 (33,55%) rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat. Rumah tangga yang dipantau tahun 2017 sedikit meningkat daripada rumah tangga dipantau tahun 2016. Berdasarkan data BPS 2017 di NTB persentase rumah tangga menurut sumber air minum layak pakai tahun 2015 yaitu 71,70%, 2016 yaitu 73,98% dan 2017 70,48% hal ini menunjukkan persentase mengalami penurunan. Sedangkan untuk persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak mengalami peningkatan tahun 2015 yaitu 63,72%, 2016 70,31% dan 2017 sebesar 69,25%. Penduduk yang mempunyai akses sanitasi layak (Jamban Sehat) pada tahun 2017 sebanyak 75,06%, artinya sebanyak 24,94% penduduk tidak mempunyai akses sanitasi yang layak. Dari 75,06%



penduduk yang memiliki akses sanitasi yang layak tersebut, jenis sarana jamban yang digunakan adalah10,07% menggunakan jamban komunal memenuhi syarat, jamban leher angsa memenuhi syarat 87,13%, jamban plengsengan memenuhi syarat1,96% dan jamban cemplung memenuhi 0,84%.( Profil Kesehatan NTB, 2017). Kader kesehatan. adalah perwujudan peran aktif masyarakat dalam pelayanan terpadu. kriteria kader posyandu antara lain dapat diutamakan berasal dari anggota masyarakat setempat, dapat membaca



dan



menulis



huruf



latin,



mempunyai



jiwa



pelopor,



pembaharu dan penggerakan masyarkat, serta bersedia bekerja secara sukarela, memiliki kemampuan dan waktu luang (Depkes RI,2008). RPJMN Teknokraktik 2020 – 2024 menyebutkan bahwa Indikator Pembangunan Kesehatan yang ditargetkan hingga 2024 meliputi 5 hal yaitu : 1) Meningkatnya status kesehatan ibu dan anak.2) meningkatnya status gizi masyarakat dan meningkatnya pengendalian penyakit menular dan faktor resiko penyakit tidak menular. 3) Meningkatnya kinerja sistem kesehatan. 4) Meningkatnya pemerataan akses pelayanan kesehatan berkualitas. 5) Meningkatnya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk. Potensi dan permasalahan pembangunan kesehatan yang pertama adalah kesehatan ibu dan anak. Angka Kematian Ibu sudah mengalami penurunan, namun masih jauh dari target MDGs tahun 2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan



mengalami



peningkatan.



Kondisi



ini



kemungkinan



disebabkan oleh antara lain kualitas pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat dan faktor determinan lainnya. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat antara lain adalah penanganan komplikasi dan anemia.



Dalam 5 tahun terakhir, Angka Kematian Neonatal (AKN) tetap sama yakni 19/1000 kelahiran, sementara untuk Angka Kematian Pasca Neonatal (AKPN) terjadi penurunan dari 15/1000 menjadi 13/1000 kelahiran hidup, angka kematian anak balita juga turun dari 44/1000 menjadi 40/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian pada kelompok perinatal disebabkan oleh Intra Uterine Fetal Death (IUFD) sebanyak 29,5% dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 11,2%, ini berarti faktor kondisi ibu sebelum dan selama kehamilan amat menentukan kondisi bayinya. (KEMENKES RI) Tujuan RPJMN 2015-2019 2020-2024 sasaran pembangunan jangka



menengah



2020-2024 adalah mewujudkan masyarakat



Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur



perekonomian



yang



kokoh



berlandaskan



keunggulan



kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. RPJMN 2020-2024 Development



Goals



telah mengarusutamakan



(SDGs).



Target-target



dari



Sustainable 17



Tujuan



Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) beserta indikatornya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam 7 agenda pembangunan Indonesia ke depan (Renstra Kemenkes 2020-2024). Berdasarkan data SUPAS 2015, angka kematian ibu (AKI) sudah lebih rendah dari target yang ditetapkan yaitu 305 dari 306 kematian ibu per 1000 kelahiran ibu. Sementara itu, capaian angka kematian bayi (AKB) belum dapat disimpulkan dikarenakan data SDKI 2017 belum tersedia, tetapi data SUPAS 2015 menunjukkan bahwa AKB telah mencapai 22,23 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data (Sirkesnas, 2016), prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita sebesar 21,00% masih belum mencapai target yang telah ditetapkan (18,30%), sehingga masih memerlukan upaya keras untuk



mencapainya.



Data



Pemantauan



menunjukkan



kecenderungan



Status



prevalensi



Gizi



(PSG)



2016



kekurangan



gizi



(underweight) pada anak balita yang menurun dan capaian tahun 2016 sebesar 17,80%. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak bawah dua tahun (baduta) telah mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2019 (28,00%) dengan capaian sebesar 26,10% sesuai data Sirkesnas 2016. Kecenderungan penurunan capaian prevalensi stunting pada baduta juga ditunjukkan oleh PSG menjadi sebesar 21,70% pada tahun 2016. Namun, angka prevalensi stunting masih tergolong tinggi dan Pemerintah terus melakukan intervensi terutama untuk periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). (SUPAS,2015) Berdasarkan data-data tersebut menyatakan bahwa masih banyak permasalahan gizi terutama pada balita dan ibu hamil, sehingga mahasiswa Semester VI Politeknik Kesehatan Mataram Jurusan



Gizi



akan



melakukan



survei



mengenai



faktor-faktor



determinan masalah gizi pada balita dan ibu hamil di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2021. Oleh Karena itu, diperlukan program perencanaan gizi untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku dan upaya untuk meningkatan perbaikan gizi masyarakat. Upaya-upaya tersebut bertujuan dalam meningkatkan perbaikan status gizi serta upaya perbaikan dan kualitas sumber daya manusia.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa saja determinan masalah gizi pada balita dan ibu hamil di Provinsi Nusa Tenggara Barat? C. Tujuan Penelitian



1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor determinan masalah gizi pada balita dan ibu hamil di Provinsi Nusa Tenggara Barat.



2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi gambaran umum responden meliputi nama, umur, jenis kelamin, berat badan lahir, dan riwayat penyakit. b. Mengidentifikasi karakteristik ibu balita meliputi nama, usia, pendidikan, dan pekerjaan. c. Mengidentifikasi karakteristik ibu hamil dan balita meliputi nama, umur, lingkar LILA, kehamilan anak keberapa, dan pengetahuan ibu hamil. d. Mengidentifikasi sosial ekonomi meliputi pendapatan dan pengeluaran. e. Mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga balita dan ibu hamil tentang gizi dan kesehatan. f. Mengidentifikasi pola asuh balita g. Mengidentifikasi kesehatan lingkungan keluarga balita dan ibu hamil. h. Mengidentifikasi tingkat konsumsi balita meliputi energi, protein, vitamin A serta ibu hamil meliputi energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C dan yodium. i. Mengidentifikasi konsumsi tablet Fe pada ibu hamil. j. Mengidentifikasi status gizi ibu hamil dan balita. k. Menganalisis determinan masalah gizi padaa balita dan ibu hamil. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Bagi Institusi Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor determinan yang berhubungan dengan masalah gizi dan kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.



2. Bagi Peneliti a. Menambah wawasan dan peningkatan pengetahuan dalam bidang gizi masyarakat. b. Melatih keterampilan mahasiswa dalam penentuan status gizi dan menganalisis data hasil pengukuran. c. Melatih keterampilan mahasiswa dalam melakukan survey konsumsi pada balita. d. Memperoleh data dasar untuk penentuan intervensi gizi pada balita. 3. Bagi Masyarakat a. Menambah



wawasan



dan



peningkatan



pengetahuan



masyarakat tentang faktor yang mempengaruhi masalah gizi. b. Memperoleh



gambaran



terhadap



pemecahan



dari



suatu



permasalah gizi pada balita dan ibu hamil yang sedang dihadapi.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Status Gizi Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005). Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2005). Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Apriadji, 1986). Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007). Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005).Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk (Apriadji, 1986).



Keadaan tubuh dikatakan pada tingkat gizi optimal, jika jaringan tubuh jenuh oleh semua zat gizi, maka disebut status gizi optimal. Kondisi



ini



memungkinkan



tubuh



terbebas dari



penyakit dan



mempunyai daya tahan yang tinggi. Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2004). Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam sel tubuh (Supariasa, 2002). Jadi, status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi.Dibedakan atas status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih (Almatsier, 2006 yang dikutip oleh Simarmata, 2009). Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi.Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001 yang dikutip oleh Simarmata, 2009). B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Permasalahan gizi menurut Supariasa (2002) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permasalahan gizi, yaitu : 1. Faktor penyebab langsung dari masalah gizi a. Asupan makan Apabila



ketidakcukupan



zat



besi



terlalu



lama



maka



persediaan atau jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidakcukupan itu. Apabila jika ini berlangsung lama maka terjadi penurunan berat badan.Terjadinya perubahan yang dapat di



deteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Terjadinya perubahan fungsi yang ditandai dengan tanda yang khas, terjadi perubahan anatomi yang bisa dilihat dari munculnya tanda yang klasik (Supariyasa, 2002). b. Penyakit infeksi/status kesehatan Proses riwayat alamiyah oleh karena penyakit yang diterapkan pada masalah gizi melalui berbagai tahap yaitu diawali dengan terjadinya interaksi antara penjamu, sumber penyakit dan lingkungan.



Ketidakseimbangan



faktorini,



misalnya



ketidak



cukupan zat gizi maka, simpanan zat gizi akan berkurang dan lama kelamaan simpanan akan menjadi habis. Apabila keadaan ini dibiarkan maka akan terjadi perubahan faali dan metabolis dan akhirnya akan memasuki ambang klinis. Proses



itu



menyebabkan



terjadinya



penyakit.



Tingkat



kesakitannya dimulai dari sakit ringan sampai dengan sakit tingkat berat. Dari kondisi ini akhirnya ada 4 kemungkinan yaitu, mati, sakit kronis, cacat dan sembuh apabila ditanggulangi intensif.(Supariasa, 2002). 2. Faktor tidak langsung penyebab masalah gizi a. Pengetahuan gizi Pengetahuan



gizi



memegang



peranan



penting



dalam



penyediaan pangan yang baik untuk mencapai keadaan gizi yang baik pula. Pengetahuan gizi didukung oleh pendidikan gizi yang cukup. Pentingnya pengethuan gizi didasarkan pada kenyataan yaitu : 1) Tingkat pengetahuan gizi sangat penting peranannya dalam usaha peningkatan status gizi 2) Setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakan cukup untuk pertumbuhan pemeliharaan dan energi tubuh



3) Ilmu gizi yang dipelajari dapat meningkatkan pengetahuan gizi seseorang dimana ilmu gizi tersebut dapat memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga dapat menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi. Kurang pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan dalah umum dijumpai disetiap negara didunia.Penyebab penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kemampuan untuk menerapkan informasi-informasi



tersebut



dalam



kehidupan



sehari-hari



(Depkes, 2004). Pengetahuan serta kesukaan ibu terhadap jenis makanan tertentu sanagat berpengaruh terhadap hidangan yang disajikan, pada kenyataan sehari-hari sering dijumpai anak yang kurang mempunyai selera makan (Suharjo, 1989). b. Pendidikan gizi Pendidikan adalah suatu alat yang dapat dipakai untuk memperbaiki



dirinya



dalam



melangsungkan



kehidupan



masyarakat. semakin tinggi pendidikan seseorang akan semain tinggi pula tingkat pengetahuan akan kesehatan dan gizi keluarganya sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi oleh anggota kelurganya. c. Pekerjaan Status



pekerjaan



ibu



digunakan



untuk



mengetahui



pengunaan waktu sehari-hari ibu balita, karena mengetahui status pekerjaan (ibu bekerja atau tidak) akan dapat dijadikan sebagai latar belakang pnelitian prilaku dan sikap tersebut (suharjo,1989) d. Ketersediaan pangan Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan Keterbatasan



faktor



penting



apapun



yang



dalam



masalah



diakibatkan



kurang



gizi.



kemiskinan



dan



kekurangan pangan kecuali dalam keadaan tertentu, penggunaan yang lebih baik dari pangan yang tersedia dapat dilakukan penduduk yang memahami penggunaannya untuk membantu peningkatan status gizi, sehingga membantu penduduk untuk belajar cara menanam, menyimpan dan menggunkan pangan untuk memperbaiki konsumsi makan (Suharjo, 1999). e. Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehtan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan



keluarga



tahap



upaya



pencegahan



penyakit



dan



pemeliharaan kesehatan seperti : pemeriksaan kehamilan, pertolongan



persalinan,



penimbangan



anak,



imunisasi



penyuluhan kesehatan, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, bidan, dan dokter rumah sakit serta air bersih ( Depkes RI,2000).



C. Cara Mengukur Status Gizi Untuk menentukan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan dengan interpretasi informasi  dari hasil beberapa metode penilaian status gizi yaitu: penilaian konsumsi makanan, antropometri, laboratorium/biokimia dan klinis (Gibson, 2005). Diantara beberapa metode



tersebut,



pengukuran



antropometri



adalah



relatif



paling



sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000). Survei asupan makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga



dan



individu.Survei



ini



dapat



mengidentifikasikan



kelebihan



dan



kekurangan zat gizi (Supariasa, 2002). Penilaian status gizi merupakan landasan untuk memberikan asuhan gizi yang optimal kepada pasien. Dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan pasien secara optimal atau dengan upaya pemenuhan kebutuhan pasien secara optimal atau dengan upaya pemenuhan yang sebaik-baiknya. (Naskah Pelatihan Latihan Nutirisi RS, 1995). Anamnesis tentang asupan pangan harus mencantumkan pula (selain wawancara asupan pangan) pertanyaan yang terkait dengan baik status gizi maupun kesehatan gigi.Anamnesis juga wajib mencantumkan pola konsumsi obat karena kemungkinan interaksi antara makanan dan obat.Anamnesis tentang asupan pangan merupakan satu tahap penilaian status gizi yang paling sulit dan tidak jarang membuat penilai frustasi karena berbagai sebab. 1. Manusia memiliki sifat lupa sehingga orang sering tidak mampu mengingat dengan pasti jenis (apalagi jumlah) makanan yang telah disantap 2. Manusia sering mengedepankan gengsi jika diberi tahu bahwa makanan mereka akan dinilai, pola “pangan” pun dipaksakan berubah. 3. Sejauh ini, belumlah mungkin penghitungan komposisi makanan secara akurat, kecuali kegiatan pangan dapat terawasi dengan ketat. Di samping itu, masih banyak kendala lain yang berpotensi menyendatkan langkah penilaian ini. Pada prinsipnya, kedekatan antara keduanya perlu ditumbuhkan agar responden menaruh kepercayaan pada pewawancara.Bahasa yang digunakan oleh pewawancara harus dimengerti secara benar oleh responden. Selain itu, wawasan pangan pewawancara harus luas, ia



harus mengetahui jenis makanan yang beredar, baik legal maupun ilegal, di daerah tempat ia ditugaskan (Arisman, 2009). Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa, 2002). Uji biokimiawi yang penting ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, pemeriksaan apusan darah untuk malaria, pemeriksaan protein. Ada dua jenis protein, viseral dan somatik, yang layak dijadikan parameter penentu status gizi.Pemeriksaan tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja (Arisman, 2009). Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan zat gizi yang spesifik. Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat.Metode ini didasarkan atas perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi.Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys).Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat



tanda-tanda



dari



kekurangan



salah



satu



atau



lebih



zat



gizi.Disamping itu digunakan untuK mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) (Supariasa, 2002). Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan.Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan adalah kemampuan mengunyah dan menelan, keadaan nafsu makan,



makanan yang digemari dan yang dihindari, serta masalah saluran pencernaan (Arisman, 2009). Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthoropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh. Pengertian ini bersifat sangat umum sekali (Supariasa, dkk, 2002). Sedangkan sudut pandang gizi, Jelliffe (1966) mengungkapkan bahwa antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penggunaan antropometri, khususnya pengukuran berat badan pernah menjadi prinsip dasar pengkajian gizi dalam asuhan medik. Untuk mengkaji status gizi secara akurat, beberapa pengukuran secara spesifik diperlukan dan 7 pengukuran ini mencakup pengukuran berat badan, indeks massa tubuh (IMT). (Andy Hartono, 2000). 1. Ukuran Antropometri Berat Badan Berat merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran masa tubuh (otot dan lemak). Karena tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Maka BB merupakan antropometri yang sangat labil (Reksodikusumo, dkk, 1989). Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan keutuhan gizi terjamin, berat badan mengikuti perkembangan umur. Sebaiknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan BB, yaitu dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, oedema dan



adanya



tumor



(Supariasa,



dkk,



2001)



Hal-hal



yang



harus



dipertimbangkan kalau kita akan menggunakan berat badan sebagai satu-satunya kriteria untuk menentukan keadaan gizi seseorang : a. Berat badan harus dimonitor untuk memberikan informasi yang memungkinkan intervensi preventif secara dini (dan intervensi guna mengatasi kecenderungan penurunan/ penambahan berat yang tidak dikehendaki) b. Berat badan harus dievaluasi dalam konteks riwayat berat, baik gaya hidup maupun status berat terakhir c. Berat badan tidak memberikan informasi mengenai komposisi tubuh dan dengan demikian tidak efektif untuk menentukan resiko penyakit yang kronis. Namun IMT (indeks masa tubuh 8 menentukan) merupakan sarana untuk mengukur resiko penyakit kronis d. Pasien yang berukuran tubuh besar tapi bukan gemuk dapat memiliki nilai IMT di atas nilai standar, namun tidak ada hubungannya dengan peningkatan resiko untuk menderita gangguan gizi atau penyakit e. Pasien-pasien dapat memiliki defisiensi mikronutrien yang bermakna disamping deplesi lean body mass, khususnya selama menderita



penyakit



yang



berat.



Semua



parameter



harus



dievaluasi dahulu dan kita tidak bolehkan cepat-cepat berasumsi bahwa kelebihan berat badan sama dengan kelebihan gizi. Pasien yang mengalami oedema, hidrotoraks dapat memiliki barat badan yang tinggi tetapi terapi status gizinya jelek seperti gagal ginjal kronis. (Andy Hartono, 2000). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan



menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1978), batasan umur digunakan adalah tahun umur penuh (comleted year) untuk anak umur 0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (completed month). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan, tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah defisiensi gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Tinggi lutut dapat digunakan untuk memperkirakan TB seseorang bahkan dapat juga untuk memperkirakan berat badan, khususnya yang bagi tidak dapat berdiri atau dapat gangguan pada daerah lutut. 2. Indeks-indeks Antropometri Ukuran antropometri dalam rangka penilaian status gizi digunakan dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara masing-masing ukuran indikator antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi adalah BB/U, TB/U atau PB/U, BB/TB atau BB/PB, 10 LILA/U, Lingkar Dada/U (LD/U), Lingkar Kepala/U (LK/U), TLBK/U, Indeks Ponderal, Indeks Massa Tubuh, Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP), Tinggi Lutut. a. Indeks BB/U Ιndeks BB/U adalah pengukuran total berat badan, termasuk air, lemak, tulang, dan otot, dan diantara beberapa macam indeks antropometri, indeks BB/U merupakan indikator



yang paling umum digunakan. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah Untuk anak pada umumnya, indeks ini merupakan cara baku yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Kurang berat badan tidak hanya menunjukkan konsumsi pangan yang tidak cukup tetapi juga mencerminkan keadaan sakit



yang



baru



saja



dialami,



seperti



mencret



yang



mengakibatkan berkurangnya berat badan Pengukuran berat badan



menurut



umur



secara



teratur



dan



seing



dapat



dipergunakan sebagai indikator kurang gizi. Hasil pengukuran ini dapat menunjukkan keadaan kurang gizi akut atau gangguan-gangguan yang mengakibatkan laju pertumbuhan terhambat. b. Indeks TB/U atau PB/U Tinggi badan kurang peka Dipengaruhi oleh pangan dibandingkan dengan berat badan . Oleh karena itu tinggi badan menurut umur yang rendah biasanya akibat dari keadaan kurang gizi yang kronis, tetapi belum pasti memberikan petunjuk bahwa konsumsi zat gizi pada waktu ini tidak cukup TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu.



Keadaan tinggi badan anak pada usia



sekolah (7 th) menggambarkan status gizi pada masa balita adalah sama dengan seperti pada yang sudah dibahas sebelumnya yang menyangkut pengukuran itu sendiri maupun ketelitian data umur. Masalah-masalah ini akan berkurang bila dilakukan terhadap anak yang lebih tua dimana proses pengukuran dapat lebih mudah dilakukan dan penggunaan selang 11 (range). Umur yang lebih panjang (setengah tahunan atau tahunan) memperkecil kemungkinan kesalahan data umur. Indeks TB/U disamping dapat memberikan gambaran tentang status gizi



masa lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi (Beaton dan Bengoa, 1973). Oleh karena itu indeks TB/U selain digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat. c. Indeks BB/TB atau BB/PB Ukuran antropometri yang terbaik Menggunakan



BB/TB



atau



BB/PB



karena



dapat



menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Berat badan memiliki hubungan linier dengan berat badan.



dalam



keadaan



normal



akan



searah



dengan



pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Pada tahun 1966 Jelliffe memperkenalkan penggunaan indeks BB/TB untuk identifikasi status gizi, indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menanyakan status gizi saat ini, terlebih bila data umur akurat sulit diperoleh, oleh karena itu indeks BB/TB disebut pula indikator status gizi yang independen terhadap umur. Karena indeks BB/TB dapat memberikan gambaran tentang



proporsi



berat



badan



relatif



terhadap



indikator



kekurangan, seperti halnya dengan indeks BB/U. d. Indeks Masa Tubuh (IMT) IMT - BMI (Body Mass Indeks) Merupakan indeks antropometri yang sering digunakan untuk menilai status gizi individu maupun masyarakat karena cukup peka untuk menilai status gizi orang dewasa di atas 18 tahun. IMT dapat dihubungkan dengan persen lemak tubuh. IMT dihitung dengan pembagian berat badan (dalam kg) oleh tinggi badan (dalam meter) pangkat dua. Korelasi berat badan dengan jumlah total lemak tubuh cukup erat, kendati sebagian orang dengan lean body mass yang tinggi bisa memberikan IMT yang tinggi walaupun orang tersebut tidak gemuk. (Dr Andy Hartono, 2000)



Dalam panduan tata laksana penderita KEP (Depkes, 2000) gizi buruk diartikan sebagai keadaan kekurangan gizi yang sangat parah yang ditandai dengan berat badan menurut umur kurang dari 60 % median pada baku WHO-NCHS atau terdapat tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmik-kwashiorkor.



Agar



penentuan



klasifikasi



dan



penyebutan status gizi menjadi seragam dan tidak berbeda maka Menteri Kesehatan [Menkes] RI mengeluarkan SK Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak bawah lima tahun.  Dengan keluarnya SK tersebut maka data status gizi yang dihasilkan mudah dianalisis lebih lanjut baik untuk



perbandingan



,



kecenderungan



maupun



analisis



hubungan (Depkes, 2002). Menurut SK tersebut penentuan gizi status gizi tidak lagi menggunakan persen terhadap median, melainkan nilai Z-score pada baku WHO-NCHS. Secara umum klasifikasi status gizi balita yang digunakan secara resmi adalah seperti tabel berikut. Table 1. Kategori Dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks



Indeks



Kategori Status Gizi



Ambang Batas ( Z



Berat badan menurut umur



BB sangat kurang (severely



Score) < -3SD



(BB/U)



underweight) BB Kurang (underweight) BB Normal Resiko BB Lebih Sangat pendek (severely



-3SD sd < -2SD -2SD sd +1SD >+1SD < -3SD



stunted) Pendek (stunted)



-3SD sd < -2SD



Normal



-2SD sd +3SD



Anak umur 0-60 bulan Panjang badang menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U)



Tinggi



>+3 SD



Anak umur 0-60 bulan Gizi Buruk (severely



< -3 SD



Berat badan menurut



wasted) Gizi Kurang (Wasted)



-3 SD sd < -2 SD



panjang badan (BB/PB)



Gizi Baik (Normal)



-2 SD sd +1 SD



atau berat badan menurut



Beresiko BB Lebih



>+1 SD sd +2 SD



tinggi badan (BB/TB)



(Possible Risk Of



Anak umur 0-60 bulan



Overweight) Gizi Lebih (overweight)



>+2 SD sd +3 SD



Obesitas (obese)



>+3 SD



Gizi Buruk (severely



< -3SD



wasted) Gizi Kurang (wasted) Gizi Baik (Normal) Berisiko Gizi Lebih (possible



-3SD sd < -2SD -2SD sd +1 SD >+1 SD sd +2 SD



risk of overweight) Gizi Lebih (overweight) Obesitas (obese) Gizi Kurang (thinness)



>+2 SD sd +3 SD >+3 SD -3 SD sd < -2 SD



Gizi Baik (Normal) Gizi Lebih (overweight) Obesitas (obese)



-2 SD sd +1 SD +1 SD sd +2 SD >+2 SD



Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) Anak umur 0-60 bulan



Indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) Anak umur 5-18 tahun



Sumber : PMK RI No.2/2020 Tentang Standar Antropometri Anak *SD = Standard deviasi



Penelitian



ini



menggunakan



terminologi



gizi



buruk



berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai SK Menkes



No SK Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang



Standar



Pelayanan



Minimal



Bidang



Kesehatan



diKabupaten/Kota, menyebutkan bahwa setiap balita gizi buruk harus mendapatkan penanganan sesuai standar.  Balita gizi buruk yang dimaksud pada SPM tersebut adalah Balita yang memiliki BB/TB < -3 SD WHO-NCHS dan atau memiliki tanda-tanda klinis (Depkes, 2003). 3. Anamnese Riwayat Diet/ Penilaian Status Gizi Anamnese diet harus dilakukan bagi semua pasien yang beresiko untuk menderita penyakit yang berhubungan dengan gizi dan bagi pasienpasien yang mendapatkan terapi diet.(Dr Andy Hartono, 2000). Melakukan anamnesa riwayat diet ini dilakukan dengan metode food recall ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi dan pada masa lalu. Biasanya recal ini dilakukan untuk beberapa hari yang lalu. Penentuan jumlah hari "recall" ini dilakukan sangat ditentukan keragaman jenis konsumsi antar waktu atau tipe responden dalam memperoleh pangan, sebagai contoh antara petani tanaman pangan akan berbeda dengan pegawai negeri. Urutan waktu makan sehari dapat disusun berupa makan pagi, makan siang, makan malam serta makanan sela atau jajan. Pengelompokan bahan makanan dapat berupa bahan makanan pokok, sumber protein nabati (kacang-kacangan), sumber protein hewani (daging, telur, susu), sayuran, buah-buahan dan lain lain Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring dan alat atau ukuran lain yang biasa digunakan dirumah tangga.



Dari URT jumlah pangan dikonversikan kedalam satuan berat (gram) dengan menggunakan daftar URT yang umum berlaku. Metode ini sering digunakan untuk survei konsumsi individu dibanding keluarga. Metode recall ini dapat 15 digunakan untuk survei konsumsi keluarga bila semua anggota keluarga di wawancarai atau salah seorang keluarga mengetahui tentang konsumsi anggota keluarga yang lainnya, biasanya orang tersebut adalah ibu rumah tangga. Metode mengingat-ingat ini mempunyai kelemahan dalam tingkat ketelitiannya karena keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan memperpanjang waktu survei. Pada dasarnya metode food recall ini dipergunakan untuk



menilai



keadaan



konsumsi



pangan



yang



nantinya



dipergunakan untuk menilai status gizi. Keadaan konsumsi pangan dan gizi yang baik ditentukan oleh terciptanya keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya yang dibutuhkan tubuh disertai dengan pendayagunaan biologis yang sebaik-baiknya dari setiap zat gizi yang dikonsumsi tersebut. Penilaian status gizi kemudian menjadi sangat berguna, yang hasilnya dapat digunakan sebagai landasan untuk pengembangan program pangan dan gizi di masyarakat dalam membantu mangatasi masalah gizi kurang, menyediakan jumlah dan jenis pangan yang diperlukan untuk mencapai tingkat kesehatan penduduk yang cukup baik. Menurut (Suhardjo dan Hadi riyadi, 1998) untuk menentukan atau menaksir status gizi seseorang, suatu kelompok penduduk atau masyarakat, perlu dilakukan pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan kurang gizi yang ada atau indikator atau parameter yang berguna sebagai indeks untuk menunjukkan tingkatan status gizi dan kesehatan yang berbeda-beda.



Penilaian Konsumsi Pangan Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menilai status gizi. Keadaan konsumsi pangan tersebut dapat digunakan sebagai indikator pola pangan yang baik atau kurang baik dan bukan merupakan ukuran keadaan gizi yang ditentukan secara langsung. Penilaian konsumsi lebih sering digunakan sebagai salah satu teknik untuk menunjukkan tingkat keadaan gizi dari pada sebagai pengukur. Penilaian konsumsi tersebut dapat dipakai untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan. Hal tersebut dapat membantu menunjukkan zat gizi persediaan cukup atau kurang. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei. Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang), baik secara kualitatif maupun kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Dalam informasi ini akan dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Makanan (Daftar Komposisi Bahan Makanan) dan daftar lain bila diperlukan. Survei macam



konsumsi



pangan



secara



kualitatif



biasanya



untuk



mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring dan alat atau ukuran lain yang biasa digunakan dirumah tangga. Dari URT jumlah pangan dikonversikan kedalam satuan berat (gram) dengan menggunakan daftar URT yang umum berlaku. D. Klasifikasi Status Gizi



Standar



Antropometri



Anak



digunakan



untuk



menilai



atau



menentukan status gizi anak. Penilaian status gizi Anak dilakukan dengan



membandingkan



hasil



pengukuran



berat



badan



dan



panjang/tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Klasifikasi penilaian status gizi berdasarkan Indeks Antropometri sesuai dengan kategori status gizi pada WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO Reference 2007 untuk anak 5-18 tahun. Umur yang digunakan pada standar ini merupakan umur yang dihitung dalam bulan penuh, sebagai contoh bila umur anak 2 bulan 29 hari maka dihitung sebagai umur 2 bulan. Indeks Panjang Badan (PB) digunakan pada anak umur 0-24 bulan yang diukur dengan posisi terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur dengan posisi berdiri, maka hasil



pengukurannya



dikoreksi



dengan



menambahkan



0,7



cm.



Sementara untuk indeks Tinggi Badan (TB) digunakan pada anak umur di atas 24 bulan yang diukur dengan posisi berdiri. Bila anak umur di atas 24 bulan diukur dengan posisi terlentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm. a. Indeks Standar Antropometri Anak Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan dan panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi: 2. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Indeks



BB/U



ini



menggambarkan



berat



badan



relatif



dibandingkan dengan umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat badan kurang (underweight) atau sangat



kurang



(severely



underweight),



tetapi



tidak



dapat



digunakan untuk mengklasifikasikan anak gemuk atau sangat gemuk. Penting diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah, kemungkinan mengalami masalah pertumbuhan, sehingga



perlu dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau BB/TB atau IMT/U sebelum diintervensi. 3. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U) Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau sangat pendek (severely stunted), yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu lama atau sering sakit. Anak-anak yang tergolong tinggi menurut umurnya juga dapat diidentifikasi. Anakanak dengan tinggi badan di atas normal (tinggi sekali) biasanya disebabkan oleh gangguan endokrin, namun hal ini jarang terjadi di Indonesia. 4. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB) Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan



anak



sesuai



terhadap



pertumbuhan



panjang/tinggi



badannya. Indeks ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi kurang (wasted), gizi buruk (severely wasted) serta anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible risk of overweight). Kondisi gizi buruk biasanya disebabkan oleh penyakit dan kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah lama terjadi (kronis).



5. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik IMT/U dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama. Namun indeks IMT/U lebih sensitif untuk penapisan anak gizi lebih dan obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U >+1SD berisiko gizi lebih sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah terjadinya gizi lebih dan obesitas. E. Kerangka Konsep



Pengetahuan, sikap, dan perilaku Sosial Ekonomi Konsumsi Pola Asuh



Tingkat Konsumsi Balita



Status Gizi



Pelayanan Kesehatan Infeksi Kesehatan Lingkungan



KADARZI Sumber : Modifikasi Call n Levinson 1871 (Supariasa “Penilaian Status Gizi” 2001)



Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti Variabel Independen : Pengetahuan, sikap dan prilaku , social ekonomi, pola asuh, tingkat konsumsi balita, Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, KADARZI, Konsumsi, Infeksi. Variabel Dependen



: Status Gizi



F. Hipotesa Ada determinan yang paling mempengaruhi status gizi pada balita dan ibu hamil.



BAB III METODE A. Ruang Lingkup Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang tersebar di 5 kabupaten kota sesuai domisili anggota kelompok, mengingat suasana pandemic covid-19. Tempat penelitian terdiri dari : 



Keluruhan Pagutan Tiimur, Kecamatan Mataram, Kota Mataram.







Desa



Pengadangan,



Kecamatan



Pringgasela,



Kabupaten



Lombok Timur.. 



Desa Lenek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara.







Desa Babussalam, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat.







Desa Bunkate, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah.







Keluruhan Sambina’e, Kecamatan Mpunda, Kota Bima.



2. Waktu Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada tahun 2021.



B. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang menggali bagaimana kejadian itu dapat terjadi kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena. Penelitian ini merupakan pendekatan Crosectional, yang semua variabel yang termasuk efek akan diteliti dan di kumpulkan pada waktu yang



bersamaan. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi  dalam  penelitian  adalah balita umur 6-59 bulan, dan ibu hamil yang tersebar di 5 kabupaten kota tempat domisili tempat tinggal anggota kelompok sejumlah 42 sampel dengan rincian sebagai berikut : Balita



Ibu Hamil



Kader a) Kota Mataram



7 orang



1 orang



5



7 orang



1 orang



5



7 orang



1 orang



5



7 orang



1 orang



5



7 orang



1 orang



5



orang b) Lombok Barat orang c) Lombok Tengah orang d) Lombok Timur orang e) Lombok Utara orang f) Kota Bima orang



7 orang



1 orang



5



TOTAL



42 BALITA



6 IBU HAMIL



30



KADER 2. Sampel Sampel adalah keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi sejumlah 42 balita, 6 ibu hamil dan 30 kader. D. Jenis Data yang Dikumpulkan 1. Data Primer terdiri dari : a. Data gambaran umum/karakteristik balita meliputi nama, umur, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit, dan urutan dalam keluarga/anak ke berapa. b. Data gambaran umum/karakteristik responden ibu balita meliputi nama, usia, pendidikan, pekerjaan. c. Data gambaran umum/karakteristik ibu hamil meliputi nama, umur, kehamilan anak keberapa. d. Data status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB serta status gizi ibu hamil berdasarkan IMT dan LILA. e. Data tingkat konsumsi balita meliputi energi, protein, vitamin A dan ibu hamil meliputi energi, protein,vitamin A, vitamin C, zat besi, Fe, yodium dan asam folat. f. Data pola asuh balita. g. Data konsumsi tablet Fe pada ibu hamil. h. Data tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga balita dan ibu hamil tentang gizi dan kesehatan pada balita dan ibu hamil. i. Data tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan kader tentang gizi dan kesehatan pada balita dan ibu hamil. j. Data pendapatan keluarga balita dan ibu hamil.



k. Data hygiene dan sanitasi lingkungan fisik keluarga balita dan ibu hamil l. Data keluarga KADARZI balita. 2. Data sekunder terdiri dari: a. Data gambaran umum wilayah yang meliputi letak geografis, luas, jumlah penduduk, karakteristik penduduk, jumlah dusun yang ada pada Provinsi Nusa Tenggara Barat. b. Data jumlah balita dan ibu hamil yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. E. Cara Pengumpulan Data 1. Data primer terdiri dari : a) Data gambaran umum/karakteristik balita meliputi nama, umur, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit, dan urutan dalam keluarga/anak ke berapa diperoleh dengan wawancara menggunakan form identitas. b) Data tentang gambaran umum/karakteristik responden ibu balita meliputi nama,usia, pendidikan, pekerjaan. diperoleh dengan wawancara menggunakan form identitas. c) Data tentang gambaran umum/karakteristik ibu hamil meliputi nama, umur, kehamilan anak keberapa. diperoleh dengan wawancara menggunakan form identitas. d) Data tentang status gizi balita berdasarkan BB/U, PB/U atau TB/U, dan BB/TB serta status ibu hamil gizi berdasarkan IMT dan LILA. Data berat badan, panjang badan/tinggi badan, dan LILA diperoleh dengan cara pengukuran antropometri,



yaitu :



pengukuran berat badan menggunakan timbangan digital dengan tingkat



ketelitian



0,1



kg,



panjang



badan



menggunakan



lengthboard atau tinggi badan menggunakan microtoise dengan



tingkat ketelitian 0,1 cm yang kemudian dihitung berdasarkan SK Menkes menurut indikator BB/U, PB/U atau TB/U, dan BB/TB dengan rumus : Z-score =



Sedangkan pengukuran LILA menggunakan pita LILA dengan panjang 36 cm dan ketelitian 0,1 cm, dan nilai IMT merujuk kategori nilai IMT untuk Asia Paifik dengan rumus : IMT =



e) Data tentang tingkat konsumsi balita dan ibu hamil meliputi energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C diperoleh dengan wawancara yang dilakukan oleh peneliti dalam kurun waktu 2 x 24 jam (tidak berurutan ) menggunakan form food recall 24 jam. f) Data tentang pola asuh balita diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner. g) Data tentang konsumsi tablet Fe pada ibu hamil diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner observasi. h) Data tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan keluarga balita dan ibu hamil tentang gizi dan kesehatan pada balita dan ibu hamil diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner . i) Data tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan kader tentang gizi dan kesehatan pada balita dan ibu hamil diperoleh dengan wawancara menggunakan form kuisioner . j) Data tentang pendapatan keluarga balita dan ibu hamil diperoleh dengan wawancara menggunakan form pengeluaran dari BPS.



k) Data tentang Kesehatan lingkungan fisik keluarga balita dan ibu hamil diperoleh dengan wawancara menggunakan form kuisioner. l) Data tentang keluarga KADARZI ibu balita diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuisioner, 2. Data sekunder terdiri dari: a. Data gambaran umum wilayah yang meliputi letak geografis, luas, jumlah penduduk, karakteristik penduduk, jumlah dusun yang ada di Provinsi Nusa Tenggadar Barat sarana dan prasarana, peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dalam bidang kesehatan serta organisasi dan kelembagaan desa, serta potensi sumber daya alam masyarakat diperoleh dengan mengutip dari profil Provinsi Nusa Tenggara Barat. b. Data jumlah balita dan ibu hamil yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat diperoleh dengan mengutip data 2020. F. Cara Pengolahan Data 1. Data Primer a) Data tentang karakteristik sampel balita meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit, dan urutan dalam



keluarga/anak



keberapa



diolah



dengan



diklasifikasikan menjadi : 1) Jenis kelamin, dikelompokkan menjadi 2 yaitu : i.



Laki-laki



ii.



Perempuan



2) Berat badan lahir, dikelompokkan menjadi 2 yaitu : i.



BBLR < 2500 gram



ii.



Tidak BBLR ≥ 2500 gram



3) Riwayat penyakit , dikelompokkan menjadi 2 yaitu :



i.



Ya (jika menderita penyakit infeksi)



ii.



Tidak (jika tidak menderita penyakit infeksi)



4) Urutan dalam keluarga/anak keberapa, dikelompokkan menjadi 3 yaitu : i.



Anak ke 1-2



ii.



Anak ke 3-5



iii.



Diatas 5



b) Data tentang karakteristik responden ibu balita diolah dan disajikan secara deskriptif : 1) Karakteristik Ibu diolah dan dikelompokkan menurut usia: i.



< 20 tahun



ii.



20-35 tahun



iii.



>35 tahun



2) Data tingkat pendidikan responden diolah dengan cara mengelompokkan data pendidikan responden kedalam 3 kategori : i.



Tinggi



: Perguruan tinggi



ii.



Menengah



: SMA,



iii.



Rendah



: SMP, SD, dan tidak tamat SD



c) Data tentang karakteristik sampel ibu hamil meliputi umur. 1) Data umur dikelompokkan menjadi : i.



< 20 tahun



ii.



2). 20-35 tahun



iii.



3). >35 tahun



2) Data tingkat pendidikan responden diolah dengan cara mengelompokkan data pendidikan responden kedalam 3 kategori :



i.



Tinggi



: Perguruan tinggi



ii.



Menengah



: SMA,



iii.



Rendah



: SMP, SD, dan tidak tamat SD



d) Data status gizi balita diolah menggunakan standar antropometri anak BB/U TB/U, dan BB/TB dan dianalisis secara dekskriptif menurut PMK No.2 Th 2020 berdasarkan indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB. 1) BB/U : i.



BB sangat kurang



: +1 SD



2) PB/U atau TB/U : i.



Sangat pendek



: < -3 SD



ii.



Pendek



: -3 SD sd < -2 SD



iii.



Normal



: -2 SD sd +3 SD



iv.



Tinggi



: > +3 SD



3) BB/TB : i.



Gizi Buruk



: < -3 SD



ii.



Gizi Kurang



: -3 SD sd < -2SD



iii.



Gizi Baik



: -2 SD sd +1 SD



iv.



Berisiko Gizi Lebih : > +1 SD sd +2 SD



v.



Obesitas



: > +3 SD



Sedangkan status gizi ibu hamil : 1) LILA dikelompokkan menjadi : i.



KEK : 75%



Ordinal



dengan wawancara Sedang :56 – 75% orang dengan alat bantu Kurang : < 56%



adalah



cara pengawasan terhadap faktorfaktor lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap lingkungan 10



Penyakit



(Hopkins). Suatu kondisi Wawancara



Infeksi



dimana



balita dengan



sebelumnya



-



bantuan



form kuisioner



Ya (jika menderita Ordinal penyakit infeksi



-



Tidak



atau pada saat



menderita



dilakukan



infeksi)



penelitian menderita penyakit seperti



infeksi diare,



(tidak penyakit



ISPA,



dan



pneumonia



dan



lain-lain 11



Pola asuh



Pola



asuh Wawancara



adalah



suatu dengan



tindakan



kuisioner



memberikan perhatian penuh serta



kasih



sayang



pada



anak



balita



mencakup pemberian makan balita



pada



bantuan



Kurang : 35 tahun



2



16,7



12



100



Jumlah



Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi kelompok umur paling banyak terdapat pada kelompok umur 20 – 35 tahun (66,6%). Dan paling sedikit terdapat pada kelompok umur > 35 tahun (16,7%). b) Pendidikan Ibu Hamil Tabel 2.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu Hamil No 1 2 3 4 5 6



Pendidikan n % Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD 5 41,7 Tamat SMP 1 8,3 Tamat SMA 4 33,3 Perguruan Tinggi 2 16,7 Jumlah 12 100 Distribusi responden (hamil) berdasarkan tingkat pendidikan paling banyak terdapat pada tingkat tamat Sekolah Dasar (SD) (41,7%). Dan paling sedikit terdapat pada tingkat tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) (8,3%).



c) Pekerjaan Ibu Tabel 2.3 Distribusi Tingkat Pekerjaan Ibu Hamil No Pekerjaan Ibu N % 1 PNS 2 Honorer 3 Swasta/Wiraswasta 3 25 4 Petani Pemilik 1 8,3 5 Buruh Tani 7 58,4 6 Serabutan 7 Tidak Bekerja 1 8,3 8 Lainnya Jumlah 12 100 Distribusi responden (hamil) berdasarkan tingkat pekerjaan paling banyak terdapat pada jenis pekerjaan (58,4%). Dan paling sedikit terdapat pada jenis pekerjaan petani pemilik dan tidak bekerja (8,3%). d) Pengetahuan Tabel 2.4.Distribusi Tingkat Pengetahuan



No 1 2 3



Pengetahuan n % Baik 10 83,3 Sedang 2 16,7 Kurang Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan tingkat pengetahuan terdapat pada tingkat pengetahuan dengan kategori baik (83,3%). Dan paling sedikit terdapat pada tingkat pendidikan dengan kategori sedang (16,7%). e) Sikap Tabel 2.5 Distribusi Tingkat Sikap



No 1 2 3



Sikap n % Baik 11 91,7 Sedang 1 8,3 kurang Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan tingkatan sikap paling banyak pada kategori baik (91,7%) dan paling sedikit pada kategori sedang (8,3%). f) Tindakan



Tabel 2.6 Distribusi Tingkat Tindakan



No 1 2 3



Perilaku N % Baik 6 50 Sedang 3 25 kurang 3 25 Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan tingkatan tindakan paling banyak pada kategori baik (50%) dan paling sedikit pada kategori sedang dan kategori kurang (25%). g) Perilaku Kadarzi 1. Pemantauan Kesehatan Tabel 2.7 Distribusi Pemantauan Kesehatan



No



Perilaku KADARZI



N



%



1



KADARZI



-



-



2



Tidak KADARZI



12



100



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan perilaku kadarzi yaitu pemantauan kesehatan tidak berperilaku kadarzi (100%). 2. Makanan Beranekaragam Tabel 2.8 Makanan Beranekaragam



Makanan n % Beraneka Ragam 1 Ya 4 33,3 2 Tidak 8 66,7 Jumlah 12 100 Distribusi perilaku kadarzi ibu hamil berdasarkan konsumsi makanan beranekaragam lebih banyak tidak mengkonsumsi makanan beranekaragam dengan persentase (66,7%) dan yang mengkonsumsi makanan beranekaragam dengan persentase (33,3%). No



3. Penggunaan Garam Beryodium Tabel 2.9 . Distribusi Penggunaan Garam Beryodium



Penggunaan Garam Beryodium



No



n



%



1 2



Ya 3 25 Tidak 9 75 Jumlah 12 100 Distribusi perilaku kadarzi ibu hamil berdasarkan penggunaan garam beryodium lebih banyak tidak menggunakan garam beryodium dengan persentase (75%) dan yang menggunakan garam beryodium dengan persentase (25%). 4. Konsumsi Suplemen Tabel 2.10 Distribusi Konsumsi Suplemen



No



Konsumsi Suplemen



n



%



1 2



Ya 8 66,7 Tidak 4 33,3 Jumlah 12 100 Distribusi perilaku kadarzi ibu hamil berdasarkan konsumsi suplemen lebih banyak ibu hamil yang mengkonsumsi dengan persentase (66,7%) dan yang tidak mengkonsumsi suplemen dengan persentase (33,3%).



5. Penerapan Perilaku KADARZI Tabel 2.11 Penerapan Perilaku KADARZI



No 1 2



Perilaku KADARZI n % KADARZI 1 8,3 Tidak KADARZI 11 91,7 Jumlah 12 100 Distribusi perilaku kadarzi ibu hamil berdasarkan penerapan perilaku kadarzi lebih banyak tidak menerapkan kadarzi dengan persentase (91,7%) dan yang menerapkan kadarzi dengan persentase (33,3%). 6. Status KEK Tabel 2.12 Status KEK



No 1



Status KEK KEK



n 3



% 25



2



Non KEK 9 75 Jumlah 12 100 Distribusi status KEK ibu hamil paling banyak pada kategori non KEK dengan persentase (75%) dan paling sedikit pada kategori KEK dengan persentase (25%). 7. Konsumsi Energi Tabel 2.13 Konsumsi Energi Pada Ibu Hamil



No



Konsumsi Energi



n



%



1



Diatas Kecukupan



-



-



2



Normal



2



16,7



3



Defisit Ringan



5



41,6



4



Defisit Sedang



2



16,7



5



Defisit Berat



3



25



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi energi paling banyak pada kategori defisit berat dengan persentase (25%). Dan paling sedikit pada kategori diatas kecukupan (0,0%). 8. Konsumsi Protein Tabel. 2.14 Konsumsi Protein Pada Ibu Hamil



No



Konsumsi Protein



n



%



1



Diatas Kecukupan



2



16,7



2



Normal



7



58,3



3



Defisit Ringan



1



8,3



4



Defisit Sedang



-



-



5



Defisit Berat



2



16,7



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi protein paling banyak pada kategori normaldengan persentase (58,3%). Dan paling sedikit pada kategori defisit sedang (0,0%) 9. Konsumsi Lemak Tabel. 2.15 Konsumsi Lemak Pada Ibu Hamil



No



Konsumsi Lemak



n



%



1



Diatas Kecukupan



-



-



2



Normal



7



58,3



3



Defisit Ringan



-



-



4



Defisit Sedang



2



16,7



5



Defisit Berat



3



25



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi lemak paling banyak pada kategori normal dengan persentase (58,3%). Dan paling sedikit pada kategori defisit sedang (16,7%). 10. Konsumsi Karbohidrat Tabel. 2.16 Konsumsi Karbohidrat Pada Ibu Hamil



No



Konsumsi Karbohidrat



n



%



1



Diatas Kecukupan



-



-



2



Normal



2



16,7



3



Defisit Ringan



2



16,7



4



Defisit Sedang



2



16,7



5



Defisit Berat



6



49,9



Jumlah



12



100



Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi karbohidrat paling banyak pada kategori defisit berat dengan persentase (49,9%).



11. Konsumsi Vitamin A Tabel 2.17 Konsumsi Vitamin A



No



Konsumsi Vitamin A



N



%



1



Diatas Kecukupan



4



33,3



2



Normal



2



16,7



3



Defisit Ringan



-



-



4



Defisit Sedang



1



8,3



5



Defisit Berat



5



41,7



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi vitamin A paling banyak pada kategori defisit berat dengan persentase (41,7%). Dan paling sedikit pada kategori defisit sedang (8,3%). 12. Konsumsi Vitamin C Tabel 2.18 Konsumsi Vitamin C



No



Konsumsi Vitamin E



n



%



1



Diatas Kecukupan



2



16,7



2



Normal



1



8,3



3



Defisit Ringan



1



8,3



4



Defisit Sedang



8



66,7



5



Defisit Berat



-



-



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi vitamin C paling banyak pada kategori defisit sedang dengan persentase (66,7%). Dan paling sedikit pada kategori defisit ringan dan sedang (8,3%). 13. Konsumsi Fe (Zat Besi) Tabel 2.19 Konsumsi Fe (Zat Besi)



No



Konsumsi Fe



N



%



1



Diatas Kecukupan



-



-



2



Normal



3



25



3



Defisit Ringan



2



16,7



4



Defisit Sedang



-



-



5



Defisit Berat



7



58,3



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan konsumsi Fe (Zat Besi) paling banyak pada kategori defisit berat dengan persentase (58,3%). Dan paling sedikit pada kategori diatas kecukupan dan defisit sedang (16,7%).



14. Kesehatan Hygiene dan Sanitasi Tabel 2.20 Kesehatan Hygiene dan Sanitasi No Hygiene dan Sanitasi n %



1



Baik



12



100



2



Sedang



-



-



3



Kurang



-



-



Jumlah 12 100 Distribusi responden (ibu hamil) berdasarkan kesehatan hygiene dan sanitasi semua ibu hamil berada pada kategori baik (100%).



B. HUBUNGAN DUA VARIABEL a) BALITA Tabel 3.1. hubungan Status gizi (BB/TB) dengan Tingkat Konsumsi Energi Status Gizi (BB/TB) KATEGORI TINGKAT GIZI GIZI BERESIKO GIZI BAIK GIZI LEBIH KONSUMSI BURUK KURANG GIZI LEBIH ENERGI N % N % N % N % N % DEF.BERAT 1 100 1 33,3 19 54,3 1 100 DEF.SEDANG 1 33,3 4 11,4 1 100 DEF.RINGAN 8 22,9 BAIK 1 33,3 2 5,7 DIATAS 2 5,7 KECUKUPAN TOTAL 1 100 3 100 35 100 1 100 1 100



OBESITAS



TOTAL



N 1 -



% 100 -



N 23 6 8 3



% 54,8 14,3 19 7,1



-



-



2



4,8



1



100



42



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa balita dengan status gizi kurang sebanyak 1 balita dengan persentase 33,3% di Desa Sakra memiliki status BB kurang karena tingkat konsumsi energi berada pada defisit berat. Berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,212 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi energi dengan indeks BB/TB. KATEGORI TINGKAT KONSUMSI PROTEIN DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Tabel 3.2 hubunganStatus Gizi (BB/TB) dengan Tingkat Konsumsi Protein Status Gizi (BB/TB) GIZI GIZI BERESIKO GIZI GIZI BAIK OBESITAS BURUK KURANG GIZI LEBIH LEBIH N % N % N % N % N % N % 1 2,9 1 100 1 100 1 2,9 1 100 2 66,7 5 14,3 9 25,7 1 100 -



TOTAL N 2 3 7 10



% 4,8 7,1 16,7 23,8



-



-



1



33.3



19



54,3



-



-



-



-



-



-



20



47,6



1



100



3



100



35



100



1



100



1



100



1



100



42



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa balita dengan status gizi kurang sebanyak 2 balita dengan persentase 66,7% di Desa Sakra memiliki status BB kurang karena tingkat konsumsi protein berada pada defisit ringan. Berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,974 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan indeks BB/TB.



KATEGORI TINGKAT KONSUMSI LEMAK DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Table 3.3. Hubungan Status Gizi BB/TB dengan Tingkat Konsumsi Lemak Status Gizi (BB/TB) GIZI GIZI BERESIKO GIZI GIZI BAIK OBESITAS BURUK KURANG GIZI LEBIH LEBIH N % N % N % N % N % N % 17 48,6 1 100 1 100 1 100 1 100 6 17,1 6 17,1 3 100 3 8,6 -



TOTAL N 20 7 6 6



% 47,6 16,7 14,3 14,3



-



-



-



-



3



8,6



-



-



-



-



-



-



3



7,1



1



100



3



100



35



100



1



100



1



100



1



100



42



100



Tabel 3.4. Hubungan Status Gizi (BB/TB) dengan tingkat Konsumsi KH KATEGORI TINGKAT KONSUMSI KH DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN Total



GIZI BURUK



GIZI KURANG



N 1 -



% 100 -



N 1 1 -



% 33,3 33,3 -



Status Gizi (BB/TB) BERESIK GIZI BAIK O GIZI LEBIH N % N % 15 42,9 3 8,6 1 100 4 11,4 11 31,4 -



-



-



1



33.,3



2



5,7



-



-



-



-



-



-



3



8



1



100



3



100



35



100



1



100



1



100



1



100



42



100



GIZI LEBIH



TOTAL



OBESITAS



N 1 -



% 100 -



N 1 -



% 100 -



N 17 6 5 11



% 40 14 12 26



Tabel 3.5. Hubungan status gizi (BB/U) dengan tingkat konsumsi energi KATEGORI TINGKAT KONSUMSI ENERGI DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Status Gizi (BB/U) BB SANGAT KURANG N % 1 100 -



BB KURANG



BB NORMAL



N 3 2 1 1



% 33,2 22,2 11,2 11,2



N 18 3 7 2



% 60 10 23,3 6,7



RESIKO BB LEBIH N % 1 50 1 50 -



TOTAL N 23 6 8 3



% 54,8 14,3 19 7,1



-



-



2



22,2



-



-



-



-



2



4,8



1



100



9



100



30



100



2



100



42



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa balita dengan status gizi kurang sebanyak 3 balita dengan persentase 33,2% di desa Sakra



memiliki status BB kurang karena tingkat konsumsi energi berada pada defisit berat. Sedangkan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,285 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi energi dengan indeks BB/U. Tabel 3.6. Hubungan status gizi (BB/U) dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI TINGKAT KONSUMSI PROTEIN DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Status Gizi (BB/U) BB SANGAT KURANG N % -



BB KURANG



TOTAL



RESIKO BB LEBIH



BB NORMAL



N 3 1



% 33,3 11,1



N 2 2 4 8



% 6,7 6,7 13,3 26,7



N 1 1



% 50 50



N 2 3 7 10



% 5 7 17 24



1



100



5



55,6



14



46,7



-



-



20



48



1



100



9



100



30



100



2



100



42



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa balita dengan status gizi kurang sebanyak 3 balita dengan persentase 33,3% di desa Sakra memiliki status BB kurang karena tingkat konsumsi energi berada pada defisit ringan. Sedangkan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,350 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan indeks BB/U. Tabel 3.7. Hubungan status gizi (BB/U) dengan tingkat konsumsi lemak Status Gizi (BB/U) KATEGORI TINGKAT KONSUMSI LEMAK DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



BB SANGAT KURANG N % 1 100 -



BB KURANG



BB NORMAL



RESIKO BB LEBIH



TOTAL



N 2 1 2 3



% 22,2 11,2 22,2 33,2



N 15 6 4 3



% 50 20 13,3 10



N 2 -



% 100 -



N 20 7 6 6



% 47,6 16,7 14,3 14,3



-



-



1



11,2



2



6,7



-



-



3



7,1



1



100



9



100



30



100



2



100



42



100



Tabel 3.8. Hubungan status gizi (BB/U) dengan tingkat konsumsi KH KATEGORI TINGKAT KONSUMSI KH DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Status Gizi (BB/U) BB SANGAT KURANG N % 1 100 -



BB KURANG



RESIKO BB LEBIH N % 1 50 1 50 -



BB NORMAL



N 4 1 3



% 44,5 11,1 33,3



N 11 5 4 8



% 36,7 16,7 13,2 26,7



TOTAL N 17 6 5 11



% 40,5 14,3 11,9 26,2



-



-



1



11,1



2



6,7



-



-



3



7,1



1



100



9



100



30



100



2



100



42



100



Tabel 3.9. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi energi KATEGORI TINGKAT KONSUMSI ENERGI DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK



KURANG



Pegetahuan SEDANG



TOTAL



BAIK



N



%



N



%



N



%



N



%



2 -



100 -



3 2 3 2



30 20 30 20



18 4 5 1



60 13 17 3



23 6 8 3



55 14 19 7



DIATAS KECUKUPAN



-



-



-



-



2



7



2



5



TOTAL



2



100



10



100



30



100



42



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 23 balita dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan tingkat pengetahuan ada pada kategori baik. Berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,259 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi energi dengan tingkat pengetahuan. Tabel 3.10. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi protein



PEGETAHUAN



KATEGORI TINGKAT KONSUMSI PROTEIN



N



%



N



%



N



%



N



%



DEF.BERAT



1



50



-



-



1



3,3



2



4.8



DEF.SEDANG



-



-



1



10



2



6,7



3



7,1



DEF.RINGAN



-



-



3



30



4



13,3



7



16,7



BAIK



1



50



1



10



8



26,7



10



23,8



DIATAS KECUKUPAN



-



-



5



50



15



50



20



47,6



TOTAL



2



100



10



100



30



100



42



100



KURANG



SEDANG



TOTAL



BAIK



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 2 balita dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan tingkat pengetahuan ada pada kategori baik dan kurang. Berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,944 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan tingkat pengetahuan. Tabel 3.11. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi lemak KATEGORI TINGKAT KONSUMSI LEMAK DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



KURANG N % 1 50 1 50 -



Pegetahuan SEDANG N % 1 10 2 20 2 20 5 50



TOTAL



BAIK N 18 4 4 1



% 60 13 13 3



N 20 7 6 6



% 48 17 14 14



-



-



-



-



3



10



3



7



2



100



10



100



30



100



42



100



Tabel 3.12. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi KH KATEGORI TINGKAT KONSUMSI KH DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS



KURANG N % 2 100 -



Pegetahuan SEDANG N % 1 10 4 40 2 20 2 20 1 10



BAIK N 14 2 3 9 2



% 47 7 10 30 7



TOTAL N 17 6 5 11 3



% 40 14 12 26 7



KECUKUPAN



TOTAL



2



100



10



100



30



100



42



100



Tabel 3.12. Hubungan timdakan dengan tingkat konsumsi energi KATEGORI TINGKAT KONSUMSI ENERGI



Tindakan SEDANG



KURANG



TOTAL



BAIK



N



%



N



%



N



%



N



%



DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK



-



-



6 2 2 2



49,9 16,7 16,7 16,7



17 4 6 1



56,7 13,3 20 3,3



23 6 8 3



54,8 14,3 19 7,1



DIATAS KECUKUPAN



-



-



-



-



2



6,7



2



4,8



TOTAL



-



-



12



100



30



100



42



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 23 balita dengan kategori tingkat konsumsi energi defisit berat berkaitan dengan Tindakan ada pada kategori baik dan kategori sedang. Dan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,162 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi energi dengan Tindakan ibu balita. Tabel 3.13. Hubungan tindakan dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI TINGKAT KONSUMSI PROTEIN DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK



KURANG



Tindakan SEDANG



N



%



N



%



N



%



N



%



-



-



1 1 2 2



8,3 8,3 16,7 16,7



1 2 5 8



3.,3 6,7 16,7 26,7



2 3 7 10



4,8 7,1 16,7 23,8



DIATAS KECUKUPAN



-



-



6



50



14



46,7



20



47,6



TOTAL



-



-



12



100



30



100



42



100



TOTAL



BAIK



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 2 balita dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan Tindakan ada pada kategori baik dan kategori sedang. Berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 1) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,492 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan Tindakan ibu balita. Tabel 3.14. Hubungan tindakan dengan tingkat konsumsi lemak KATEGORI TINGKAT KONSUMSI LEMAK



KURANG N %



Tindakan SEDANG N %



TOTAL



BAIK N



%



N



%



DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



-



-



5 3 1 3



41,7 25 8.3 25



15 4 5 3



50 13,3 16,7 10



20 7 6 6



47,6 16,7 14,3 14,3



-



-



0



0



3



10



3



7,1



-



-



12



100



30



100



42



100



Tabel 3.15. Hubungan Tindakan dengan tingkat konsumsi KH KATEGORI TINGKAT KONSUMSI KH



KURANG



SEDANG



N



%



N



%



N



%



N



%



DEF.BERAT



-



-



6



50



11



36,7



17



40,5



DEF.SEDANG



-



-



2



16,7



4



13,3



6



14,3



DEF.RINGAN



-



-



1



8,3



4



13,3



5



11,9



BAIK



-



-



2



16,7



9



30



11



26,2



DIATAS KECUKUPAN



-



-



1



8,3



2



6,7



3



7,1



TOTAL



-



-



12



100



30



100



42



100



Tindakan



TOTAL



BAIK



Tabel 3.16. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi energi KATEGORI TINGKAT KONSUMSI ENERGI DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Pendapatan RENDAH TINGGI N % N % 23 54,8 6 14,3 8 19 3 7,1 2 4,8 42 100 -



Total N 23 6 8 3 2 42



% 54,8 14,3 19 7,1 4,8 100



Tabel 3.17. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI TINGKAT KONSUMSI PROTEIN



DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN



TOTAL



Pendapatan RENDAH TINGGI N % N % 2 4,8 3 7,1 7 16,7 10 23,8 20 47,6 42 100 -



Total N 2 3 7 10 20 42



% 4,8 7,1 16,7 23,8 47,6 100



Tabel 3.18. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi lemak



KATEGORI TINGKAT KONSUMSI LEMAK



Pendapatan



Total



RENDAH N % 20 47,6 7 16,7 6 14,3 6 14,3



N -



% -



N 20 7 6 6



% 47,6 16,7 14,3 14,3



DIATAS KECUKUPAN



3



7,1



-



-



3



7,1



TOTAL



42



100



-



-



42



100



DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK



TINGGI



Tabel 3.19. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi KH Pendapatan RENDAH TINGGI N % N % 17 40,5 6 14,3 5 11,9 11 26,2 3 7,1 42 100 -



KATEGORI TINGKAT KONSUMSI KH DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



Total N 17 6 5 11 3 42



% 40,5 14,3 11,9 26,2 7,1 100



b) IBU HAMIL Tabel 3.20. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi energi KATEGORI TINGKAT KONSUMSI ENERGI DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



PENGETAHUAN BAIK



Total



SEDANG N % 1 50 1 50 -



KURANG N % -



N 3 2 5 2



% 25,0 16,7 41,6 16,7



N 3 1 4 2



% 30 10 40 20



-



-



-



-



-



-



-



-



10



100



2



100



-



-



12



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 3 ibu hamil dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan pengetahuan ada pada kategori baik. Berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,174 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil dengan konsumsi energi.



Tabel 3.21. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI TINGKAT KONSUMSI PROTEIN DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



PENGETAHUAN SEDANG



BAIK



Total



KURANG



N



%



N



%



N



%



N



%



2 6



20 60



1 1



50 50



-



-



2 1 7



16,7 8,3 58,3



2



20



-



-



-



-



2



16,7



10



100



2



100



-



-



12



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 2 ibu hamil dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan pengetahuan ada pada kategori baik. Dan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,104 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil dengan konsumsi protein.



Tabel 3.22. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi lemak KATEGORI TINGKAT KONSUMSI LEMAK DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



PENGETAHUAN SEDANG



BAIK



Total



KURANG



N



%



N



%



N



%



N



%



3 1 6



30 10 60



1 1



50 50



-



-



3 2 7



25,0 16,7 58,3



-



-



-



-



-



-



-



-



10



100



2



100



-



-



12



100,0



Tabel 3.23. Hubungan pengetahuan dengan tingkat konsumsi KH KATEGORI TINGKAT KONSUMSI KH



Pengetahuan SEDANG



BAIK N



%



N



%



Total



KURANG N



%



N



%



DEF.BERAT DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



6 1 1 2



60 10 10 20



1 1 -



50 50 -



-



-



6 2 2 2



50 17 17 17



-



-



-



-



-



-



-



-



10



100



2



100 



-



-



12



100



Tabel 3.24. Hubungan Tindakan dengan tingkat konsumsi energi KATEGORI TINDAKAN TINGKAT BAIK SEDANG KURANG KONSUMSI N % N % N % ENERGI DEF.BERAT 1 16,7 2 66,7 DEF.SEDANG 1 33,3 1 33,3 DEF.RINGAN 5 83,3 BAIK 2 66,7 DIATAS KECUKUPAN TOTAL 3 100 6 100 3 100



Total N 3 2 5 2



% 25,0 16,7 41,6 16,7



-



-



12



100,0



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 3 ibu hamil dengan kategori tingkat konsumsi energi defisit berat berkaitan dengan pengetahuan ada pada kategori baik dan kategori sedang. Dan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,002 lebih kecil dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan ada hubungan antara Tindakan ibu hamil dengan konsumsi energi.



Tabel 3.25. Hubungan Tindakan dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI TINDAKAN TINGKAT BAIK SEDANG KURANG KONSUMSI N % N % N % PROTEIN DEF.BERAT 1 16,7 1 33,3 DEF.SEDANG DEF.RINGAN 1 16,7 BAIK 3 100 2 33,3 2 66,7 DIATAS 2 33,3 KECUKUPAN TOTAL 3 100 6 100 3 100



Total N



%



2 1 7



16,7 8,3 58,3



2



16,7



12



100,0



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 2 ibu hamil dengan kategori tingkat konsumsi energi defisit berat berkaitan dengan pengetahuan ada pada kategori baik.



Dan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel 0,146 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara Tindakan ibu hamil dengan konsumsi protein. Tabel 3.26. Hubungan Tindakan dengan tingkat konsumsi lemak KATEGORI TINDAKAN TINGKAT BAIK SEDANG KURANG KONSUMSI N % N % N % LEMAK DEF.BERAT 1 16,7 2 66,7 DEF.SEDANG 2 33,3 DEF.RINGAN BAIK 3 100 3 50 1 33,3 DIATAS KECUKUPAN TOTAL 3 100 6 100 3 0 Tabel 3.27. hubungan Tindakan dengan tingkat konsumsi KH TINDAKAN KATEGORI TINGKAT BAIK SEDANG KURANG KONSUMSI KH N % N % N % DEF.BERAT 4 66,7 2 66,7 DEF.SEDANG 1 33,3 1 33,3 DEF.RINGAN 2 33,3 BAIK 2 66,7 DIATAS KECUKUPAN TOTAL 3 100 6 100  3 100



Tabel 3.28. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi energi PENDAPATAN KATEGORI TINGKAT RENDAH TINGGI KONSUMSI ENERGI N % N % DEF.BERAT 6 50 DEF.SEDANG 2 16,6 DEF.RINGAN 2 16,7 BAIK 2 16,7 DIATAS KECUKUPAN TOTAL 12 100 -



Total N



%



3 2 7



25,0 16,7 58,3



-



-



12



100,0



Total N 6 2 2 2



% 50 16,6 16,7 16,7



-



-



12



100



TOTAL N 6 2 2 2



% 50 16,6 16,7 16,7



-



-



12



100



Tabel 3.28. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI PENDAPATAN TOTAL TINGKAT RENDAH TINGGI KONSUMSI N % N % N % PROTEIN DEF.BERAT 2 16,7 2 16,7 DEF.SEDANG DEF.RINGAN 1 8,3 1 8,3 BAIK 7 58,3 7 58,3 DIATAS 2 16,7 2 16,7 KECUKUPAN TOTAL 12 100 12 100 Tabel 3.29. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi lemak KATEGORI PENDAPATAN TINGKAT RENDAH TINGGI KONSUMSI N % N % LEMAK DEF.BERAT 3 25 DEF.SEDANG 2 16,7 DEF.RINGAN BAIK 7 58,3 DIATAS KECUKUPAN TOTAL 12 100 Tabel 3.30. Hubungan pendapatan dengan tingkat konsumsi KH PENDAPATAN KATEGORI TINGKAT RENDAH TINGGI KONSUMSI KH N % N % DEF.BERAT 6 50 DEF.SEDANG 2 16,6 DEF.RINGAN 2 16,7 BAIK 2 16,7 DIATAS KECUKUPAN TOTAL 12 100 -



TOTAL N



%



3 2 7



25 16,7 58,3



-



-



12



100



TOTAL N 6 2 2 2 12



% 50 16,6 16,7 16,7 100



2. Hubungan Status Gizi (KEK/NON KEK) dengan Tingkat Konsumsi a. Tabel 3.31. Hubungan status gizi dengan tingkat konsumsi energi STATUS GIZI (KEK/NON KEK) TOTAL KATEGORI TINGKAT KEK NON KEK KONSUMSI ENERGI N % N % N % DEF.BERAT 3 33,3 3 25



DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



1 2 -



33,3 66,7 -



1 3 2



11,1 33,3 22,3



2 5 2



16,7 41,6 16,7



-



-



-



-



-



-



3



100



9



100



12



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 3 ibu hamil dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan status gizi non kek. Dan berdasarkan hasil uji pearson (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel LILA 0,462 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara status gizi (KEK/NON KEK) dengan tingkat konsumsi energi. Tabel 3.32. Hubungan status gizi dengan tingkat konsumsi protein KATEGORI STATUS GIZI (KEK/NON KEK) TINGKAT KEK NON KEK KONSUMSI N % N % PROTEIN DEF.BERAT 2 22,2 DEF.SEDANG DEF.RINGAN 1 11,1 BAIK 3 100 4 44,5 DIATAS 2 22,2 KECUKUPAN TOTAL 3 100.0 9 100



TOTAL N



%



2 1 7



16,7 8,3 58,3



2



16,7



12



100



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa 2 ibu hamil dengan kategori tingkat konsumsi energi deficit berat berkaitan dengan status gizi non kek. Sedangkan berdasarkan hasil uji pearson(lampiran 2) diperoleh hasil bahwa nilai p hitung tabel LILA 0,545 lebih besar dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan tidak ada hubungan antara status gizi (KEK/NON KEK) dengan tingkat konsumsi protein.



Tabel 3.33. Hubungan status gizi dengan tingkat konsumsi lemak STATUS GIZI (KEK/NON KEK) KATEGORI TINGKAT KEK NON KEK KONSUMSI LEMAK N % N % DEF.BERAT 3 33,3



TOTAL N 3



% 25



DEF.SEDANG DEF.RINGAN BAIK DIATAS KECUKUPAN TOTAL



1 2



33,3 66,7



1 5



11,1 55,6



2 7



16,7 58,3



-



-



-



-



-



-



3



100



9



100



12



100



Tabel 3.34. Hubungan status gizi dengan tingkat konsumsui KH Status Gizi (KEK/NON KEK) KATEGORI TINGKAT KEK NON KEK KONSUMSI KH N % N % DEF.BERAT 1 33,3 5 55,6 DEF.SEDANG 2 22,2 DEF.RINGAN 1 33,3 1 11,1 BAIK 1 33,4 1 11,1 DIATAS KECUKUPAN Total 3 100 9 100



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



Total N 6 2 2 2



% 50 16,6 16,7 16,7



-



-



12



100



A. Kesimpulan Berdasarkan hasil survey dan pengolahan data yang kami lakukan bahwa di Desa Sakra, Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur masih tingginya masalah gizi di kalangan balita dan ibu hamil hal ini terjadi karena



berbagai faktor salah satunya kurang pengetahuan



mengenai Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) sehingga terjadi masalah gizi di masyarakat. B. Saran Diperlukan tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk mengatasi masalah gizi yang terjadi di Desa Sakra Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur.



DAFTAR PUSTAKA Aditianti, Prihatini, S. and Hermina (2016) ‘Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Individu Tentang Makanan Beraneka Ragam sebagai Salah Satu Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), Buletin Penelitian Kesehatan, 44(2), pp. 117126. doi: 10.22435/bpk.v44i2.5455.117-126.



Aditianti, Prihatini, S. and Hermina (2016) Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Individu Tentang Makanan Beraneka Ragam sebagai Salah Satu Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), Buletin Penelitian Kesehatan, 44(2), pp. 117126. doi: 10.22435/bpk.v44i2.5455.117-126. Astuti, I. (2013) eterminan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Menyusui, Health Quality, 4, pp. 176. Departemen Kesehatan RI (2007) Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI (2019) Profil Kesehatan Indonesia 2018. Kementerian Kesehatan RI (2013) ‘Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, Expert Opinion on Investigational Drugs, 7(5), pp. 803809. doi: 10.1517/13543784.7.5. Menteri Kesehatan RI (2020) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak. Supariasa. 2014. Pendidikan & Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC. Yuslinda, W. O., Yasnani and Ardiansyah, R. T. (2017) Hubungan Kondisi Lingkungan Dalam Rumah Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran pernafasan Akut (Ispa) Pada Masyarakat Di Kelurahan Ranomeeto Kecamatan



Ranomeeto



Tahun



2017,



Jurnal



Ilmiah



Mahasiswa



Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 2(6), pp. 19. Asra, Abuzar,



Rudiansyah. 2013. Statistika Terapan Untuk Pembuat



Kebijakan dan Pengambil Keputusan. Jakarta : In Media. Suryabrata, Sumadi. 2016. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.



Lampiran 1 TABEL UJI KORELASI PADA BALITA



Correlations PENGETAHUAN BB/U SCORE BB/U SCORE



TB/U SCORE



-.169



-.148



.151



.023



.000



.285



.350



.339



42



42



42



42



42



42



Pearson Correlation



.349*



1



-.450**



.045



-.144



-.298



Sig. (2-tailed)



.023



.003



.776



.363



.055



N



1



42



42



42



42



42



42



.672**



-.450**



1



-.197



-.005



.383*



.000



.003



.212



.974



.012



42



42



42



42



42



42



-.169



.045



-.197



1



.668**



-.178



.285



.776



.212



.000



.259



42



42



42



42



42



42



-.148



-.144



-.005



.668**



1



-.011



.350



.363



.974



.000



42



42



42



42



42



42



Pearson Correlation



.151



-.298



.383*



-.178



-.011



1



Sig. (2-tailed)



.339



.055



.012



.259



.944



42



42



42



42



42



Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N



ENERGI SCORE



Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N



PROTEIN SCORE



Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N



PENGETAHUAN SCORE



SCORE



.672**



N



BB/TB SCORE



ENERGI SCORE PROTEIN SCORE



.349*



Pearson Correlation Sig. (2-tailed)



TB/U SCORE



BB/TB SCORE



N



.944



42



Correlations PENGETAHUAN BB/U SCORE BB/U SCORE



TB/U SCORE



-.169



-.148



.151



.023



.000



.285



.350



.339



42



42



42



42



42



42



Pearson Correlation



.349*



1



-.450**



.045



-.144



-.298



Sig. (2-tailed)



.023



.003



.776



.363



.055



N



1



42



42



42



42



42



42



.672**



-.450**



1



-.197



-.005



.383*



.000



.003



.212



.974



.012



42



42



42



42



42



42



-.169



.045



-.197



1



.668**



-.178



.285



.776



.212



.000



.259



42



42



42



42



42



42



-.148



-.144



-.005



.668**



1



-.011



.350



.363



.974



.000



42



42



42



42



42



42



Pearson Correlation



.151



-.298



.383*



-.178



-.011



1



Sig. (2-tailed)



.339



.055



.012



.259



.944



42



42



42



42



42



Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N



ENERGI SCORE



Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N



PROTEIN SCORE



Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N



PENGETAHUAN SCORE



SCORE



.672**



N



BB/TB SCORE



ENERGI SCORE PROTEIN SCORE



.349*



Pearson Correlation Sig. (2-tailed)



TB/U SCORE



BB/TB SCORE



N



.944



42



Lampiran 2 TABEL UJI KORELASI PADA BUMIL



Correlations PROTEIN ENERGI SCORE ENERGI SCORE



.420



.088



.175



.462



.002



.174



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.513



1



-.038



-.194



.446



.492



Sig. (2-tailed)



.088



.906



.545



.146



.104



1



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.419



-.038



1



.294



.548



.331



Sig. (2-tailed)



.175



.906



.353



.065



.293



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.235



-.194



.294



1



.241



-.051



Sig. (2-tailed)



.462



.545



.353



.450



.876



12



12



12



12



12



12



.787**



.446



.548



.241



1



.612*



.002



.146



.065



.450



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.420



.492



.331



-.051



.612*



1



Sig. (2-tailed)



.174



.104



.293



.876



.034



12



12



12



12



12



N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N PENGETAHUAN SCORE



SCORE



.787**



N



TINDAKAN SCORE



SCORE



.235



N



LILA SCORE



LILA SCORE



.419



N



FE SCORE



FE SCORE



PENGETAHUAN



.513



Pearson Correlation Sig. (2-tailed)



PROTEIN SCORE



SCORE



TINDAKAN



N



.034



12



Correlations PROTEIN ENERGI SCORE ENERGI SCORE



.420



.088



.175



.462



.002



.174



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.513



1



-.038



-.194



.446



.492



Sig. (2-tailed)



.088



.906



.545



.146



.104



1



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.419



-.038



1



.294



.548



.331



Sig. (2-tailed)



.175



.906



.353



.065



.293



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.235



-.194



.294



1



.241



-.051



Sig. (2-tailed)



.462



.545



.353



.450



.876



12



12



12



12



12



12



.787**



.446



.548



.241



1



.612*



.002



.146



.065



.450



12



12



12



12



12



12



Pearson Correlation



.420



.492



.331



-.051



.612*



1



Sig. (2-tailed)



.174



.104



.293



.876



.034



12



12



12



12



12



N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N PENGETAHUAN SCORE



SCORE



.787**



N



TINDAKAN SCORE



SCORE



.235



N



LILA SCORE



LILA SCORE



.419



N



FE SCORE



FE SCORE



PENGETAHUAN



.513



Pearson Correlation Sig. (2-tailed)



PROTEIN SCORE



SCORE



TINDAKAN



N



.034



12