Laporan Praktikum Antipiretik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI ANALISA OBAT EFEK ANTIPIRETIK PADA HEWAN COBA Dosen Pengampuh : Siti Maimunah, M.farm, Apt Yen – Yen Ari I, M,Farm, klin, Apt Murtiyana Sari, M.Farm, Apt Wirda Anggraini, M.Farm, Apt



Di susun Oleh : Nama



: Muhammad Wildan Baikhaqi



NIM



: 18930013



Kelas



:B



Kelompok



: 02



Asisten



:



JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG



2020



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antipiretik merupakanobat yang menurunkan suhu tubuh. Jenis obat ini banyak di jual sebagai kemasan tunggal maupun kemasan dengan kombinasi dengan bahan obat lain. Obat ini tergolong sebagai obat bebas sehingga mudah ditemukan di apotik, took obat, maupun warung pinggir jalan. Karena mudah didapatkan, resiko untuk terjadi penyalahgunaan obat ini semakin besar (Dorland, 2000). Demam merupakan kendali terhadap peningkatan suhu tubuh akibat suhu set point hipotalamus meningkat. Alasan yang paling umum ketika hal ini terjadi adalah adanya infeksi, kelainan inflamasi dan terapi beberapa obat. Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat Celsius dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi (Dorland, 2000) Obat anti demam atau penuntun demam (antipiretik) bukan merupakan hal baru dalam masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, maka praktikum ini penting dilakukan untuk menganalisis efek obat antipiretik pada hewan coba. Manfaat bagi farmasis yaitu untuk mengetahui efek dan mekanisme kerja obat antipiretik dalam tubuh. 1.2 Tujuan Tujuan



dilaksanakannya



praktikum



ini



yaitu



praktikan



mampu



menganalisis efek antipiretik dan dari paracetamol, Ibuprofen, dan Antalgin pada hewan uji mencit.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Hewan Coba Hewan percobaan adalah setiap hewan yang dipergunakan pada sebuah penelitian biomedis yang dipilih berdasarkan saraf atau standar dasar yang diperlukan dalam penelitian tersebut (Ridwan, 2013). Penggunaan hewan coba pada penelitian kesehatan banyak dilakukan untuk uji kelayakan suatu obat. Hewan coba adalah hewan yang diperlukan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai macam bidang ilmu dalam serta penelitian atau pengamatan laboratorium (Tolistiawaty, 2014). Penggunaan hewan coba Dalam penelitian biomedis, akhir-akhir ini semakin banyak dilakukan. Hewan percobaan yang sering digunakan untuk penelitian antara lain mencit, tikus, kelinci, dan marmut. Pemilihan hewan coba dalam suatu penelitian juga merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu penelitian (Yudaniayanti, 2010). Tikus dan mencit biasanya dipilih sebagai hewan uji karena ukurannya yang kecil, mudah didapatkan dan ketersediaan data dari penelitian sebelumnya (Listyorini, 2012). Tikus putih dan mencit merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan karena kemampuan reproduksi yang sering digunakan karena reproduksi tinggi, harga dan biaya pemeliharaan relatif murah serta efisiensi dalam waktu (Kartika, 2013). Hewan coba yang sehat atau normal mempunyai nilai BCS 3 (Hody, 1994). 2.1.2 Demam Demam adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling umum di ketahui. demam terjadi tidak saja pada manusia tetapi juga pada



unggas, reptile, dan ikan. Peningkatan suhu pada hewan yang disuntik dengan suatu pirogen sebagian besar disebabkan oleh peningkatan pembentukan panas apabila hewan tersebut berada di lingkungan yang dingin dan penurunan pengeluaran panas apabila hewan tersebut berada dalam lingkungan hangat. Toksin dan bakteri misalnya endotoksin bekerja pada mencit, makrofag, dan sel-sel kupffer untuk menghasilkan berbagai macam sitokin yang bekerja sebagai patogen endogen (Ganong, 1997). Demam juga dapat disebabkan oleh infeksi atau salah satu akibat, peradangan, penolakan, penekanan, adanya tumor ganas, atau keadaan penyakit lain. Demam juga merupakan efek samping prostaglandin yang sering terjadi jika diberikan kepada wanita sebagai zat pengaborsi. NSAID tidak menghambat demam yang disebabkan oleh prostaglandin jika prostaglandin diberikan secara langsung tetapi menghambat demam yang disebabkan oleh zat-zat yang mengikatkan sintesis 6-1 dan sitokin lain seperti 12-1, 12-6, interferonalfa dan beta serta tnf 2 yang diduga menyebabkan demam maling tidak antara lain dengan menginduksi sintesis prostaglandin endogen (Goodman, 2003). Demam yang ditimbulkan oleh sitokin mungkin disebabkan oleh pelepasan prostaglandin lokal di hipotalamus menyebabkan demam. Selain itu, efek antipiretik aspirin bekerja langsung pada hipotalamus, dan aspirin menghambat sintesis prostaglandin PGE 2 adalah salah satu prostaglandin yang menyebabkan demam. Manfaat demam bagi organism masih belum diketahui. Demam mungkin bermanfaat karena timbul dan menetap sebagai respon terhadap infeksi dan penyakit lain. Banyak



mikroorganisme tumbuh baik



dalam rentang suhu yang relative sempit, dan meningkatkan suhu akan menghambat pertumbuhan-pertumbuhan. Selain itu, pembentukan antibodi meningkat apabila suhu tubuh meningkat. Apabila suhu rectal melebihi 41 derajat Celsius (106 F). Dalam waktu lama, akan terjadi kerusakan otak permanen (Ganong, 1997).



2.1.3 Antipiretik Antipiretik digunakan untuk membentuk atau mengembalikan suhu set point ke kondisi hormat dengan cara menghambat sintesis dan pelepasan prostaglandin T2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus (Ganong, 1997). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan antipiretik adalah respons hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar, dan ginjal, oliguria serta retensi garam dan air (Goodman, 2003) Obat antipiretik pada umumnya menghambat ekspresi enzim siklooksigenase-2 sehingga sehingga Biosintesis prostaglandin E2 terganggu. Obat-obat antipiretik sintesis banyak beredar dan digunakan masyarakat antara lain salisilat dan para aminofenol. Salisilat merupakan obat tertua sebagai antipiretik dan telah dikembangkan sebagai natrium salisilat, sedangkan kelompok para aminofenol dengan derivatnya seperti arti panas at-tin dan asetaminofen. Fenasetin tidak lagi digunakan karena bersifat toksik dan sekarang yang banyak digunakan adalah metabolit fenasetin yaitu paracetamol (Rinidarr dkk, 2014).



BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Waktu dan Tempat Praktikum farmakologi dan toksikologi dengan judul analisis efek obat antipiretik pada hewan coba yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 5 Maret 2020 pada pukul 12.20 sampai selesai yang bertempat di laboratorium farmasi klinis, Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3.2 Alat Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini, adal : 1. Batang pengaduk



1 buah



2. Spult oral



1 buah



3. Stopwatch



1 buah



4. Thermometer badan



1 buah



5. Timbangan berat badan



1 buah



3.3 Bahan Bajan-bahan yang digunakan yaitu 1. Alcohol 70%



secukupnya



2. Aqua destilat



secukupnya



3. Sirup antalgin 4. Sirup ibuproven 5. Sirup paracetamol



6. Larutan pepton 5% 3.4 Hewan Percobaan Hewan coba yang digunakan pada praktikum ini adalah mencit 3.5 Langkah Kerja Mencit Ditimbang masing-masing mencit kemudian di catat berat badannya Dilakukan pengukuran suhu rectal sebelum dilakukan penyuntikan lalu diberikan larutan pepton 5% sebanyak 1,0ml/200gr secara subkutan untuk meninduksi terjadinya demam Diamati perubahan suhu mencit, semua mencit yang mengalam peningkatan sebesar suhu sama dengan 1,1 derajat Celsius dapat dikategorikan demam. Dicatat suhu demam mencit Diberikan bahan uji sesuai kelompok 1. Kelompok I sebagai bentuk kontrol diberikan larutan aquadest 2. Kelompok II diberikan sirup paracetamol 3. Kelompok III diberikan sirup ibuproven 4. Kelomok IV diberikan sirup antalgin Diberikan dosis 0,2ml / 20gr BB mencit Dinilai efek antipiretik masing-masing perlakuan melalui pengukuran suhu rektal dari mencit ke- 30, 60 dan 90 menggunakan termometer HASIL



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Hasil Pengamatan 4.1.1 Perhitungan Dosis a. Sediaan obat 1. Sirup paracetamol 



Dosis lazimuntuk manusia 500g







Konversi dosis untuk mencit 20 gram = DL x factor konversi =500x0,0026 = 1,3 mg  Mencit 1 Berat = 18g 18𝑔



Dosis =20𝑔 x 1,3mg = 1,17 mg Dosis sediaan sirup paracetamol = Dosis yang diambil =



160𝑚𝑔 5𝑚𝑙



=



160𝑚𝑔 5𝑚𝑙



1,17 𝜑𝑚𝑙



= 0,03 ml 2. Sirup ibuprofen 



Dosis lazim untuk manusia = 400mg







Konversi dosis untuk mencit 20g = DL x factor konversi = 400 x 0,0026 = 1,04mg



 Mencit II Berat = 15 gram 15𝑔



Dosis = 20𝑔 x 1,04mg = 0,78 mg Dosis sediaan sirup ibuprofen = Dosisi yang diambil



200𝑚𝑔 5𝑚𝑙



200𝑚𝑔 5𝑚𝑙



0,78



= 𝑥𝑚𝑙



x = 0,0195ml = 0,02ml  Pengenceran ibuprofen Dosis = 0,078 ml v1 . m1 = v2 . m2 200



5ml x 5𝑚𝑙 = 25ml . m2 m2 = =



200𝑚𝑔 25𝑚𝑙



800𝑚𝑔 100𝑚𝑙



1ml = 8mg



= 0.8 g/100ml 0,78𝑚𝑔 8𝑚𝑔



x 1ml = 0,0975 ml = 0,1 ml



b. kontrol aquadest secara p.o dosisi maksimum p.o = 0,5 ml  Mencit III Berat = 28g



Dosis 1 ml c. Induktor larutan pepton 5% 1𝑚𝑙



dosis = 200𝑔 berat mencit = 20g 1𝑚𝑙



𝑥



dosisi yang di berikan = 200𝑔 = 20 x = 0,1ml  Mencit I 32 20



x 0,1 = 0,16ml



 Mencit II 30 20



x 0,1 = 0,15ml



 Mencit III 28 20



x 0,1 = 0,14ml



Yang diambil 0,5ml pepton 5% secara subkutan



4.1.2 Tabel pengamatan suhu mencit



Rata-rata suhu rektal mencit (̊c) pada menit ke -



perlakuan Ea’



5’



10’



15’



20;



25’



30’



Aquadest



35,4 c̊



35,4 ̊c



36,9 ̊c



-



-



-



-



Paracetamol



35,2 c̊



35,4 ̊c



36,2 ̊c



36,7 ̊c



-



-



-



Ibuprofen



35,6 c̊



35,4 ̊c



36,6 ̊c



37,1 ̊c



-



-



-



Control



36,5 c̊



35,4 ̊c



36,6 ̊c



-



-



-



-



negatif



Rata-rata suhu rectal mencit ( ̊c ) pada menit ke -



Perlakuan 𝑡𝑎



𝑡0



30’



60’



90’



Aquadest



35,4 c̊



36,9 ̊c



36,7 ̊c



36,2 c̊



36,1 ̊c



Paracetamol



35,2 c̊



36,7 ̊c



36,5 ̊c



36,3 c̊



36,0 ̊c



Ibuprofen



35,6 c̊



37,1 ̊c



36,3 ̊c



35,9 c̊



35,7 ̊c



kontrol



36,5 c̊



36,6 ̊c



36,5 ̊c



36,4 c̊



36,5 ̊c



4.1.3 Perubahan suhu setiap kelompok perlakuan



Waktu



Menit ke-



Kelompk perlakuan air



PCT



ibuprofen



Control negatif



𝑡0



Suhu demam



36,9 ̊c



36,7 ̊c



37,1 ̊c



36,6 c̊



𝑡1



30’ ( 𝑡1 - 𝑡2 )



-0,2



-0,2



-0,8



-0,1



𝑡2



60’ (𝑡2 - 𝑡1 )



-0,5



-0,2



-0,4



-0,1



𝑡3



90’ (𝑡3 - 𝑡2 )



-0,1



-0,3



-0,2



0,1



4.2 Pembahasan Suhu badan di atur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu badan berada di hipotalamus. Pada keadaan demam, keseimbangan ini terganggu tetapi dapat di kembalikan ke keadaan normal oleh obat. Demam tidak hanya terjadi pada manusia. Unggas, reptile dan amfibi juga mengalami demam. Demam dapat disebabkan karena infeksi atau salah satu akibat kerusakan jaringan, peradangan, adanya tumor ganas, atau penyakit lain (Ganong,1995). Obat obat antidemam atau antipiretik pada umumnya menghambat ekspresi enzim siklooksigenase – 2 (COX-2) sehingga biosintesis prostaglandin E2 ( PGE2) terganggu. Obat obat antipiretik sintesis banyak beredar dan digunakan masyarakat. Contohnya salisilat dan para aminofenol. Praktikum Faramakologi dan Toksikologi dengan Judul Analisis Efek Obat Antipiretik Pada Hewan Coba Ini memiliki tujuan untuk menganalisis efek antipiretik dari paracetamol, ibuprofen, dan antalgin. Hewan yang digunakan adalah mencit jantan. Induksi demam yang digunakan adalah pepton, sementara obat yang digunakan adalah paracetamol dan ibuprofen. 4.2.1 kelompok Indusi Kontrol Pada percobaan ini bahan yang digunakan untuk kontrol adalah WFI dan Aquadest. Water for Injection adalah air dengan kualitas ekstra tinggi tanpa kontaminasi yang signifikan. Versi steril digunakan untuk membuat solusi yang akan diberikan secara injeksi . Sebelum digunakan, zat lain umumnya harus ditambahkan untuk membuat larutan lebih atau kurang isotonik . Ini dapat diberikan melalui suntikan ke pembuluh darah , otot , atau di bawah kulit . Versi yang tidak steril dapat digunakan dalam pembuatan dengan sterilisasi yang terjadi kemudian dalam proses produksi (Ghosh, 2004).



Aquades merupakan pelarut yang jauh lebih baik dibandingkan hampir semua cairan yang umum dijumpai. Senyawa yang segera melarut di dalam akuades mencakup berbagai senyawa organik netral yang mempunyai gugus fungsional polar seperti gula, alkohol, aldehida, dan keton. Kelarutannya disebabkan oleh kecenderungan molekul akuades untuk membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil gula dan alkohol atau gugus karbonil aldehida dan keton. Akuades merupakan air hasil penyulingan yang bebas dari zat-zat pengotor sehingga bersifat murni dalam laboratorium. Akuades berwarna bening, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Akuades biasa digunakan untuk membersihkan alatalat laboratorium dari zat pengotor (Khotimah, dkk., 2017). Air murni (aquadest) diperoleh dengan cara penyulingan (destilasi), tujuan dari destilasi yaitu memperoleh cairan murni dari cairan yang telah tercemari zat terlarut, atau bercampur dengan cairan lain yang berbeda titik didihnya. Cairan yang dikehendaki dididihkan hingga menguap kemudian uap diembunkan melalui kondensor, sehingga uap mencair kembali. Cairan hasil destilasi ini disebut destilat. Air murni antara lain dipergunakan untuk keperluan di laboratorium kimia, dan perawatan kesehatan (Khotimah, dkk., 2017). Langkah pertama dalam percobaan ini yaitu ditimbang mencit dan diukur suhu awal mencit, dan didapat berat badan mencit seberat 28g dengan suhu awal 35,4℃ (kontrol dengan aquadest). Setelah itu diberikan pepton dengan konsentrasi 5% pada masing – masing mencit sebanyak 0,14 ml secara subkutan. Fungsi pemberian pepton yaitu sebagai pnginduksi demam (Juwita, dkk., 2015). Pepton dapat dihasilkan melalui proses hidrolisis menggunakan asam, basa, enzim yang berasal bahan baku, atau menambahakan enzim proteolitik dari luar. Hirolisat protein dapat dilakukan menggunakan enzim, basa, enzim yang berasal dari ikan, dan



penambahan enzim protease yang berasal dari mikroba atau enzim protease pencernaan (Corwin,2007). Kemudian diberikan aquadest sebanyak 1,5ml. Langkah selanjutnya diamati perubahan suhu mencit. Jika mencit mengalami peningkatan suhu tubuh sebesar atau sama dengan 1,5℃ dapat dikategorikan demam. Suhu awal mencit yaitu 36,5℃ kemudian setelah 5 menit suhu tubuh mencit tetap 36,5℃. Setelah 30 menit mencit mengalami peningkatan suhu yaitu menjadi 36,5℃. Pada menit ke 60 mencit mengalami penurunan suhu menjadi 36,4℃ dan pada menit ke 90 suhu mencit menjadi 36,5℃. Berdasarkan data tersebut dapat disumpulkan bahwa dengan penambahan pepton 5% dapat menyebabkan mencit mengalami demam dan mencit kembali pada suhu normal setelah 60 menit. Sedangkan hasil mencit yang diberikan water for injection (WFI) tidak mengalami penurunan suhu atau kenaikan suhu yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan mencit dengan pemberian WFI digunakan sebagai kelompok kontrol negatife. Kelompok kontrol negatif merupakan kelompok yang paling kecil mengalami penurunan suhu dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena aquades maupun WFI tidak memiliki efek antipiretik namun masih memiliki peran dalam mengatasi dehidrasi saat demam (Odding,2016). 4.2.2 Paracetamol Paracetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1983. Paracetamol bias digunakan secara luas sebagai analgetik dan antipiretik. Paracetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Menurut FI (1971). Paracetamol berupa hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit, dan larut dalam 70 bagian air. Strukturnya sebagai berikut (Odding,2016).



Pada praktikum ini, disiapkan alat dan bahan yang dibuutuhkan, kemudian digunakan hewan coba berupa mencit jantan dalam keadan sehat. Kemudian sebelum memulai praktikum dihitung terlebih dahulu dosis pepton 10% dan dosis paracetamol. Pepton merupakan protein yang terhidrolisa, pepton sebagai pemicu demam dan tidak mempunyai sifat toksik, pemerian pepton berupa serbuk,kuning kemerahan hingga coklat, memiliki



bau



khas,



larut



dalam



air,



dan



tidak



larut



dalam



etanol(Odding,2016). Setelah melakukan perhitungan didapatkan dosis peton yang diberikan yaitu 0,14 ml dan paracetamol 0,03 ml. Langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang berat badan mencit, didapatkan hasil sebesar 18 gram, kemudian diukur juga suhu mencit dengan menggunakan thermometer yang dimasukan melalui anus, didapatkan hasil pengukuran suhu 35,2℃. Kemudian mencit diberikan pepton 10% sebanyak 0,14 ml melalui peroral pada mencit. Kemudian diamati perubahan suhu pada mencit. Didapatkan data pada mencit ke 5 suhu mencit pada 5 menit pertama adalah 35,4 ℃, kemudian pada 10 menit adalah 36,2 ℃. Hal ini menunjukan bahwa mencit sudah mengalami kenaikan suhu tubuh, selanjutnya diberikan paracetamol sebanyak 0,03 ml. Kemudian diamati suhu rektal mencit tiap mennit ke 30,60, dan 90. Paracetamol ini berkerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase yang menyebabkan asam arakhidonat mnjadi endoperoksida sehingga menghambat pembentukan prostaglandin( Tjay, 2007). Hasil yang diperolah dari percobaan ini yaitu suhu mencit pada menit ke 30 yaitu 36,5 ℃ , pada menit ke 60 yaitu 36,3 ℃ dan pada mencit ke 90 yaitu 36,0℃. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa mencit mengalami penurunan suhu setelah pemberian obat paracetamol. Namun memang pada menit ke 30 suhu mencit masih megalami penurunan, dikarenakan Paracetamol sendiri dalam darah mencapai puncaknya sekitar



60 menit setelah pemberian, dan masa paruh dalam plasma antara 1-3 jam (Rinidar dkk,2014). 4.2.3 Ibuprofen Ibu profen merupakan turunan asam fenil asetat dan telah digunakan secara luas sebagai antipiretik. Aktivitas antipiretiknya bekerja di hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi dan menghambat pengikatan pivogen dengan reseptor di dalam nucleus preoptik hipotalamus anterior, sehingga tidak terjadi peningkatan prostagkudin melalui siklus enzim siklooksigenase yang berakibat pada penghambatan kerja pirogen di hipotalamus ( Juwita dkk,2015). Menurut FI III (1970), ibu profen berwarna putih hingga hampir putih, berbau khas lemah, serbuk hablur, praktis tidak larut dalam air, dan sangat mudah larut dalam etanol. Untuk memulai praktikum ini disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, kemudian dihitung dosis pepton 10% dan ibu profen. Perhitungan dosis menghasilkan untuk pepton 10% adalah 0,14 ml dan dosis ibu profen adalah 0,2 ml. Kemudian dilakukan penimbangan pada mencit sebesar 15 gram dan suhu badan sebesar 35,6 ℃. Langkah selanjutnya adalah pemberian pepton 10% selama 0,14 ml melalui subkutan pada mencit. Kemudian diamati selama 5 menit dan 10 menit dengan dikukur suhu mencit, 5 menit 35,4 ℃ dan suhu mencit pada menit ke 10 adalah 37,1℃. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pepton membuat suhu tubuh pada mencit mengalami kenaikan. Pepton selain menjadi salah satu zat yang dapat meningkatkan demam dengan pembentukan pirogen endogen juga sering digunakan dalam pembiakan akteri sebagai media (Budjianto,1987). Setelah itu langkah selanjutnya adalah pemberian ibu profen sebanyak 0,1 ml melalui peroral pada mencit. Kemudian diamati suhu mencit pada menit ke 30,60, dan 90. Ibu profen bekerja di hipotalamus



dengan meningkatkan vasodilatasi yang menghambat peningkatan pirogen dengan reseptor di dalam nukleos preoptik hipotalamus anterior, sehingga tidak



terjadi



peningkatan



prostaglandin



melalui



siklus



enzim



siklooksigenase (Corwin,2007). Hasil yang didapatkan adalah pada menit ke 30 menjadi 36,3 ℃. dari yang awalnya pada menit ke 10 setelah adalah 37,1℃. menit ke 60 suhu mencit 35,9 ℃ dan ke 90 mencapai 35,7 ℃. Dari data tersebut didapatkan hasil bahwa mencit mengalami penurunan suhu paling optimal pada menit ke 30. hal ini kurang sesuai dengan literature (Juwita,2015) bahwa ibu profen mecapai kadar puncak dalam waktu 1-2 jam. Kesalahan ini dapat terjadi kemungkinan karena adanya kesalahan ketika pemberian obat ibu profen sehingga dosis obat ibu profen tidak sepenuhnya masuk ke dalam mencit. Sehingga ibu profen tidak dapat bekerja secara optimal.



4.2.4 Perbandingan obat Parasetamol dan ibuprofen bekerja sebagai inhibitor sintesis prostaglandin. Sebuah metanalisis 17 uji klinis terkontrol acak dan tersamar yang dmembandingkan efektivitas penggunaan parasetamol dan ibuprofen sebagai terapi nyeri dan demam. Studi ini menyatakan bahwa ibuprofen de ngan dosis 5–10 mg/kg lebih efektif dibandingkan dengan parasetamol dengan



dosis



10–15mg/kg.



Namun,



meta-analisis



tersebut



tidak



menyebutkan rata-rata penurunan suhu pasca pemberian antipiretik ( Nagrani dan Ari, 2015). Pada percobaan ini paracetamol dan ibuprofen didapatkan sama pada penurunan suhu mencit. Namun ibu profen memberikan pengaruh yang lebih cepat dan penurunan suhu yang lebih signifikan dibandingkan dengan paracetamol. Hal ini juga sesuai dengan literature dimana ibu profen dalam plasma kadar puncak dalam waktu 1-2 jam dan penurunan



suhu terbesar pada menit ke 60( Juwita,2015). Sementara paracetamol memiliki waktu paruh dalam plasma sekitar 1-3 jam (Rinidar,2014).



BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari praktikum ini yaitu analisis efek antipiretik dari obat ibu profen dan paracetamol dilakukan dengan pemberian pepton pada mencit jantan sebagai indksi demam lalu kemudian diberikan obat antipiretik sebagai penurun demam, kemudian diamati kondisi mencit tiap menitnya untuk dapat ditentukan obat yang paling efektif adalah Ibu Profen dibandingkan Paracetamol, dengan mekanisme kerja di hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi dan menghambat pengikatan pivogen dengan reseptor di dalam nucleus preoptik hipotalamus anterior, sehingga tidak terjadi peningkatan prostagkudin melalui siklus enzim siklooksigenase yang berakibat pada penghambatan kerja pirogen di hipotalamus. 5.2 Saran Dari praktikum yang telah dilakukan, ada beberapa saran untuk praktikum kedepanya yaitu : 1. Praktikan sebaiknya telah menghitung dengan benar dan teliti dosis obat yang akan diberikan pada mencit, agar pemberianya dapat sesuai dan efektif. 2. Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan telah menguasai tekhnik pemberian obat dan melakukanya dengan teliti serta memperhatikan etika pada hewan. 3. Sebelum memulai praktikum, praktikan harus memastikan bahwa alat dan bahan yang akan digunakan telah tersedia, termasuk APD yang harus digunakan.



DAFTAR PUSTAKA Corwin.2007. Pharmacotheraphy : A Phatophysiologic Approach 7th. New York Depkes RI.1970. Farmakope Indonesia Jilid III. Jakarta. Kemenkes RI Ganong. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Goodman, dan Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC Hady, Sutrisno.1994. Metodology Reasearch. Yogyakarta: Andi Offset Juwita Ayu Dian. 2015. Perbandingan Efek Antipiretik antara Ibuprofen dengan Campuran Ibuprofen dan Kafein. Jurnal Farmasi Indonesia. Vol.7 No.4 Kartika, A. A, dkk. 2013 Strategi Pengembangan Usaha Ternak Tikus dan Mencit di Fakultas Peternakan IPB. Jurnal Ilmu Produksidan Teknologi Hasil Peternakan. Vol 5. No 3 Khotimah, Husnul. 2017. Karakterisasi Hasil Pengolahan Air Menggunakan Alat Destilasi. Jurnal Chemurgy. Vol. 01. No.2. Listiyorini, P. I. 2012. Uji Keamanan Ekstrak Kayu Jati Bio Larutan da Aides Aegypti Terhaap Mencit. Unnes Public Health Journal. Vol 1. No 2 Odding. 2016. Uji AKtivitas Antipiretik Ekstrak Etanol daun Srikaya. Makasar:UIN Alaudin Ridwan, Endi. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan Dalam Penelitian Kesehatan. Jurnal Medika Vetraria. Vol 63. No 3 Rinidar,dkk. 2014. Potensi Ekstrak Air Daun Senai Sebagai Antipiretik Pada Mencit Dibandingkan Para Amino Fenol dan Asam Salisilat. Jurnal Medika Veterenaria. Vol 08. No.2 Tjay. 2007. Obat Obat Penting. Jakarta:EGC Tolistiyowati, dkk. 2014. Gambaran Kesehatan Pada Mencit di Instalasi Hewan Coba. Jurnal Vektor Penyakit. Vol 8. No 1



Yudaniyanti, dkk. 2010. Prfl Penggunaan Ketamin xy Lazine dan Ketamni Midazolan Sebagai Anestesi Umum Terhadap Gambaran Fisilogis Tubub Pada Kelinci Jantan. Veterinaria Medika. Vol3. No 1



.