@LAPORAN Sensus Banteng 2013 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN SENSUS BANTENG DI TAMAN NASIONAL BALURAN



SITUBONDO 2013



I.



PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Satwa liar yang ada di Taman Nasional Baluran mempunyai nilai yang sangat penting dan strategis. Potensi fauna tersebut harus dijaga kelestariannya guna mendukung keseimbangan proses ekosistem yang berlangsung. Banteng (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis) dan rusa (Cervus rusa) merupakan bagian dari satwa liar yang yang mempunyai peranan penting bagi eksistensi Taman Nasional Baluran. Seiring berjalanannya waktu telah terjadi perubahan-perubahan dan perkembangan kondisi kawasan secara umum yang mempengaruhi kehidupan satwa liar. Berbagai faktor tersebut berpengaruh terhadap pola perilaku dan pergerakan satwa. Diantaranya yaitu dengan terbatasnya sumber air minum satwa di musim kemarau, perburuan liar dan aktivitas masyarakat di dalam hutan. Beberapa faktor tersebut termasuk parameter dalam dinamika populasi. Dengan adanya perubahan pola perilaku dan pergerakan satwa tersebut mengakibatkan kerawanan-kerawanan yang semakin meningkatkan penurunan jumlah populasi satwa. Diantara beberapa satwa mamalia besar yang terdapat di kawasan Taman Nasional Baluran, salah satu potensi fauna yang dijadikan mascot (icon) adalah banteng (Bos



Javanicus), sehingga menjadi perhatian khusus dalam pengelolaannya. Perhatian masyarakat internasional juga semakin meningkat terhadap perlindungan banteng. Hal ini terbukti dengan meningkatnya status perlindungan banteng berdasar IUCN Red List, yang sebelumnya



vurnerable



menjadi



endangered



(Terancam



Punah)



sejak



1996



(www.iucnredlist.org). Oleh karena itu berbagai hal yang termasuk dalam aspek populasi, perilaku, penyebaran dan habitat banteng perlu pengkajian yang lebih mendalam. Akan tetapi tidak mengesampingkan potensi kawasan lain yang juga memerlukan pengelolaan secara serius. Kecenderungan penurunan populasi satwa mamalia besar di Taman Nasional Baluran, sangat mempengaruhi secara keseluruhan kondisi kelestarian ekosistem kawasan. Terdapat banyak faktor dan kondisi yang berpengaruh nyata terhadap terjadinya perubahan kondisi ini, terutama terkait dengan kondisi habitatnya. Berbagai komponen habitat yang berpengaruh tersebut saling berhubungan dan berketerkaitan, sehingga dirasakan sangat rumit dan sulit dalam pemecahan permasalahannya. Dalam rangka memenitoring perkembangan populasi dan habitat banteng pada periode tahun ini diperlukan kegiatan sensus banteng yang meliputi kawasan Taman 2



Nasional Baluran. Diharapkan dari kegiatan monitoring berkala ini dapat diperoleh informasi terkini dari kondisi populasi dan habitat satwaliar maskot kawasan tersebut. Hasil sensus tersebut juga menjadi data series terkait dengan populasi banteng sehingga pada kurun waktu tertentu dapat diketahui dinamikanya. 1.2. Tujuan Kegiatan sensus banteng ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini dari perkembangan populasi banteng di kawasan Taman Nasional Baluran.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1.



Banteng (Bos javanicus d’Alton) Banteng (Bos javanicus javanicus) merupakan salah satu bovidae dengan wilayah



sebaran alami yang terbatas hanya di pulau Jawa. Banteng di dunia sendiri terbagi menjadi tiga sub species, dan di Indonesia hidup 2 sub species yaitu Bos javanicus



javanicus dengan sebaran alami di Pulau Jawa, dan Bos javanicus lowi di Kalimantan. Sub species Bos javanicus birmanicus dijumpai di daratan Asia yang meliputi Myanmar, Kamboja, Vietnam, Thailand, dan Laos. Status konservasi banteng berdasarkan IUCN Red List telah mengalami perubahan dari rentan/vurnerable pada tahun 1986 - 1994 (Baillie & Groombridge 1996; Groombridge, 1994) menjadi terancam/endangered berdasar hasil review pada tahun 1996 (Baillie & Groombrigde, 1996). Hal tersebut menunjukkan meningkatnya ancaman yang mengakibatkan penurunan populasi. Workshop konservasi sapi liar pada tahun 1994 (Asian Wild Cattle Conservation Assessment and Management Plan) merekomendasikan banteng Asia (Bos javanicus burmanicus) diklasifikasikan menjadi critically endangered (Heinen & Srikosamatara, 1996). Perkiraan jumlah individu banteng di seluruh dunia saat ini berkisar antara 5.0008.000 ekor (Hegdes & Tyson, 2002; The IUCN SSC, 2000). Ukuran populasi banteng di Indonesia sendiri sulit diperkirakan secara akurat, karena masih sangat terbatasnya data terutama untuk populasi di Kalimantan, disamping belum adanya standar baku metode pendugaan yang digunakan dalam kegiatan inventarisasi populasi banteng. a.



Klasifikasi Nama daerah lain untuk banteng adalah sapi alas (jawa), klebo dan temadu



(kalimantan). Menurut Lekagul dan McNeely (1977) dan Alikodra (1982), secara taksonomi banteng dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Ordo



:



Artiodactyla



Subordo



:



Ruminantia



Famili



:



Bovidae



Subfamili



:



Bovinae



Tribe



:



Bovini



Genus



:



Bos



Spesies



:



Bos javanicus d’Alton



4



b.



Morfologi Banteng merupakan hewan yang besar, tegap dan kuat dengan memiliki bahu



depan yang lebih tinggi daripada bagian belakang. Dikepala ada sepasang tanduk. Pada Banteng jantan dewasa tanduknya berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung ke arah depan (medio enterior), sedangkan pada betina dewasa tanduknya lebih kecil dan melengkung kebelakang. (Lekagul dan Mc. Neely, 1977dalam Anonimous, 1997) Pada bagian tengah dada terdapat gelambir (dewlap) memanjang dari pangkal kaki depan hingga bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Hoorgerwerf, 1970; Helder, 1976 dalam Alikodra, 1997). Menurut Preffer dan Sinaga (1964) dalam Santosa, (1985), berat banteng dewasa di Taman Nasional Baluran dapat mencapai 900 Kg dan tinggi bahunya kurang lebih 170 cm. Banteng jantan mempunyai ukuran tengkorak 50 cm, sedangkan betina dewasa lebih kecil dari ukuran tengkorak banteng jantan. Tinggi bahu bervariasi menurut umur. Banteng jantan yang berumur 8 – 10 tahun mempunyai tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina mempunyai tinggi bahu 150 cm (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous 1997). Banteng mempunyai ciri khas yaitu pada bagian pantat terdapat belanga putih, bagian kaki dari lutut ke bawah seolah-olah memakai kaos kaki berwarna putih, serta pada bagian atas dan bawah bibir berwarna putih. Banteng jantan mempunyai warna bulu hitam. Semakin tua umurnya makin hitam warna bulunya. Banteng betina warna kulitnya coklat kemerahan, semakin tua umurnya semakin gelap menjadi coklat tua. Warna kulit anak banteng baik yang jantan maupun betina lebih terang dari pada warna kulit banteng betina dewasa, tetapi pada banteng jantan muda (anak) warna kulitnya lebih gelap sejak berumur antara 12 – 18 bulan. (Alikodra 1983). Menurut Hoorgerwerf (1970) dan Lekagul & McNeely (1973) dalam Alikodra (1983), umur banteng maksimum berkisar diantara 10 – 25 tahun, selanjutnya hidup seekor banteng betina dapat menghasilkan keturunannya sebanyak 21 ekor anak. Umur pertama banteng betina mampu untuk berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan banteng jantan lebih dari 3 tahun. c.



Populasi dan Penyebarannya Hoorgerwerf (1970) dalam Anonimous (1997), menduga bahwa sekitar tahun 1940



populasi banteng di jawa tidak lebih dari 2000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut menurun terus menerus dari tahun ke tahun, hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor. 5



Sebelum tahun 1940, banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, tetapi sekarang banteng hanya dapat diketemukan dalam suaka margasatwa dan cagar alam yang ada di Pulau Jawa. Di Kalimantan banteng hidup di sepanjang Sungai Mahakam dan di Kalimantan Barat bagian tengah. Sebelum Perang Dunia II, banteng dapat diketemukan hidup bebas pada padang rumput di Burma dan Indo China dan setelah Perang Dunia II banteng sudah jarang diketemukan. Mereka datang ke padang rumput hanya pada waktu malam hari (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Anonimous, 1997). Sekarang ini banteng di Pulau Jawa hanya dapat diketemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Alikodra 1983). d.



Fisiologi Banteng Banteng termasuk satwa yang berkelompok. Jumlah setiap kelompok berjumlah



sekitar 10 – 12 ekor, yang terdiri dari banteng jantan dewasa, induk dan anak-anaknya. Sex ratio antara banteng jantan dan betina dalam suatu populasi banteng berkisar antara 1 : 3 sampai 1 : 4. Banteng termasuk satwa yang mempunyai satu kali musim kawin dalam satu tahun dan melakukan perkawinan dalam satu periode waktu tertentu tergantung dari lokasi habitatnya. Lama bayi dalam kandungan adalah 9,5 – 10 bulan (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous, 1997). Musim kawin banteng di Taman Nasional Baluran, menurut petugas, berlangsung setelah musim kawin rusa, yaitu antara Bulan Agustus atau September, yang ditandai oleh banyaknya banteng jantan mengeluarkan suara lenguhan. e.



Perilaku Banteng, sebagai satwa yang hidup berkelompok, biasanya terdiri dari satu ekor



banteng jantan dewasa, bertindak sebagai ketua kelompok, jantan muda, betina induk dan anak-anaknya. Banteng terkenal sebagai satwa yang mempunyai daya penciuman dan pendengaran yang tajam. Sebagai tandanya, di waktu makan banteng sering mengangkat kepala sambil mengibas-ibaskan telinganya untuk mendengar apakah ada bahaya, kemudian mulai makan lagi jika dirasa tidak ada tanda-tanda bahaya yang akan mengganggu. Apabila ada tanda bahaya, banteng yang pertama kali mendengar hal itu akan segera menghadap ke arah sumber bahaya sambil memberi isyarat kepada banteng yang lainnya. Bila ada bahaya mengancam, banteng-banteng muda dan betina terlebih



6



dahulu masuk ke dalam hutan kemudian disusul oleh banteng dewasa jantan (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous, 1997). Dalam tiap-tiap kelompok biasanya terdapat beberapa banteng jantan muda (2 – 5 ekor) yang mana pada saatnya nanti, salah satunya akan menggantikan sebagai ketua kelompok. Waktu pergantian ketua kelompok, sering terjadi perkelahian, dan banteng yang kalah akan memisahkan diri dari kelompoknya dan kadang-kadang diikuti oleh beberapa banteng betina yang setia kemudian membentuk kelompok baru (Alikodra, 1980). Banteng yang sudah tua dan mendekati ajalnya akan memisahkan diri dan menjadi banteng soliter sehingga rawan untuk menjadi mangsa satwa predator (Hoorgerwerf, 1970 dalam Anonimous, 1997). Menurut Alikodra (1983), bahwa banteng mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :  menyukai daerah yang luas dan tidak ada gangguan alami  daerah yang banyak terdapat garam; daerah yang tidak ada gangguan lalat, lebah dan yang lainnya  daerah moonson forest, savana dan blang  suka hidup berkelompok  suka melaksanakan perjalanan jauh sambil makan dan kurang tahan terhadap terik matahari sehingga banteng sering berlindung di bawah pohon rindang di dekat padang rumput/savana.



7



III. METODOLOGI



3.1. Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan Sensus Banteng Tahun 2013 berlangsung pada Bulan November-Desember 2013, berlokasi di Taman Nasional Baluran meliputi wilayah kerja SPTN Wilayah I Bekol dan SPTN Wilayah II Karangtekok. 3.2. Alat dan Bahan Pelaksanaan kegiatan ini membutuhkan peralatan dan bahan antara lain : 1.



GPS



6.



Golok rintis, sabit



2.



Kamera



7.



Perangkat komputer



3.



Camera trap



8.



Personal use lapangan



4.



Kompas



9.



Tally sheet dan alat tulis



5.



Roll meter



10.



Kendaraan



3.3. Tahapan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : 1.



Rapat persiapan. Untuk menetapkan/menyempurnakan metode sensus dan persiapan teknis lainnya, serta dalam rangka pembekalan pelaksana lapangan terkait sensus banteng dan informasi lainnya dengan nara sumber Tenaga ahli yang kompeten dalam bidang pengelolaan satwaliar.



2.



Pelaksanaan studi lapangan pendahuluan. Dalam rangka menentukan cakupan lokasi dan wilayah pengamatan, termasuk menentukan titik pengamatan (sanggongan).



3.



Pelaksanaan sensus. Pelaksanaan kegiatan dengan metode yang telah ditentukan.



4.



Analisis data. Mencakup analisis data hasil sensus.



5.



Pelaporan



3.4. Metode Pelaksanaan Kegiatan sensus banteng pada tahun 2013 ini direncanakan menggunakan beberapa pendekatan metode: 1.



Jelajah kawasan. Metode ini dilaksanakan terutama untuk mengamati kondisi habitat dan penyebaran banteng terkini. 8



 Menentukan kawasan yang diasumsikan masuk sebagai habitat banteng saat ini.  Membagi kelompok pengamatan berdasarkan kemampuan SDM yang ada.  Menentukan waktu penjelajahan kawasan  Melaksanakan penjelajahan kawasan dengan mencatat kondisi penutupan vegetasi dan kondisi habitat lainnya, serta mencatat ada tidaknya perjumpaan satwa banteng di sepanjang kegiatan penjelajahan, baik perjumpaan langsung maupun tidak langsung (jejak/kotoran). Lokasi jelajah ditentukan sebagai berikut :



2.



1.



Bama-Kajang



6.



Batangan - Hm 40



2.



Bekol-Talpat



7.



Uyahan - Sav. Palongan



3.



Pojok Savana-Gn. Motor



8.



Popongan - Dung Biru



4.



Curah Uling-Maronggean



9.



Panjaitan - Pemancar TVRI



5.



Hm 40 - Curah uling



10. Curah tangis - Panggang



Pengamatan terkonsentrasi (concentration count). Dalam pelaksanaannya metode ini dengan dikombinasikan dengan pemasangan Camera trap di lokasi-lokasi konsentrasi satwa yang telah ditentukan. Peletakan lokasi survei didasarkan pada pola penggunaan ruang dan waktu oleh banteng. Berdasarkan informasi ini kemudian ditentukan tempat-tempat dan area yang umum digunakan secara bersama oleh banteng, baik terkait pemenuhan akan pakan maupun air minum dan garam mineral. Hasil pengamatan berupa lokasi-lokasi perjumpaan indikatif keberadaan banteng pada area grid pengamatan diasumsikan sebagai daerah sebaran banteng. Indikasi-indikasi tersebut berupa jejak, kotoran dan spesimen banteng yang dibedakan antara yang baru dan yang lama. Pembedaan tersebut diperlukan dalam proses analisa data yang berkaitan dengan kondisi kawasan di mana terdapat perbedaan signifikan antara musim kemarau dan musim penghujan. Kondisi demikian mengakibatkan adanya perbedaan daya jelajah banteng di setiap



musim



sebagai



mekanisme



adaptasi



terhadap



keterbatasan



ketersediaan komponen kebutuhan hidup banteng baik berupa vegetasi pakan maupun air. Di mana banteng akan cenderung memperluas daerah jelajahnya pada saat ketersediaan pakan dan air di dalam kawasan terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka sebelum periode survei berlangsung dilakukan monitoring lokasi sumber air tempat minum satwa di Taman Nasional Baluran 9



yang digunakan sebagai lokasi inventarisasi dan monitoring populasi melalui metode survei terkonsentrasi. Pelaksanaan metode ini dilakukan pada periode musim kemarau untuk mempersempit wilayah studi atau memperkecil unit contoh, dalam hal ini sumber air. Pengamatan dilaksanakan selama 3 hari (3 kali ulangan), yaitu tanggal 16 – 18 November 2013.



Gambar 1.



Titik lokasi Pengamatan Terkonsentrasi di Taman Nasional Baluran



Tahapan dalam kegiatan pengamatan terkonsentrasi adalah sebagai berikut:  Survey pendahuluan lokasi sumber air yang biasa dimanfaatkan satwa banteng untuk sumber air minum dan lokasi lain yang dijadikan tempat konsentrasi.  Menetapkan titik sumber air atau lokasi konsentrasi banteng sebagai titik pengamatan. Pada pengamatan tahun 2013 ini ditetapkan 17 (tujuhbelas) titik sanggongan yang tersebar di wilayah resort Balanan, Bama, Perengan dan Bitakol.  Membuat sanggongan, maksimal H-2 dari waktu pelaksanaan agar banteng beradaptasi dengan adanya sanggongan tersebut.



10



 Menetapkan personil pengamat (masing-masing 2 orang per lokasi) dan memberi persamaan persepsi dalam kegiatan pengamatan. Misalnya, tidak diperkenankan merokok selama pengamatan berlangsung.  Menetapkan waktu pengamatan, yaitu pukul 17.00 – 05.00 WIB, dan sebelum waktu mulai pengamatan, pengamat telah berada di lokasi. Pengamatan dilakukan selama 3 hari berturut-turut, yang merupakan ulangan pengamatan.  Mencatat aktivitas banteng yang mendatangi titik pengamatan sesuai form tally sheet yang telah disiapkan. (lampiran 1)  Di tiap pagi setelah pengamatan di sanggongan, sebelum meninggalkan sanggongan, melakukan pengamatan di sekitar lokasi terhadap jejak satwa sebgai antisipasi dari satwa yag tidak terdeteksi saat malam hari pengamatan berlangsung.  Hasil rekapitulasi pengamatan dikumpulkan untuk dilakukan rekapitulasi hasil pengamatan. Sementara itu, pemasangan kamera trap di beberapa sanggongan yang dianggap potensial perjumpaan satwa dimaksudkan sebagai bahan klarifikasi dan identifikasi perjumpaan banteng. 3.



Jalur (transect). Pendugaan kepadatan berdasarkan metode transek garis di Taman Nasional Baluran dilakukan dengan menempatkan sejumlah transek garis berukuran panjang = 500-1000 m pada daerah persebaran atau lintasan banteng. Garis transek ditempatkan diantara batas hutan dan non-hutan (area terbuka), hal ini dimaksudkan untuk mengcover seluruh area persebaran banteng baik di dalam hutan maupun area lainnya yang lebih terbuka yang diketahui sebagai area yang disukai banteng untuk melakukan penjelajahan, area sumber pakan atau minum serta area untuk pemenuhan kebutuhan lainnya. Adapun lebar garis transek tidak dibatasi, bergantung pada penutupan vegetasi atau kemampuan jarak pandang pengamat di lapangan serta jenis satwa yang diamati. Metode jalur dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :  Menentukan wilayah studi pengamatan, yang merupakan wilayah yang menjadi habitat banteng saat ini di kawasan Taman Nasional Baluran.  Menetapkan lokasi jalur secara purposive di peta, sehingga meliputi wilayah studi yang ditentukan.  Lakukan orientasi lapangan dari jalur yang di plot-kan di peta. 11



 Masing-masing regu pengamat terdiri dari 2 orang tiap jalur.  Buat tanda (yang mudah dikenali) di titik awal jalur.  Catat (azimuth) dan buat tanda arah jalur.  Buat jalur sepanjang 500 meter dengan arah yang telah ditentukan (seperti orientasi di peta).  Beri tanda sepanjang jalur pengamatan (misal per 50 m).  Tentukan lebar jalur, kanan-kiri, dengan batasan jarak pandang pengamat di masing-masing lokasi, melihat kondisi kerapatan tegakan.  Pengamatan dilakukan selama 2 jam, dengan 3 kali ulangan (PP) pengamatan di jalur tersebut.  Pengamatan dilakukan 2 periode secara serempak pada pukul; Pagi : pukul 06.00 – 08.00 dan Sore : pukul 15.30 – 17.30 wib.  Apabila melihat satwa banteng, catat dengan informasi seperti di dalam



thally sheet yang telah ditentukan. (lampiran 2)  Perkirakan jarak satwa saat teramati ke jalur pengamatan.  Pada jeda periode pengamatan pagi dan sore, lakukan pengamatan dan pencatatan jejak (terutama kotoran) banteng di sepanjang jalur tersebut. Dan setelah ketemu dan catat/hitung, singkirkan/bersihkan kotoran tersebut dari sekitar jalur.  Pengamatan dilakukan dengan seksama, jalan perlahan-lahan, dengan harapan tidak mengusik keberadaan satwa target.  Selama pengamatan berlangsung, pengamat tidak diperkenankan merokok.  Selama jeda periode perhitungan, pengamat mencari lokasi yang kira2 terlidungi dan agak menjauhi titik awal transek.  Pengamat tidak menggunakan pakaian yang mencolok.



12



Gambar 2. Peletakan unit contoh metode garis transek pada area kerja 3.5 Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan memadukan data primer yang di dapat dilapangan dengan data sekunder yang ada untuk mendapat gambaran mengenai distribusi banteng, pola pergerakan serta kepadatan populasinya. Analisis sebaran dan identifikasi pola pergerakan dilakukan dengan memproyeksikan daerah-daerah sebaran banteng pada peta kemudian dioverlaykan dengan sebaran komponen habitat di dalam kawasan berikut indikasi-indikasi adanya faktor gangguan dan ancaman bagi kelangsungan hidup dan ruang gerak banteng. 1.



Survei terkonsentrasi. Data-data yang telah dikumpulkan selama pengamatan terhadap populasi banteng di Taman Nasional Baluran secara sensus melalui survei terkonsentrasi selanjutnya dianalisis dengan menghitung beberapa peubah sebagai berikut : Ukuran populasi = Jumlah individu yang diamati = ∑ ×i Koefisien



variasi variation/CV)



(coefficient



of



=



CV =



Karakteristik/peubah yang diukur



=



𝑥𝑖



Ukuran populasi



=



N



𝑆𝑥 𝑥



x 100%



13



Rata-rata (mean)



=



𝑥=



𝑥𝑖 𝑛



2



2.



Ragam (variance)



=



Simpangan baku (standard deviation)



=



Ragam rata-rata



=



Simpangan baku rata-rata



=



𝑆𝑥 =



𝑆𝑥 =



𝑆𝑥 2 =



𝑆𝑥 =



𝑥𝑖 2 −



𝑥𝑖 2



𝑛



𝑛−1



𝑆𝑥 2



𝑆𝑥 2 𝑛



𝑆𝑥 2



Metode transek garis. Pendugaan populasi banteng berdasarkan data yang diambil dengan menggunakan metode transek garis dilakukan melalui beberapa teknik penghitungan, adapun dalam analisis ini dilakukan penduga populasi dengan metode Hayne (Krebs 1989) dan memanfaatkan program pengolahan data DISTANCE. Adapun bentuk persamaan penduga populasi Hayne yang digunakan adalah sebagai berikut:  DH



=



x 1 1 . .  2.L  x ri 



Persamaan ini disederhanakan menjadi  1 1 DH . = 2.L r i



 V ( DH ) 



  var x   (1 r  R )2  DH2  2  2 i  R .x.( x  1)   x



Keterangan :  DH = kepadatan populasi dugaan menurut metode Hayne (individu/km2) x = total individu teramati (individu) L = panjang garis transek (km)  V(DH ) = ragam penduga kepadatan populasi menurut metode Hayne var(x)  x rj = jarak kontak untuk setiap individu satwaliar teramati (km) R = rata-rata kebalikan dari jarak teramatinya individu satwaliar 1 1 . = x ri Simpangan baku bagi rata-rata kepadatan diduga dengan menggunakan nilai akar kuadrat dari ragam penduga kepadatan populasi. Salah satu asumsi yang kritis dari penduga Hayne adalah nilai sinus dari sudut kontak antara posisi 14



satwa dengan pengamat merupakan suatu contoh yang berasal dari peubah acak seragam (uniform random variable) yang nilainya berkisar antara 0 sampai 1. Asumsi ini berarti bahwa rata-rata sudut kontak adalah 32,7o atau /2 – 1 radian. Oleh karena itu harus dilakukan pengujian terhadap hipotesis bahwa sudut kontak sama dengan 32,7o dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Z



=



x .(  32,7) 21,56



Keterangan : Z = standar normal simpangan x = total individu teramati  = rata-rata sudut kontak Hipotesis nol yang menyatakan bahwa sudut kontak rata-rata sama dengan 32,7o ditolak apabila nilai Z lebih besar dari 1,96 atau lebih kecil dari –1,96 pada tingkat kepercayaan  = 0,05. Jika hipotesis nol ditolak maka penduga populasi menurut Hayne tidak dapat digunakan sehingga perlu dilakukan modifikasi model. 3.6. Kebutuhan Dana Dana pelaksanaan kegiatan dialokasikan dari dana DIPA Balai Taman Nasional Baluran Tahun Anggaran 2013. 3.7. Pelaksana Kegiatan Pelaksana kegiatan sesuai dengan SK Kepala Balai Taman Nasional Baluran.



15



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



Kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi banteng tahun 2013 ini dilaksanakan untuk mengetahui kondisi terkini terkait keberadaan banteng di dalam kawasan Taman Nasional Baluran khususnya kondisi habitat dan kepadatan populasinya. Akan tetapi dari hasil kegiatan di lapangan juga dapat mendukung informasi terkait dengan pola distribusi (sebaran), pola pergerakan, serta tingkat gangguan dan ancaman yang ada di dalam kawasan 4.1 Survei jelajah banteng di Taman Nasional Baluran Survei dilakukan melalui kegiatan pengamatan pada jalur-jalur di dalam area grid yang telah ditentukan pada peta kerja. Dimana pembuatan area grid pada peta dimaksudkan sebagai satuan hitung yang membagi kawasan berdasarkan keberadaan banteng di daerah-daerah tersebut (Gambar 1). Pengamatan meliputi pengambilan data berupa perjumpaan banteng baik langsung maupun tidak langsung dari jejak, kotoran dan indikasi lain keberadaan banteng. Selain itu indikasi-indikasi keberadaan satwa lain, satwa predator dan aktivitas manusia juga diamati untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pergerakan banteng. Tabel 1. Hasil perjumpaan banteng selama penjelajahan No



Perjumpaan Langsung



Lokasi



Tdk Langsung



Jtn



Btn



Anak



Tot



Jjk



Feses



1 2



Bama-Kajang Bekol-Talpat



0 0



0 0



0 0



0 0



v



v



3 4



Pojok Savana-Gn. Motor Curah UlingMaronggean Hm 40 - Curah uling Batangan - Hm 40



0 1



0 1



0 0



0 2



v v



-



2 0



3 0



0 0



5 0



v v



-



Uyahan - Sav. Palongan Popongan - Dung Biru Panjaitan - Pemancar TVRI 10 Curah tangis Panggang Jumlah



1 0 0



3 0 0



2 0 0



6 0 0



v v



v



0



0



0



0



v



-



4



7



2



13



5 6 7 8 9



Ket. feses baru



feses lama



Hasil pengamatan berupa lokasi-lokasi perjumpaan dan indikasi keberadaan banteng pada daerah jelajah pengamatan diasumsikan sebagai daerah sebaran banteng. 16



Indikasi-indikasi tersebut berupa jejak, kotoran dan spesimen banteng yang dibedakan antara yang baru dan yang lama. Pembedaan tersebut diperlukan dalam proses analisa data yang berkaitan dengan kondisi kawasan di mana terdapat perbedaan signifikan antara musim kemarau dan musim penghujan. Kondisi demikian mengakibatkan adanya perbedaan daya jelajah banteng di setiap musim sebagai mekanisme adaptasi terhadap keterbatasan ketersediaan komponen kebutuhan hidup banteng baik berupa vegetasi pakan maupun air. Di mana banteng akan cenderung memperluas daerah jelajahnya pada saat ketersediaan pakan dan air di dalam kawasan terbatas. Hal ini lah yang mendasari pemilihan waktu, lokasi kegiatan inventarisasi banteng di Taman Nasional Baluran. Hasil jelajah tersebut dari aspek monitoring populasi, menunjukkan adanya variasi sex ratio dan struktur umur yang cukup menarik. Sex ratio dari hasil jelajah tersebut 1 : 1,75 (satu jantan untuk 1,75 betina atau dapat dikatakan 1:2). Hal ini menunjukkan kondisi yang cukup bagus untuk perkembangan populasi, dengan asumsi bahwa betina dan jantan yang ada dalam kondisi matang reproduktif. Selain dari aspek populasi, hasil penjelajahan juga menunjukkan kondisi dominan tutupan vegetasi dan keberadaan potensi sumber air minum satwa, seperti disampaikan pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Kondisi habitat areal jelajah. No



Lokasi



1



Bama-Kajang



2



Bekol-Talpat



3



Pojok Savana-Gn. Motor Curah UlingMaronggean Hm 40 - Curah uling Batangan - Hm 40 Uyahan - Sav. Palongan Popongan - Dung Biru Panjaitan Pemancar TVRI Curah tangis Panggang



4 5 6 7 8 9 10



Kondisi Habitat Sumber air Ada Tdk Keterangan Htn pantai, Acacia v kub. Bama, nilotica kalitopo Htn musim, A. v mata air talpat Vegetasi



nilotica Acacia nilotica



-



v



Htn musim



-



v



Htn musim Htn musim Htn musim, Savana



-



v v v



Htn musim, htn pantai Htn jati



v



-



kub. Dungbiru



v



-



s. bajulmati



Htn jati



v



-



s. bajulmati



Informasi di atas menunjukkan bahwa banteng lebih memilih berada di wilayah bervegetasi dominan berupa hutan musim atau bertutupan tegakan yang lain, 17



dibandingkan dengan daerah terbuka/savanna. Hal ini di analisa karena faktor antipredator, dimana banteng dengan pengalamannya berusaha menghindari predator (berupa serangan ajag maupun gangguan manusia) sehingga mencari lokasi yang cenderung tertutup. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pakan dan minum, satwa berusaha pakan berupa daun, polong-biji dan rumput (sifat browser dan grazzer), serta mencari lokasi sumber air minum (baik kubangan alami maupun buatan) yang masuk dalam homerange masing-masing kelompok satwa tersebut. 4.2 Dinamika populasi banteng di Taman Nasional Baluran Ukuran populasi banteng di Indonesia sulit diperkirakan secara akurat, karena masih sangat terbatasnya data (Permenhut No: P.58/Menhut-II/2011). Sebagai gambaran awal dinamika jumlah individu banteng di berbagai areal di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagai catatan, beberapa perkiraan populasi tersebut, berdasarkan pada hasil perkiraan ataupun perhitungan dengan menggunakan metode survey yang belum baku. Tabel 3. Penyebaran habitat banteng di Pulau Jawa No



Lokasi



1.



Semenanjung Ujung Kulon, TN Ujung Kulon



2.



Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng



3.



BonjonglarangJayanti



4.



Cimapag



5.



Cagar Alam Leuweng Sancang



6.



Cikamurang



7.



Cagar Alam Pananjung Pangandaran



8.



Kediri



Luas (Ha) 30.000*



8.000



750



4.150 500



-



Estimasi populasi (individu) Th 1937: 200-250 Th 1970: Max. 200 Th 1997: 905 Th 1970: 300 Th 1985: 139 Th 1988: 150 Th 2003: 25-65 Tidak tersedia data kuantitatif, namun pada tahun 1988 tercatat ada populasi banteng Tidak tersedia data, tercatat ada sampai tahun 1970 Th 1988: 200 Th 2000: 10 2003: punah Tidak tersedia data, tercatat ada sampai tahun 1970 Sampai tahun 1974: 130 Th 1980: 80 Th 1988: 10



Tidak tersedia data,



Sumber data Hoogerwerf, 1970 Halder, 1976 Sensus terpadu Balai TNUK, Institut Pertanian Bogor (IPB) Kompas 4 November 2003 Kompas 4 November 2003 Ashby & Santiapillai, 1988 Kompas 4 November 2003 Ashby & Santiapillai, 1988



Hedges and Tyson 1996 Ashby and Santiapillai 1988 Kompas 28 November 2003 Kompas 28 November 2003 Hedges and Tyson 1996 Ashby & Santiapillai 1988 Ashby & Santiapillai 1988 Ashby & Santiapillai 1988 Diduga telah terjadi percampuran genetik dengan Bos indicus pada populasi ini (Whitten et al., 1996) Hedges and Tyson 1996



18



9.



Pantai Blitar



10.



Pantai Malang (Lebakharjo)



11.



Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)



58.000



12.



Taman Nasional Alas Purwo Taman Nasional Baluran



43.420



13.



Th 1988: 12 -



25.000



14.



Perkebunan Treblasala (GlenmoreBanyuwangi)



3.643,1 1



15.



Kawasan Hutan Lindung Londo Lampesan Jember, Jawa Timur



1.213,9 0



tercatat ada sampai tahun 1970 Ashby and Santiapillai 1988 Th 1988: 6 Th 1995: ada (tidak ada data kuantitatif) Th 1986: 65 Th 1989: 124 Th 1997: 128 Th 2002: 147 Th 2007:174 Th 1993: 300-400 Th 2002: 80 Th 1970: 150-200 Th 2002: 67 - 129 Th 2003: 21 Th 2007: 34 Th 2011: minimum 22 Th. 2005: 11 Th 2009: ada (tidak ada data kuantitatif) Th 2010: ada (tidak ada data kuantitatif)



Ashby and Santiapillai 1988 Santosa, 2004 Ashby and Santiapillai 1988 Survei Balai TNMB, 1989 Survei Balai TNMB, 1997 Survei Balai TNMB, 2002 Survei Balai TNMB, 2007 Hedges and Tyson 1996 Survei Balai TNAP, 2002 Halder, 1976 Survei Balai TNB, 2002 Survei Balai TNB, 2003 Survei Balai TNB, 2007 Survei Balai TNB, 2011 Penilaian Potensi Habitat Banteng di Perkebunan Treblasala, Balai KSDA Jatim. 2005 Tesis (Dheny Mardiono) Laporan Identifikasi habitat banteng di luar kawasan konservasi. Balai Besar KSDA Jatim. 2010



Berdasarkan hasil sensus sampai dengan tahun 2011 populasi banteng terhitung sejak tahun 1996 terus mengalami penurunan. Sensus terakhir yang dilakukan tahun 2011 menunjukkan kenaikan meski tidak cukup signifikan. Adapun kondisi dinamika populasi dan fluktuasi lokasi konsentrasi aktivitas minum banteng dari tahun ke tahun di kawasan Taman Nasional Baluran, berdasarkan hasil sensus yang telah dilaksanakan disajikan dalam Tabel 4 sebagai berikut : Tabel 4. Data populasi hasil sensus dan daerah-daerah konsentrasi banteng. No



Tahun



Populasi



1.



1941/48/52/68



2.



1978



50 – 100 * 100–150 ** 47 - 56



3.



1979



45 - 62



4. 5. 6.



1980 *** 1992 **** 1996 *****



113 311 312 – 338



Metode Sensus



Daerah perjumpaan terbanyak



Concentration count (5 titik) Concentration count (6 titik)



Bama, Talpat, Sirontoh, Semiang. Talpat, Bekol, Semiang



Concentration count Transek dan konsentrasi



Bekol, Putatan, Kelor.



19



7.



1997 ******



282



8.



2000



219 – 267



9.



2002 *******



67 - 129



10.



2003 ********



21



11.



2006



12.



2007



CC : 15 JK : 12 34



Transek (16 transek) Concentration count (24 ttk) Concentration count Concentration count (7 ttk) dan jelajah kawasan Concentration count dan jelajah kawasan Concentration count (11 ttk) dan jelajah kawasan



Bekol, Bama, Kramat Bekol, Kelor, Sumber Batu. Popongan, Bekol. Palongan, Bekol, Nyamplung, Popongan. Bekol, Palongan, Grekan.



Keterangan : * ** *** **** ***** ****** ******* ********



Menurut Rappard (1948), Preffer (1968) Menurut Hoogerwerf (1955) Menurut Laporan tahun 1941 dalam Ammar (1984) Jantan dewasa 115; betina dewasa 110; jantan muda 19; betina muda 32; tidak diketahui 35; sex ratio 48,55 : 51,45. Tidak ditemukan adanya anjing hutan. Jantan dewasa 73-80; betina dewasa 93-98; jantan muda 22-24; betina muda 15-17; tidak diketahui 47-52. Sex ratio 9 : 10. Sex ratio 30 : 59 atau sekitar 1 : 2. Terdiri dari 13 titik air pengamatan; lokasi Bama tidak didatangi sama sekali; tidak ada alokasi pengamatan di daerah Palongan dan Semiang (Grekan dan Putatan). Dari hasil perjumpaan banteng di lokasi pengamatan terkonsentrasi sex ratio disinyalir tidak sehat (banteng jantan cenderung lebih banyak).



Secara umum metode pengambilan data populasi selama ini mewakili kondisi musim kemarau, karena sebagian besar menggunakan metode concentration count pada titiktitik lokasi air. Metode jalur atau penjelajahan juga digunakan tetapi masih bersifat untuk mendukung analisis populasi dengan metode konsentrasi, atau kombinasi antara keduanya karena metode konsentrasi hanya relevan dilakukan di wilayah Bekol dan Perengan. Sehingga praktis pola sebaran dan pergerakan banteng di musim hujan belum pernah dikaji secara khusus. Kecuali pada tahun 1980 dan 1997 sensus dilakukan dengan metode transek (jalur), dan pada tahun 1996 metode yang digunakan merupakan kombinasi antara metode transek dan penghitungan terkonsentrasi di savana (grazzing



ground). Sehingga hasil kegiatan yang di dapat tidak dapat menunjukkan daerah-daerah konsentrasi satwa. Pada musim kemarau tersebut di mana ketersediaan air terbatas, secara alami air melokalisir keberadaan banteng yang diindikasikan dengan konsentrasi aktivitas minum



20



pada lokasi-lokasi sumber air tertentu. Di mana dari sejumlah lokasi air yang ada kecenderungan konsentrasi aktivitas minum banteng selalu berubah setiap tahunnya. Lokasi sumber air Talpat yang secara fisik dimanfaatkan satwa sebagai tempat minum sekaligus juga untuk berkubang bagi satwa tertentu seperti kerbau liar, rusa dan babi hutan menunjukkan indikasi konsentrasi aktivitas minum banteng hanya pada tahun 1978 sampai 1979 saja. Lokasi Kramat hanya pada tahun 2000 saja menjadi daerah konsentrasi aktivitas minum banteng, di mana hal tersebut lebih dikarenakan adanya kebocoran instalasi pipa air Talpat Bekol oleh pelanggar hutan sehingga membentuk genangan-genangan air di beberapa titik. Genangan-genangan tersebut yang dimanfaatkan satwa sebagai tempat minum dan berkubang. Lokasi Bama menjadi daerah konsentrasi hanya pada tahun 1978 dan 2000 saja, lokasi kelor hanya pada tahun 1992 dan 2002 saja, lokasi Nyamplung hanya pada tahun 2002 dan 2006 saja, lokasi Popongan hanya pada tahun 2003 saja, Sirontoh hanya pada tahun 1978 saja, Semiang pada tahun 1978, 1979 dan 1992 saja, dan palongan menjadi konsentrasi aktivitas minum banteng hanya pada tahun 2006 dan 2007. Lokasi perkebunan kapuk randu PT Baluran Indah di mana ketersediaan air merupakan air irigasi pertanian, meski tidak cukup signifikan dibanding lokasi air lain di dalam kawasan pada tahun 1992 pernah menjadi lokasi minum banteng di dua titik. Titik pertama menjadi tempat minum banteng sejumlah 10-16 ekor dan titik kedua 11-17 ekor. Sedangkan lokasi Dung Biru bukan merupakan lokasi air yang cukup penting bagi satwa banteng. Terdapat indikasi pemanfaatan oleh banteng akan tetapi tidak cukup signifikan di banding jumlah populasi tiap tahunnya. Dan lokasi savana Bekol di mana terdapat beberapa titik tempat minum, kecuali tahun 1978, setelah tahun 1979 sampai dengan tahun 2007 cukup dominan dimanfaatkan satwa banteng sebagai tempat minum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber air buatan di Bekol sangat penting perannya dalam pemenuhan kebutuhan air minum satwa terutama pada musim kemarau. Selain itu meski telah terjadi pergeseran pemanfaatan grazing ground dari savanna Bekol ke savanna atau daerah lain, tetapi dalam aktivitas minum satwa sebagian besar masih terkonsentrasi di Bekol. 4.3. Pengamatan Terkonsentrasi Survei dilaksanakan pada daerah konsentrasi banteng, baik pada daerah yang merupakan lokasi sumber air, pakan, dan sumber garam mineral. Data pengamatan terkonsentrasi di titik-titik lokasi air menunjukkan pola konsentrasi aktivitas minum yang 21



selalu berubah. Hal ini lah yang memungkinkan terjadinya bias dalam pendugaan kepadatan populasi banteng ketika informasi mengenai lokasi sumber air yang benarbenar digunakan dalam periode waktu tertentu pada saat survei terkonsentrasi dilaksanakan tidak terekam secara baik dan jelas.



Kondisi sumber air lokasi survei terkonsentrasi. Berdasarkan hasil pengamatan tim studi pendahuluan dapat diketahui bahwa dari ke 27 lokasi sumber air yang dimungkinkan satwa banteng minum, akan tetapi yang terdapat bekas banteng pernah minum (baru maupun lama), ditentukan hanya 17 unit lokasi sumber air yang memenuhi kriteria untuk diamati. Oleh karena itu, pada prinsipnya hanya ada 17 unit lokasi sumber air yang benarbenar diamati. Secara lengkap kondisi sumber air yang dijadikan lokasi survei terkonsentrasi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kondisi sumber air lokasi survei terkonsentrasi LOKASI Talpat Bekol (1) tower Bekol (2) kolam renang Bekol (3) kapal selam Bekol (4) plot permanen Bama (1) utara Bama (2) selatan Kelor (1) Kelor (2) Manting Nyamplung Palongan (savana) Grekan 1 Grekan 2 Dung biru Blok kedawung-Bitakol Blok panjaitan-Bitakol



Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air Air



KONDISI mengalir berlumpur berlumpur di bak berlumpur kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami kubangan alami mengalir – sungai mengalir – sungai



KETERANGAN mata air suplai sumur bekol suplai sumur bekol suplai sumur bekol suplai sumur bekol



Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa tidak semua lokasi sumber air yang diamati memenuhi kriteria untuk diamati. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi hasil pengamatan yang diperoleh. Adapun karakteristik lokasi sumber air yang diujicobakan sangatlah bervariasi, yaitu ada yang berlokasi pada vegetasi bertegakan tanaman jati yang berada di tepi sungai Klokoran (wilayah Hutan Bitakol). Sebagaimana Alikodra (1982) menyatakan bahwa ada empat faktor penting yang mempengaruhi pemilihan lokasi untuk berkubang bagi banteng, yaitu topografi, tipe vegetasi, naungan dan kesembunyian tempat.



Keberadaan banteng pada lokasi sumber air. Pengamatan banteng pada lokasi sumber air dilakukan oleh 1 orang pengamat dan 1 porter di atas sanggongan. 22



Sanggongan pengamatan dibuat 2 atau 3 hari sebelum pengamatan dimulai, dengan posisi di bagian pohon yang cukup tersamar, yang memungkinkan banteng terlihat jelas di lokasi sumber air. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 17 unit lokasi sumber air yang digunakan dalam metode terkonsentrasi, diketahui bahwa terjadi satu perjumpaan secara langsung dengan banteng dan melakukan aktivitas minum di lokasi sumber air Kolam renang (Bekol) dan kubangan alami di Nyamplung. Secara lengkap kehadiran banteng pada lokasi sumber air disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rekapitulasi perjumpaan banteng pada lokasi sumber air No



Lokasi



1



Talpat



2



Bekol (1) Tower



3



Bekol (2) Kolam renang



4



Bekol (3) Kapal selam



5



Bekol (4) Plot permanent



6



Bama (1) Utara



7



Bama (2) Selatan



8



Kelor (1)



9



Kelor (2)



10



Manting



11



Nyamplung



12



Palongan (Savana)



13



Grekan 1



14



Grekan 2



15



Dung Biru



16



Blok Kedawung-Bitakol



Banteng



Hari ke-



Jtn



Btn



Anak



Total



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



1



0



0



1



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



1



0



0



1



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



23



17



Blok Panjaitan-Bitakol



II



0



0



0



0



I



0



0



0



0



II



0



0



0



0



Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 17 lokasi sumber air yang benarbenar diamati ternyata hanya 2 lokasi sumber air berpotensi didatangi oleh banteng yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terdapat lokasi sumber air lain yang tidak terpantau dalam kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi banteng melalui metode terkonsentrasi ini. Kondisi cuaca yang mendung dan hujan pada pengamatan hari ke-2, sehingga memungkinkan sumber air telah tersebar pada berbagai lokasi, sehingga banteng mungkin saja akan mendatangi lokasi lain diluar lokasi sumber air yang digunakan dalam pengamatan ini. Oleh karena hal tersebut, pengamatan di hari ke-3 (ulangan ke-3) diputuskan tidak dilanjutkan karena dianggap tidak lagi efektif. Ulangan 1 2 ∑



1 0 0 0



2 0 0 0



3 0 0 0



4 1 0 1



5 0 0 0



6 0 0 0



7 0 0 0



8 0 0 0



Titik pengamatan 9 10 11 12 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0



∑ 13 0 0 0



14 0 0 0



15 0 0 0



16 0 0 0



Karena ini merupakan hasil sensus dan jumlah individu terbesar adalah 2 ekor maka ukuran populasi banteng pada area studi adalah sebanyak 2 ekor. Rendahnya angka ini dimungkinkan karena kesalahan waktu pelaksanaan inventarisasi dan monitoring populasi banteng di Taman Nasional Baluran. Asumsi bahwa lokasi sumber air yang digunakan oleh banteng sebagai lokasi minum harus dipenuhi untuk meningkatkan validitas hasil pengukuran. Metode survei terkonsentrasi akan memiliki hasil dengan ketelitian dan ketepatan yang tinggi jika dilakukan pada lokasi dan waktu yang tepat (hasil kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi menggunakan metode terkonsentrasi memiliki ketelitian yang sangat rendah, berkisar 0-6,25%). Inventarisasi di waktu mendatang hendaknya dilaksanakan dengan pertimbangan informasi lokasi sumber air yang digunakan secara menyeluruh dan tepat, disamping faktor cuaca harus menjadi pertimbangan dilaksanakannya waktu survei sehingga dapat dilakukan secara efektif dan efisien guna menghindari berbagai faktor bias yang dapat mempengaruhi hasil perhitungan populasi banteng itu sendiri. Pemilihan waktu inventarisasi hendaknya dilaksanakan



pada



saat



puncak



musim



kemarau



untuk



mengefisienkan



dan



mengefektivitaskan kegiatan inventarisasi dan mengurangi unit lokasi yang digunakan dalam kegiatan inventarisasi.



24



17 0 0 0



2 0 2



Berdasarkan hasil perhitungan nilai ketelitian dengan menggunakan nilai koefisien variasi (CV) spasial dan temporal, yaitu CV spasial =93,75%, dan CV temporal = 100% sehingga nilai ketelitiannya berkisar dari 0-6,25%. Titik pengamatan dengan CV temporal terendah dan ulangan dengan CV spasial tertinggi Perjumpaan langsung banteng terjadi pada pukul 20.40 WIB dan 01.10 WIB. Berdasarkan hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa banteng akan mendekati lokasi sumber air di malam hari. Hal ini sesuai dengan Schenkel (1969) yang menyatakan bahwa banteng umumnya melakukan aktivitas minum hanya pada waktu pagi dan sore hari. Akan tetapi Hoogerwerf (1970) menemukan bahwa banteng tidak hanya mendatangi lokasi sumber air pada waktu pagi dan sore hari tapi juga malam hari. Tabel 7. Capture history banteng terhitung tanggal 01 – 14 November 2013. Tanggal



Jam



Jenis kelamin



Jml



Kode Foto



Keterangan



Kub. Talpat-1 01112013



7:16:16 PM



Betina dewasa



1



1876



01112013



7:17:40 PM



Anak



1



1879



03112013



4:11:10 AM



Betina dewasa



2



03112013



4:11:10 AM



Anak



2



03112013



4:48:32 AM



Betina dewasa



2



2083



Jantan muda



1



2113 s/d 2184



2:50:54 AM



Anak/remaja



2



2190



4:55:24 AM



Anak/remaja



2



Betina dewasa



2



Jantan dewasa



1



Jantan dewasa



1



03112013 04112013 04112013



7:45:47 s/d 9:07:47 PM



2071



2083



06112013



7:39:55 PM



06112013



12:24:05 AM



Betina dewasa



1



06112013



12:26:28 AM



Betina dewasa



2



2854



06112013



3:48:28 AM



Betina dewasa



2



2873



Anak/remaja



2



Betina dewasa



1



Anak/remaja



1



Jantan dewasa



1



07112013 07112013



1:09:38 AM 1:21:47 AM



2838



2850



Diperkirakan sedang dalam kondisi hamil 2 betina dewasa yg sama dengan 2071 Muda: tanduk yang masih sejajar, belum melengkung masuk 2 anak/remaja yang sama dengan 2190 Jantan dewasa yang sama dengan 2113 s/d 2184 Jantan dewasa yang sama dengan 2113 s/d 2184



Aktivitas kelp 3:45:52 s/d 4:06:09 AM



2998 3022



25



Kub. Talpat-2 08112013 08112013



08112013



6:48:09 PM 6:48:42 PM



6:49:14 PM



Betina dewasa



2



Remaja



1



Jantan dewasa



2



Remaja



2



Anak



1



199



212



Salah satu anak-rmja sama dengan 199



Jantan dewasa



Kub. Kapal Selam 09112013



8:49:37 PM



Jantan tua



1



4466



14112014



10:48:00 PM



Jantan tua



1



5046



Individu yang sama dengan 4466



Kub. Curah uling 04112013



2:02:00 AM



Jantan dewasa



1



0075



11112013



1:28:035 AM



Jantan dewasa



1



0131



Individu yang sama dengan 0075



Kub. Nyamplung 08112013



18:50:18



Jantan muda



1



Ek.079



12112013



21:46:38



Jantan dewasa



1



Ek.213



Sumber : Kamera trap penelitian ajag oleh Sandy dkk. Hasil rekapitulasi dari informasi kamera trap tersebut dijadikan sebagai pendekatan metede album. Pencermatan dilakukan untuk mengidentifikasikan gambar banteng yang tertangkap kamera trap tersebut serta memastikan apakah individu-individu yang ada di beberapa foto merupakan individu yang sama atau berbeda. Berdasarkan untuk metode album menghasilkan nilai dugaan jumlah individu minimum yang ada di lansekap TN Baluran sebanyak 12 individu banteng dengan rincian menurut jenis kelamin dan kelas umur sebagaimana disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Dugaan populasi minimum banteng dengan metoda album No 1 2 3



Lokasi Talpat Kapal selam Nyamplung Jumlah



Jantan 2 1 2 5



Jumlah Betina Anak 3 4



3



4



Total 9 1 2 12



Struktur Umur, sex-ratio dan kelahiran. Berdasarkan data tersebut diatas maka populasi banteng di lansekap TN. Baluran memiliki sex-ratio global sebesar 1 : 0,60 (satu jantan untuk 0,60 betina atau dapat dikatakan 1:1). Apabila perhitungan tersebut dipilah menurut kelas umur (sex-ratio spesifik) maka ketimpangan terjadi pada kelas umur tua dan remaja dimana jumlah jantan jauh melebih jumlah betinanya. Untuk parameter laju kelahiran global diperoleh angka sebesar 14%. Jika perhitungan angka kelahiran ini hanya 26



didasarkan atas perbandingan jumlah anak terhadap jumlah betina maka akan diperoleh angka sebesar 66,67%. Ini berarti bahwa proporsi betina yang hamil relatif cukup tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju kelahiran adalah penyeimbangan angka sex-ratio melalui penambahan jumlah betina reproduktif atau pemisahan sementara sejumlah jantan tertentu. Sudah barang tentu angka-angka ini akan menjadi valid dengan asumsi proses identifikasi individu maupun pembedaan kelas umur telah dilakukan secara benar. 4.4. Metode garis transek. Luas total area Taman Nasional Baluran adalah 26.129,93 ha (terdapat perbedaan luas dilapangan dengan sk penunjukan (25.000 ha) dikarenakan ada penambahan berdasarkan Berita Acara Tata Batas Tahun 1988 terhadap Suaka Margasatwa Baluran dan BATB Mintakat hutan Bitakol oleh Dirjen PHPA), dengan intensitas sampling sebesar 0,64%, maka luasan areal yang diteliti adalah ± 167,6 ha. Diasumsikan banteng tidak menyebar merata di kawasan Taman Nasional baluran artinya tidak semua kawasan merupakan habitat banteng, maka berdasarkan frekuensi perjumpaan banteng diduga kawasan yang merupakan habitat banteng adalah sebesar ± 12.521,47 ha (47,92% dari luas total areal Taman Nasional Baluran). Pada tingkat kepercayaan 95% dengan metode Hayne, ukuran populasi banteng adalah 38±5 ekor, hasil ini tidak berbeda jauh dengan analisis menggunakan program Distance 6.0, ukuran populasi banteng di TN. Baluran adalah 32±4 ekor. Hasil inventarisasi dan monitoring



populasi banteng di kawasan



Taman Nasional Baluran dengan metode garis transek disajikan pada Tabel 9. Alikodra (1983) menyatakan populasi banteng di Jawa kurang dari 1000 ekor, dan WCMC (2005) menduga populasi banteng di Jawa dan Bali berkisar antara 700-1000 ekor. Berdasarkan pernyataan Alikodra (1983) dan WCMC (2005), maka nilai dugaan populasi dalam kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi banteng di Taman Nasional Baluran ini cukup berbeda jauh dengan kondisi populasi saat ini. Meskipun pernyataan Alikodra (1983) dan WCMC (2005) memberikan gambaran untuk keseluruhan populasi, baik di Jawa maupun Bali, namun dewasa ini hampir di seluruh taman nasional terjadi penurunan populasi yang tajam dari tahun ke tahun. Tabel 9. Ukuran populasi banteng di kawasan Taman Nasional Baluran No Jalur 1 2 3



Lokasi/Ordinat 114°24'59.936"E 7°54'27.065"S 114°20'23.497"E 7°54'18.437"S 114°19'46.479"E 7°53'30.648"S



Lebar Jalur (m) Ka 10 30 10



Ki 10 20 15



Langsung Jtn 0 0 1



Btn 0 0 0



Perjumpaan Jjk kaki



Anak 0 0 0



Jml 2 0 0



Kds baru -



Jjk feses Jml 1 0 0



Kds baru -



27



4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30



114°18'29.458"E 114°18'0.797"E 114°18'41.35"E 114°19'32.695"E 114°20'19.276"E 114°21'12.857"E 114°22'10.553"E 114°25'44.618"E 114°26'32.167"E 114°25'3.957"E 114°26'42.862"E 114°26'48.071"E 114°25'37.628"E 114°26'8.347"E 114°25'31.871"E 114°25'19.434"E 114°27'13.964"E 114°26'15.238"E 114°24'31.334"E 114°26'7.926"E 114°23'34.78"E 114°24'32.163"E 114°23'38.833"E 114°24'45.347"E 114°24'39.044"E 114°23'50.179"E 114°27'24.984"E



7°52'30.198"S 7°51'33.504"S 7°50'20.714"S 7°51'36.849"S 7°52'41.926"S 7°53'33.954"S 7°54'31.521"S 7°53'15.662"S 7°53'39.387"S 7°52'56.114"S 7°52'46.382"S 7°51'45.762"S 7°51'36.372"S 7°50'46.247"S 7°49'48.401"S 7°50'32.602"S 7°50'2.972"S 7°49'18.339"S 7°49'2.42"S 7°54'17.437"S 7°53'53.441"S 7°53'21.046"S 7°52'49.176"S 7°52'15.016"S 7°51'12.506"S 7°51'45.562"S 7°51'31.109"S



20 50 30 15 20 20 20 20 3 20 70 20 20 10 20 70 50 70 100 20 30 50 10 25 10 50 -



10 30 30 10 15 15 20 20 3 30 130 30 15 25 20 30 60 25 50 15 30 50 10 25 10 30 -



0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -



0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -



0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -



0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 1 0 1 -



baru baru lama baru baru -



0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -



lama baru -



Kepadatan populasi banteng di kawasan TN. Baluran adalah 0,51 ekor/km2, sedangkan untuk Taman Nasional lainnya yang merupakan habitat banteng mendapatkan kepadatan populasi banteng di kawasan TNAP sebesar 3,94 ekor/km2 Waluyo (2006). Angka kepadatan populasi yang didapatkan di Taman Nasional Baluran ini lebih kecil jika dibandingkan dengan kepadatan populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo. Hal tersebut dikarenakan terdapat perbedaan dalam metode pengambilan data yang dilakukan. Pengambilan data yang dilakukan oleh Waluyo (2006) adalah dengan menggunakan metode tidak langsung yaitu menggunakan jejak (kotoran dan jejak kaki), sehingga dimungkinkan terjadi perhitungan ganda terhadap pendugaan jumlah individu yang ditemukan. Meskipun demikian, perlu disadari berdasarkan angka tersebut, kiranya hal ini patut menjadi perhatian karena sebagaimana diketahui untuk populasi banteng di Taman Nasional Baluran sendiri dari tahun ke tahun mengalami penurunan jumlah populasi yang cukup signifikan. Nilai kepadatan populasi banteng pada tipe ekosistem merupakan proses penyesuaian dari berbagai faktor yaitu pemangsaan, makanan, dan faktor lainya. Alikodra (2002) menyatakan besarnya nilai kepadatan dipengaruhi oleh natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Imigrasi dan emigrasi pada tipe ekosistem merupakan bentuk penyebaran dan pergerakan banteng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan, minum, istirahat, dan mengasin. Imigrasi dan emigrasi ini dipengaruhi oleh 28



kondisi tipe ekosistem sebagai habitat banteng yaitu kerapatan vegetasi, kelimpahan jenis pakan, dan sumberdaya lainnya, misalnya air. Kepadatan populasi dapat dijadikan sebagai indikator dalam menentukan kualitas suatu habitat yang dapat memenuhi semua kebutuhan hidup banteng, baik untuk bertahan hidup maupun untuk melangsungkan reproduksinya (Alikodra 2002) dan faktor pemangsaan baik oleh perburuan manusia maupun predator alami. Dalam penelitian Alikodra (1983) kepadatan populasi banteng di Cijungkulon TNUK adalah sebesar 13,98 ekor/km2. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kepadatan banteng di TNB dengan kepadatan banteng di TNUK. Faktor yang menyebabkan rendahnya nilai kepadatan populasi banteng di TN. Baluran diduga disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1.



Faktor ketersediaan air Lokasi-lokasi sumber air tempat minum satwa di kawasan pada musim kemarau terbatas di beberapa titik yang tesebar di sepanjang hutan pantai yang merupakan mata air yang membentuk kubangan-kubangan alami. Sumber air yang lain berada di batas kawasan bagian selatan berupa aliran Sungai Bajulmati. Sungai tersebut dengan suplai air yang mengalir sepanjang tahun menjadi sumber air minum satwa alternatif yang sangat potensial sekaligus mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gangguan. Dan sumber air buatan yang ada di savana Bekol yang diharapkan ketersediaannya mampu mensuplai kebutuhan satwa sepanjang tahun. Kondisi demikian yang menyebabkan air menjadi faktor yang sangat penting mempengaruhi pola pergerakan, di mana pada kondisi ketersediaan air dan pakan terbatas di musim kemarau maka secara alami keberadaan banteng akan terkonsentrasi pada lokasi-lokasi yang menyediakan air dan pakan.



2.



Perubahan habitat. Perkembangan jumlah penduduk dengan berbagai tuntutan kebutuhan hidupnya telah memberikan tekanan dan peran besar dalam penurunan kualitas sumber daya alam. Sebagian aktivitas masyarakat di sekitar hutan (kawasan konservasi) memberikan dampak secara langsung terhadap kondisi habitat, dan sebagian lainnya secara tidak langsung telah memicu berbagai kerusakan ekologis yang akan terus menurunkan kualitas dan kuantitasnya sehingga merubah kondisi klimaks ekosistem dan pada akhirnya secara khusus juga akan merusak habitat satwa. Secara umum keseluruhan tipe ekosistem yang ada di Taman Nasional Baluran merupakan habitat satwa, dan sebagian besarnya juga merupakan habitat banteng



29



baik terkait secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan-kerusakan pada tipe ekosistem yang mengarah pada perubahan habitat tersebut diantaranya : a.



Hutan Pantai Secara umum berfungsi sebagai daerah cover banteng karena tutupan vegetasinya yang sekaligus juga berpotensi menyediakan sumber air minum dan sumber mineral bagi banteng dan satwa lainnya. Potensi kerusakan pada daerah ini diakibatkan oleh adanya aktivitas masyarakat



berupa



pengambilan



pupus



gebang,



pengambilan



madu,



perburuan satwa liar dan fragmentasi ruang gerak banteng akibat aksesibilitas manusia di daerah tersebut yang meliputi hampir keseluruhan daerah hutan pantai di kawasan Taman Nasional baluran. Pengambilan pupus gebang pada intensitas tertentu berpotensi mematikan pohon gebang yang akan mengurangi tutupan vegetasi, merubah iklim mikro, pada akhirnya dapat merubah kondisi klimaks ekosistem hutan pantai. b.



Hutan Musim Dataran Rendah Secara umum berfungsi sebagai daerah pergerakan banteng (koridor) yang sekaligus berfungsi pula sebagai feeding ground karena potensi vegetasi pakan yang ada di dalamnya. Pada hutan musim yang masih berkerapatan tinggi berfungsi pula sebagai cover ground bagi banteng seperti Evergreen (Curah Uling), daerah peralihan hutan musim dataran rendah dan dataran tinggi, serta tipe vegetasi curah. Bagi masyarakat daerah ini berpotensi menyediakan rumput,kayu bakar dan hasil hutan lainnya seperti asem, madu dan lain-lain. Aktivitas pengambilan hasil hutan tersebut merupakan potensi fragmentasi ruang gerak banteng akibat aksesibilitasnya, dan pada saat tertentu untuk mengakses tutupan belukarnya sejumlah masyarakat juga membakar lantai hutan yang berpotensi mengurangi kerapatan pohon sehingga berpotensi merubah hutan musim menjadi semak belukar.



c.



Savana Merupakan habitat utama satwa herbivora terutama banteng. Saat ini akibat invasi akasia praktis flat savana tinggal tersisa di di savana Semiang, savana Palongan dan savana Bekol yang belum pulih fungsinya dalam upaya pensavanaan kembali pasca invasi akasia.



30



Secara ekologis hal ini juga merupakan fragmentasi habitat sehingga mempengaruhi ruang gerak, pola perilaku (makan, space area untuk interaksi sosial koloni banteng) dan pola pergerakannya. 3.



Faktor Gangguan dan Ancaman a.



Aktivitas Predasi Sebagai satwa karnivora di kawasan TN Baluran, ajag mempunyai peran yang penting sebagai pemangsa (predator) yang tentunya dalam rantai makanan mempunyai hubungan prey - predator dengan satwa liar lainnya, dalam hal ini termasuk mamalia besar. Keberadaan satwa predator akan menjadi masalah apabila ada peningkatan populasi predator yang tidak seimbang dengan pertumbuhan satwa prey. Hal ini diindikasikan muncul di kawasan TN Baluran, walaupun tidak dilakukan sensus khusus bagi ajag, akan tetapi nampak adanya peningkatan populasi dengan peningkatan perjumpaan langsung oleh petugas ditengarai sejak tahun 2001. Dari hasil perjumpaan satwa ajag pada periode tahun 2006-2007 dijumpai jumlah ajag antara 1 – 30 ekor. Begitu juga dari laporan ditemukannya satwa korban serangan ajag yang beberapa kali ditemui petugas. (Anonimous, 2005). Aktivitas ajag di daerah-daerah konsentrasi banteng terutama di savana Bekol sangat mempengaruhi pola pergerakan dan perilaku banteng, di mana hal demikian menuntut



pola adaptasi banteng yang secara alami akan



menghindari wilayah jelajah ajag. Sampai saat ini dari laporan perjumpaan masih menunjukkan intensitas aktivitas ajag masih cukup tinggi di savana Bekol sehingga berdampak belum nampak aktivitas banteng yang cukup signifikan di savana Bekol meski ketersediaan komponen habitat seperti air dan pakan telah dioptimalkan melalui upaya pembinaan habitat. b.



Aktivitas manusia Berbagai aktivitas manusia yang termasuk di dalamnya aktivitas pengelolaan oleh petugas, aktivitas wisata, dan aktivitas masyarakat baik pengambilan hasil hutan maupun perburuan tidak seluruhnya secara langsung menekan laju populasi banteng. Akan tetapi secara umum keberadaan aktivitas tersebut berkaitan dengan tingkat sensitivitas banteng mempersempit ruang gerak banteng terutama dalam aktivitasnya mengakses komponen-komponen habitatnya. Sehingga kondisi demikian akan semakin kompleks pada saat musim kemarau dimana ketersediaan air dan pakan yang terbatas akan merubah wilayah jelajah dan pola pergerakan banteng, yang kemudian masih 31



dibatasi lagi ruang geraknya oleh adanya faktor-faktor gangguan dan ancaman yang berasal dari satwa predator dan aktivitas manusia. Berikut berbagai aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Baluran : Tabel 10. Aktivitas pengambilan hasil hutan oleh masyarakat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11



Hasil hutan yang dimanfaatkan Biji Acacia nilotica Buah asam (Tamarindus indica) Bekicot Tanduk dan tulang mamalia besar Telur semut/angkrang Madu Bulu dan telur merak Pengambilan kayu dan rencek Pencari gadung Memancing Pencari rumput



Waktu (periode bulan…) Juli – Oktober Juni – Agustus Januari – Mei Januari – Desember Januari – Desember (Musim tumbuhan berbunga) Nopember – Januari Sepanjang tahun Juli – Oktober Musiman Sepanjang tahun



Dari tabel diatas maka dapat diketahui bahwa aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan atau pengambilan hasil hutan di dalam kawasan berlangsung sepanjang tahun dan tersebar pula di seluruh kawasan termasuk habitat banteng. Sehingga diperlukan upaya pengendalian aktivitas tersebut di dalam kawasan untuk mengakomodir habitat dan kelangsungan hidup banteng. Secara umum baik aktivitas predasi maupun aktivitas manusia memiliki potensi mengganggu dan menekan ruang gerak banteng sehingga menyebabkan pola pergerakannya menjadi tidak teratur dan selalu berubah, sehingga menyulitkan dalam upaya pemantauan maupun upaya pembinaan populasi dan habitatnya.



32



V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari kegiatan sensus banteng pada tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Monitoring populasi banteng di Taman Nasional Baluran dilaksanakan dengan pendekatan pengamatan terkonsentrasi (Concentration count) dan Jalur (transect). 2. Pengamatan terkonsentrasi dilaksanakan di 17 titik berupa sumber air minum satwa dengan rencana 3 hari (ulangan), hanya terlaksana 2 hari (ulangan) dikarenakan factor cuaca hujan pada hari ke-2. Hasil pengamatan terkosentrasi diperoleh 2 ekor banteng jantan tercatat dalam 2 hari pengamatan di kubangan Kapal selam (bekol) dan kubangan Nyamplung. 3. Kendala yang dihadapai dalam kegiatan pengamatan terkonsentrasi terutama factor cuaca, karena beberapa hari sebelum kegiatan berlangsung, telah turun hujan dengan intensitas rendah, akan tetapi hal tersebut telah menyediakan sumber air bagi satwa selain di kubangan/sumber air minum titik konsentrasi. 4. Hasil klarifikasi berdasarkan kamera trap yang dipasang (metode album), diperoleh tangkapan kamera di titik talpat (9), kub. Kolam renang(1), kub. Nyamplung(2) dengan jumlah 12, dengan proporsi jantan(5) : betina(3) : anak(4). 5. Pengamatan secara sampling dengan metode jalur (transect), ditetapkan sebanyak 30 lokasi yang tersebar di areal studi (wilayah yang di asumsikan sebagai habitat banteng di TN baluran hingga saat ini) seluas 167,6 ha. Hasil dengan metode Hayne, ukuran populasi banteng adalah 38±5 ekor. Kepadatan populasi banteng di TN Baluran adalah 0,51 ekor/km2. 5.2. Saran 1. Kegiatan monitoring banteng di Taman Nasional Baluran diharapkan dapat dilaksanakan secara kontinyu sehingga dapat diperoleh data yang series serta sebagai upaya menguji metode yang paling sesuai. 2. Perencanaan kegiatan monitoring populasi banteng direncanakan lebih baik lagi. Berdasarkan waktu tidak mepet di akhir tahun dan berdasarkan musim tidak menjelang musim hujan. 3. Perlunya pengadaan kamera trap sebagai pengganti pengamat diam, sehingga record data lebih akurat, tidak terganggu keberadaan pengamat. 33