Larangan Dalam Jual Beli [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermu’amalah antara satu dengan yang lainnya. Mu’amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu’amalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari Rasulullah SAW, sebagaimana Rasulullah SAW sendiri sudah terbiasa berdagang semenjak belia. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta telah diatur dalam ajaran agama islam, salah satunya dalam jual beli. Dalam jual beli sendiri, semua urusannya yang diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dengan hukum islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Al-Qur’an dan hadits yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan keprihatinan, dimana kini banyak aktivitas hidup yang yang dijalani umat manusia, khususnya Indonesia cenderung banyak meninggalkan nilai-nilai atau etika yang sesuai dengan ajaran islam, terutama dalam jual beli. Padahal pada hakikatnya Rasulullah bersabda bahwa perdagangan merupakan suatu lahan yang banyak mendatangkan keberkahan, dimana hal ini dapat memberikan banyak keuntungan. Namun, pada dasarnya manusia juga harus memahami tentang batasan-batasannya dalam ajaran islam. B. Rumusan Masalah 1. Apakah penyebab dilarangnya suatu jual beli ? 2. Bagaimanakah macam-macam jual beli yang dilarang ? 3. Apakah hikmah menghindarkan diri dari kegiatan jual beli yang diharamkan ? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui penyebab dilarangnya suatu jual beli. 2. Mengklasifikasi macam-macam jual beli yang dilarang. 3. Mengetahui hikmah menghindarkan diri dari kegiatan jual beli yang diharamkan.



1



BAB II PEMBAHASAN A. Penyebab Dilarangnya Suatu Jual Beli Pada dasarnya hukum jual beli adalah mubah, tetapi terdapat suatu penyebab tertentu yang menyebabkan hukum jual beli menjadi dilarang. Adapun penyebab tersebut, di antara lain : 1. Jual beli yang dilarang dengan sebab yang berakad (penjual dan pembeli) 2. Jual beli yang dilarang dengan sebab yang shigat akad/ kontrak 3. Jual beli yang dilarang dengan sebab yang objek jual beli (ma’qud ‘alaih) 4. Jual beli yang dilarang dengan sebab ada sifat atau larangan berdasar sebab lainnya B. Macam-Macam Jual beli yang Dilarang dalam Islam 1. Jual beli yang dilarang dengan sebab yang berakad (penjual dan pembeli) a. Jual beli orang gila dan sedang mabuk b. Jual beli anak kecil baik yang sudah tamyiz maupun tidak, sampai baligh. Para ulama sepakat bahwa jual beli anak kecil yang belum tamyiz tidak sah, namun yang sudah tamyiz tapi belum baligh ada yang mengatakan jual belinya sah ada juga yang mengatakan tidak sah. Penulis berpendapat bahwa jual beli anak kecil yang sudah tamyiz namun belum baligh adalah sah jika mendapat izin dari orang tua/wali namun jika tidak mendapat izin maka tidak sah. Oleh karena itu seorang anak kecil yang sudah tamyiz (dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya), adapun usia tamyiz adalah 7 tahun, namun belum baligh maka jual belinya adalah sah apabila ia mendapat izin dari orang tua/wali dan karena menempati tempat orang tua. Namun, jika tidak ada izin wali/orang tua maka jual belinya tidak sah. c. Jual beli terpaksa Suatu jual beli yang dilakukan dengan pemaksaan menjadi haram, bilamana pemaksaan itu menghilangkan keridhoan yang merupakan syarat sah jual beli. Tetapi apabila keridhoan syara’ menggantikan keridhoannya maka akad jual beli ini sah, seperti diancam akan dibunuh atau dipukul atau memaksa menjual rumah untuk memperluas mesjid, jalan, atau kuburan. d. Jual beli talji’ah (berlindung). Seperti seseorang takut serangan orang zalim atas sebagian apa yang dimiliki. Ia pura pura membelinya untuk menyelamatkan hartanya. Akad seperti ini tidak sah karena dia penjual dan pembeli tidak bermaksud jual beli 2. Jual beli yang terlarang dengan sebab sighat akad/kontrak a. Jual beli yang tidak ada kesepakatan ijab dan qabul b. Jual beli dengan korespondensi atau utusan Jual beli ini sah selama masih berada dalam masjlis (tempat menjual dan membeli, pen). Jika ijab dan qabul terjadi setelah mereka berpisah dari majelis maka tidak sah akadnya. c. Jual beli dengan orang yang tidak ada pada majlis akadnya adalah tidak sah. Misalnya, membeli krupuk pada sebuah warung saat penjual tidak ada. 3. Jual beli yang terlarang dengan sebab m’aqud ‘alaih Ma’qud ‘alaih adalah barang yang dijual, dan harga (alat tukar). Jual beli yang dilarang dengan sebab ma’qud ‘alaih ada lima macam: a. Adanya unsur gharar (penipuan) dan jahalah (ketidak tahuan) 2



Menurut bahasa al-gharar berarti al-akhtar yaitu sesuatu yang berbahaya, maka Gharar bermakna penipuan secara batil. Menurut syara’ gharar yaitu sesuatu yang tidak diketahui (majhul) benar atau tidaknya, atau jual beli dipermukaannya menarik tetapi di dalamnya belum dapat diketahui, artinya belum dapat diprediksi. Menurut Ibn Rusyd, gharar ditemukan dalam akad-akad jual beli ketika penjualnya dirugikan akibat ketidaktahuannya mengenai harga, atau akibat ketidaktahuannya tentang criteria penting dalam akad, barang yang ia jual, kualitas barang maupun waktu penyerahan barang itu.1



ْ ‫ع ْن بَيْعِ الغ ََر ِر َو‬ ‫صاةِ (رواه مسلم و أحمد‬ ُ ‫نَ َهى َر‬ َ ‫سو ُل هللا صلى هللا عليه و سلم‬ َ ‫عن بَيْعِ ال َح‬ )‫و أصحاب السنن عن ابي هريرة‬



“Rasulullah SAW telah melarang jual beli gharar dan jual beli hashat (melempar kerikil).” (HR. Muslim, Ahmad dan Ashab Sunan dari Abu Hurairah) Ada penyebab terjadinya gharar, yaitu: 1) Ketidak jelasan shighat aqad 2) Ketidak jelasan klasifikasi harga dan barang Menjual barang yang tidak kelihatan hukumnya tidak boleh/tidak sah. Boleh/sah menjual sesuatu yang suci dan bermanfaat dan tidak diperbolehkan/tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak bermanfaat.2 3) Ketidak jelasan takarannya 4) Tidak mengetahui temponya jika di dalam akad tersebut terdapat unsur tempo yang disyaratkan 5) Adakalanya juga karena tidak mengetahui wujud barang 6) Sulit menguasai barang, sehingga sulit untuk diserahterimakan 7) Gharar kadang juga disebabkan karena tidak mengetahui sifat selamatnya barang, yakni utuhnya barang Adapun beberapa jenis jual beli yang mengandung gharar, yaitu :. 1) Jual beli mudhomin, yaitu jual beli hewan yang masih dalam perut induknya. Misalnya menjual janinnya janin ternak yang masih ada dalam kandungan. 2) Jual beli mulaqih, yaitu jual beli dimana barang yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan (mani hewan) untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak. 3) Jual beli buah yang belum masak/siap dituai 4) Jual beli ‘urbun (hilangnya uang muka) Jual beli ‘urbun adalah seseorang membeli satu komoditi dengan terlebih dahulu membayar uang muka atau uang panjar. Jika si pembeli jadi melakukan transaksi maka uang muka atau uang panjar termasuk ke dalam harga komoditi itu, sehingga apabila ia membatalkan jual beli, maka uang panjarnya atau uang muka tersebut hilang. Dalam sebuah hadits yang melarang jual beli semacam ini, yaitu :



ُ ‫ع ْم ِرو ب ِْن‬ ُ ‫ب عن أَبِ ْي ِه عن َج ِد ِه أ َ َّن َر‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ َ ‫سو ُل هللا صلى هللا عليه و سلم نَ َهى‬ َ ‫عن‬ ِ‫ع ْن بَيْع‬ )‫ و ابن ماجه‬,‫ أبو داود‬,‫ان (مالك‬ ِ ‫العُ ْر َب‬ “Rasulullah melarang jual beli urban.” (Imam Malik, Abu Daud, dan Ibnu Majah)



1 2



Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Dar al-Jiil Beirut, 2002), Jilid 2, hlm 746. Imam Ahmad bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya: al-Hidayah), hlm 30.



3



5) Jual beli hashat Jual beli hashat adalah suatu transaksi dimana si penjual atau si pembeli bersepakat atas jual beli barang atau tanah dengan harga tertentu berdasarkan lemparan batu. Dalam sebuah hadits yang melarang jual beli semacam ini, yaitu :



ْ ‫ع ْن بَيْعِ الغ ََر ِر َو‬ ‫صا ِة (رواه مسلم و أحمد‬ ُ ‫نَ َهى َر‬ َ ‫سو ُل هللا صلى هللا عليه و سلم‬ َ ‫عن بَيْعِ ال َح‬ )‫و أصحاب السنن عن ابي هريرة‬



“Rasulullah SAW telah melarang jual beli gharar dan jual beli hashat (melempar kerikil).” (Riwayat Muslim, Ahmad dan ashab sunan dari Abu Hurairah)3 Bentuk jual beli ‘urbun dan hashat, termasuk juga mulamasah dan munabazah, mengandung unsur gharar dalam sighat aqadnya, yaitu jual beli dikaitkan dengan lemparan kerikil atau sentuhan maupun lemparan suatu benda.4 6) Jual beli mu’allaq (bergantung) Jual beli mu’allaq adalah suatu transaksi jual beli dimana keberlangsungannya tergantung kepada transaksi lainnya yang disyaratkan. Misalnya, kata seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli “Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian jika si fulan menjual rumahnya kepada saya.” Kemudian calon pembeli menjawab “Saya terima.” Gharar semacam ini adalah pada ketidakjelasan jual beli pada transaksi kedua yang dijadikan ta’liqnya (penggantungan). 7) Jual beli mudhaf Jual beli mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli untuk masa yang akan datang. Misalnya, kata si penjual kepada pihak pembeli “Saya jual rumah saya kepada anda pada awal tahun depan.” Si pembeli menjawab “Saya terima.” Kondisi ghararnya terletak dari situasi harga yang tidak jelas pada tahun yang akan datang, harga bisa naik dan bisa juga turun, maka dalam transaksi semacam ini. 8) Jual beli tsunaya, yaitu jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas. 9) Jual Beli Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabazah dan Muzabanah Larangan tentang keempat jenis jual beli ini telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ra, sebagai berikut:



‫ع ِن ْال ُم َحاقَلَ ِة‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّهُ قَا َل نَ َهى َر‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ُ‫ى هللا‬ ِ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ َر‬ َ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫ض‬ ْ ْ ْ ْ ‫س ِة َوال ُمنَابَذَةِ وال ُمزَ ابَنَ ِة – رواه البخارى‬ َ ‫َوال ُمخَا‬ َ ‫ض َرةِ َوال ُمالَ َم‬



“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli alMuhaqalah, al-Mukhadharah, al-Mulamasah, al-Munabazah dan jual beli alMuzabanah.” (HR. Al-Bukhari)



Adapun pengertian dari kelima jenis jual beli tersebut adalah;



a) Jual beli Muhaqalah, yaitu jual beli buah-buahan yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan.



3 4



Ibdalsyah dan Hendri Tanjung, Fiqh Muamalah, (Bogor: Azam Dunya), hlm 74. Ibid.



4



Jenis jual beli ini bisa dengan cara sewa menyewa tanah, baik berbentuk sawah, kebun maupun berbentuk tambak dengan cara hasilnya nanti dibagi antara pemilik tanah dengan penyewa tanah. b) Jual beli mukhadharah, yaitu pengadaan jual beli buah-buahan yang masih berada di atas pohon yang belum diketahui secara pasti kualitas (baikburuknya) buah yang masih diatas pohon itu pada saat terjadinya musim panen. c) Jual beli mulamasah, yaitu mengadakan jual beli dengan cara menyentuh barang yang akan diperjual belikan dengan tanpa melihat barangnya. Ketika kedua belah pihak penjual dan si pembeli melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu komoditi. Kemudian apabila calon pembeli menyentuh komoditi tersebut, baik disengaja atau tidak sengaja, maka dia harus membeli barang tersebut tanpa meminta persetujuan si pemilik barang. Dalam sebuah hadits yang melarang jual beli semacam ini, yaitu :



‫ع ِن‬ ُ ‫ أ َ َّن َر‬: ‫حديث أ َ ِبى ُه َري َْرة َ رضي هللا عنه‬ َ ‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه و سلم نَهى‬ )‫ (اخرجه البخاري‬.ِ‫سةِ َو ال ُمنَابَذَة‬ َ ‫ْال ُمالَ َم‬



“Abu Hurairah ra. berkata : sesungguhnya Rasulullah SAW melarang mulamasah dan munabadzah.” (Dikeluarkan Bukhori) d) Jual beli munabazah, yaitu jual beli dengan cara melemparkan barang yang akan dijual belikan dengan tanpa memeriksanya kembali. Barang yang terkena lemparan, harus dibeli. Maksud jual beli ini ialah dimana si penjual berkata kepada si pembeli, “Jika saya lemparkan sesuatu kepada anda, maka transaksi jual beli berlangsung di antara kita”. e) Jual beli muzabanah, yaitu mengadakan jual beli kurma basah dengan kurma kering yang masih berada di atas pohon. Hal ini juga berlaku terhadap semua jenis buah-buahan lainnya, sehingga taksiran perbedaan volume (baik secara kuantitas maupun kualitas) antara yang basah apabila telah kering tidak dapat diketahui. Dengan melihat definisi dari kelima jenis jual beli yang dilarang tersebut, dapat difahami bahwa di antara faktor yang menyebabkan dilarangnya praktek jual beli tersebut antara lain; faktor jahalah (kesamaran atau ketidaktahuan) terhadap kuantitas dan kualitas barang, tidak memberikan kepastian, adanya unsur maisir (spekulasi yang tidak dibenarkan), mengandung unsur riba, kezhaliman terhadap salah satu pihak yang bertransaksi, berpeluang menimbulkan penyesalan dari salah satu di antara dua belah pihak karena dapat menyebabkan kerugian bahkan dapat memunculkan ketidak harmonisan karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dihadapinya. Faktor-faktor tersebut dapat dibuktikan, salah satunya ialah pada praktek jual beli Muzabanah. Secara substantif, definisi jual beli Muzabanah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama adalah; setiap jual beli barang yang tidak/belum diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya kemudian ditukar dengan barang lain yang sudah jelas timbangan atau jumlahya. Seperti; menukar kurma atau padi/beras yang sudah ditimbang dengan kurma atau padi yang masih berada di pohonnya. Dalam praktek seperti ini terdapat beberapa unsur larangan seperti; adanya unsur riba, karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang yang sejenis harus dengan cara tunai dan 5



takaran yang sama. Pada contoh praktek tersebut juga terdapar unsur kezhaliman karena dapat merugikan salah satu pihak, serta adanya unsur maisir, karena adanya ketidakpastian dan spekulasi yang dilarang. Oleh sebab itu, Rasulullah saw menegaskan dalam hadis lain dari sahabat Abdullah bin Umar ra;



َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ َّ ‫ي‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ ‫ع ْن ا ْل ُمزَ ابَنَ ِة‬ ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أ َ َّن َر‬ َ ‫سلَّ َم نَ َهى‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ َ ‫ع ْن‬ َ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ْ ْ َّ ُ ‫ا‬ ‫ا‬ َّ ‫َوال ُمزَ ابَنَة بَ ْي ُع الث َم ِر بِالت َّ ْم ِر َكيْال َوبَ ْي ُع‬ ‫ب بِال َك ْر ِم َكيْال – رواه البخاري ومسلم‬ ِ ‫الزبِي‬



“Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw melarang Al Muzaabanah. Al Muzaabanah adalah menjual kurma matang dengan kurma mentah yang ditimbang dan menjual anggur kering dengan anggur basah yang ditimbang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) b. Adanya unsur riba Riba , secara bahasa bermakna : ziyadah ( tambahan ). Dalam arti lain, secara linguistik,riba juga berarti tumbuhdan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.5 Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya dalam Q.S An-Nisa ayat 29 yang berbunyi :



﴾٢٩﴿ِ...ِ‫يَاِأَيُّ َهاِالَّذينَ ِآ َمنُواِْالَِت َأ ْ ُكلُواِْأ َ ْم َوالَ ُك ْمِبَ ْينَ ُك ْمِِب ْالبَاطل‬



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil....” Riba ini bermakna dua kesempatan dalam satu aksi.6 Rasulullah SAW bersabda :



)‫ (الترمذي‬.ٍ‫ع ْن َب ْيعَتَي ِْن في بَ ْي َعة‬ ُ ‫عن أبي ُه َري َْرة َ قَا َل نَ َهى َر‬ َ ‫سو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬



“Rasulullah telah melarang dua kesempatan dalam satu transaksi.” (AtTirmidzi) Misalnya, seorang pedagang berkata “Saya jual kepada Anda rumah huni 100 juta kontan dan saya beli lagi 120 juta dari Anda dengan kredit.” Bila anda mengatakan “Saya terima.” Maka akad ini tidak diperbolehkan, karena yang terjadi sebenarnya adalah tidak adanya perpindahan uang dan barang seperti dalam transaksi di atas. Dalam transaksi ini, rumah tetap milik saya, dan uang jadi milik Anda sebesar 100 juta, dan kewajiban hutang adalah 120 juta. Ini temasuk riba yang disebut “bay’ alinah) 1) Macam-macam Riba Secara garis besar, riba dikelompokan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli.7 Riba utang piutang terdiri atas : a) Riba Qardh Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang di syaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh). Contohnya, Pak shaleh butuhuang tunai maka ia meminta pinjaman kepada pak khalid sebayak 50



5



Muhammad Syafi’I Antonnio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm 37. Ibdalsyah dan Hendri Tanjung, Fiqh Muamalah, (Bogor: Azam Dunya), hlm 75. 7 Muhammad Syafi’I Antonnio, Op.cit., hlm 41. 6



6



juta rupiah, yang akan di bayar setelah satu tahun. Pak agug menyanggupi dengn syarat di kembalikan sebesar 55 juta rupiah. b) Riba jahiliyyah Riba jahiliyyah adalah Utang di bayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang di tetapkan. Contohnya, Pak shaleh membeli mobil pak khalid seharga 50 juta rupiah yang akan dilunasi dalam waktu tiga tahun. Tatkala jatuh tempo pembayaran pak shaleh tidak memiiki uang untuk membayar, maka pak khalid berkata, “ aku beri tenggang wakyu satu tahun lagi dengan syarat hutang bertambah 55 juta rupiah.” Tambahan yang 5 juta itu yang dinamakan dengan riba. Riba fadhl. Adapun Riba jual beli terdiri atas : a) Riba fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang di pertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Contoh : (1) Menukarkan satu gantang kurma jenis sukari dengan dua gantang kurma jenis barhi dengan cara tunai. (2) Menukarkan 100 gram emas baru dengan 200 gram emas usang denga cara tunai. (3) Menukarkan Rp.10.000,- kertas dengan Rp. 9.800,- logam dengan cara tunai. a) Riba nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang di pertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan.perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian . Contoh : (1) Menukarkan satu gantang kurma dengan satu gantang gandum dengan cara tidak tunai. (2) Menukarkan 100 gram emas dengan 100 gram emas dengan cara tidak tunai. (3) Menukarkan Rp.100,- dengan Rp. 2000,-dengan cara tidak tunai. 2) Benda-benda yang telah di tetapkan ijma’atas keharamanya karena riba ada enam macam yaitu : a) Emas b) Perak c) Gandum d) Syair e) Kurma f) Garam 3) Hukum dan dalil Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba hukumnya haram, karena riba adalah usaha yang haram menurut syariat Islam, sesuai dengan Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :



ْ ُ‫ِّللا‬ ﴾٢٧٥﴿...‫ِالربَا‬ ‫ِو َح َّر َم ه‬ ‫وأ َ َح َّل ه‬... َ ‫ِالبَ ْي َع‬ َ



7



“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ……” Allaha SWT telah memberikan isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 161 yang berbunyi :



ِ‫ع َذابًاِأَلي ًما‬ ‫َوأ َ ْخذه ُم ه‬ َ ِ‫ِِوأ َ ْعت َ ْدنَاِل ْل َكافرينَ ِم ْن ُه ْم‬ َ ِْ‫اِوقَدِْنُ ُهوا‬ َ ‫ُِوأ َ ْكله ْمِأ َ ْم َوالَِالنَّاسِب ْالبَاطل‬ َ ‫ع ْنه‬ َ َ‫ِالرب‬ ﴾١٦١﴿



“Dan disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” c. Adanya unsur yang dapat merugikan dan penipuan Di antara bentuk-bentuk jual beli yang diharamkan karena mengandung kezhaliman dan penipuan yaitu : 1) Jual beli najsy Najsy secara bahasa berarti mempengaruhi (membangkitkan). Sedangkan menurut terminologi, najsy berarti jika seseorang meninggikan harga sebuah barang, namun tidak bermaksud membelinya, melainkan hanya untuk membuat orang lain tertarik dengan barang tersebut sehingga dia terjebak di dalamnya, atau dia memuji komoditas tersebut dengan kelebihan yang sebenarnya tidak dimiliki komoditas tersebut dengan tujuan untuk promosi belaka. Menurut pengertian yang lain secara istilah memiliki beberapa bentuk, yaitu : a) Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak berniat untuk membeli, baik ada kesepakatan sebelumnya antara dia dan pemilik barang atau perantara, maupun tidak. b) Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya. c) Penjual berkata “Harga pokok barang sekian.” Padahal dia berdusta.8 Najsy menurut syara’ berarti penambahan pada barang, dan ini terjadi atas pembuatan penjual, maka keduanya menanggung dosa, atau dengan ibarat yang lain, penambahan pada harga pada barang yang ditawarkan untuk dijual tapi bukan dengan maksud untuk membelinya, hanya untuk membuat orang lain tertarik. Hal ini disebut jual beli najsy, karena dia membangkitkan kemauan pembeli dan mengangkat harganya, para ulama sepakat bahwa pelaku najsy adalah pelaku maksiat.9 Najsy dengan seluruh bentuk di atas hukumnya haram, karena merupakan penipuan terhadap pembeli walaupun hukum akad jual beli tetap sah dan pembeli berhak memilih antara mengembalikan barang atau meneruskan akad jika harga barang yang dibelinya lebih mahal dari harga pasaran. Rasulullah SAW bersabda: ‫ نهى النبي صلى هللا عليه و سلم عن النجش‬: ‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما قال‬ “Dari Ibn Umar, ia berkata ‘Rasulullah melarang najsy.” (HR. Bukhori Muslim)10 8



Yusuf Al Subaily, Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Pasca Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh, hlm 20. 9 Wahbah Zulhaili, Fiqh Muamalah Perbankan Syariah (Al Fiqhu Islam wa Adillatuhu), (Jakarta: Kapita Selekta, 1999), hlm 83-91. 10 Shahih Bukhori dan Muslim dalam software Maktabah Syamilah.



8



2) Jual beli ikhtikar (penimbunan barang) Ihtikar berasal dari kata hakara yang berarti az-zulm (aniaya) dan isa’ almu’asyarah (merusak pergaulan). Secara istilah berarti menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga.11 Apabila terjadi, maka timbunan tersebut harus dijual dan keuntungannya kemudian disedekahkan. Hal ini bertujuan untuk memberi pelajaran kepada pelaku tersebut. Namun, jika tidak mau maka pemerintah berhak untuk menghukum mereka.12 Karena pada dasarnya penimbunan barang ini akan menimbulkan kemudharatan terhadap masyarakat sehingga hokum jual beli ini ialah haram. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 279 yang berbunyi :



َِ‫ِوال‬ ُ ‫ِو َر‬ ٍ ‫فَإنِلَّ ْمِت َ ْف َعلُواِْفَأ ْ َذنُواِْب َح ْر‬ ‫بِ همنَ ه‬ ُ ‫ِوإنِت ُ ْبت ُ ْمِفَلَ ُك ْم‬ ُ ُ‫ِرؤ‬ َ َ‫وسِأ َ ْم َوال ُك ْمِالَِت َْظلِ ُمون‬ َ ‫سوله‬ َ ‫ِّللا‬ ْ ُ‫ت‬ ﴾٢٧٩﴿َِِ‫ظلَ ُمون‬



“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba). Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu, dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Syarat ihtikar diharamkan bilamana terdapat dua hal, yaitu : a) Melakukan ihtikar pada saat harga melambung, adapun menimbun barang pada waktu harga murah tidak dinamakan ihtikar. b) Barang yang ditimbun merupakan hajat orang banyak dan mereka terimbas dengan tindakan tersebut, seperti makanan pokok, bahan bakar, material bangunan, dan lainnya. Adapun barang yang tidak termasuk kebutuhan pokok maka tidak diharamkan menimbunnya.13 3) Jual beli ghisyhy Ghisysy merupakan suatu cara menyembunyikan cacat barang atau dengan cara menampilkan barang yang bagus dan menyelipkan diselanya barang yang jelek.14 Kecurangan perbuatan yang disengaja untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain, misalnya seseorang yang membuat pernyataan palsu, menyembunyikan atau menghilangkan bukti yang penting. Bentuk lain dari ghisysy adalah penjual menampilkan barang tidak sesuai dengan hakikatnya, atau ia menyembunyikan cacat barang, jika pembeli mengetahui hakikat barang sesungguhnya ia tidak akan membeli barang dengan harga yang diinginkan penjual. Ghisysy juga dapat diartikan mengurangi timbangan dan takaran dengan tujuan ia mendapat keuntungan dari selisih barang yang ditimbang dengan benar.15 Ghisysy bisa terjadi karena curang dalam harga. Barangnya tidak rusak, hanya karena pembeli tidak mengerti harga dan tidak cakap menawar, pembeli tertipu dengan harga yang jauh di atas harga pasar. Ini disebut oleh para ulama dengan 11



M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 200), hlm 151. 12 Azyumardi Azra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2010), hlm 161. 13 Yusuf Al Subaily, Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Pasca Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh, hlm 21. 14 Yusuf Al Subaily, Op.cit., hlm 19 15 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: Berkat Mulia Insani, 2014), hlm 138.



9



bai’ murtasil. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Muthafiffin ayat 1-3 yang berbunyi :



‫) َوإِذَا كَالُو ُه ْم أ َ ْو َو َزنُو ُه ْم‬2( َ‫ست َ ْوفُون‬ َ ‫) الَّ ِذينَ إِذَا ا ْكت َالُوا‬1( َ‫َو ْي ٌل ِل ْل ُم َط ِف ِفين‬ ْ َ‫اس ي‬ ِ َّ‫علَى الن‬ )3( َ‫يُ ْخس ُِرون‬



“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Oleh karenanya, sebagian ahli fiqh menempatkan ghisysy (penipuan, curang, dan tidak menjelaskan aib barang) dalam deretan dosa besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.16 Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi :



َّ ‫غ‬ َ ‫َم ْن‬ ‫ْس ِمنَّا‬ َ ‫شنَا فَلَي‬



“Barangsiapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami.” (HR.Muslim) 4) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar oleh orang lain Di antara bentuk jual beli yang dilarang yakni apabila sesseorang menjual sesuatu yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Misalnya, ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertantu. Lalu datang penjual lain dan menawarkan barangnya kepada pembeli dengan harga yang lebih murah atau menawarkan kepada pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Hal ini adalah perbuatan dosa, karena dapat menyebabkan ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain itu, juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Rasulullah SAW yang berbunyi :



‫اليسم أحد على سوم أخيه‬ “Janganlah seseorang menawar atas tawaran saudaranya.” (HR. Bukhori) Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku transaksi atau peminang pertama.” Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli. Lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, kemudian datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.17



d. Disebabkan oleh dzatnya haram Transaksi ini dilarang karena objek (barang atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Misalnya, jual beli barang untuk kemaksiatan, seperti minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Maka transaksi jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Contohnya, bila ada nasabah yang 16 17



Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, (Bogor: Berkat Mulia Insani, 2014), hlm 141. Deden Kushendar, Ensiklopedia Jual Beli dalam Islam, (2010), hlm 126-127.



10



mengajukan pembiayaan pembelian minuman keras kepada bank dengan menggunakan akad murobahah, maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini haram, karena objek transaksinya haram. Atau menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan menggunakannya untuk berbuat maksiat diharamkan, seperti menjual anggur kepada pabril minuman keras dan menjual senjata kepada perampok. Begitu pula akad sewa, seumpama menyewakan tempat kepada orang yang menjual barang haram, seperti kaset musik, atau menyewakan gedung kepada bank konvensional, dan lainnya. Bentuk jual beli ini merupakan kezhaliman terhadap pembeli, karena membantunya berbuat maksiat padahal seharusnya dia menasehati agar berhenti berbuat maksiat.18 Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :



ْ َ‫عل‬ ﴾٢﴿...ِ‫ِو ْالعُد َْوان‬ ‫ىِال ه‬ َ ِْ‫ىِوالَِتَعَ َاونُوا‬ َ ِْ‫وت َ َع َاونُوا‬... َ ‫علَىِالِثْم‬ َ ‫ِوالت َّ ْق َو‬ َ ‫بر‬ َ



“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” 4. Yang dilarang dengan sebab yang lainnya a. Jual beli mengandung unsur judi. Judi dalam bahasa Arab disebut dengan masyir, menurut syara’ judi adalah segala macam bentuk permainan yang mengandung untung dan rugi bagi pelakunya, jadi ada pihak yang diuntangkan dan ada pihak yang dirugikan. Pada awalnya judi belum diharamkan secara mutlak, tetapi dikatakan sebagai perbuatan yang mengandung dosa, sekalipun ada manfaatnya, namun dosanya lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Bentuk-bentuk perjudian yang berkembang di masyarakat. Banyak acara-acara televesi swasta yang mengandung perjudian, seperti Indonesia Mencari Bakat, Indonesian Idol, dan lainnya. Fenomena ini menunjukkan kita bahwa perjudian sudah dilegalisasi di masyarakat. Acara-acara hiburan tersebut dikategorikan dengan perjudian karna pendukung pesertanya mengirimkan SMS, bahkan dengan tarif yang lebih tinggi, adanya pengundian untuk menentukan siapa pemenang dan yang kalah. Lalu menang beruntung dan yang kalah merugi. MUI telah memfatwakan bahwa acara seperti sms berhadiah ini adalah termasuk kategori judi (maysir). b. Jual beli secara ‘inah Yang dimaksud jual beli secara ‘inah ialah seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo. Lalu sesuatu itu diserahkan kepada pembeli, kemudia penjual itu membeli kembali barangnya tadi secara kontan sebelum harganya diterima dengan harga yang lebih rendah daripada harga penjualnya tadi. “Dari Ibnu Umar ra. bahwa Nabi SAW bersabda : ‘Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan ‘memegangi ekor sapo (kinayah sibuk dengan urusan peternakan yang hanya keduniaan) dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’ as Shagir No. 423 dan ‘Aunul Ma’bud IX 335 No.3445)19 C. Hikmah Menghindarkan diri dari Kegiatan Jual Beli yang Diharamkan 18



Yusuf Al-Subaily, Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi Moder, Pasca Ssarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud Riyadh, hlm 22. 19 Deden Kushendar, Ensiklopedi Jual Beli Dalam Islam, 2010, hlm 114



11



Allah menjadikan setiap pengaturan ciptaannya penuh dengan hikmah. Begitupula dengan kegiatan jual beli yang terdapat hikmah di dalamnya, di antara lain : 1. Penjual dan pembeli a. Mendapat keridhaan, rahmat dan keberkahan dari Allah SWT dengan mengikut apa yang telah disyariatkan-Nya. b. Dapat bertransaksi dengan aman tanpa adanya sikap menzhalimi satu sama lain. c. Menjadikan ihsan sebagai pedoman dalam bermuamalah.20 d. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan dalam islam, sehingga terlindungi dari siksaan api neraka. e. Tidak menggunakan harta secara tidak halal. f. Menghindari dari pemalsuan dan penipuan. g. Merasa puas dengan kegiatan jual beli yang dijalankan sesuai syariat islam 2. Masyarakat a. Menghindari adanya persaingan yang tidak fair. b. Memberikan kesenangan antar sesame masyarakat dalam melakukan transaksi untuk mengambil manfaat harta dalam kehidupan sehari-hari. c. Terhindar dari penipuan dalam usaha memiliki harta. d. Menciptakan masyarakat yang memiliki rasa tanggung jawab, tenggang rasa, jujur, dan ikhlas. 3. Negara a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Nasional yang lebih baik. b. Menciptakan persaingan ekonomi yang sehat antar masyarakat.



20



Syeikh Hasan Ayob, Fiqh Muamalah, (Puchong, Sel: berlian Public, SND, BHD, Cet Pertama 2008), hlm 262.



12



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pada dasarnya hokum jual beli adalah mubah. Hanya saja bila terdapat sebab-sebab tertentu, maka hukumnya bisa menjadi haram. Adapun jual beli yang dilarang dengan sebab yang berakad (penjual dan pembeli), shigat akad/kontrak, objek jual beli (ma’qud ‘alaih), atau ada sifat maupun larangan berdasar sebab lainnya. Berdasarkan penyebab tersebut maka jual beli yang dilarang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, di antaranya; jual beli talji’ah, hashat, ‘urbun, mukhodaroh, mulamasah, muzabanah, munabadzah, mu’allq, mudhof, tsunaya, mudhomin, mulaqih, dan lain sebagainya. Dimana jual beli ini disebabkan unsur tertentu sehingga dilarang dalam islam, seperti terdapat unsur riba, gharar, penipuan, penimbunan barang, dan lainnya. Adapun hikmah dibalik pelarangan tersebut ialah, agar pelaku transaksi mendapat rahmat dan keberkahan dari Allah SWT dengan iringan yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, tenggang rasa, jujur, adil dan ikhlas yang senantiasa menanamkan aplikasi dengan mengaktualisasi prinsip syariat Islam, sehingga mencapai tujuan utama yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dalam Negara tersebut. B. Saran Sekian yang dapat penulis sampaikan. Dengan segala kerendahan hati, kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun bagi kami untuk memperbaiki kualitas makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, aamiin.



13