Latar Belakang Pemikiran Pendidikan Inklusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN PENDIDIKAN INKLUSI



Dosen Pembimbing : Dr. Nonoh Siti Aminah, M. Pd. Disusun Oleh : Fatih Zain Ramadhani Laili Nur khasanah Lulu Fajrotir R



(K2319031) (K2319051) (4201418024)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2021



Latar Belakang Pemikiran Pendidikan Inklusi Permasalahan



anak



penyandang



disabilitas



akan



terus



meningkat



seiring



meningkatnya tekanan dari lingkungan sosial. Anak penyandang disabilitas akan terus mengalami keterbatasan karena ada yang salah dengan cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Pendapat ini menunjukkan bahwa yang menimbulkan masalah sosial terhadap anak penyandang disabilitas adalah masyarakat itu sendiri yang menekan dan memberikan keterbatasan terhadap anak penyandang disabilitas. Selama ini pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas sebagai kaum yang memiliki ketidakmampuan dan keterbatasan fisik ataupun mental, yang selalu menjadi beban, tidak berguna, harus selalu dibantu dan dikasihani. Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak terkecuali anak-anak yang kurang beruntung baik dalam segi fisik maupun mental. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 1-4 menegaskan bahwa : 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; 2) Warga negara yang memiliki keterbatasan baik fisik, sosial, emosional juga berhak memperoleh pendidikan khusus; 3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhal memperoleh pendidikan layanan khusus; 4) Warga negara yang memiliki potensial kecerdasan 3 dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (Depdiknas, 2003: 20). Namun kenyataan di lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus menjadi anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian. Padahal apabila ditelusuri lebih lanjut, persoalannya bukan terletak pada faktor kecacatan yang disandang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), tetapi lebih pada faktor eksternalnya. Meskipun secara yuridis telah ada peraturan yang mengatur dan memberikan peluang akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus mereka. Menurut Ilahi (2013:18) pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak diselenggarakan di sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah dasar luar biasa (SDLB). SLB sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan sama, sehingga saat ini terdapat SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunadaksa, SLB Tunagrahita dan SLB Tunalaras. Sementara itu lokasai SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota, padahal tak hanya di ibu kota saja tidak meutup kemungkinan di seluruh daerah (kecamatan/desa) terdapat anak-anak berkebutuhan khusus. Akibatnya sebagian dari



mereka memilih tidak sekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggal. Rencana pendidikan nasional belum semua terpenuhi. Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas membuat mereka semakin kurang beruntung dan terpinggirkan. Upaya pembaharuan sistem pendidikan terus dilakukan dalam mewujudkan hak setiap anak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan sosial anak penyandang disabilitas adalah dengan pendidikan inklusi. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua yang memiliki kelainan, potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersamasama dengan peserta didik pada umumnya. Bertujuan memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Serta mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007 (Ifdlali, 2010: 03). Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Melalui pernyataan dan kesepakatan dalam Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia yaitu penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada (Abdul Rahim, 2012: 13). Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak selayaknya belajar bersama-sama tanpa melihat perbedaan antara satu dan lainnya. Dibentuknya sekolah inklusi diharapkan dapat menekan dampak yang ditimbulkan oleh sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dan kurang berutung untuk mengenyam pendidikan. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi dapat dimaknai sebagai reformasi pendidikan tanpa diskriminasi,



perjuangan persamaan hak dan kesempatan, pendidikan yang berkeadilan, dan perluasan akses pendidikan untuk semua, peningkatan mutu pendidikan, serta merupakan upaya yang sangat strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun (Suriansyah, 2012: 1). Pendidikan inklusi dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (EFA), tanpa ada seorang pun yang



tertinggal



dari layanan



pendidikan (Kustawan, 2012 : 7).



Namun dalam pelaksanaannya, pendidikan inklusi masih memiliki banyak hambatan terutama dari kalangan masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Mansour Fakih (Disampaikan pada Diseminasi Nasional “Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua” di Yogyakarta 27-28 September 1999) bahwa masyarakat memiliki label yang buruk tentang ABK yaitu sebagai anak yang tidak berguna karena memiliki perbedan kemampuan dan tidak produktif. Dengan demikian masyarakat akan menutup akses pendidikan bagi ABK. Dalam prakteknya juga sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, terutama para guru. Pendidikan inklusi memerlukan penyesuaian dan fleksibilitas di berbagai bidang, baik dalam pengajaran, sosial, perilaku maupun budaya. Maka dari itu, diperlukan adanya kesesuaian antara kurikulum, pendekatan pembelajaran, proses pembelajaran dan sistem evaluasi dengan kondisi siswa. Kurikulum yang ada harus dimodifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan



siswa.



Hal



ini



dilakukan



agar anak berkebutuhan khusus dapat



mengikuti pembelajaran seperti siswa normal lainnya (Muftuhatin, 2014 : 208).



DAFTAR PUSTAKA Abdul Rahim (2012). Inklusivitas Pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.Hlm.13. UPI. Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Fakih Mansour, Dr. (1999). Perwujudan Fasilitas Umum yang Aksesibel bagi Semua makalah disampaikan pada Diseminasi Nasional di Yogyakarta 27-28 September (2002), Makalah disampaikan dalam Temu Ilmiah PLB Tingkat Nasional. Kustawan, Dedy. 2012. Pendidikan Inklusif & Upaya Implementasinya. Jakarta: PT. Luxima Metro Media. Mohammad Takdir Ilahi. (2013). Pendidikan Inklusif .Jogjakarta: ArRuzz Media Purwanta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa