Lingkungan Hunian Dan Komunitasnya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MATERI A. Ketertarikan Pada Tempat Arsitektur merupakan sebuah lingkungan hunian termasuk faktor-faktor sosial di dalamnya memberi nilai pada sebuah tempat, hal ini juga terjadi pada rumah tinggal. Rumah akan menjadi lebih dari sekedar tempat tinggal karena rumah juga mempunyai makna dan mejadi identitas hidup individu yang dapat menyatakan status dan membentuk hubungan social (Duncan, 1986). Rumah adalah tempat untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari, namun juga dapat memicu kenangan masa lampau dan akhirnya menciptakan ikatan psikologis antara manusia dengan lingkungan (Warner, Altman, dan Oxley, 1986). Ketertarikan pada tempat dapat dipengaruhi oleh lebih dari sekedar adanya ikatan-ikatan keluarga atau sosial. Parabitan, barang antik, warisan, dan barang-barang lain seperti kendaraan juga dapat menjadi bagian dari ketertarikan. Bahkan ketertarikan terhadap sebuah rumah dan lingkungan hunian berkolerasi dengan seberapa ketertarikan pada kendaraan pribadi (Belk, 1991). Feldman (1990) menemukan bahwa ketertarikan terhadap tempat-tempat favorit tetap kuat walaupun dalam mobilitas. Jadi, bagaimana seharusnya warga menghadapi pemindahan dari tempat dimana sering terikat? Persiapan emosional yang cukup sebelum berpindah tempat tinggal (misalnya sudah punya pegalaman pindah sebelumnya), mampu mengatasi kesedihan dan mengurangi stress pada saat pindah. Banyak faktor penyebab ketertarikan pada suatu tempat. Ketertarikan pada tempat muncul sepanjang waktu sejak masa kecil hingga masa tua. Namun, kita dapat menciptakan ketertarikan yang baru dan memutuskan ketertarikan yang baru. Tetapi, ketertarikan baru bisa tidak muncul karena kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada pasien leukemia remaja yang sedang menghadapi kematian tidak akan merasakan kerasan di ruangan rumah sakit, meskipun pasien setiap hari selalu berada di ruangan tersebut. Sebaliknya, ketika pasien merasa sudah akan meninggal, adanya ikatan terhadap ruang tinggal tersebut termasuk ikatan dengan keluarga membuat si pasien memaksa untuk kembali kerumahnya dan memilih meninggal di rumah. Ruangan rumah sakit tersebut dirasa seperti kuburan dan membuat pasien menjadi sangat tertekan dan menjadi sangat stress sehingga memilih lebih baik meninggal di



rumah. Dalam hal tersebut kita dapat melihat bahwa ketertarikan pada tempat dan lingkungan fisik dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental dan suasana hati. Manusia akan cenderung memilih tempat yang membuat mereka merasa kompeten dan percaya diri, merasa berarti dan tinggal di tempat tersebut



dengan nyaman. Lingkungan yang dipilih untuk dihuni biasanya



berdasarkan adanya: keterkaitan aspek kehidupan satu dengan lainnya, pemahaman bahwa tempat hunian tersebut tidak akan membuat dia kehilangan jati diri. Preservasi, restorasi dan pengembangan lingkungan yang terpilih dianggap sebagai peningkatan wellbeing (kesejahteraan) dan efektivitas hidup manusia.



B. Kepuasan Terhadap Lingkungan Hunian Hunian memiliki berbagai macam tipe, namun tipe yang paling disukai adalah tipe rumah tunggal terpisah (Single House). Di pusat kota, bangunan yang paling sering dijumpai adalah rumah deret atau rumah dengan 2-3 lantai. Sedangkan, di beberapa daerah bangunan yang paling sering dijumpai adalah rumah bandar (Townhouse) atau ruko. Selain itu, ada juga setting apartemen yang memiliki banyak lantai. Namun, masing-masing setting memiliki perbedaan pada cara hidup para penghuninnya, perbedaan tersebut biasanya meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepadatan dan penanggulangan terhadap yang tidak diinginkan (misalnya kebisingan, keamanan, dan peraturan). Dengan banyaknya tipe hunian, maka pemilihan menjadi sangat penting. Orang Inggris dan Amerika biasanya lebih memiih rumah tunggal terpisah (Single House) sebagai rumah ideal bagi mareka di semua strata sosial. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih tinggal di rumah tunggal (Single House) yang berada di pinggir kota berdasarkan pertimbangan status sosial dan kelompok etnis, dibandingkan tinggal di apartemen. Selain itu, kelompok keluarga yang lebih tua dan mapan lebih suka memiliki rumah yang tenang dan nyaman di pinggir kota, sedangkan kelompok keluarga muda lebih suka tinggal di pusat kota. Populernya tempat tinggal di pinggir kota disebabkan oleh banyak hal, antara lain kebanggaan atas hal milik (daripada sewa di tengah



kota), tingkat pajak rendah, dan perkembangan jaringan transportasi dari/ke dalam kota (Gans, 1967). Menurut para ahli psikologi lingkungan, alasan seseorang dalam memilih rumah terletak pada kemampuan lingkungan yang dipilihnya dalam membentuk ruang fisikal dan ruang sosial. Selain itu, faktor penting dalam menentukan pilihan tempat tinggal adalah penataan ruang yang baik dan kohesivitas warga. Orang yang memilih rumah tunggal terpisah di pinggir kota yang secara tipikal memiliki struktur lingkungan lebih baik dan ruang-ruang hunian relatif lebih besar. Namun, pemilihan rumah tunggal yang tersebar di pinggir kota juga dapat mengurangi intensitas interaksi yang dilakukan dengan para tetangga karena memberikan para penghuninya ruang untuk dapat menghindar atau mengontrol karena biasanya rumah tunggal terpisah berorientasi kepada keluarga, dan bukan kepada tetangga. Selain itu, orang juga tampaknya menghargai privasi keluarga pada lingkungan seperti itu, dikarenakan rumah tunggal menawarkan rasa aman yang sesuai dengan persepsi kontrol terhadap berbagai macam interaksi sosial yang timbul. Sedangkan, warga yang tinggal di pusat kota biasanya diidentifikasikan dengan hubungan ketetanggaan yang lebih erat dan interaksi sosial pada jarak-jarak yang lebih dekat. Pemilihan tempat tinggal juga tergantung pada faktor ekonomi yang biasanya menyulitkan keluarga muda untuk membeli rumah tunggal terpisah karena pendapatan mereka yang masih terbatas dan belum memiliki tabungan yang cukup, sehingga pada akhirnya merekapun memilih apartemen sewa, rumah kontrakan, maupun rumah susun. Bahkan di Jakarta para pendatang hanya dapat mengontrak di lingkungan-lingkungan yang sangat padat dikarenakan mahalnya harga rumah di tengah perkotaan. Faktor lainnya seperti lokasi dan tipe hunian juga memengaruhi pilihan, namun faktor ekonomilah yang mendominasi dikarenakan lingkungan hunian yang dipilih dengan lokasi yang baik dan merupakan tipe hunian ideal ternyata memiliki harga yang lebih mahal daripada lingkungan hunian yang lain. Status yang melekat pada suatu tipe hunian juga sangat memengaruhi pilihan, termasuk pada rumah-rumah kuno berusia ratusan tahun. Selain itu, material bangunan juga dapat menunjukkan status kepemilikkan, misalnya rumah beton



menunjukkan status yang lebih tinggi daripada rumah kayu (Sadalla, Burroughs, dan Quaid, 1990). Namun, adapula keluarga yang lebih memilih untuk sewa rumah di pinggir kota walaupun sebenarnya mereka mampu untuk membeli sebuah rumah tunggal di lingkungan lain. Hal ini disebabkan oleh status, yaitu jika pada suatu lokasi memiliki gengsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lain, walaupun berlokasi di pinggir kota. Keamanan atau tingkat kejahatan yang rendah juga merupakan faktor lain selain kelengkapan fasilitas yang dapat membuat warga melakukan penghematan uang, waktu, dan energi karena warga tidak perlu keluar dari lingkungan hunian mereka. Meskipun secara umum sebuah rumah tunggal di pinggir kota tampak ideal, namun banyak juga orang yang cukup puas dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Hal ini menunjukkan faktor psikologis lebih penting dalam menentukan kepuasan, karena ketika seseorang merasa terbiasa dengan huniannya, maka orang itu akan mengembangkan kepuasan terhadap kemampuannya sendiri. Namun, ukuran dan denah ruangan sering menjadi masalah-masalah yang dapat memengaruhi kepuasan, seperti tidak cukupnya ruang untuk bekerja, terlalu banyaknya ruangan yang harus dibersihkan, ataupun terlalu dekat dengan keramaian. Beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan ketidakpuasan, seperti misalnya ledeng yang mampat, listrik yang sering padam, pemanas air yang rusak, serta fasilitas dapur yang buruk, hal ini sama pentingnya dengan karakteristik lingkungan sosial, seperti aspek kesukuan, tingkat kepadatan, maupun struktur masyarakat di lingkungan tersebut. Faktor-faktor fisik dan sosial jelas saling berkorelasi satu sama lain dalam menentukan kepuasan, namun terdapat perbedaan pada tiap-tiap budaya (Tognoli, 1987). Misalnya, pada suku Aborigin, ketika pindah mereka akan membawa seluruh keluarga mereka ke dalam rumah baru. Kontrol masalah sosial yang timbul biasanya dapat diatasi dengan cara pindah rumah secara kontemporer yang mudah dilakukan karena rumah tradisional dari suku Aborigin berukuran relatif kecil. Namun, dirumah modern yang berukuran lebih besar, dan banyaknya sanak keluarga yang tinggal bersama membuat mereka sulit untuk pindah dan mengakibatkan kepuasan menjadi rendah, sehingga banyak orang suku



Aborigin di kota-kota Australia memilih rumah yang lebih kecil karena alasan tersebut. Kontrol kehidupan sosial sangat berhubungan terhadap kepuasan atas hunian pada hampir semua budaya. Bagi orang Kanada yang tinggal di dalam suatu lingkungan bersama seperti apartemen, kontrol sosial lebih penting dibandingkan kontrol atas aspek fisik rumah. Di Amerika, persepsi mengenai kepuasan atas ruang bagi orang dewasa dan anak-anak yang tinggal di dalam satu rumah dengan orangtua yang sudah jompo memperlihatkan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan dengan mereka, maka semakin negatif persepsinya terhadap ruang dan lingkungan huniannya. Di wilayah perkotaan ikatan sosial sangat berperan untuk meningkatkan rasa bertetangga dan pembagian teritorial daerah ruang luar oleh para warganya. Maka, identitas kelompok dalam sebuah lingkungan berhubungan dengan personalisasi teritorial dan pola interaksi sosial (Greenbaum dan Greenbaum, 1981). Ketika para warga mampu membangun ikatan sosial dengan lingkungan huniannya, maka mereka akan memberikan perhatian lebih dalam mendekorasi bagian luar dari rumah mereka, bahkan pada ruang publik lainnya, seperti taman bermain dan menghias lingkungan pada hari-hari raya (Brown dan Werner, 1985). Ikatan ketetanggaan dan lingkungan menjadi lebih kuat pada desain li ngkungan culdesac dibandingkan dengan desain lingkungan.



Namun, kelompok remaja memiliki cara pandang terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Di Kanada, remaja yang tinggal di pinggir kota lebih terpuaskan dengan keamanan, kondisi fisik, keramahan dan ketenangan lingkungan dibandingkan dengan remaja yang tinnggal di kota. Selain itu, privasi juga



merupakan faktor penting dalam desain lingkungan dan hunian. Terdapat dua bentuk privasi dalam rumah tunggal, yaitu keluarga yang mengontrol privasi tanpa menggunakan unsur di mana sebuah ruangan dapat diartikan sebagai hak milik seseorang, dan keluarga yang menggunakan desain fisik untuk memberikan privasi dengan cara mendesain ruangan-ruangan menjadi daerah-daerah teritori tertutup yang spesifik untuk masing-masing anggota keluarga (Altman, Nelson, dan Lett, 1972). Kepribadian dan budaya adalah hal yang dapat memengaruhi seseorang dalam mengatasi gangguan dan mendapatkan kepuasan di ruangan yang mereka tempati. Seseorang yang adaptasinya lebih dekat dengan dimensi keteraturan akan lebih puas dengan ruangan yang rapi, namun seseorang yang adaptasinya lebih dekat dengan dimensi ketidakberaturan cenderung lebih nyaman dalam ruang berantakan, karena seseorang yang berada pada fase usia yang sedang tidak suka untuk diatur akan melihat ketidakberaturan sebagai suatu bentuk dari kebebasan. Dalam hal ini faktor psikososial dan faktor kultural sama pentingnya dengan faktor fisikal dalam menentukan kepuasan atas hunian. C. Back to Nature or Back to City Sejak 2002, jakarta diminati oleh masyarakat dikarenakan distribusi ekonomi yang tidak merata antar daerah serta pemikiran masyrakat pinggir kota yang mendambakan ‘surga ideal’. Oleh sebab itu, pebisnis melihat pola perkembangan penduduk ke kota semakin meningkat, strategi nya dengan membangun apartemen guna mengakomodir pendatang baru. Pada umumnya makna back to nature or city merupakan cara menjual barang dagangan para pebisnis (bisnis properti). Konsep back to the city ini untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan mengakhiri krisis ekonomi tersebut, dalam hal ini biasanya menggunakan argumentasi hemat energi, waktu, dana serta masalah psikologis masyarakat kota serta mempromote gaya hidup (life style) tinggal di apartemen. Dalam hal ini apartemen memiliki ruang publik yang terbatas bahkan adapula orang yang membuat ruang publik indoor demi memenuhi persyaratan. Kehidupan dalam apartemen itu ideal karena mengikuti prinsip lingkungan hunian ideal yang diusulkan Le Corbusier dan di kenalkan kembali oleh PruittIgoe 1972.



Pruitt Igoe merupakan proyek besar dari pemerintah kota St. Louis dimana dalam hal ini pengembang lokal ingin membuat kotanya berubah seperti Manhattan. Rencana lingkungan hunian vertikal berskala besar akan diberikan untuk menempatkan warga kota kelas pekerja. Namun dalam prosesnya, rencana tersebut kurang memperhatikan kebutuhan psikososial, preferensi, serta gaya hidup warga kota yang telah mendiami kawasan tersebut dengan adanya proyek ini dapat menjadikan tonggak lahirnya arsitektur modern serta tidak mampu menyelesaikan permasalahan manusia. Pada dasarnya arsitektur modern tersebut telah terjadi di Jakarta. Rumah susun kondisinya begitu parah, ruang publik tidak terawat dan dijadikan objek bisnis para preman, koridor gelap, kumuh, tidak sehat, dan sangat menakutkan. Tidak adanya ruang bermain untuk anak, terkadang rumah susun menjadi sarang penyamun untuk transaksi narkoba dan kriminalitas tinggi. Berbeda dengan apartemen, komplek apartemen biasanya dikelilingi pagar serta tembok tinggi yang memisah sehingga membuat disintegrasi sosial. Dalam hal ini yang dimaksud disintegrasi sosial yang dapat menghilangkan ketahanan psikososial lingkungan. Hilangnya dengan kecemburuan sosial serta kerusuhan. Adanya tembok pemisah membuat perbedaan antar 2 orang atau lebih dapat menciptakan persaingan dan perasaan curiga antar penghuni ruangan atau apartemen. Hakekat Hunian Vertikal Wujud arsitektur dapat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya masyarakat pada zamannya. Apa yang terjadi pada era saat ini, memiliki hubungan dengan era-era sebelumnya, juga memiliki relevansi waktu dengan sejarah hunian di negara lain yang lebih dulu telah memulai. Fokus dari telaah hunian vertikal adalah eksplorasi konsep hunian yang berkelanjutan (sustainability), yaitu wujud arsitektur hunian yang memiliki kecocokan (suitable) dengan karakteristik penghuni dan lingkungannya. Kondisi ideal bilamana arsitektur hunian memberi jaminan pertumbuhan sosial ekonomi dan lingkungan secara berkesinambungan. Fakta menunjukkan bahwa pembangunan hunian saat ini masih terlalu difokuskan pada pembangunan lingkungan fisik, kurang memperhatikan pembangunan sosial ekonomi masyarakatnya.



Berdasarkan lokasi/tempat (locus), sistem hunian dapat dibedakan berdasarkan sistem hunian perkotaan dan sistem hunian perdesaan. Perkotaan maupun perdesaan memiliki beberapa jenis, yang dibagi berdasarkan letak geografis, fungsi maupun sifatnya. Berdasarkan fungsi, kota dibagi atas fungsi kota jasa, kota industri, kota pendidikan, kota perdagangan, kota transit dsb. Sedangkan berdasarkan sifat kota dapat dikelompokan berdasarkan dimensi kota atau jumlah penduduk dan tingkat kepadatan kota, yang meliputi; kota megapolitan, kota metropolitan, kota besar, kota sedang, kota kecil. Perdesaan secara umum dibagi menurut desa pesisir, desa daratan dan desa pegunungan. Sedangkan berdasarkan fungsi desa nelayan, desa wisata, desa argonomi, dsb. Secara geografis, tempat (place) dapat dikenali secara tiga dimensi, yaitu arah horizontal dan arah vertikal. Pada arah vertical dapat diidentifikasikan berupa, tempat di dalam tanah, di permukaan, dan di udara. Sedangkan pada arah horizontal tempat dapat diidentifikasi berupa lautan, daratan dan pegunungan. Perkembangan kota sangat pesat, aglomerasi kota ke arah horizontal telah mengakibatkan konversi lahan-lahan produktif. Pengembangan kota ke arah horizontal menjadikan kehidupan kota menjadi tidak efisien, selain oleh faktor jarak dari satu tujuan ke tujuan lain yang lebih jauh, juga konsumsi sumber daya alam yang diperlukan akan lebih banyak untuk melakukan aktifitas di kota yang demikian. Ketidak-efisienan pembangunan kota mengakibatkan kerusakan lingkungan, karena kota mengkonsumsi sumber daya alam, pada saat pembangunan maupun operasionalisasi. Sumber daya alam yang dibutuhkan kota meliputi enerji, air, dan bahan makan, sebaliknya kota juga menghasilkan limbah, dalam bentuk sampah, polusi, emisi, air kotor, dsb. Dampak global yang saat ini sangat dirasakan adalah terjadinya pemanasan global, yang mengaibatkan temperatur bumi meningkat, dalam kurun waktu 100 tahun sejak tahun 1888 s.d 1988 meningkat 40 C. Untuk itu pertumbuhan kota ke arah horizontal harus segera dihentikan dan sebagai gantinya harus dillakukan efisiensi ruang serta memanfaatkan ruang udara untuk menampung kegiatan kota. Kawasan perumahan lebih kompak (compact city) merupakan tuntutan perumahan di perkotaan, terdapat berbagai persoalan kota yang menuntut perubahan perilaku masyarakat kota yang lebih simple dan efisien.



D. Rumahku Istanaku Hunian adalah tempat melakukan kegiatan sehari-hari dan juga bisa memicu kenangan masa lampau dan akhirnya menciptakan ikatan psikologis antara manusia dengan lingkungannya (Werner, Altman dan Oxley, 1987 dalam Halim, 2008). Sebagai warga kota sebaiknya berhenti mencari serta membandingkan berbagai lingkungan hunian dan menjadi korban iklan para pengembang (baik yang menjual Back to Nature maupun yang menjual Back to the City). Ada perbedaan cara di mana orang-orang mengatur rumah tinggal mereka, namun biasanya pola-pola tertentu terhadap penggunaan ruang bias menjadi acuan bagaimana kita bias membuat rumah menjadi istana. Mehrabian (1968) menebukan bahwa aktivitas bambaca paling umum ada di ruang tamu dan paling kurang umum di dapur dan ruang makan, walaupun dapur menjadi pusat aktivitas keluarga. Saat ini, bagi warga kota metropolitan, kamar merupakan ruangan yang paling sering digunakan di dalam rumah dan biasanya dipersonalisasi menjadi daerah semiprivate bagi seluruh anggota keluarga karena desain interior rumah bias menjadi alat untuk menciptakan interaksi sosial yang sehat bagi seluruh keluarga. Fungsi sebuah ruangan bisa memiliki implikasi penting atas desain rumah tinggal. Kamar tidur adalah ruangan pribadi, karena itu dipisahkan dari ruang yang kurang pribadi sehingga bisa ditempatkan di antara ruang tamu dan ruang dapur atau bisa diletakkan seluruh ruang tidur pada lantai yang berbeda Preferensi individu menjadi masalah bagi arsitek dan desainer yang biasanya menyamaratakan. Misalnya, kamar tidur utama memiliki ukuran yang lebih besar karena harus mengakomodasi lebih banyak fungsi-fungsi yang diinginkan di dalamnya. Jika ada kecenderungan yng meningkatkan fenomena SOHO (Small Office Homo Office) di Jakarta karena bertambahnya jumlah warga kota metropolitan yang lebih suka bekerja di rumah, sementara ukuran kamar di Jakarta cenderung mengecil karena keterbatasan lahan. Ahrentzen (1990) mengusulkan untuk membuat ruangan kerja yang terpisah dan memperketat akses ke dalamnya dengan cara membuat jadwal aktivitas di rumah.



Kamar mandi bagi kaum kosmopolitan juga menjadi objek desain yang menarik, mengingat banyak fungsi yang terjadi didalamnya. Kira (1976) mengidentifikasi lebih dari 30 fungsi dalam sebuah kamar mandi selain digunakan untuk mandi dan buang air. Setiap fungsi baru yang muncul bisa menjadi dasar kreteria desain kamar mandi bagi kaum cosmopolitan. Selain berfungsi untuk kebersihan fisik, dapat ditambah beberapa fungsi sosial di kamar mandi. Banyak orang menggunakannya sebagai tempat menyendiri ketika aktivitas sosial membuat orang lelah. Meski kamar mandi pada dasarnya adalah ruang bersama, namun bisa juga menjadi tempat pribadi untuk berdiam diri sejenak, karena itu kamar mandi dalam menyediakan privasi tidak boleh diremehkan. Pembahasan tersebut tentang ruang-ruang hunian untuk kelas menengah atas, namun, bagaimana penggunaan ruang-ruang hunian oleh kelas menengah bawah?. Hierarkin keluarga dan teritorialitasnya di dalam rumah



susun tidak dibentuk dengan penyekat fisik, tetapi dengan isyarat



territorial, ukuran badan bisa membantu menutup akses visual antar ruang. Tetapi, kesesakan dan kurangnya privasi adalah masalah yang dapat menyebabkan kesulitan belajar bagi anak dan sering ditemui dalam kehidupan rumah susun untuk warga miskin kota di Jakarta. Turner (1972) menyatakan bahwa yang terpenting dari hunian bukan wujudnya, melainkan dampak terhadap kehidupan penghuninya. Hunian tidak dapat dilihat sebagai bentuk fisik bangunan menurut standar tertentu (dweling unit), tetapi merupakan proses interaksi hunian dengan penghuni dalam siklus waktu. Konsep interaksi antara hunian dan penghuninya adalah apa yang diberikan hunian kepada penghuni, serta dilakukan penghuni terhadap huniannya.



E. KETEGANGAN DAN KOMUNITAS Ada banyak hunian yang berorientasi pada lingkungan di mana warga dapat berinteraksi. Namun, hampir semua rumah tangga ingin adanya privasi, kedamaian, ketenangan dan kebutuhan berkerja sama dengan warga sekitar untuk mewujudkan keamanan serta dukungan sosial. Pilihan lingkungan



tersebut dipengaruhi oleh keakraban dan kepekaan berkomunitas (sense of community). Hal yang mengacu pada keakraban adalah kedekatan (proksimilitas) antarhunian. Jarak antarhunian yang berbeda di perumahan atau apartemen mempengaruhi pola hubungan sosial. Ada 2 jenis keakraban yang mengacu pada hubungan sosial yang lebih baik. Pertama, semakin dekat jarak fisik antar individu semakin terlihat keduanya sebagai teman. Festinger, Schanter, dan Back (1950) melakukan studi klasik di Westgate-West untuk mengetahui pola pola pertemanan penghuni apartemen. Secara acak para penghuni diminta menyebutkan 3 penghuni yang sering berhubungan sosial dengannya, dengan hasil penghuni lebih ramah dan akrab dengan tetangga di sebelahnya. Tetapi, jarak tersebut bukan satu-satunya alasan untuk ketertarikan bertetangga. Jarak fungsional dapat menjadi prediktor yang akurat untuk melihat pertemanan. Contohnya, konsep jarak fungsional dapat menimbulkan ketertarikan antardua individu yang terpisah lima lantai, tetapi memiliki kotak surat yang bersebelahan di lobi apartemennya. Sears (1988) memberi penjelasan mengapa keakraban mendorong pertemanan, yaitu yang pertama, tidak mungkin ada pertemanan antar a individu jika mereka belum pernah bertemu dan yang memiliki kedekatan secara fisik lebih dapat dilakukan daripada mereka yang berjauhan. Kedua, karena kita mau tidak mau harus berhubungan dengan orang yang tinggal berdekatan dengan kita, maka dari itu kita harus berusaha melihat sisi baik tetangga daripada harus ada pertengkaran. Ketiga, interaksi yang berlanjut dapat menimbulkan rasa aman dan pertemanan menjadi lebih disukai. Keempat, keakraban dapat mendorong ke arah ketertarikan dan cinta (Sargert, Swap, dan Zajonc, 1973; Zajonc, 1965). Keakraban lebih mungkin mendorong ke arah ketertarikan dalam kondisi kooperatif



daripada



kompetitif.



Kondisi



kooperatif



dapat



mendorong



ketertarikan menjadi lebih efektif jika individu bersikap netral atau positif. Pertemanan dapat membentuk keakraban walaupun dapat juga menciptakan permusuhan. Ebbesen dkk (1976) menemukan bahwa, ternyata orang yang



paling dibenci adalah orang yang tinggal berdekatan, terutama ketika sebuah lingkungan pertemanan tersebut sudah mulai rusak. Aktivitas yang merugikan bisa menurunkan mutu lingkungan, warga akan senang bila memiliki kepuasaan di lingkungannya dan secara tidak langsung dapat membangun keakraban dengan tetangga di tempat tinggalnya. Kita tidak akan terganggu dengan aktivitas tetangga selama mereka tidak menggangu dengan sengaja. Masalah yang sering menjadi sumber konflik adalah ketika tetangga menciptakan gangguan suara berisik, sampah berserakan, anjing galak, vandalisme, anak anak yang usil terhadap orang dewasa dan menginjak pekarangan orang lain, memperebutkan tempat parkir, ataupun masuk tanpa izin gangguan tersebut adalah sumber sumber-sumber konflik lingkungan hunian di kota. Maka dari itu, orang lebih menyukai tunggal di pinggiran kota; seperti adanya jarak dengan tetangga, pagar untuk membatasi, lahan parkir pribadi, dan arena main yang cukup untuk anak-anak. Kita tinggal berdekatan dengan tetangga, oleh karena itu, kepekaan berkomunitas dibutuhkan maka pantaslah bila kita memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk membangun kebersamaan. Kohesi yang relatif rendah biasanya ditemukan di lingkungan hunian yang padat dengan banyak keluarga, meskipun cukup akrab, tetapi tidak memiliki kepekaan berkomunitas. Salah satu fitur desain yang cocok untuk membangun kepekaan berkomunitas yaitu adanya teras depan dengan tembok duduk seperti pada rumah-rumah peninggalan Belanda di Jakarta. Hal tersebut dapat mendorong interaksi informal dengan tetangga, sehingga menjadi peka terhadap masalah yang timbul di lingkungan tersebut. Ada faktor lain kepekaan berkomunitas yaitu tanda tanda kerusakan fisik, seperti sampah berserakan dirumah yang tidak berpenghuni atau mobil mobil yang ditinggalkan di pinggir jalan berhubungan dengan rasa takut akan kriminalitas (Perkins dan Taylor, 1996). Cara untuk menghilangkan tandatanda tersebut yaitu dengan meningkatkan kepekaan berkomunitas. Saegert (1989) memberitahu bagaimana warga Harlem menempati bangunan yang tidak terurus lalu memperbaikinya dengan gotong royong sehingga warga menjadi pemilik bangunan tersebut bersama. Faktor-faktor kepekaan



berkomunitas yang dapat ditingkatkan dalam proses kolaboratif yaitu seperti kerja sama, saling memperhatikan, dan saling melindungi sumber sumber bersama. Intervensi terhadap kepekaan berkomunitas di Jakarta dapat dilakukan dengan organisasi komunitas seperti; Karang Taruna, arisan ibu ibu PKK, dan lain lain atau juga mendirikan sebuah dewan RT, klub taman, program pengawasan lingkungan (siskamling). Kelompok tersebut dapat menciptakan rasa saling mengenal antar tetangga, meningkatkan komunikasi dan juga memberikan kesempatan kepada para tetangga yang saling berinteraksi tersebut yaitu manfaat bersama.



F. KOMUNITAS NONFISIK Para arsitek dan para perencana kota mendesain lingkungan hunian, jaringan transportasi, pusat komunitas, dan ruang-ruang terbuka dengan asumsi bagaimana interaksi terjadi sehingga hasilnya adalah hunian untuk keluarga berpenghasilan campuran (mixed income) dengan alasan bisa mendorong interaksi sosial warga apapun strata sosialnya. Bauer (1952) setiap konsep ketetanggaan selalu memiliki nilai sentimentil dan mengabaikan kecenderungan lari dari lokalisasi kelompok komunitasnya. Doxiadis (1964) berpendapat ada dimensi lain di luar komunitas yang dapat mengakomodasi minat-minat yang sama. Beberapa studi menunjukkan hubungan interpersonal pada kelompok eksekutif lebih dipengaruhi oleh status tempat mereka bekerja dan tempat klub mereka bergabung dibandingkan dengan kedekatan tempat tinggal dengan tetangga. Sebaliknya kaum imigran di Old West End-Boston yang penduduknya diidentifikasi sebagai lingkungan yang kumuh justru menciptakan aturan-aturan untuk kontak sosial sehingga dapat mempertahankan hubungan antarwarga imigran terhadap sistem kekeluargaan (kinship) yang erat dan memiliki keterikatan emosional. Jadi, ketetanggaan antara posisi Bauer dan Doxiadis, tergantung pada kelompok sosial mana yang terlibat serta dipengaruhi oleh homogenitas populasi, hubungan kekeluargaan, dan lama tinggal di daerah tersebut.



DAFTAR PUSTAKA



Supra Wimbarti, M.Sc, Ph.D. 2013. Life style dari sudut pandang Psikologi dikaitkan dengan perilaku dan lingkungan (arsitektur dan perkotaan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Arief Sabaruddin.2018. HAKEKAT HUNIAN VERTIKAL DI PERKOTAAN.UNIV TRISAKTI. HAL 11-13 Halim, K. D. (2008). Psikologi Lingkungan Perkotaan (1 ed.). Jakarta: Bumi Aksara. Images By: Slideshare.net: Real Estate Desain