23 0 492 KB
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) GBPT LANTAI 2 RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA (TANGGAL : 10 FEBRUARI 2020 S/D 22 FEBRUARI 2020)
OLEH: FITRI SOLICHAH P27820716009
PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA TAHUN AKADEMIK 2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN
Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien dengan Guillain Barre Syndrome (GBS) di Ruang Intensive Care Unit (ICU) GBPT Lantai 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang dilaksanakan pada tanggal 10 Februari 2020 sampai dengan 22 Februari 2020 telah dilaksanakan sebagai laporan praktik klinik keperawatan semester VIII di Ruang Intensive Care Unit (ICU) GBPT Lantai 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya oleh : Nama Mahasiswa
: Fitri Solichah
NIM
: P27820716009 Surabaya, 22 Februari 2020 Pembimbing Akademik
Pembimbing Ruangan
Adivtian Ragayasa,S.ST., M.Kes
Eko Yeppianto, S. Kep., Ns.
NIP. 19840430 200812 1 003
NIP. 19760323 200701 1 013
Mengetahui, Kepala Ruangan ICU GBPT Lantai 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Yuniar, S. Kep., Ns. NIP. 19650925 198703 2 006
LAPORAN PENDAHULUAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) 1. Definisi Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2002). Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Parry dalam Japardi, 2002). Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002). Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik juga (Sylvia A. Price, 2006). Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007). Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi, 2002). Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer dan nervus kranialis. 2. Anatomi Fisiologi a. Organisasi Struktural Sistem Saraf 1) Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi tulang kranium dan kanal vertebral. 2) Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen. a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar. Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi : i. Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka. ii. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur yaitu : i) Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis ii) Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada medulla spinalis.
b. Sel - Sel Pada Sistem Saraf Neuron adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan sitoplasma. 1) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut : a) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak. b) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh. c) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron yang menjadi asal akson. d) Sel Schwann Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk membentuk selubung myelin. e) Selubung Myelin Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann. Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan mencegah impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
2) Klasifikasi neuron dibagi berdasarkan fungsi dan struktur yang terdiri dari : a) Fungsi. Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi impulsnya. i) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP. ii) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor. iii)Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron
ini
menghubungkan
neuron
sensorik
dan
motorik
atau
menyampaikan informasi ke interneuron lain. b) Struktur Neuron diklasifikasi secara struktural berdasarkan jumlah prosesusnya. i) Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih. Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla spinalis, masuk dalam golongan ini. ii) Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron ini ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan hidung. iii) Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal, tetapi neuron ini sebenarnya bipolar. 3. Klasifikasi Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sebagai berikut : a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi. b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun. c. Miller Fisher Syndrome Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal e. Acute Pandysautonomia Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil. 4. Etiologi Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002). Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) : a. Infeksi Virus Atau Bakteri GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :
b. Vaksinasi c. Pembedahan, anestesi d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison e. Kehamilan atau dalam masa nifas f. Gangguan endokrin
5. Manifestasi Klinis a. Masa Laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. b. Gejala Klinis 1) Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. 2) Gangguan Sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3) Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus. 4) Gangguan Fungsi Otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5) Kegagalan Pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6) Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
6. Patofisiologi Etiologi Proses autoimun (merangsang reaksi kekebalan sekunder pada saraf tepi / aktivasi limfosit T dan makrofag) Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epinural Makrofag mensekresi protease Penimbunan komplek antigen, antibodi pada pembuluh darah saraf tepi Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson Proses demyelinasi akut syaraf perifer Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf Gangguan fungsi syaraf perifer dan kranial Guillain Barre Syndrome (GBS)
Ansietas Prognosis penyakit kurang baik
Gangguan fungsi
Gangguan syaraf perifer dan neuromuskular
Disfungsi otonom
Syaraf kranial : N III, IV, VI Diplopia
N VII, IX, XI Gg. Refleks gag/ Menelan
Gg. Penglihatan
Parastesia (kesemutan) dan
Paralise lengkap, otot perna-
kelemahan otot kaki, yang
nafasan terkena mengakibat-
dapat berkembang ke
kan insufisiensi pernafasan
Intake nutrisi kurang cidera
syaraf simpatis dan parasimpatis perubahan sensori
ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah
Risiko jatuh /
Kurang beraksinya sistem
Penurunan kemampuan batuk
Hipotensi
peningkatan sekresi mukus
/hipertensi
Kelemahan fisik umum, Gg. Nutrisi Kurang
paralisis otot wajah
dari Kebutuhan Tubuh
Kerusakan rangsang berkemih
Ketidakefektifan
Takikardi/
Pola Nafas
Bradikardi
Penurunan tonus otot
Ketidakefektifan
seluruh tubuh, perubahan
Bersihan Jalan Nafas
Retensi Urin Kerusakan rangsang defekasi
estetika wajah Hipoksemia Hambatan Mobilitas Fisik, Defisit Perawatan Diri
Asidosis
Sekresi mukus
Gg. Eliminasi Fekal
masuk lebih ke
(Kontipasi/diare)
bawah jalan napas
respiratorik resiko tinggi infeksi saluran Kematian
Koma
Gagal nafas
napas bawah dan parenkim paru
Pneumonia
7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan. b. Pemeriksaan Laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). c. Pemeriksaan Elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna. d. Pemeriksaan LCS Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation). e. Pemeriksaan MRI Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB. 1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. 2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
8. Penatalaksanaan Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002). a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002) 1) Pengaturan Jalan Napas Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit. 2) Pemantauan EKG dan Tekanan Darah Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3. 3) Plasmaparesis Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma. 4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini. b. Perawatan Umum 1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur. 2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. 3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, 4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis. 5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. 6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati. 7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik. c. Pengobatan 1) Kortikosteroid Seperti : azathioprine, cyclophosphamid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. 2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis) Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic disease (TED) hose). 3) Pengobatan imunosupresan: a) Imunoglobulin IV Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya
seperti
halnya
plasmapharesis.
Gamaglobulin
(Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan. b) Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP). 9. Komplikasi a. Paralysis yang persisten b. Kegagalan pernafasan c. Hipotensi atau hipertensi d. Tromboembolisme e. Pneumonia f. Aritmia kardial g. Aspirasi h. Retensi urinae i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI GUILLAIN – BARRE SYNDROME (GBS) 1. Pengkajian 1.1 Identitas Umur : Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Jenis kelamin : Semua orang baik wanita maupun laki-laki dapat mengalaminya 1.2 Keluhan Utama Pasien mengeluhkan parastesia (kesemutan dan kebas) pada otot kaki, sesak napas. 1.3 Riwayat Penyakit Sekarang Gejala yang sering dirasakan pasien yaitu kesemutan dan kebas (parestesia), kelemahan pada otot kaki yang berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. 1.4 Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengalami infeksi pada saluran pernapasan, gastroinstentinal yang lama, bedah saraf, penggunaan obat-obat seperti kortisteroid dan berbagai jenis antibiotic. 1.4 Riwayat Psikososial dan Spiritual Umumnya pasien cepat marah, merasa takut, cemas akan kemungkinan paralisis yang permanen, sehingga pasien menjadi pendiam dan malas berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Terkadang pasien merasa Tuhan tidak adil dengannya akibat penyakit yang diderita (hubungan spiritualnya kurang baik) 1.5 Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar 1.5.1 Nutrisi : Asupan nutrisi pada pasien yang kurang karena adanya kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan. 1.5.2 Higyene perseorangan : Kebutuhan personal hyegiene pasien dibantu oleh keluarga dan perawat 1.5.3 Eliminasi : Pasien sering mengalami konstipasi, adanya penurunan haluaran urin (< 500 cc),retensi urine atau inkontinensia. 1.5.4 Aktivitas dan tidur : Pasien tidak mampu beraktivitas seperti biasa kerena kelemahan pada kedua tungkai. Pasien menjadi gelisah dan kurang tidur. 1.6 Pemeriksaan Fisik 1.6.1 B1 (Breathing) Pasien tidak dapat batuk efektif, pengeluaran sputum, ronkhi, dispneu, adanya penggunaan otot-otot bantu pernapasan, apneu. 1.6.2 B2 (bleeding) Wajah kemerahan, takikardi/ bradikardi, hipotensi/ hipertensi (tekanan darahnya labil, naik turun). 1.6.3 B3 (Brain) Pusing, letargi
Pengkajian fungsi motorik : a.
Syaraf
II : Penurunan pada kemampuan membuka dan menutup mata,
paralisis ocular. b.
Syaraf V, VII, XII : Paralisis otot lidah, rahang.
c.
Syaraf IX, X, XI : Paralisis pada otot orofaring.
Fungsi sensoris : klien mengalami penurunan kemampuan menilai sensorik nyeri, raba dan suhu 1.6.4 B4 (Bledder) Adanya distensi kandung kemih. 1.6.5 B5 (Bowel) Pasien sulit menelan atau mengunyah makanan, bising usus menurun, pasien mengalami konstipasi. 1.6.6 B6 (Bone) Adanya kelemahan pada otot, dan penurunan kekuatan otot 2. Diagnosa Keperawatan a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan/paralisis otot pernafasan b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. No 1.
Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria
Keperawatan Ketidakefektifan pola
Intervensi
Rasional
Hasil Setelah dilakukan Mandiri :
nafas tindakan
keperawatan 1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan 1. Peningkatan
berhubungan
selama
dengan
diharapkan pola nafas
kelemahan/
klien adekuat dengan 2. Catat adanya kelemahan pernapasan selama
paralisis pernafasan
3x24
jam
otot kriteria hasil :
menandakan adanya kelelahan pada otot
warna kulit dan membran mukosa.
pernapasan. 2. Indikator yang baik terhadap gangguan fungsi nafas/ menurunnya kapasitas vital
Tidak ada distress RR
klien
3. Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler)
paru 3. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha
normal
(16-24 x/menit)
pernapasan
pernafasan. Catat kerja nafas dan observasi
berbicara
pernafasan
distress
4. Evaluasi refleks batuk, refleks gag/menelan secara periodik
batuk, menurunkan kerja pernapasan 4. Evaluasi
dilakukan
untuk
mencegah
aspirasi, infeksi pulmonia, dan gagal napas Kolaborasi 5. Lakukan pemeriksaan laboratorium
5. Menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan klien
6. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi (nasal 6. Mengatasi hipoksia kanul,
masker
oksigen,
atau
ventilator
mekanik) 7. Siapkan
untuk
mempertahankan
inkubasi 7. 10-20% klien yang mengalami gangguan
ventilator mekanik sesuai kebutuhan
pernapasan berarti memerlukan monitoring terus –menerus
2.
Hambatan mobilitas
8. Lakukan perawatan trakheostomi dilakukan Mandiri
Setelah fisik tindakan
berhubungan
selama
keperawatan 1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan 1. Menentukan 3x24
dengan kerusakan diharapkan neuromuskular
8. Mengcegah infeksi
jam
skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur
perkembangan/
intervensi
selanjutnya
klien 2. Berikan posisi yang memberikan kenyamanan 2. Menurunkan
kelelahan,
meningkatkan
mampu
pada klien dan lakukan perubahan posisi
relaksasi, menurunkan resiko terjadinya
mempertahankan
dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan
iskemia/ kerusakan pada kulit
mobilitas
fisik
tanpa
individu
ada komplikasi dengan 3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan 3. Mempertahankan ekstremitas dalam posisi kriteria hasil :
bantal/papan kaki 4. Lakukan
gerak
positif.
Hindari 4. Menstimulasi
oto
kontraktur,
sirkulasi,
meningkatkan
tonus otot, dan meningkatkan mobilisasi
dan 5. Berikan waktu istirahat saat latihan gerak
5. Penggunaan otot secara berlebihan dapat
fungsi bagian yang
meningkatkan
sakit
untuk
Mendemonstrasikan
memperpanjang waktu penyembuhan
teknik/perilaku yang 6. Anjurkan untuk melatih gerak secara bertahap diinginkan
dan
sendi
Meningkatkan kekuatan
latihan
latihanaktif selama fase akut
dekubitus
mencegah
kehilangan fungsi sendi
Tidak ada laporan kontraktur,
fisiologis,
sesuai
waktu
remielinisasi
yang
diperlukan
karena
dapat
6. Meningkatkan fungsi organ normal dan memiliki efek psikologis positif
kemampuannya
7. Berikan
lubrikasi/minyak
artifisial
sesuai 7. Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh
kebutuhan
yang halus
Kolaborasi 8. Konfirmasikan 3.
Ketidakseim-
nutrisi tindakan
kurang
dari selama
kebutuhan tubuh
bagian
terapi 8. Bermanffat dalam menciptakan kekuatan
fisik/fisioterapi dilakukan Mandiri
Setelah
bangan
dengan
otot
keperawatan 1. Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk, 1. Kelemahan 5x24
jam
pada keadaan yang teratur
otot
dan
refleks
hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasikan
diharapkan tidak terjadi
kebutuhan makan klien seperti melaui
perubahan
selang NG dsb
nutrisi
kurang dari kebutuhan 2. Auskultasi bising usung, evaluasi adanya 2. Perubahan fungsi lambung sering terjadi dengan kriteria hasil :
BB klien stabil
Hasil Tidak
akibat dari paralisis/imobilisasi
3. Catat masukan kalori tiap hari
3. Mengidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya
laboratorium
4. Catat makanan yang disukai atau tidak disukai 4. Meningkatkan rasa kontrol dan usaha
normal
distensi abdomen
ada
malnutrisi
tanda
pasien
dan
(mata
dikehendaki
termasuk
pilihan
diet
yang
cekung, konjungtiva 5. Berikan makanan setengah pada/cair anemis, tulang
untuk makan 5. Makanan
lunak/setengah
padat
menurunkan risiko terjadinya aspirasi
kurus, dada 6. Berikan bantuan saat makan jika diperlukan
6. Derajat
hilangnya
kontrol
motorik
mempengaruhi untuk dapat makan sendiri
menonjol 7. Timbang berat badan setiap hari
7. Mengkaji kefektifan aturan diet
Kolaborasi 8. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet yang 8. Makanan tepat untuk klien 9. Pasang/pertahankan
suplementasi
dapat
meningkatkan pemasukan nutrisi selang
makanan enteral/parenteral
NG,
berikan 9. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu untuk menelan, untuk pemasukan kalori, elektrolit dan mineral
4. Implementasi Keperawatan Merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik. Implementasi akan dilaksanakan sesuai perencanaan dan didokumentasikan sesuai urutan jam pelaksanaan serta sesuai sop dan bagaimana respon klien. 5. Evaluasi Keperawatan Merupakan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan pasien yang telah diterapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. Evalauasi ada dua macam yaitu : 1. Evaluasi Formatif Adalah hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada saat/setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Evaluasi Sumatif Adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan
DAFTAR PUSTAKA Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC. Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre Syndrome. Jakarta : Ikatan Fisioterapi Indonesia. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. [diakses tanggal 14 Februari 2020 Pukul 16.00 WIB]. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN Nama mahasiswa
: Fitri Solichah
NIM
: P27820716009
Ruangan
: ICU GBPT Lantai 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya
No. RM
: 12.80.XX.XX
Tanggal Pengkajian
: 13 Februari 2020 (Pukul 14.30 WIB)
I.
Identitas Nama
: Ny. N
Umur
: 27 th
Jenis Kelamin
: Perempuan
Suku/Bangsa
: Jawa/Indonesia
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pendidikan
: Tamat SLTA
Alamat
: Surabaya
Tanggal MRS
: 13 Januari 2020 (Pukul 16.36 WIB)
Diagnose Medis : GBS + HHD II.
Riwayat Keperawatan a. Keluhan Utama Sesak nafas b. Upaya Yang Pernah Dilakukan Pasien sejak mengalami kelemahan keempat anggota gerak oleh suaminya dibawa ke RS PHC Surabaya kemudian di rujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. c. Operasi Yang Pernah Dilakukan Suami pasien mengatakan istrinya tidak pernah menjalani operasi apapun sebelumnya. d. Riwayat Kesehatan Sekarang Pasien rujukan dari RS PHC Surabaya dengan keluhan kelemahan keempat anggota gerak sejak 2 hari sebelum MRS, masuk IGD RSUD Dr. Soetomo dengan label kuning. Karena pasien semakin sesak, akhirnya di pindahkan ke Ruang Resusitasi untuk dilakukan pemasangan ventilator. Setelah di Ruang Resusitasi rawat inap selama semalam, akhirnya pasien di pindahkan di Ruang ICU GBPT Lantai 2 untuk mendapatkan perawatan intensif. e. Riwayat Kesehatan Dahulu Suami pasien mengatakan bahwa pasien tidak punya riwayat penyakit sebelumnya, dan belum pernah dirawat di Rumah Sakit.
f. Riwayat Alergi Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun makanan g. Riwayat Kesehatan Keluarga Suami pasien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang pernah menderita penyakit GBS. Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, maupun asma. h. Keadaan Kesehatan Lingkungan Suami pasien mengatakan keadaan lingkungan rumah bersih, rapi. Setiap hari diberikan dan dirapikan. Keadaan kamar pasien ketika dirawat di Rumah Sakit rapi dan bersih. i. Riwayat Psikososial Suami pasien mengatakan ingin istrinya segera sembuh dan menjalani aktivitas seharihari secara normal tanpa merepotkan orang tua dan mertuanya. j. Latar Belakang Budaya Suami pasien mengatakan tidak ada mitos-mitos yang dipercayai keluarga pasien berhubungan dengan penyakitnya saat ini. III.
Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Kondisi : Lemah Berat Badan : 79 kg Tinggi Badan : 158 cm IMT : 32,9 kg/m2 LILA : 30 cm Kesadaran : Compos Mentis GCS : E : 4 V : X
M:6
b. Tanda – Tanda Vital Tekanan Darah
: 135/57 mmHg
MAP
: 90
Nadi
: 128 x / menit
Suhu
: 38,7 0C
Pernapasan
: 27 x / menit
SPO2
: 98 %
c. Pemeriksaan B6 -
B1 (Breath) Inspeksi : Pasien terpasang trakeostomy dan ventilator dengan mode CPAP ASB 12, MV/EMV 10,3, TV/ETV 389, Total Rate 27 x/menit, PEEP 6, FiO2 40 %, SpO2 98 % . Dahak berwarna kuning kental. Bentuk dada simetris, tidak terdapat nyeri dada, tidak terdapat retraksi dinding dada, tidak ada oedema pada dada, tidak terdapat cyanosis, tidak ada pernafasan cuping hidung, pola napas takipneu, irama nafas tidak teratur.
Auskultasi : Terdengar suara nafas vesikuler, dan terdapat bunyi napas tambahan ronchi di kedua lapang paru. Palpasi
: Tidak terdapat tonjolan pada paru dan tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid. Perkusi -
: Paru kanan kiri redup.
B2 (Blood) Inspeksi
: Konjungtiva anemis, sklera putih, mukosa bibir kering, pucat,
terdapat edema pada ekstremitas bawah, tidak ada sianosis pada kaki dan jarijari tangan, akral hangat kering merah, dan tidak terdapat clubbing finger. Auskultasi : S1 S2 tunggal, tidak ada murmur maupun gallop, tekanan darah 135/57 mmHg, nadi 128 x/menit.
-
Palpasi
: Tidak ada pembesaran vena jugularis dan CRT < 2 detik.
Perkusi
: Perkusi jantung terdengar pekak, dan tidak ada pembesaran.
B3 (Brain) Inspeksi
: Kesadaran compos mentis, GCS E:4 V:X M:6, sklera tidak
ikterik, konjungtiva anemis, tidak terdapat nyeri kepala, reaksi pupil dan ukuran pupil kanan kiri +3 mm/+3 mm, wajah simetris. Auskultasi : Tidak terkaji
-
Palpasi
: Tidak terkaji
Perkusi
: Tidak terkaji
B4 (Bladder) Inspeksi
: Pasien terpasang dower kateter dengan produksi urine 1200 ml/24
jam. Warna urine kuning pekat. Auskultasi : Tidak terkaji
-
Palpasi
: Tidak ada undulasi
Perkusi
: Tidak terkaji
B5 (Bowel) Inspeksi
: Pasien terpasang NGT nasal dexstra, tidak mual dan tidak
muntah. Mulut bersih, tidak terdapat perdarahan pada gusi, abdomen tidak terdapat kelainan. Pasien mendapat nutrisi dari sonde ensure 6 x 200 ml melalui NGT. Auskultasi : Bising usus normal (12 x/menit)
-
Palpasi
: Perut supel
Perkusi
: Timpani pada semua kuadran
B6 (Bone) Inspeksi : Kulit tampak pucat, turgor kulit baik, warna kulit sawo matang, pasien banyak berkeringat, pasien lemah, ekstremitas atas dan bawah tidak mengalami kelemahan sehingga tidak bisa digerakkan, terpasang infus dengan sisa cairan aminofluid 300 ml di eskstremitas atas dextra, nilai kekuatan otot Auskultasi : Tidak terkaji
0
0
0
0
Palpasi : Tidak terkaji Perkusi : Tidak terkaji IV.
Pemeriksaan Penunjang Hail Pemeriksaan Laboratorium Analisa Gas Darah Tanggal 11 Februari 2020 Pukul 15.55 WIB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Parameter pH pCO2 pO2 TCO2 BEecf SO2 A-aDO2 HCO3Temp
Hasil 7,46 46 74 34,1 8,9 95 18,00 32,7 37
Satuan pH mmHg mmHg mmol/L mmol/L % mmHg mmol/L C
Nilai Rujukan 7,35 – 7,45 35 – 45 80 – 100 23 – 30 -3,50 – 2,00 94 – 98 0,00 – 0,00 22,0 – 26,0 0,00 – 0,00
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kimia Klinik Tanggal 11 Februari 2020 Pukul 15.55 WIB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Parameter SGOT SGPT BUN Serum Kreatinin Kalium Natrium Klorida Kalsium Albumin GDA
Hasil 75,0 223,0 6,0 0,39 3,1 131 86 8,5 2,8 97
Satuan u/L u/L mg/dL g/dL mmol/L mmol/L mmol/L mg/dL g/dL mg/dL
Nilai Rujukan L : 0 – 50 P : 0 - 35 L : 0 – 50 P : 0 – 35 7 - 18 0,6 – 1,3 3,5 – 5,1 136 – 145 98 – 107 8,5 – 10,1 3,4 – 5,0 100 - 126
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Tanggal 11 Februari 2020 Pukul 15.55 WIB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Parameter HGB WBC RBC HCT PLT MCV MCH MCHC MPV NEUT% LYMPH% MONO% EOS% BASO%
Hasil 11,1 10,48 3,72 33,2 306 89,2 29,8 33,4 9,6 75,2 17,7 6,6 0,4 0,1
Satuan g/dL 10^3/ul 10^6/ul % 10^3/ul fL pg g/dl fL % % % % %
Nilai Normal 13,3 – 16,6 3,37 – 10 3,69 – 5,46 41,3 – 52,1 150 – 450 86,7 – 102,3 27,1 – 32,4 29,7 – 33,1 9,2 – 12,0 39,8 – 70,5 23,1 – 49,9 0,6 – 5,4 0,3 – 1,4
Hasil pemeriksaan EMG Tanggal 15 Januari 2020 Pukul 10.55 WIB NCV & EMG Findings : CMAP : N.Peroneal kanan dan kiri : no response N. Tibialis kanan dan kiri : no response SNAP : N. Suralis kanan dan kiri : normal responde
F wave : N. Tibialis kanan dan kiri : no response H wave : N. Tibialis kanan dan kiri : no response Kesimpulan : Demyelinating motor polyradiculoneurophaty V.
Terapi Yang Diberikan Pada Tanggal 13 Februari 2020 a. Obat Enteral :
Metildopa 500 mg/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
Kalk 1 tab/12 jam (08.00, 20.00)
Sulfate Ferous 1 tab/12 jam (08.00, 20.00)
Asam Folat 400 mg/12 jam (08.00, 20.00)
VIP Albumin 1 tab/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
Paracetamol 500 mg/6 jam (08.00, 14.00, 20.00, 02.00)
KSR 1 tab/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
Lactulax syrup 15 ml/8 jam (08.00, 16.00, 24.00)
b. Obat Parenteral:
Inj. Mecobalamin 500 mg/12 jam
Inj. Paracetamol 1gr ekstra
Pump Furosemide 5 mg/jam
c. Cairan :
Inf. Aminofluid 500 ml/24 jam
ANALISA DATA No. 1.
Hari/
Pengelompokkan Data
Tanggal/Jam Kamis, DS : 13 - 02 -
Penyebab Proses autoimun
DO :
2020
Tedapat suara tambahan
15.00 WIB
ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra (sputum kuning
Terpasang trakeostomy,
Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson Tidak ada transmisi impuls saraf Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial
dengan bantuan alat ventilator
Keperawatan Bersihan jalan nafas tidak efektif
kental) Tidak dapat batuk efektif
Masalah
Parese ekstremitas atas
Mode : CPAP ASB 12 MV/EMV : 10,3
dan bawah, paralisis otot pernafasan
ETV/TV : 389 Total rate : 27
Sesak nafas
PEEP/ Exp Press : 6 FiO2/O2 : 40%
Ronkhi
SPO2 : 98% Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis)
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Vital sign TD : 135/57 mmHg S : 38,7 0C N : 128 x/menit
2.
Kamis,
DS : -
13 - 02 -
DO :
2020 15.00 WIB
KU : Lemah Terpasang trakeostomy,
Proses autoimun Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson
dengan bantuan alat ventilator Mode : CPAP ASB 12
Tidak ada transmisi impuls saraf
MV/EMV : 10,3 ETV/TV : 389 Total rate : 27 PEEP/ Exp Press : 6 FiO2/O2 : 40%
Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial Parese ektermitas atas dan bawah
SPO2 : 98% Total care Parese : ektremitas atas dan
Terpasangnya trakeostomy, penggunaan alat bantu ventilator
bawah (paralisis) Tidak dapat mobilisasi
Status gizi lebih
sendiri Terpasang NGT nasal dextra BB : 79 kg TB : 158 cm IMT : 32,9 kg/m2 LILA : 30 cm
Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Albumin : 2,8 g/dL HB : 11,1 g/dL Retensi : 120 cc E1-E6 Ensure 200 ml/6 jam Vital sign TD : 135/57 mmHg S : 38,70C N : 128 x/menit 3.
Kamis, 13 - 02 2020 15.00 WIB
DS : -
Proses autoimun Gangguan mobilitas fisik
DO : KU : Lemah
Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson
Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator
Tidak ada transmisi impuls saraf
Mode : CPAP ASB 12 MV/EMV : 10,3 ETV/TV : 389 Total rate : 27 PEEP/ Exp Press : 6
Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial Parese ektermitas atas dan bawah
FiO2/O2 : 40% SPO2 : 98% Total care Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis) Tidak dapat mobilisasi sendiri Vital sign TD : 135/57 mmHg S : 38,70C N : 128 x/menit
Gangguan mobilitas fisik
DIAGNOSA KEPERAWATAN
No. 1.
Hari/ Tanggal/Jam
Diagnosis Keperawatan/Masalah Kolaboratif
Kamis,
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
13 - 02 - 2020
dengan parese ekstremitas atas dan bawah, paralisis
15.00 WIB
otot pernafasan ditandai dengan : Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra (sputum kuning kental) Tidak dapat batuk efektif Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat
2.
Kamis, 13 - 02 - 2020
ventilator Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status gizi lebih ditandai
15.00 WIB
dengan : Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator Terpasang NGT nasal dextra IMT : 32,9 kg/m2 LILA : 30 cm Albumin : 2,8 g/dL HB : 11,1 g/dL
3.
E1-E6 Ensure 200 ml/6 jam Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
Kamis, 13 - 02 - 2020 15.00 WIB
parese ektremitas atas dan bawah ditandai dengan : Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator Total care Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis) Tidak dapat mobilisasi sendiri
PERENCANAAN KEPERAWATAN Hari/ Tanggal/ Jam Kamis,
No. Tujuan & Kriteria
Rencana
Dx
Tindakan
1
Hasil Tujuan :
13 - 02 -
Setelah
2020
Rasional
1. Observasi suara 1. Untuk mengetahui dilakukan
nafas tambahan
addanya suara nafas
tindakan
setiap 2 jam
tambahan
15.00
keperawatan selama
sekali
WIB
1×5 menit, bersihan 2. Observasi jalan nafas efektif.
pernafasan
2. Mengetahui adanya tanda-tanda sesak
Kriteria Hasil :
nafas jika pernafasan
1. Tidak adanya
lebih dari 20
suara nafas tambahan ronkhi 2. TTV dalam batas normal
3. Lakukan nebule jika terdengan ronkhi
kali/menit 3. Untuk mengencerkan sumbatan yang ada didalam paru-paru
Paraf
3. Tidak ada
sehingga sumbatan
sputum
bisa dengan mudah
4. Dapat
4. Bantu dengan
melakukan
fisioterapi dada
batuk efektif
sesuai indikasi
keluar dari paru-paru 4. Membantu mengeluarkan sputum yang
5. Jika menggunakan ventilator lakukan suction
menyumbat jalan nafas 5. Jika menggunakan ventilator, langsung melakukan suction sesuai indikasi supaya tidak menyumbat jalan nafas
Kamis,
2
Tujuan :
1. Kaji status nutrisi
13 - 02 -
Setelah
2020
tindakan
ABCD, tanda-
15.00
keperawatan selama
tanda vital,
WIB
3
jam,
sensori dan
kebutuhan
nutrisi
bising usus
dalam
tubuh 2. Membantu
x
dilakukan
24
pasien, meliputi
seimbang.
memberikan
Kriteria Hasil :
nutrisi melalui
1. Keadaan umum
NGT
baik
3. Ukur intake
2. Tidak terpasang NGT
makanan dan
1. Membantu mengkaji keadaan pasien
2. Membantu pasien makan
3. Observasi kebutuhan nutrisi
timbang berat
3. Peningkatan status nutrisi 4. Terjadi
badan 4. Kolaborasi dengan ahli gizi
penurunan berat
untuk
badan
menentukan diet
sesuai
batasan waktu
4. Diet sesuai dengan kebutuhan pasien
yang tepat bagi pasien 5. Observasi hasil lab (gda, albumin, hemoglobin) kolaborasi
5. Monitor status nutrisi
dengan dokter
Kamis,
3
Tujuan :
13 - 02 -
Setelah
2020
1. Kaji fungsi motoric dan
terjadi dengan cepat
tindakan
sensorik setiap 8
dengan pola yang
15.00
keperawatan selama
jam
mulai naik
WIB
3
x
dilakukan
1. Paralisis otot dapat
24
jam, 2. Kaji derajat
mobilitas
fisik
membaik. Kriteria Hasil : 1. Pasien
ketergantungan
kemampuan pasien
pasien
dalam kebutuhan
3. Lakukan alih
dapat
posisi atau
melakukan
mobilisasi setiap
mobilisasi
2 jam
secara mandiri 2. Tidak mengalami parese ektremitas
atas
dan bawah 3. Tidak
terdapat
komplikasi berhubungan dengan imobilisasi
2. Mengidentifikasi
ADL 3. Menghindari dekubitus
PELAKSANAAN KEPERAWATAN
No. Dx
Hari/ Tanggal/ Jam
Tanda Tindakan Keperawatan
Hasil
Tangan/ Paraf
1.
Kamis, 13 - 02 2020 15.30
1. Mengobservasi suara nafas tambahan setiap 2 jam sekali
15.35
2. Mengobservasi TTV
1. Terdapat
suara
nafas
tambahan ronkhi kasar 2. Obsevasi
dilakukan
setiap jam 15.37
3. Melakukan suction jika terdengan ronkhi
15.45
4. Membantu dengan fisioterapi dada sesuai indikasi
2.
15.50
1.
Mengkaji status nutrisi
2.
suction 4. Sudah
dilakukan
fisioterapi dada
1. Sudah dilakukan
pasien, meliputi ABCD,
pengkajian status nutrisi
tanda-tanda vital, sensori dan
pasien
bising usus 16.00
3. Pasien sudah dilakukan
Membantu memberikan
2. Sudah dilakukan setiap 6 jam sehari
nutrisi melalui NGT (E1-E6 Ensure 200 ml/6 jam) 16.10 16.20
16.30
3. 4.
5.
3. Intake makanan sudah
Mengukur intake makanan
diukur, namun untuk
dan timbang berat badan
menimbang berat badan
Melakukan kolaborasi
belum dilakukan karena
pemberian cairan
pasien mengalami
Inf. Aminofluid 500 ml/24
parese ekstremitas atas
jam
dan bawah
Mengobservasi hasil lab (gda, 4. Sudah ditentukan diet albumin, hemoglobin)
untuk pasien
kolaborasi dengan dokter 5. Sudah dilakukan pengecekan lab
1.
Jum’at, 14 - 02 2020 21.30
1. Mengobservasi suara nafas tambahan setiap 2 jam sekali
22.00
2. Mengobservasi TTV
1. Terdapat
suara
nafas
tambahan ronkhi kasar 2. Obsevasi
dilakukan
setiap jam 22.15
3. Melakukan suction jika terdengan ronkhi
22.30
4. Membantu dengan fisioterapi dada sesuai indikasi
2.
22.45
23.00
1. Mengkaji status nutrisi pasien,
3. Pasien sudah dilakukan suction 4. Sudah
dilakukan
fisioterapi dada
1. Sudah dilakukan
meliputi ABCD, tanda-tanda
pengkajian status nutrisi
vital, sensori dan bising usus
pasien
2. Membantu memberikan nutrisi 2. Sudah dilakukan setiap melalui NGT (E1-E6 Ensure
6 jam sehari
200 ml/6 jam) 23.15
3. Mengukur intake makanan dan 3. Intake makanan sudah timbang berat badan
diukur, namun untuk menimbang berat badan belum dilakukan karena pasien mengalami parese ekstremitas atas dan bawah
23.30
4. Melakukan kolaborasi pemberian cairan
4. Sudah ditentukan diet untuk pasien
Inf. Aminofluid 500 ml/24 jam 1.
Sabtu, 15 - 02 2020 21.30
1. Mengobservasi suara nafas tambahan setiap 2 jam sekali
22.00
2. Mengobservasi TTV
1. Terdapat
suara
nafas
tambahan ronkhi kasar 2. Obsevasi
dilakukan
setiap jam 22.15
3. Melakukan suction jika terdengan ronkhi
22.30
3. Pasien sudah dilakukan suction
4. Membantu dengan fisioterapi dada sesuai indikasi
2.
22.45
23.00
1.
2.
Mengkaji status nutrisi pasien,
1. Sudah dilakukan
meliputi ABCD, tanda-tanda
pengkajian status nutrisi
vital, sensori dan bising usus
pasien
Membantu memberikan nutrisi 2. Sudah dilakukan setiap
melalui NGT (E1-E6 Ensure
6 jam sehari
200 ml/6 jam) 23.15
3.
Mengukur intake makanan dan 3. Intake makanan sudah timbang berat badan
diukur, namun untuk menimbang berat badan belum dilakukan karena pasien mengalami parese ekstremitas atas dan bawah
23.30
4.
Melakukan kolaborasi pemberian cairan
4. Sudah ditentukan diet untuk pasien
Inf. Aminofluid 500 ml/24 jam
EVALUASI KEPERAWATAN No Dx
Hari / tanggal
Catatan Perkembangan
Paraf
1.
Kamis,
S:-
13 - 02 - 2020
O:
20.20 WIB
Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra (sputum kuning kental)
Tidak dapat batuk efektif
Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator Mode
: CPAP ASB 12
MV/EMV
: 9,8
ETV/TV
: 319
Total rate
: 26
PEEP/Exp Press
:6
FiO2/O2
: 40%
SPO2
: 98%
Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis)
Vital sign TD : 134/63 mmHg S : 37,6 0C N : 97 x/menit
A : Masalah bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi P : Intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan 2.
Kamis, 13 - 02 - 2020
S:-
20.30 WIB
O:
KU : Lemah
Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator
Total care
Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis)
Tidak dapat mobilisasi sendiri
Terpasang NGT nasal dextra
BB : Tidak terukur
TB : 158 cm
Retensi : 100 cc
E1-E6 Ensure 200 ml/6 jam
Terapi cairan Inf. Aminofluid 500 ml/24 jam
Vital sign TD : 134/63 mmHg S : 37,6 0C N : 97 x/menit
A : Masalah ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh belum teratasi P : Intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan 1.
Jum’at, 14 - 02 - 2020 23.40 WIB
S:O:
Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra (sputum kuning kental)
Tidak dapat batuk efektif
Terpasang trkaeostomy, dengan bantuan alat ventilator
Mode
: CPAP ASB 12
MV/EMV
: 10,9
ETV/TV
: 320
Total rate
: 31
PEEP/Exp Press
:6
FiO2/O2
: 40%
SPO2
: 98%
Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis)
Vital sign TD : 135/61 mmHg S : 37,2 0C N : 102 x/menit
A : Masalah bersihan jalan nafas tidak efektif 2.
Jum’at, 14 - 02 - 2020 23.50 WIB
belum teratasi P : Intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan S:-
O:
KU : Lemah
Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator
Total care
Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis)
Tidak dapat mobilisasi sendiri
Terpasang NGT nasal dextra
BB : Tidak terukur
TB : 158 cm
Retensi : 70 cc
E1-E6 Ensure 200 ml/6 jam
Terapi cairan Inf. Aminofluid 500 ml/24 jam
Vital sign TD : 135/61 mmHg S : 37,2 0C N : 102 x/menit
A : Masalah ketidakseimbangan nutrisi lebih 1.
Sabtu,
dari kebutuhan tubuh belum teratasi
15 - 02 - 2020
P : Intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan
23.40 WIB S:O:
Tedapat suara tambahan ronkhi kasar di lapang paru atas dextra dan sinistra (sputum kuning kental)
Tidak dapat batuk efektif
Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator
Mode
: CPAP ASB 12
MV/EMV
: 8,9
ETV/TV
: 355
Total rate
: 26
PEEP/Exp Press
:6
FiO2/O2
: 40%
SPO2
: 98%
Parese : ektremitas atas dan bawah
(paralisis)
Vital sign TD : 149/82 mmHg S : 36,6 0C N : 120 x/menit
2.
Sabtu, 15 - 02 - 2020 23.50 WIB
A : Masalah bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi P : Intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan S:O:
KU : Lemah
Terpasang trakeostomy, dengan bantuan alat ventilator
Total care
Parese : ektremitas atas dan bawah (paralisis)
Tidak dapat mobilisasi sendiri
Terpasang NGT nasal dextra
BB : Tidak terukur
TB : 158 cm
Retensi : 80 cc
E1-E6 Ensure 200 ml/6 jam
Terapi cairan Inf. Aminofluid 500 ml/24 jam
Vital sign TD : 149/82 mmHg S : 36,6 0C N : 120 x/menit
A : Masalah ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh belum teratasi P : Intervensi 1,2,3,4,5 dilanjutkan