LP Epilepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI PADA ANAK



Oleh: ZAQIYAH I4B016122 STASE KEPERAWATAN ANAK SEMESTER I



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN PURWOKERTO 2017



I.



PENDAHULUAN



I.1 Latar Belakang Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi. I.2 Tujuan a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.



Laporan pendahuluan ini bertujuan untuk: Menjelaskan definisi Epilepsi pada anak. Menjelaskan etiologi Epilepsi pada anak. Menjelaskan patofisiologi Epilepsi pada anak. Menjelaskan tanda gejala Epilepsi pada anak. Menjelaskan komplikasi Epilepsi pada anak. Menjelaskan pemeriksaan penunjang Epilepsi pada anak. Menjelaskan pathway Epilepsi pada anak. Menjelaskan pengkajian pasien Epilepsi pada anak. Menjelaskan diagnosa keperawatan pasien Epilepsi pada anak. Menjelaskan fokus intervensi pasien Epilepsi pada anak. II. PEMBAHASAN



II.1Definisi Epilepsi pada anak Epilepsi adalah gangguan kejang kronik dengan kejang berulang yang terjadi dengan sendirinya, yang memerlukan pengobatan jangka panjang. (Hockenberry, 2008). Epilepsi merupakan gangguan proksimal di mana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik (Ginsberg, 2008). II.2Etiologi Epilepsi pada anak Menurut Wong (2009) penyebab pasti epilepsi masih belum diketahui (idiopatik) dan masih menjadi banyak spekulasi. Predisposisi yang mungkin menyebabkan epilepsi meliputi: a. Pasca trauma kelahiran b. Riwayat bayi dan ibu menggunakan obat antikolvusan yang digunakan sepanjang hamil. c. Asfiksia neonatorum d. Riwayat ibu-ibu yang memiliki resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes atau hipertensi) e. Pasca cidera kepala Adapun penyebab epilepsi menurut Piogama (2009), yaitu: a. Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak, diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. b. Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma. Faktor predisposisi dan presipitasi yang dapat memicu timbulnya epilepsi: (Dychan, 2008). a. Demam, kurang tidur, keadaan emosional. b. Pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. c. Pernah menderita cedera otak/operasi otak d. Pemakaian obat-obat tertentu e. Ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga. II.3Patofisiologi Epilepsi pada anak



Epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik/toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel syaraf tersebut. Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak (Price, 2005). Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi). Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran (Price, 2005). II.4Tanda Gejala Epilepsi pada anak Menurut Commision of Classification and Terminology of the International League againts Epilepsi (ILAE) tahun 1981 klasifikasi epilepsi sebagai berikut; 1. Bangkitan parsial (fokal,lokal) a. Bangkitan parsial sederhana; bangkitan parsial dengan kesadaran tetap normal  Gejala motorik



1. Fokal motorik tidak menjalar; bangkitan terbatas pada satu bagian tubuh saja. 2. Fokal motorik menjalar; bangkitan dimulsi dsri satu bagian tuuh 3. dan menjalar. 4. Versif; bangkitan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh. 5. Postural; bangkitan disertai dengan lengan/tungkai kaku dalam 6. sikap tertentu. 7. Disertai gangguan fonasi; bangkitan disertai arus bicara yan terhenti/pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.  Gejala somatosensoris/sensoris spesial; Bangkitan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indra & bangkitan yang disertai vertigo. 1. Somatosensoris; timbul rasa kesemutan/seperti ditisuk-tusuk jarum. 2. visual terlihat cahaya. 3. auditoris: terdengar sesuatu 4. olfaktoris; terhidu sesuatu 5. gustatoris: tekecap sesuatu 6. disertai vertigo  Dengan gejala /tanda gangguan syaraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)  Dengan gejala psikis (gangguan fungsi psikis) 1. Disfasia; gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata/bagian kalimat. 2. Dismnesia; gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami.mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa, di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. 3. Kognitif; gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah 4. Afektif; merasa sangat senang, susah, marah, takut. 5. Ilusi; perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar. 6. Halusinasi kompleks(berstrukstur); mendengar ada yang bicara, musik. b. Bangkitan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran.)  Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran; kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. 1. Dengan gejala parsial sederhana; gejala-gejala seperti diikuti dengan menurunnya kesadaran. 2. Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-



nata sesuatu, memegang megang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, berbicara. 3. Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan serangan.  Hanya dengan penurunan kesadaran  Dengan automatisme c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) 1. Bangkitan umum (konvulsif/nonkonvulsif) a. Bangkitan Lena(Absence) Pada bangkitan ini, kegiatan sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya bangkitan ini berlangsung selama ¼-1/2 menit dan biasanya dijumpai pada anak.  Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, /otot-otot lainnya bilateral.  Dengan komponen atonik, Pada bangkitan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan. Tangan tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai  Dengan komponen tonik. Pada bangkitan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher/punggung mendadak mengejang, kepala badan, menjadi melengkung kebelakang, lengan dapat mengetul/mengedang  Dengan automatisme  Dengan komponen autonom b. Lena tak khas (atypical absence) Dapat disertai:  Gangguan tonus yang lebih jelas  Permulaan & berakhirnya bangkitan tidak mendadak 2. Bangkitan mioklonik Pada bangkitan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat/lemah sebagian otot/semua otot-otot, sekali/berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur. 3. Bangkitan Klonik Pada bangkitan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. Dijumpai terutama sekali pada anak 4. Bangkitan tonik Pada bangkitan ini tidak ada komponen klonik. Otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak. 5. Bangkitan Tonik-klonik



Bangkitan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenan dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu bangkitan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼-1/2 menit diikuti kejang napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulu menjadi berbusa karena hembusan napas Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dg kesadaran yang masih rendah, langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala. 6. Bangkitan atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan  mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik/menurun sebentar. Bangkitan ini terutama sekali dijumpai pada anak. 7. Bangkitan Tak Tergolongkian Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, pernapasan yang mendadak berhenti sebentar (Tarwoto, 2008). II.5Komplikasi Epilepsi pada anak Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi antara lain: cedera kepala, cedera mulut, luka bakar dan fraktur. Status Epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Status mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran anti serangan. II.6Pemeriksaan Penunjang Epilepsi pada anak Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan yaitu: (Smeltzer, 2005)  Elektroensefalografi (EEG), pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsi, bila ditemukan EEG yang bersifat khas epileptik baik terekan saat seranga maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.  CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral  Magnetik Resonance Imaging (MRI)  Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. II.7Pathway Epilepsi pada anak Terlampir II.8Penatalaksanaan



a. Manajemen Epilepsi : 1. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi 2. Melakukan terapi simtomatik 3. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:  Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.  Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal. Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.  Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.  Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas (Wong, 2009). 4. Cara menanggulangi kejang epilepsi : 1. Selama Kejang  Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu  Mengamankan pasien di lantai jika memungkinka  Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.  Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan. 2. Setelah Kejang  Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.  Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.  Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal  Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang  Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkunga  Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita beristirahat.  Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut







Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter. b. Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini (Ngastiyah, 2007). c. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 23th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali. Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya. Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi ini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan



gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua (Wong, 2009). II.9Pengkajian Pasien Epilepsi pada anak Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah: 1. Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan? 2. Identitas Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. 3. Keluhan utama Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. 4. Riwayat penyakit sekarang Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar  limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan. 5. Riwayat penyakit dahulu Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan  keadaan  penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan. 6. Riwayat kehamilan dan kelahiran. Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah 7. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot. 8. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya. 1. Selama serangan :



–  Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan. –  Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena. –  Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. –  Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik. –  Apakah pasien menggigit lidah. –  Apakah mulut berbuih. –  Apakah ada inkontinen urin. –  Apakah bibir atau muka berubah warna. –  Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi. –  Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. 2. Sesudah serangan –  Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara –  Apakah ada perubahan dalam gerakan. –  Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. –  Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung. –  Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang. 3. Riwayat sebelum serangan –  Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi. –  Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar. –   Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual. 4. Riwayat Penyakit –  Sejak kapan serangan terjadi. –  Pada usia berapa serangan pertama. –  Frekuensi serangan. –  Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional. –  Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. –  Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak –  Apakah makan obat-obat tertentu –  Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga 5. Pemeriksaan fisik a. Aktivitas Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan. Tanda : kelemahan otot, somnolen. b. Sirkulasi



Gejala : palpitasi. Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat. c. Eliminasi Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine. d. Makanan / cairan Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia. Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut). e. Integritas ego Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan. Tanda : depresi, ansietas, marah. f. Neurosensori Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, kesemutan. Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang. g. Nyeri / kenyamanan Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot. Tanda : gelisah, distraksi. h. Pernafasan Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal. Tanda : dispnea, takipnea, batuk. i. Keamanan Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal. Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati. II.10 Diagnosa Keperawatan dan Fokus Intervensi Pasien Epilepsi pada anak Menurut Doenges (2000) pada klien epilepsi pada anak ditemukan diagnosa keperawatan dengan intervensi dan rasional sebagai berikut: 1. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan tipe kejang Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 ham, klien tidak mengalami kejang. Intervensi keperawatan: 1. Sadari dan ajari keluarga untuk mengenali reaksi yang tidak baik terhadap obat-obatan. Rasional: Memberikan informasi yang adekuat tentang proses reaksi obat 2. Dorong pengkajian fisik dan laboratorium secara periodic. Rasinoal: Menentukan kemungkinan penyimpangan dari temuan normal. 3. Dorong perawatan gigi yang baik selama terapi fenitoin



Rasional: Menurunkan hyperplasia gusi karena fenitoin 4. Dorong masukkan vitamin D dan asam folat yang adekuat selama terapi fenitonin dan fenobarbital. Rasonal: Mencegah defisiensi 5. Kolaborasi dalam pemberian obat antilepsi Rasional: Memberikan terapi yang tepat 6. Hindari situasi yang diketahui mencetuskan kejang, misalnya cahaya berkedip-kedip dan keletihan. Rasonal: Mencegah terjadinya kejang. 7. Didik orang tua dan anak mengenai aktivitas yang tepat untuk anak (tergantung dari tipe, frekuensi, dan beratnya kejang). Rasional: Memberikan informasi tentang proses penyakit. 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva. Tujuan : jalan nafas menjadi efektif Intervensi keperawatan: 1. Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal. Rasional: menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring. 2. Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar Rasional: meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas. 3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen. Rasional: untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada. 4. Melakukan suction sesuai indikasi Rasional: Mengeluarkan mukus yang berlebih,  menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia. 5. Berikan oksigen sesuai program terapi. Rasional: Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang. 3. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi Tujuan : 1. pengetahuan keluarga meningkat 2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi



3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.



1.



2.



3. 4. 5.



Intervensi keperawatan: Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Rasional: pendidikan merupakan salah satu faktor penentu tingkat pengetahuan seseorang. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien. Rasional: untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang telah mereka ketahui,sehingga pengetahuan yang nantinya akan diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan keluarga. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. Rasional: untuk meningkatkan pengetahuan Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Rasional: untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah dipahami. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien. Rasional: agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat jika suatuwaktu klien mengalami kejang berikutnnya.



DAFTAR PUSTAKA



Bulechek, G. M., et all. (2013). Nursing intervention classification (NIC). United States: Elsevier. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi (diterjemahkan oleh Nkhe Budhi subekti). Jakarta : EGC



Doengoes, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC Dychan. 2008. Epilepsi.(online) www.medicastore.com Ginsberg, L. (2008). Lecture Notes : Neurology. Jakarta: Erlangga Hockenberry, M, et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa, Monica Ester; (6th.ed). volumen 2. Jakarta: EGC Moorhead, S, et all. (2013). Nursing outcome classification (NOC). United States: Elsevier Nanda international, (2016). Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 20162018. Jakarta: EGC Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya. SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Price, Sylvia A. Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Proses Penyakit, edisi 4, Alih Bahasa Peter Anugrah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran  EGC. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC Tarwoto. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Turana, Yuda. (2007). Epilepsi dan gangguan fungsi kognitif. www.medikaholistikcom. Wong, Donna L., et al. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. Jakarta: EGC