LP Gagal Nafas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS DENGAN DIAGNOSA MEDIS GAGAL NAFAS Disusun ntuk memenuhi tugas stase keperawatan gawat darurat dan kritis



Oleh AFENTIANI RIZKY SUHENDRI 204291517030



UNIVERSITAS NASIONAL FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI 2021



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI...............................................................................................................ii A.



KONSEP DASAR.............................................................................................1 1.



Anatomi dan Fisiologi.....................................................................................1



2.



Definisi............................................................................................................9



3.



Etiologi..........................................................................................................10



B.



ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................14 1.



Pengkajian....................................................................................................14



2.



Diagnosa Keperawatan.................................................................................17



3.



Intervensi Keperawatan...............................................................................17



4.



Implementasi Keperawatan.........................................................................21



5.



Evaluasi.........................................................................................................23



DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26



A. KONSEP DASAR 1. Anatomi dan Fisiologi Anatomi pernafasan a. Hidung Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2006).



Bagian depan terdapat nares (cuping hidung) anterior dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings (nasofaring). Rongga hidung terbagi menjadi 2 bagian yaitu vestibulum, merupakan bagian lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi. Permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang memiliki kelenjar sabesea besar, yang meluas ke dalam vestibulum nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang kaku dan besar. Rambut pada hidung berfungsi menapis benda-benda kasar yang terdapat dalam udara inspirasi (Graaff, 2010; Pearce 2007). Pada dinding lateral hidung menonjol tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu: 1)



Konka nasalis superior, 2) Konka nasalis medius, dan 3) Konka nasalis inferior, yang terdapat jaringan kavernosus atau jaringan erektil yaitu pleksus vena besar, berdinding tipis, dan dekat dengan permukaan. Di antara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernapasan. Di sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut koana. Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yan menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba lakminaris (Graaff, 2010). Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas. Rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada rongga tulang tapis.Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung syaraf penciuman yang menuju ke konka nasalis, yang terdapat sel-sel penciuman yang terletak terutama di bagian atas konka. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut syaraf atau respektor dari syaraf penciuman disebut nervus olfaktorius (Syaifuddin, 2006). b. Faring Tekak atau faring merupakan saluran otot yang terletak tegak lurus antara dasar tengkorak (basis kranii) dan vertebra servikalis VI (Syaifuddin, 2012). Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan. Letaknya berada dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher, ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama



istmus fausium, ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang esofagus. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat 2 buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan. Faring dibagi menjadi tiga, yaitu 1) Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas palatum molle. Pada bagian ini



terdapat



dua



struktur penting



yaitu



adanya



saluran



yang



menghubungkan dengan tuba eustachius dan tuba auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba auditory yang menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah. 2) Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus digestif menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior orofaring, bagian orofaring ini memiliki fungsi pada sistem pernapasan dan sistem pencernaan. Refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual. 3)Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring sistem respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke dalam esophagus melalui epiglottis yang fleksibel. c. Laring



Laring merupakan pangkal tenggorokan berupa saluran udara, yang terletak di depan faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya mempunyai fungsi untuk pembentukan suara. Bagian ini dapat ditutup oleh epiglotis, yang terdiri dari tulangtulang rawan yang berfungsi menutupi laring pada waktu kita menelan makanan. Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain 1)Kartilago tiroid (1 buah) terletak di depan jakun sangat jelas terlihat pada pria; 2)Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker; 3)Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin; dan 4)Kartilago epiglotis (1 buah). Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2012; Anderson, 1999). Pada proses pembentukan suara, suara terbentuk sebagai hasil dari kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah, dan bibir. Pada pita suara palsu tidak terdapat otot, oleh karena itu pita suara ini tidak dapat bergetar, hanya antara kedua pita suara tadi dimasuki oleh aliran udara maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker tadi diputar. Akibatnya pita suara dapat mengencang dan mengendor dengan demikian sela udara menjadi sempit atau luas. Pergerakan ini dibantu pula oleh otot-otot laring, udara yang dari paruparu dihembuskan dan menggetarkan pita suara. Getaran itu diteruskan melalui udara yang keluarmasuk. Perbedaan suara seseorang bergantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita (Syaifuddin, 2006). d. Trakea Trakea merupakan batang tenggorokan lanjutan dari laring, terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan. Panjang trakea 911 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel bersilia yang menghasilkan lendir. Lendir ini berfungsi untuk penyaringan lanjutan udara yang masuk, menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan kontaminan lainnya. Sel silia berdenyut akan menggerakan mukus sehingga naik ke faring yang dapat ditelan atau dikeluarkan melalui



rongga mulut. Hal ini bertujuan untuk membersihkan saluran pernapasaan. Trakea terletak di depan saluran esofagus, mengalami percabangan di bagian ujung menuju ke paru-paru, yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina (Graaff, 2010; Silvertho, 2001; Syaifuddin, 2006). e. Bronkus Bronkus merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut karina. Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan terdiri 3 lobus dan bronkus lobaris kiri terdiri 2 lobus. Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan syaraf. Berikut adalah organ percabangan dari bronkus yaitu 1) Bronkiolus, merupakan



cabang-cabang



dari



bronkus



segmental.



Bronkiolus



mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas. 2)Bronkiolus terminalis, merupakan percabagan dari bronkiolus. Bronkiolus terminalismempunyai kelenjar lendir dan silia. 3)Bronkiolus respiratori, merupakan cabang dari bronkiolus terminalis. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas. 4) Duktus alveolar dan sakus alveolar. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar, kemudian menjadi alvioli (Anderson, 1999; Syaifuddin, 2006). f. Paru-Paru Letak paru-paru di rongga dada, menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, pleura visceral (selaput pembungkus) yang langsung membungkus paru-paru dan



pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat mengembang mengempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk melumasi permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas (Silverthon, 2001; Syaifuddin, 2006). Paru-paru merupakan bagian tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m².



Fisiologi Sistem Pernapasan a. Pernapaan Paru Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paruparu. Oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas, masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen kemudian menembus membran, diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh. Karbondioksida merupakan hasil buangan di dalam paru yang menembus membran alveoli, dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa bronkus



berakhir sampai pada mulut dan hidung. Pernapasan pulmoner (paru) terdiri atas empat proses yaitu: 1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar. 2)Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru. 3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian. 4) Difusi gas yang menembus membran alveoli dan karbondioksida lebih mudah berdifusi dari



pada



oksigen



(Pearce,



2007;



Silverthon,



2001;



Syaifuddin,2006).Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasinya dalam darah merangsang pusat pernapasan pada otak, untuk memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernapasan eksterna (Pearce, 2007; Silverthon, 2001; Syaifuddin,2006). b. Pernapasan sel Transpor gas paru-paru dan jaringan Pergerakan gas O2 mengalir dari alveoli masuk ke dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan ke alveoli. Jumlah kedua gas yang ditranspor ke jaringan dan dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan bergabung dengan protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga CO2 yang larut masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian perubahan udara) yang mengubah menjadi senyawa lain. Adanya hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah sampai 70 kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2 dalam darah mnjadi 17 kali (Pearce, 2007; Silverthon, 2001;Syaifuddin, 2006). Pengangkutan oksigen ke jaringan. Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri dari paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan bergantung pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru,



pertukaran gas yang cukup pada paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah. Aliran darah bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan curah jantung. Jumlah O2 dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut, hemoglobin, dan afinitas (daya tarik) hemoglobin (Pearce, 2007; Silverthon, 2001;Syaifuddin, 2006). Transpor oksigen melalui lima tahap sebagai berikut: 1) Tahap I: oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita menarik napas, tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam alveoli komposisi udara berbeda dengan komposisi udara atmosfer, tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mmHg. 2) Tahap II: darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini terdapat oksigen dengan tekanan parsial 40 mmHg. Karena adanya perbedaan tekanan parsial itu apabila sampai pada pembuluh kapiler yang berhubungan dengan membran alveoli maka oksigen yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk ke dalam pembuluh kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan parsial oksigen dalam pembuluh menjadi 100 mmHg. 3) Tahap III: oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen yaitu oksigen yang larut dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian kecil oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat kejenuhan hemoglobin dengan O2 bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan bergantung pada jumlah hemoglobin dalam darah. 4) Tahap IV: sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa melalui cairan interstisial dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial 20 mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg) dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20 mmHg) menyebabkan terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke dalam cairan interstisial.



5) Tahap V: tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-20 mmHg. Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel oksigen ini digunakan untuk reaksi metabolisme yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan (karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O, CO2 dan energi (Pearce, 2007). Reaksi hemoglobin dan oksigen. Dinamika reaksi hemoglobin sangat cocok untuk mengangkut O2. Hemoglobin adalah protein yang terikat pada rantai polipeptida, dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masing-masing atom besi dapat mengikat secara reversible (perubahan arah) dengan satu molekul O2. Besi berada dalam bentuk ferro sehingga reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi (Pearce, 2007; Silverthon, 2001; Syaifuddin, 2006). Transpor karbondioksida. Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira 20 kali kelarutan O2 sehingga terdapat lebih banyak CO2 dari pada O2 dalam larutan sederhana. CO2 berdifusi dalam sel darah merah dengan cepat mengalami hidrasi menjadi H2CO2 karena adanya anhydrase (berkurangnya sekresi kerigat) karbonat berdifusi ke dalam plasma. Penurunan kejenuhan hemoglobin terhadap O2 bila darah melalui kapiler-kapiler jaringan. Sebagian dari CO2 dalam sel darah merah beraksi dengan gugus amino dari protein, hemoglobin membentuk senyawa karbamino (senyawa karbondioksida). Besarnya kenaikan kapasitas darah mengangkut CO2 ditunjukkan oleh selisih antara garis kelarutan CO2 dan garis kadar total CO2 di antara 49 ml CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah senyawa karbamino dan 43,8 ml dalam HCO2 (Pearce, 2007; Silverthon, 2001; Syaifuddin, 2006). 2. Definisi Gagal napas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan gagal mempertahankan fungsi utamanya, yaitu pertukaran gas, di mana PaO2 lebih rendah dari 60 mmHg dan/atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg. Gagal napas diklasifikasikan berdasarkan kelainan gas darah menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2.



Gagal napas tipe 1 (hipoksemik) memiliki PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau subnormal. Pada tipe ini, pertukaran gas terganggu pada tingkat membran kapiler-aveolar. Contoh kegagalan pernapasan tipe I adalah edema paru karsinogenik atau non-kardiogenik dan pneumonia berat. Sedangkan Gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) memiliki PaCO2 > 50 mmHg. Hipoksemia sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa pernapasan. Juga, gagal napas diklasifikasikan menurut onset, perjalanan, dan durasinya menjadi akut, kronis, dan akut di atas gagal napas kronis. 3. Etiologi Ada beberapa penyebab gagal nafas menurut Shebl, E., & Burns, B. (2018) yaitu meliputi: a. Penyebab SSP karena depresi dorongan saraf untuk bernapas seperti pada kasus overdosis narkotika dan obat penenang. b. Gangguan sistem saraf perifer: Kelemahan otot pernapasan dan dinding dada seperti pada kasus sindrom Guillian-Barre dan miastenia gravis. c. Obstruksi saluran napas atas dan bawah: karena berbagai penyebab seperti pada kasus eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik dan asma bronkial akut berat d. Kelainan pada alveolus yang mengakibatkan gagal napas tipe 1 (hipoksemik) seperti pada kasus edema paru dan pneumonia berat. 1. Patofisiologi Merupakan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru yang menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon dioksida dan gangguan pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan hiperkapnia. (Lamba, 2016) Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali ke asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang irreversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/menit. Kapasitas vital adalah ukuran



ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla)



2. Manifestasi Klinik



Ada beberapa tanda dan gejala menurut Shebl, E., & Burns, B. (2018) yaitu meliputi : a. Gejala dan tanda hipoksemia - Dispnea, iritabilitas - Kebingungan, mengantuk, cocok - Takikardia, aritmia - Takipnea - sianosis b. Gejala dan tanda hiperkapnia - Sakit kepala - Perubahan perilaku - Koma - Asteriksis - Papilloedema - Ekstremitas hangat - Gejala dan tanda penyakit yang mendasari, Contohnya Demam, batuk, produksi sputum, nyeri dada pada kasus pneumonia. c. Riwayat sepsis, politrauma, luka bakar, atau transfusi darah sebelum timbulnya gagal napas akut dapat menunjukkan sindrom gangguan pernapasan akut. 3. Komplikasi Menurut Shebl, E., & Burns, B. (2018) Komplikasi dari gagal napas dapat disebabkan oleh gangguan gas darah atau dari pendekatan terapeutik itu sendiri diantaranya : a. Komplikasi paru-paru: misalnya, emboli paru, jaringan parut ireversibel pada paru-paru, pneumotoraks, dan ketergantungan pada ventilator. b. Komplikasi jantung: misalnya, aritmia gagal jantung dan infark miokard akut. c. Komplikasi neurologis: periode hipoksia otak yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel dan kematian otak.



d. Ginjal: gagal ginjal akut dapat terjadi karena hipoperfusi dan/atau obat nefrotoksik. e. Gastro-intestinal: stress ulcer, ileus, dan perdarahan. f. Nutrisi: malnutrisi, diare hipoglikemia, gangguan elektrolit. 4. Penatalaksanaan Medis a. Koreksi Hipoksemia Tujuannya adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang memadai, umumnya dicapai dengan tekanan oksigen arteri (PaO2) sebesar 60 mm Hg atau saturasi oksigen arteri (SaO2), sekitar 90%. Suplementasi oksigen yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keracunan oksigen dan narkosis CO2 (karbon dioksida). Jadi konsentrasi oksigen inspirasi harus disesuaikan pada tingkat terendah, yang cukup untuk oksigenasi jaringan. Oksigen dapat diberikan melalui beberapa rute tergantung pada situasi klinis di mana kita dapat menggunakan nasal kanul, masker nonrebreathing, masker rebreathing, atau nasal kanulaliran tinggi. b. Koreksi hiperkapnia dan asidosis respiratorik Ini dapat dicapai dengan mengobati penyebab yang mendasarinya atau memberikan dukungan ventilasi untuk pasien dengan gagal napas. Tujuan dari dukungan ventilasi pada gagal napas adalah: - Hipoksemia yang benar - Koreksi asidosis respiratorik akut - Istirahat otot-otot ventilasi c. Ventilasi mekanis Indikasi umum untuk ventilasi mekanis meliputi: - Apnea dengan henti napas - Takipnea dengan frekuensi pernapasan >30 kali per menit - Tingkat kesadaran terganggu atau koma - Kelelahan otot pernapasan - Ketidakstabilan hemodinamik - Kegagalan oksigen tambahan untuk meningkatkan PaO2 menjadi 5560 mm Hg



- Hiperkapnea dengan pH arteri kurang dari 7,25. - Pilihan dukungan ventilasi invasif atau non-invasif tergantung pada situasi klinis, apakah kondisinya akut atau kronis, dan seberapa parahnya. Itu juga tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Jika tidak ada indikasi mutlak untuk ventilasi mekanis invasif atau intubasi dan jika tidak ada kontraindikasi untuk ventilasi non-invasif, ventilasi non-invasif lebih disukai terutama dalam kasus eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), edema paru kardiogenik. dan sindrom hipoventilasi obesitas. B. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Pengajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya (Walid 2019) a. Identitas pasien/ biodata Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, tempat lahir, asal suku bangsa. b. Pengkajian Sekunder - Keluhan Utama : Klien biasanya mengeluhkan sesak nafas. - Pengkajian SAMPLE S : tanda dan gejala yang dirasakan klien A: alergi yang dipunyai klien M : tanyakan obat yang dikonsumsi untuk mengatasi masalah P : riwayat penyakit yang diderita klien L : makan minum terakhir, jenis yang dikonsumsi, penurunan dan peningkatan napsu makan E : pencetus atau kejadian penyebab keluhan



- Riwayat Kesehatan Sekarang



Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST dalam bentuk narasi - Riwayat Kesehatan Masa Lalu Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obatobat adiktif dan konsumsi alcohol, berlebihan. - Riwayat Penyakit Keluarga Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi penyakit keturunan dan menular. c. Pengkajian Primer 1.



Airway Peningkatan



sekresi



pernafasan.



Bunyi nafas krekles ronki dan mengi. 2.



Breathing Distress pernafasan : pernafasan cupping hidung, takipneu/bradipneu retraksi. Menggunakan otot aksesori pernafasan, dan sianosis. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.



3. Circulation Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi. Sakit kepala. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,mengantuk. Papiledema. Penurunan haluan urine 4. Disability (kesadaran) Keadaan umum, samnolen Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara. d. Pemeriksaan fisik



Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang mendukung diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, juga berguna untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai penyakit sekarang. Berikut pola pemeriksaan fisik sesuai Review of System: a. B1 (Breathing) Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Gerakan nafas simetris. Pada klien dengan gagal napas sering ditemukan peningkatan frekuensi nafas cepat dan dangkal, serta adanya retraksi sternum dan intercosta space (ICS). Nafas cuping hidung pada sesak berat. Pada klien biasanya didapatkan batuk produktif disertai dengan adanya batuk dengan produksi sputum yang purulen. Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernafasan, getaran suara ( vokal fremitus ) biasanya teraba normal, Nyeri dada yang meningkat karena batuk. Gagal napas yang disertai komplikasi biasanya di dapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan pneumonia didapatkan apabila bronchopneumonia menjadi suatu sarang (konfluens). Pada klien dengan juga di dapatkan bunyi nafas melemah dan bunyi nafas tambahan ronkhi basah pada sisi yang sakit. b. B2 (Blood) Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Biasanya klien tampak melindungi area yang sakit. denyut nadi perifer melemah, menentukan batas jantung, mengukur tekanan darah, dan auskultasi bunyi jantung tambahan c. B3 (Brain) Pada klien dengan terpasang ventilator yang berat sering terjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer bila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak meringis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat.



d. B4 (Bladder) Pengukuran volume output urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan. Pada pasien terpasang ventilator, perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. e. B5 (Bowel) Klien biasanya mengalami mual, muntah, anoreksia, dan penurunan berat badan. f. B6 (Bone) Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 2. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi – perfusi.( D.0003) 2. Gangguan Ventilasi Spontan ( D.0004) 3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan. ( D.0001) 4. Risiko perfusi selebral tidak efektif berhubungan dengan kurangnya suplai O2 dalam jaringan otak ( D.0017) 3. Intervensi Keperawatan N O 1.



Diagnosa Keperawatan Gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi – perfusi. ( D.0003)



Standar Luaran Keperawatan Indonesia ( SLKI ) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil : - Tingkat kesadaran meningkat - Dyspnea menurun - Bunyi nafas tambahan menurun - Nafas cuping hidung menurun



Standar Intervensi Keperawatan Indonesia ( SIKI ) A. Pemantauan Respirasi (I.01014) Observasi - Monitor frekuensi, irama,kedalaman dan upaya napas - Monitor pola napas( seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheynestokes, biot, atksik) - Monitor adanya sumbatan jalan napas - Palpasi kesimetrisan ekspansi



2.



Gangguan Ventilasi Spontan ( D.0004)



- PCO2 Membaik - PO2 Membaik - Takikardia membaik - Sianosis membaik - Pola nafas membaik - Warna kulit membaik



paru Auskultasi bunyi napas Monitor saturasi oksigen Monitor nilai AGD Monitor hasil X-ray Toraks Atur interval pemantauan respirasi sesuaikondisi pasien - Dokumnetasikan hasil pemantauan - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Terapeutik - Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien - Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi - Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan B.Terapi Oksigen (I.01026) Observasi - Monitor kecepatan aliran oksigen - Monitor posisi alat terapi oksigen - Monitor efektifitas terapi oksigen ( misalnya oksimetri, analisa gas darah) - Monitor tanda tanda hipoventilasi Terapeutik - Pertahankan kepatenan jalan nafas - Berikan oksigen tambahan, jika perlu - Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien



Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam ventilasi spontan meningkat dengan kriteria hasil : - Volume tidal meningkat - Dipsnea menurun



A. Dukungan Ventilasi ( I.01002) Observasi - Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas Terapeutik - Pertahankan kepatenan jalan nafas



-



3.



Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan. ( D.0001)



4.



Risiko perfusi selebral tidak efektif berhubungan dengan kurangnya suplai O2 dalam jaringan otak ( D.0017)



- Penggunaan otot bantu nafas menurun - PCO2 Membaik - PO2 Membaik - Takikardia membaik Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam bersihan jalan nafas meningkat dengan kriteria hasil : - Mengi menurun - Dipsnea menurun - Sianosis menurun - Gelisah menurun - Frekuensi nafas membaik - Pola nafas membaik



Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam perfusi selebral meningkat dengan kriteria hasil : - Tingkat kesadaran meningkat - Tekanan darah sistolik membaik - Tekanan darah diastolic membaik



- berikan oksigen sesuai kebutuhan ( missal, nasal kanul, masker wajah, masker rebreathing atau non rebreathing) - gunakan bag valve mas, jika perlu A. Manajemen jalan nafas (I.01011) Observasi - Monitor pola nafas ( Frekuensi, kedalaman, usaha nafas). - Monitor bunyi nafas tambahan ( mis, mengi dan ronki kering) Terapeutik - Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head titt dan chin lift ( jaw – thrust jika curiga trauma servikal ) - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu - Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik - Berikan oksigen, jika perlu. A. Manajemen Peningkatan tekanan intracranial (I.06194) Observasi - Monitor tanda/gejala peningkatan TIK ( mis, tekanan darah meningkat , tekanan nadi melebar, bradikardia, pola nafas ireguler, kesadaran menurun. - Monitor status pernafasan - Monitor intake dan output cairan Terapeutik - Atur ventilator agar paCO2 optimal - Pertahankan suhu tubuh normal.



4. Implementasi Keperawatan Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. - Tahap-Tahap dalam Pelaksanaan



1. Tahap Persiapan • Review rencana tindakan keperawatan. • Analisis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. • Antisipasi komplikasi yang akan timbul. • Mempersiapkan peralatan yang diperlukan (waktu, tenaga, alat). • Mengidentifikasi aspek-aspek hukum dan etik. • Memerhatikan hak-hak pasien, antara lain sebagai berikut. a. Hak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. b. Hak atas informasi. c. Hak untuk menentukan nasib sendiri. d. Hak atas second opinion. 2. Tahap Pelaksaan • Berfokus pada klien. • Berorientasi pada tujuan dan kriteria hasil. • Memperhatikan keamanan fisik dan spikologis klien. • Kompeten. 3. Tahap Sesudah Pelaksaan • Menilai keberhasilan tindakan. • Mendokumentasikan tindakan, yang meliputi: a. Aktivitas/tindakan perawat. b. Hasil/respons pasien. c. Tanggal/jam, nomor diagnosis keperawatan, tanda tangan. Berikut contoh format pelaksanaan :



Kode Diagnosa keperawatan



Tanggal/ Pukul



Tindakan dan



Paraf



Hasil



5. Evaluasi Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. A. Macam Evaluasi 1. Evaluasi Proses (Formatif)  Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.  Berorientasi pada etiologi.  Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai. 2. Evaluasi Hasil (Sumatif)  Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara paripurna.  Berorientasi pada masalah keperawatan.  Menjelaskan keberhasilan/ketidakberhasilan.  Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan. B. Komponen SOAP/SOAPIER



Pengertian SOAPIER adalah sebagai berikut: • S: Data Subjektif Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan. • O: Data Objektif Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung kepada klien, dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.



• A: Analisis Interpretasi dari data subjektif dan data objektif Analisis merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah/diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif. • P: Planning Perencanaan



keperawatan



yang



akan



dilanjutkan,



dihentikan,



dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya. Tindakan yang telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan yang perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih kompeten untuk menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu untuk mencapai keberhasilannya. Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan Yang dirasa dapat membantu menyelesaikan masalah klien, tetapi perlu ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai alternatif pilihan yang lain yang diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan. Sedangkan, rencana tindakan yang baru/sebelumnya tidak ada dapat ditentukan bila timbul masalah baru atau rencana tindakan Yang sudah tidak kompeten lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada.



• I: Implementasi Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P (perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam pelaksanaan. • E: Evaluasi Evaluasi adalah respons klien setelah dilakukan tindakan keperawatan. • R: Reassesment Reassesment adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan? Berikut contoh format evaluasi : Diagnosa Keperawatan



Tanggal Jam



/



Catatan Perkembangan



Paraf



DAFTAR PUSTAKA



Kementrian Kesehatan RI. 2017. Bahan ajar Kebidanan Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Kemenkes RI. Shebl, E., & Burns, B. (2018). Respiratory failure. Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi Dan Indikator Dianostik. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2016.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi Dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2016.Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Walid, Siful dan Nikmatur Rohmah.2019. Proses Keperawatan: Teori dan Aplikasi.Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.