LP GBS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) Asuhan Keperawatan dengan masalah kesehatan Angina Pektoris pada sistem Kardiovaskuler di ruangan Seruni RSUD dr. Chabullah Abdulmajid Kota bekasi



TRI DAMAR HADI 0432950919029



PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH 2019



A. KONSEP TEORI a. Definisi Guillain Barre Syndrome ialah sindrom yang mempunyai banyak sinonim antara lain polyneuritis akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik polyneuritis febril, poliradikulopati, dan acute ascending paralysis yang sering ditemukan pada bagian penyakit saraf yang dicirikan dengan kelumpuhan otot ekstremitas yang akutt dan progresif, dan biasanya muncul sesudah infeksi. (Harsono, 1996). Penyakit Guillain Barre Syndrom (GBS) Merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya refleks. Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot penggerak bola mata sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai gangguan koordinasi anggota gerak (Kemenkes, 2011). Penyakit GBS, sudah ada sejak 1859. Nama Guillain Barre diambil dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain dan Barr yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya. Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.



b. Anatomi Fisiologi



a)



Organisasi Struktural Sistem Saraf



1) Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi tulang kranium dan kanal vertebral. 2) Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen. a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar. Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi : i.



Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.



ii.



Divisi



otonom



(involunter)



mengendalikan



seluruh



respon



involunter pada otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur i)



Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis



ii)



Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada medulla spinalis..



b) Sel-Sel Pada Sistem Saraf Neuron adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan sitoplasma. 1) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut : 2) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak. 3) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh. 4) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron yang menjadi asal akson. 5) Sel Schwann Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk membentuk selubung myelin. 6) Selubung myelin Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann. Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan mencegah impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier



memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat). Klasifikasi Neuron 1) Fungsi. Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi impulsnya. a) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP. b) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor. c) Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron ini menghubungkan neuron sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lain. 2) Struktur. Neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah prosesusnya. a) Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih. Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla spinalis, masuk dalam golongan ini. b) Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron ini ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan hidung. c) Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal, tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.



c. Etiologi Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan immunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada



enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS (Wigagdo, 2008) Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa dipengaruhi oleh sistem imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik dengan terapi modulasi imun. Sebuah penyakit dengan gambaran klinis serupa (serupa dalam patologi, elektrofisiologi dan gangguan CSF) dapat diinduksi pada hewan coba dengan imunisasi saraf tepi utuh, mielin saraf tepi, atau pada beberapa spesies oleh protein dasar mielin saraf tepi P2 atau galaktoserebrosid. Sebuah langkah penting pada penyakit autoimun adalah terganggunya self-tolerance dan ada bukti bahwa hal ini terjadi karena mimikri molekular pada 2 bentuk GBS, AMAN dan sindroma MillerFisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan saraf tepi. Saat GBS didahului oleh infeksi virus, tidak ada bukti langsung infeksi virus pada saraf tepi maupun radix saraf (Kurniawan 2013).



d. Patofisiologi Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) . Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai



pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.  Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan



daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.



Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat



Infeksi pernafasan ringan atau infeksi GI, pembedahan,



e. Pathway



imunisasi, penyakit Hodgkin, limfoma, lupus Eritematosus. Proses Inflamasi. Reaksi sel imono. Menyerang Mielin Cidera dimelinasi



Kecemasan



B 1: BREATHING Gangguan saraf perifer



Proknosis penyakit yang kurang baik



GBS (Guillain Bare Syndrome)



B 2: BLOOD



B3: BRAIN



B4: bladder



Disfungsi Sistem Saraf Otonomik



gangguan fungsi saraf kranial



Kerusakan neuro muskular



Pelepasan reseptor nyeri Bradikinin Prostaglandin



Kehilangan sensasi dan reflek sfingter



B5: bowel Kerusakan neuro muskular



Paralisis otot pernapasan penumpukan vaskular Insufisiensi pernapasan Ketidak efektifan pola pernapasan



Penurunan aliran darah balik vena Gangguan perfusi jaringan



Inkontinensia urin



Imobilisasi Penurunan peristaltic usus



B6: bone & integument Gangguan saraf perifer dan neuro muscular kelemahan otot Imobilitas



Nyeri Konstipasi



Penekanan daerah tertentu Resiko kerusakan integritas kulit



f.



Manifestasi Klinis Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS, 2009), yaitu: a.



Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: 1) Terjadinya kelemahan yang progresif Guillain - Barré Syndrome bisa menjadi gangguan yang menghancurkan karena onset mendadak dan tak terduga . Selain itu, pemulihan belum tentu cepat. Seperti disebutkan di atas , pasien biasanya mencapai titik terbesar kelemahan atau kelumpuhan hari atau minggu setelah gejala pertama terjadi . Gejala kemudian stabil pada tingkat ini untuk jangka waktu hari, minggu , atau kadangkadang , bulan . Periode pemulihan mungkin sesedikit beberapa minggu atau selama beberapa tahun . Sekitar 30 persen dari mereka dengan Guillain- Barré masih memiliki kelemahan sisa setelah 3 tahun . Sekitar 3 persen mungkin menderita kambuh kelemahan otot dan sensasi kesemutan bertahun-tahun setelah serangan awal. 2) Hiporefleksi b.



Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB: 1) Ciri-ciri klinis:



a) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. b) Relatif simetris c) Gejala gangguan sensibilitas ringan d) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. e) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. f) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis 2) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:



a) Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial b) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 c) Varian: i. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala ii. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 3) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa: a) Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal



g. Pemeriksaan Diagnostik a. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture) Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom Guillain-Barre. Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika memiliki GBS, tes ini dapatmenunjukkan



peningkatan



jumlah



protein



dalam



cairan



tulang



belakangtanpa tanda infeksi lain (Muid dan Masdar, 2005). b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.  



EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula



dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang



tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG (Japardi, 2002). c. Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV. d. Elektrokardiografi (EKG) Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering. e. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). f.



Pemeriksaan patologi anatomi Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang



(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.



h. Komplikasi Bahaya yang paling besar dan mengancam jiwa penderita adalah pada fase akut dimana bisa terjadi paralisis otot pernapasan dan aritmia jantung (Muid dan Masdar, 2005). Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Japardi, 2002).



i. Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernapasan (Wibowo, 2001). Apa bila terjadi keadaan demikian, maka penderita segera di rawat di ruang intensif a. Pengobatan imunosupresan: 1) Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 2) Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: a) 6 merkaptopurin (6-MP) b) Azathioprine c) cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,



mual dan sakit kepala. b. Plasmaferesis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar, terutama untuk kasus yang akut. Di negara-negera barat, plasmaferesis mulai sering dilakukan namun demikian belum diperoleh kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini plasma sejumlah 200-250ml/kgbb dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti dengan cairan yang berisi kombinasi garam dan 5% albumin. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. c. Perawatan umum dan fisioterapi Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut, faring dan trakea. Infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati. Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan kekuatan otot. d. Roboransia saraf dapat diberikan terutama secara parenteral. apabila terjadi kesulitan menguyah atau menelan, sebagai akibat kelumpuhan otot-otot wajah dan menelanmaka perlu dipasang pipa hidung-lambung (nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan. e. Manfaat kortikosteroid untuk sindrom guillain-barre masih kontroversial. Namun demikian,apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.



B. KONSEP KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas b. Pola-pola pengkajian 1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan a) Keadaan sebelum sakit Tanyakan mengenai vaksinasi yang di dapatkan pasien, lingkungan, kebiasaan merokok, pernah melakukan check up klinis sebelumnya, dan upaya yang dilakukan mempertahankann hygiene. b) Riwayat Penyakit Saat Ini Keluhan utama: Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas, serta kelumpuhan otot. c) Riwayat Penyakit Yang pernah dialami Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit lain berhubung dengan saluran napas, cerna, atau penyakit lain seperti HIV, hepatitis dll. d) Riwayat Kesehatan Keluarga Tanyakan apakah ada keluarga pasien mengidap penyakit serupa. 2) Pola Nutrisi dan Metabolik Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan. Tanda : Gangguan pada reflex menelan. 3) Pola Eliminasi Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan reflex sfingter. 4) Pola Aktivitas dan Latihan Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas. Kesulitan dalam bernapas, napas pendek menyebabkan sulit beraktivitas. Perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.



Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap. Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, tampak sianosis/pucat. Takikardi/bradikardi, distrimia. 5) Pola Persepsi Kognitif Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu, dan perubahan dalam ketajaman penglihatan. Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan pada otototot wajah, terjadi ptosis kelopak mata. Kehilangan kemampuan untuk berbicara. 6) Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi. 7) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi. Tanda : Tampak takut dan bingung. 2. Diagnosa a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan b. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis orofaringeal.



IntervensI No 1.



Diagnosa



Tujuan dan Kriteria Hasil



Keperawatan Ketidakefektifan pola berhubungan



Setelah



nafas tindakan selama



pernafasan



otot klien



keperawatan 1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan 1. Peningkatan 3x24 pola



adekuat



jam nafas



Tidak



ada







kulit dan membran mukosa.



otot pernapasan.



adanya



kelemahan



pernapasan



selama 2. Indikator yang baik terhadap gangguan fungsi nafas/ menurunnya kapasitas



distress 3. Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler)



vital paru 3. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha



RR klien normal (1624 x/menit)



pernapasan



menandakan adanya kelelahan pada



berbicara



pernafasan



distress



pernafasan. Catat kerja nafas dan observasi warna



dengan 2. Catat



kriteria hasil : 



Rasional



dilakukan Mandiri :



dengan kelemahan/ diharapkan paralisis



Intervensi



4. Evaluasi refleks batuk, refleks gag/menelan secara periodik



batuk, menurunkan kerja pernapasan 4. Evaluasi dilakukan untuk mencegah aspirasi, infeksi pulmonia, dan gagal



Kolaborasi



napas



5. Lakukan pemeriksaan laboratorium 5. Menentukan keefektifan dari ventilasi 6. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi (nasal kanul, masker oksigen, atau ventilator mekanik) 7. Siapkan untuk mempertahankan inkubasi ventilator mekanik sesuai kebutuhan



sekarang dan kebutuhan klien 6. Mengatasi hipoksia



7. 10-20% 8. Lakukan perawatan trakheostomi



klien



yang



mengalami



gangguan



pernapasan



memerlukan



monitoring



berarti terus







menerus 8. Mengcegah infeksi 2.



Hambatan mobilitas



dilakukan Mandiri



fisik tindakan



berhubungan dengan



Setelah selama



keperawatan 1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan skala 1. Menentukan perkembangan/ intervensi 3x24



jam



0-5. Lakukan pengkajian secara teratur



selanjutnya



kerusakan diharapkan klien mampu 2. Berikan posisi yang memberikan kenyamanan pada 2. Menurunkan kelelahan, meningkatkan



neuromuskular



mempertahankan



klien dan lakukan perubahan posisi dengan jadwal



relaksasi, menurunkan resiko terjadinya



mobilitas fisik tanpa ada



yang teratur sesuai kebutuhan individu



iskemia/ kerusakan pada kulit



komplikasi



dengan 3. Sokong



kriteria hasil : 



Tidak



ada



fungsi



persendian



dengan



oto



bagian



4. Lakukan latihan gerak positif. Hindari latihanaktif selama fase akut



dan yang 5. Berikan waktu istirahat saat latihan gerak



ekstremitas



dalam



dan kehilangan fungsi sendi 4. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus



otot,



dan



meningkatkan



mobilisasi sendi 5. Penggunaan otot secara berlebihan



sakit 



3. Mempertahankan



posisi fisiologis, mencegah kontraktur,



laporan



Meningkatkan kekuatan



dan



bantal/papan kaki



kontraktur, dekubitus 



ekstremitas



Mendemonstrasikan



dapat



teknik/perilaku



diperlukan untuk remielinisasi karena



diinginkan



yang sesuai 6. Anjurkan untuk melatih gerak secara bertahap



dapat



meningkatkan



waktu



memperpanjang



yang waktu



kemampuannya



penyembuhan 7. Berikan



lubrikasi/minyak



artifisial



sesuai 6. Meningkatkan fungsi organ normal dan



kebutuhan



memiliki efek psikologis positif



Kolaborasi 8. Konfirmasikan



7. Mencegah kekeringan dari jaringan dengan



bagian



terapi



tubuh yang halus



fisik/fisioterapi 8. Bermanffat



dalam



menciptakan



kekuatan otot 3.



Ketidakseim-



Setelah



bangan



nutrisi tindakan



kurang



dari selama



kebutuhan tubuh



dilakukan Mandiri keperawatan 1. Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk, 1. Kelemahan 5x24



jam



pada keadaan yang teratur



otot



dan



hipoaktif/hiperaktif



refleks dapat



diharapkan tidak terjadi



mengindikasikan



perubahan nutrisi kurang



klien seperti melaui selang NG dsb



dari



kebutuhan dengan 2. Auskultasi bising usung, evaluasi adanya distensi 2. Perubahan



kriteria hasil :



abdomen







BB klien stabil







Hasil



3. Catat masukan kalori tiap hari



Tidak



sering



terjadi akibat dari paralisis/imobilisasi 3. Mengidentifikasi kekurangan makanan



4. Catat makanan yang disukai atau tidak disukai 4. Meningkatkan rasa kontrol dan usaha ada



malnutrisi cekung,



lambung



makan



dan kebutuhannya



laboratorium



normal 



fungsi



kebutuhan



tanda



pasien dan termasuk pilihan diet yang dikehendaki



untuk makan



(mata 5. Berikan makanan setengah pada/cair konjungtiva



anemis, kurus, tulang 6. Berikan bantuan saat makan jika diperlukan



5. Makanan



lunak/setengah



padat



menurunkan risiko terjadinya aspirasi



dada menonjol



6. Derajat 7. Timbang berat badan setiap hari Kolaborasi



hilangnya



kontrol



motorik



mempengaruhi untuk dapat makan sendiri



8. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet yang tepat 7. Mengkaji kefektifan aturan diet untuk klien 9. Pasang/pertahankan selang NG, berikan makanan 8. Makanan enteral/parenteral



suplementasi



dapat



meningkatkan pemasukan nutrisi 9. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu pemasukan mineral



untuk kalori,



menelan, elektrolit



untuk dan



DAFTAR PUSTAKA . Center for disease control. (2012). Guillain Barre Syndrome (GBS) http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm. Diakses pada tanggal 21 November 2019 Harsono. (1996). Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press; Jakarta Japardi I. (2002).Sindroma Guillan-Barre. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara bagian Bedah. Hal: 1-6. Kementerian Kesehatan RI. (2011). GUILLAIN BARRE SINDROM. Di akses tanggal 21 november 2019 di https://www.depkes.go.id/article/print/1628/guillain-barresindrom.html Kurniawan, S. N. (2013). Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II Neurologi Malang 2013. PT Danar Wijaya, Malang. p27-42 Muid, Masdar. (2005). Manifestasi Klinis Dan Laboratoris Penderita Sindroma Guillain Barre Di Ruang Perawatan Anak RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol. XXI, No.2. Hal: 1-7. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. (2009). Guillan-Barre Syndrome. http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/gbs.htm. Diakses 21 November 2019. Wibowo, Samekto & Gofir abdul. (2001). Farmakoterapi Dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika; Jakarta Widagdo, dkk. (2008). Askep Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian; Jakarta. http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-SARAF.pdf Doenges, Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.