LP Gerontik Dan Rematik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN MASALAH ARTHRITIS RHEUMATOID



Oleh : Ufra Musyahidah, S.Kep NS0619139



RESEPTOR INSTITUSI



( Dr. Suarnianti., S.Kep., Ns., M.Kes )



PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NANI HASANUDDINMAKASSAR TAHUN 2020



1.1 Laporan Pendahuluan 1.1.1 Konsep Keperawatan gerontik dan Teori Menua a. Keperawatan gerontik Seseorang dikatakan lansia (lanjut usia) apabila usianya 65 tahun keatas. Lansia bukan penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan (Muhith & Siyoto, 2016). Lansia dikaitkan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut UU No.13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014). Berkaitan dengan lansia, maka muncullah gerontology. Gerontology berasal dari bahasa Yunani geros (tua) dan logos (ilmu). Gerontology dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang proses penuaan dan permasalahan yang dialami oleh lansia serta konsekuensi akibat proses menua terhadap untuk kehidupan lansia sendiri maupun kelompok masyarakat (Dewi, 2014). Keperawatan gerontik atau keperawatan gerontology adalah spesialis keperawatan lanjut usia menjalankan peran dan tanggung jawabnya terhadap tatanan pelayanan kesehatan dengan menggunakan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan, teknologi, dan seni dalam merawat untuk meningkatkan fungsi optimal lanjut usia secara komprhensif (Muhith & Siyoto, 2016). Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang professional dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan gerontik, mencakup biopsikososial dan spritiual, dimana klien adalah orang yang berusia lebih dari 60 tahun, baik yang kondisinya sehat maupun sakit. Tujuan keperawatan gerontik adalah memenuhi kenyaman lansia, mempertahankan fungsi tubuh serta membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai melalui ilmu dan teknik keperawatan gerontik. Cakupan dalam ilmu keperawatan gerontik adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lansia sebagai akibat dari proses menua. Sedangkan lingkup asuhan keperawatan gerontik adalah pencegahan ketidakmampuan sebagai akibat proses penuaan, perawatan untuk pemenuhan kebutuhan lansia dan pemulihan untuk mengatasi keterbatasan lansia. Sifat asuhan keperawatan gerontik adalah independen, humanistic dan holistik. Peran dan fungsi perawat gerontik adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung, sebagai pendidik bagi lansia, keluarga



dan masyarakat. Keperawatan kesehatan dasar adalah bantuan, bimbingan, penyuluhan serta pengawasan yang diberikan oleh tenaga keperawatan(perawat, petugas, panti terlatih) untuk memenuhi kebutuhan dasar lansia (Dewi, 2014). b. Teori Menua Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori biologi, teori psikologi, teori social dan teori spiritiual (Dewi, 2014) 1) Teori biologi a) Teori genetic Teori genetic ini menyebutkan bahwa manusia dan hewan terlahir dengan program genetic yang mengatur proses menua selama rentang hidupnya. Setiap spesies didalam inti selnya memiliki suatu jam genetic/jam biologis sendiri dan setiap spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah diputar menurut replicasi tertentu sehingga bila jam ini berhenti berputar maka ia akan mati. b) We and tear theory Menurut teori pemakaian dan perusakan (wear and tear theory) disebutkan bahwa proses menua terjadi akibat kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel tubuh menjadi lelah dan tidak mampu meremajakan fungsinya. Proses menua merupakan suatu proses fisiologis. c) Teori nutrisi Teori nutrisi menyatakan bahwa proses menua dan kualitas proses menua dipengaruhi intake nutrisi seseorang sepanjang hidupnya. Intake nutrisi yang baik pada setiap tahap perkembangan akan membantu meningkatkan kualitas kesehatan seseorang. Semakin lama seseorang mengkonsumsi makanan bergizi dalam rentang hidupnya, maka ia akan hidup lebih lama dengan sehat. d) Teori mutasi somatic Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi somatic akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi DNA dan RNA dalam proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi secara terus-menerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel normal menjadi sel kanker atau penyakit.



e) Teori stress Teori stress mengungkapkan bahwa proses menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan sel yang menyebabkan sel tubuh telah terpakai. f) Slow immunology theory Menurut teori ini, system imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. g) Teori radikal bebas Radikal bebas terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan selsel tidak dapat melakukan regenerasi. h) Teori rentang silang Pada teori rentang silang diungkapkan bahwa reaksi kimia selsel yang tua dan using menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan penurunan elastisitasm kekacauan, dan hilangnya fungsi sel. 2) Teori psikologis a) Teori kebutuhan dasar manusia Menurut hierarki Maslow tentang kebutuhan dasar manusia, setiap manusia memiliki kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya itu. Dalam pemenuhan kebutuhannya, setiap individu memiliki prioritas. Seorang individu akan berusaha memenuhi kebutuhan di piramida lebih atas ketika kebutuhan di tingkat piramida di bawahnya telah terpenuhi. Kebutuhan pada piramida tertinggal adalah kualitas diri. Ketika individu mengalami proses menua, ia akan berusaha memenuhi kebutuhan di piramida tertinggi yaitu aktualitasi diri. b) Teori individualism Jung Menurut teori ini, kepribadian seseorang tidak hanya berorientasi pada dunia luar namun juga pengalaman pribadi. Keseimbangan merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kesehatan mental. Menurut teori ini proses menua dikatakan berhasil apabila seorang individu melihat ke dalam dan nilai dirinya lebih dari sekedar kehilangan atau pembatasan fisiknya.



c) Teori pusat kehidupan manusia Teori ini berfokus pada identifikasi dan pencapaian tujuan kehidupan seseorang menurut lima fase perkembangan, yaitu: 1. Masa anak-anak; belum memiliki tujuan hidup yang realsitik 2. Remaja dan dewasa muda; mulai memiliki konsep tujuan hidup yang spesifik 3. Dewasa tengah; mulai memiliki tujuan hidup yang lebih kongkrit dan berusaha untuk mewujudkannya 4. Usia pertengahan; melihat ke belakang, mengevaluasi tujuan yang dicapai 5. Lansia; saatnya berhenti untuk melakukan pencapaian tujuan hidup d) Teori tugas perkembangan Menurut tugas tahapan perkembangan ego Ericksson, tugas perkembangan lansia adalah integrity versus despair. Jika lansia dapat menemukan arti dari hidup yang dijalaninya, maka lansia akan memiliki integritas ego untuk menyesuaikan dan mengatur proses menua yang dialaminya. Jika lansia tidak memiliki integritas maka ia akan marah, depresi dan merasa tidak adekuat, dengan kata lain mengalami keputsasaan. 3) Teori sosiologi a) Teori interkasi social (social exchange theory) Menurut teori ini pada lansia terjadi penurunan kekeuasaan dan prestasi sehingga interaksi social mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah. b) Teori penarikan diri (disengagement theoy) Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahanlahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Lansia mengalami kehilangan ganda, yang milupti : 1. Kehilangan peran 2. Hambatan kontak social 3. Berkurangnya komitmen c) Teori aktivitas Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung pada bagaimana seseorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tesebut



lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. d) Teori berkesinambungan Menurut teori ini, setiap orang pasti berubah menjadi tua namun kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak akan mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat menjadi lansia e) Subculture theory Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub kultur. Secara antropologi berarti lansia memiliki norma dan standar budaya sendiri. Standard an norma budaya ini meliputi perilaku, keyakinan dan harapan yang membedakan lansia dari kelompok lainnya. 1.1.2 Konsep perubahan fisiologi dan psikososial pada lansia Perubahan organ akibat proses menua dijelaskan sesuai system organ tubuh. Kata fungsi mengarah pada kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) dan aktivitas sehari-hari independen (IADL) yang berpengaruh terhadap kualitas kehidupan individu lansia. Ketika lansia mengalami perubahan akibat proses menua, fungsi independen lansia akan mengalami gangguan. Pendekatan keperawatan diperlukan untuk mencegah kehilangan fungsi lebih lanjut dan meningkatkan kualitas perawatan diri (Dewi, 2014). a. System kardiovaskular System kardiovaskuler mengalami penurunan efesiensi sejalan dengan proses menua. Namun, karena kebutuhan oksigen lansia saat beristirahat ataupun beraktivitas lebih sedikit, banyak lansia yang mampu mengkompensasi perubahan pada system sirkulasi. Namun, tingginya insiden penyakit kardiovaskuler pada populasi lansia membuatnya sulit untuk dibedakan antara proses menua ataupun penyakit. Perubahan yang terjadi akibat proses menua : 1) Jantung  Kekuatan otot jantung menurun  Katup jantung mengalami penebalan dan menjadi lebiih kaku  Nodus sinoatrial yang bertanggung jawab terhadap kelistrikan jantung menjadi kurrang efektif dalam mejalankan dan implus yang dihasilkan melemah 2) Pembuluh darah  Dinding arteri menjadia kurang elastic







Dinding kapiler menebal sehingga menyebabkan melambatnya pertukaran antara nutrisi dan zat sisa metabolism antara sel dan darah  Dinding pembuluh darah yang semakinkaku akan meningkatkan tekanan darah sistilik dan diastilik 3) Darah  Volume darah menurun sejalan penurunan volume cairan tubuh akibat proses menua  Aktivitas sumsum tulang mengalami penurunan sehingga terjadi penurunan jumlah sel darah merah, kadar hematokrit, dan kadar hemoglobin.  Kontraksi jantung melemah, volume darah yang dipompa menurun, dan cardiac output mengalami penurunan sekitar 1% pertahun dari volume cardiac output orang dewasa normal sebesar 5 liter b. System pernafasan Proses menua memberikan pengaruh normal terhadap fungsi respirasi. Perubahan fungsi respirasi akibat proses menua terjadi secara bertahap sehingga umumnya lansia sudah dapat mengkompensasi perubahan yang terjadi akibat proses menua: 1) Cavum thorak  Cavum thorak menjadi kaku seiring dengan proses klasifikasi kartilago  Vetebrae thorakalis mengalami pemendekan, dan osteoporosis menyebabkan postur bungkuk yang akan menurunkan ekspansi paru dan membatasi pergerakan thorak 2) Otot bantu pernafasan  Otot abdomen melemah sehingga menurunkan usaha nafas baik inspirasi maupun ekspirasi 3) Perubahan intrapulmonal  Daya recoil paru semakin menurun sehingga pertambahan usia  Alveoli melar dan menjadi lebih tipis, dan walaupun jumlahnya konstan, jumlah alveoli yang berfungsi mmenurun secara keseluruhan  Peningkatan ketebalan membran alveoli-kapiler, menurunkan area permukaan fungsional untuk terjadinya pertukaran gas. Perubahan structural pada system respirasi berpengaruh terhadap jumlah aliran udara yang mengalir dari dan kedalam paru, demikian pula pertukaran gas di tingkat alvcolar. Dengan adanya penurunan daya elastic recoll, maka volume residu meningkat. Artinya pada



basis paru terjadi respirasi minimal yang mengakibatkan peningkatan sisa udara dan sekresi yang tertinggal di paru. Pola nafas lansia yang dalam, sekunder akibat perubahan postur, berkontribusi terhadap penurunan aliran udara. Penurunan kekuatan otot dada berkontribusi terhadap menurunnya kemampuan batuk efektif sehingga lansia semakin beresiko mengalami pnemunoia. Pola nafas dalam juga berpengaruh terhadap pertukaran gas. Saturasi oksigen menurun. Sebagai contoh, tekanan parsial oksigen di alveoli (PaO2) sekitar 90 mmHg untuk orang dewasa normal, namun PaO2 sebesar 75 mmHg untuk lansia berusia 70 tahun mash bisa diterima. Penurunan fungsi ini menyebabkan penurunan toleransi saat beraktivitas dan menyebabkan lansia membutuhkan istirahat sejenak di tengah-tengah aktivitas yang dilakukannya. c. System Muskuloskeletal Sebagian besar lansia mengalami perubahan postur, penurunan rentang gerak, dan gerakan yang melambat. Perubahan ini merupakan contoh dari banyaknya karakteristik normal lansia yang berhubungan dengan proses menua. 1) Struktur tulang  Penurunan massa tulang menyebabkan tulang menjadi rapuh dan lemah  Columna vertebralis mengalami kompresi sehingga menyebabkan penurunan tingi badan 2) Kekuatan otot  Regenerasi jaringan otot berjalan lambat dan massa otot berkurang  Otot lengan dan betis mengecil dan bergelambir  Seiring dengan inaktivitas otot kehilangan fleksibilitas dan ketahanannya 3) Sendi  Keterbatasan rentang gerak  Kartilago menipis sehingga sendi menjadi kaku, nyeri dan mengalami inflamasi Penurunan massa otot merupakan proses gradual, dan mayoritas lansia dapat beradaptasi dengan keadaan ini. Aktivitas olahraga telah terbukti mampu menurunkan laju pengeroposan tulang, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan fleksibilitas dan koordinasi otot. Sebaliknya, inaktivitas dan gaya hidup sedentari dapat menurunkan ukuran dan kekuatan otot.



Penurunan massa otot dan densitas tulang, menyebabkan osteoporosis, tulang keropos dan rapuh sehingga beresiko mengalami fraktur. Hal ini terjadi karena defisiensi oleh osteoporosis, menurunnya pergerakan sendi, serta menurunnya kekuatan dan ketahanan otot dapat berpengaruh terhadap kemampuan fungsional lansia. Program latihan efektif di barengi dengan intake nutrisi adekuat dan pandangan hidup sehat mandiri dan aktif dapat memperlambat proses penuaan pada lansia. d. System Integumen Perubahan yang terjadi pada rambut dan kulit barangkali merupakan perubahan yang menjadi simbol terjadinya proses penuaan. Kulit kriput, terbentuknya ‘’age spot’’, rambut beruban dan kebotakan merupakan tanda seseorang telah berubah menjadi tua. Perubahan akibat proses menua : 1) Kulit  Elastisitas kulit menurun, sehingga kulit berkerut dan kering  Kulit menipis sehingga fungsi kulit sebagai pelindung bagi pembulu darah yang terletak di bawahnya berkurang  Lemak subkutan menipis  Penumpukan melanosit, menyebabkan terbentuknya pigmentasi yang dikenal sebagai ‘’aged spot’’ 2) Rambut  Aktivitas folikel rambut menurun sehingga rambut menipis  Penurunan melanin sehingga terjadi perubahan warna rambut 3) Kuku  Penurunan aliran darah ke kuku menyebabkan bantalan kuku menjadi tebal, keras dan rapuh dengan garis longitudinal 4) Kelenjar keringatk  Terjadi penurunan ukuran dan jumlah Kulit yang intak merupakan pertahanan pertama terhadap invasi mikrobakteri. Kekeringan dan penurunan elastisitas kulit meningkatkan resiko gangguan integritas kulit yang berpotensi menimbulkan cedera dan infeksi. Regulasi suhu tubuh terganggu karena penurunan produksi keringat. Sehingga meskipun suhu lingkingan tinggi, langsia bisa saja tidak berkeringat. Sebaliknya, penurunan insulasi akibat penurunan ketebalan lemak subkutan membuat lansia mudah merasa dingin sehingga mereka membutuhkan pakaian yang lebih tebal.



Perubahan sistem integumen akibat proses menua mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh, regulasi suhu tubuh, dan juga mempengaruhi persepsi seseorang tentang proses menua. e. System gastrointestinal Perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal, meskipun bukan kondisi yang mengancam nyawa, namun tetap menjadi perhatian utama bagi para lansia. Perubahan akibat proses menua : 1) Cavum oris  Reabsorbsi tulang bagian rahang dapat menyebabkan tanggalnya gigi sehingga menurunkan kemampuan mengunyah  Lansia yang mengenakan gigi palsu harus mengecek ketepatan posisinya 2) Esofagus  Reflek telan melemah sehingga meningkatkan resiko aspirasi  Melemahnya otot halus sehingga memperlambat waktu pengosongan 3) Lambung  Penurunan sekresi asam lambung menyebabkan gangguan absorbsi besi, vitamin B12, dan protein 4) Intestinum  Peristaltik menurun  Melemahnya peristaltik usus menyebabkan inkompetensi pengosongan bowel Menurunnya peristaltik usus disertai hilangnya tonus otot lambung menyebabkanpengosongan lambung menurun sehingga langsia akan merasa ‘’penuh’’ setelahmengomsumsi makanan meski dalam jumlah sedikit. Pengosongan lambung yang melambat dan penurunan seksresi asam lambung dapat menyebabkan indigesti, ketidaknyamanan dan penurunan nafsu makan. Penurunan peristaltik usus juga memperlambat waktu transit di kolon, sehingga absorbsi air meningkat dan feses mengeras. Sehingga perawat harus merekomendasikan diet dengan serat dan cairan yang adekuat. f. System Genitourinaria Perubahan sistem genitourinaria mempengaruhi fungsi dasar tubuh dalam BAK dan penampilan seksual. Kepercayaan yang dipegang masyarakat bahwa masalah pada sistem genitourinaria merupakan hal yang wajar seiring pertambahan usia. Akibatnya ketika terjadi masalah pada sistem ini lanjut usia terlambat mencari pertolongan.



Membantu lansia mempertahankan fungsi optimal sistem genitourinaria merupakan tantangan bagi perawat. Perubahan akibat proses menua : 1) Fungsi ginjal  Aliran darah ke ginjal menurun karena penurunan candiac output dan laju filtrasi glomerulus menurun  Terjadi gangguan dalam kemampuan mengkonsentrasikan urine 2) Kandung kemih  Tonus otot menghilang dan terjadi gangguan pengosongan kandung kemih  Penurunan kapasitas kandung kemih 3) Miksi  Pada pria dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi akibat pembesaran prostat  Pada wanita, peningkatan frekuensi miksi dapat terjadi akibat melemahnya otot perineal 4) Reproduksi wanita  Terjadi atropi vulva  Penurunan jumlah rambut pubis  Sekresi vaginal menurun, dinding vagina menjadi tipis dan kurang elastic 5) Reproduksi pria  Ukuran testis mengecil  Ukuran prostat membesar Meski terjadi penurunan aliran darah ke ginjal dan terjadi penurunan massa ginjal, selama tidak terjadi suatu penyakit maka sistem genitourinaria masih dapat berfungsi dengan baik. Perubahan fungsi terjadi akibat penurunan fungsi kandung kemih termasuk peningkatan frekuensi miksi, nokturia, dan retensi urine. Perubahan ini dapat menyebabkan disfungsi yang dapat menumbulkan infeksi, urgensi dan inkontinensia. Melemahnya otot perineal pada wanita menyebabkan berkembangnya inkontinensia stres pada wanita, pada kondisi ini urine akan keluar jika lansia mengalami batuk, tertawa, bersin atau mengangkat benda berat. Perubahan pada vagina dapat menyebabkan nyeri saat koitus, infeksi pada vagina dan rasa gatal berkepanjangan. Pembesaran prosat dapat menyebabkan retensi urine, gangguan frekuensi miksi dan inkontinensia overflow bahkan kerusakan ginjal. Sehingga seorang pria yang telah memasuki usia lanjut harus melakukan pemeriksaan prostat secara rutin. Perubahan dalam



berkemih dan fungsi seksual dapat mempengaruhi konsep diri pada lansia. g. Perubahan system pernafasan Perubahan pada sistem saraf mempengaruhi semua sistem tubuh termasuk sistem vaskuler, mobilitas, koordinasi, aktifitas visual dan kemampuan kognitif. Perubahan akibat proses menua : 1) Neuron  Terjadi penurunan jumlah neuron di otak dan batang otak  Sintesa dan metabolisme neuron berkurang  Massa otak berkurang secara progresif 2) Pergerakan  Sensasi kinestetik berkurang  Gangguan keseimbangan  Penurunan reaction time 3) Tidur  Dapat terjadi insomnia dan mudah terbangun di malam hari  Tidur dalam (tahap IV) dan tidur REM berkurang Sejalan dengan penurunan efisiensi kerja neuron, reaction time akan melambat dan kemampuan untuk berespon terhadap stimulus menjadi lambat, keakuratan dan presisi respon pada lansia semakin meningkat. Lansia umumnya terorientasi dengan baik terhadap waktu, tempat dan orang dengan perubahan memori yang minimal kecuali jika terdapat penurunan sintesa neuron dan penurunan massa otak. Lansia beresiko mengalami jatuh karena reaction time dalam mempertahankan keseimbangan menurun dan mengalami reaksi hipotensi sekunder akibat penurunan volume darah. Keluhan berupa gejalah pusing, kepala berputar dan vertigo juga turut mempengaruhi keseimbangan lansia. Pada umumnya lansia mudah terbangun pada malam hari namun mereka tidur cukup pada siang hari sehingga jam tidur lansia tetap adekuat. Kejadian sering terbangun pada malam hari menyebabkan lansia tidak dapat tidur nyenyak dan mudah lelah pada siang hari. Perubahan pada sistem persarafan yang berupa reaction time yang melambat, perubahan keseimbangan, perubahan istirahat tidur dan kognisi merupakan fungsi vital yang mempengaruhi kemampuan dalam pemenuhan ADL. h. System sensori Sistem sensori seperti penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa memfasilitasi komunikasi manusia dengan lingkungan



sekitarnya. Penurunan fungsi organ sensori mempengaruhi kemampuan dan kualitas hidup lansia. Perubahan akibat proses menua : 1) Penglihatan  Penurunan kemampuan memfokuskan objek dekat  Terjadi peningkatan densitas lensa, dan akumulasi lemak di sekitar iris, menimbulkan adanya cincin kuning keabu-abuan  Produksi air mata menurun  Penurunan ukuran pupil dan penurunan sensitivitas pada cahaya  Kemampuan melihat di malam hari menurun, iris kehilangan pigmen sehingga bola mata berwarna biru muda atau keabuabuan 2) Pendengaran  Penurunan kemampuan untuk mendengarkan suara berfrekuensi tinggi Serumen mengandung banyak keratin sehingga mengeras 3) Perasa  Penurunan kemampuan untuk merasakan rasa pahit, asin dan asam 4) Peraba  Penurunan kemampuan untuk merasakan nyeri ringan dan perubahan suhu Perubahan pada indera penglihatan lansia, mempengaruhi pemenuhan kebutuhann ADLnya. Lansia membutuhkan kaca mata untuk membantu mereka melaksanakan ADL. Pada lansia, adaptasi terhadap gelap dan terang membutuhkan waktu lebih lama sehingga aktivitas ringan seperti keluar masuk kamar mandi pada malam hari mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Lensa mata mengalami perubahan warna menjadi kuning menyebabkan penglihatan pada beberapa warna seperti biru, hijau, dan ungu menjadi sulit. Sehingga gunakan warna-warna mencolok seperti kunging, orange, atau merah sebagai penanda atau pewarna dinding kamar mandi agar lebih mudah teridentifikasi oleh lansia. Penurunan produksi air mata menyebabkan mata rentan mengalami iritasi dan infeksi. Kemampuan mendengar juga berkurang , terutama pada suara bernada tinggi. Perawat harus berbicara dengan menggunakan nada normal tanpa berteriak atau tanpa meninggikan suara. Indera perasa juga mengalami penurunan fungsi, sehingga



lansia tidak perka terhadap perubahan rasa. Lansia membutuhkan lebih banyak garam pada makanannya. Perubahan fungsi sensori berpengaruh pada kemampuan fungsional lansia. Perawat harus mengkaji apakah lansia membutuhkan penggunaan alat bantu dan memastikan alat bantu tersebut tersedia setiap saat. Ketika lansia memasuki masa pensiun, mereka mengalami perubahan psikososial (Muhith & Siyoto, 2016) antara lain : a. Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas yang dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan b. Bila seseorang pensiun (purnatugas), ia akan mengalami kehilangankehilangan, antara lain kehilangan finansial (income berkurang), kehilangan status (dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya), kehilangan teman/kenalan atau relasi, kehilangan pekerjaan kegiatan. c. Beberapa kondisi faktual di kalangan para pensiunan di Indonesia disarikan dari 1) Penurunan kondisi kesehatan ternyata tidak di sebabkan secara langsung oleh pensiunan, melainkan oleh problematika kesehatan yang telah dialami sebelumnya 2) Tidak jarang masa pensiun malahan dapat meningkatkan kesehatan, misalnya saja akibat berkurangnya beban tekanan hidup yang harus dihadapi. 3) Kalangan masyarakat mulai memandang masa pensiun sebagai masa yang berkesan dan menarik. 4) Pada masa pensiun, kemungkinan untuk bersantai berkurang, karena waktu yang ada cenderung tersita untuk mengerjakan rumah tangga. 5) Kepuasan perkawinan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi pensiun. 6) Akan ada banyak waktu dan kesempatan bersama keluarga pasangan. 7) Penempatan kerumah jompo, meninggalnya pasangan, mengidap penyakit serius, serta adanya cacat biasanya menyebabkan perubahan gaya hidup yang drastis pada mereka yang pensiun. 8) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awarness of mortality). 9) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan sehingga lingkup gerak lebih sempit.



10) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic depriviation), meningkatnya biaya hidup, bertambahnya biaya pengobatan. 11) Penyakit kronis dan ketidakmampuan. 12) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian. 13) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan. 14) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan keluarga. 15) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. 1.1.3 Konsep Penyakit a. Definisi Athritis Reumatoid Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun sistemik yang penyebabnya belum diketahui. Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris, berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Muizzulatif, Sukohar, & Irawati, 2019). Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit kronik, sistemik yang menyebabkan inflamasi sinovial sehingga menyebabkan kerusakan progresif dari kartilago artikular dan deformitas (Mudjaddid, Puspitasari, Setyhoadi, & Dewiasty, 2017). Artritis rheumatoid merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya yang disertai nyeri dan kaku pada sistem otot (musculoskeletal) dan jaringan ikat/ connective tissue (Sudoyo, 2007). Lebih mudahya artritis rheumatoid diartikan sebagai penyakit yang menyerang sendi, otot, dan jaringan tubuh (Hidayat, 2020). b. Etiologi Penyebab Arthritis Rheumatoid (RA) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor antara lain (Devi, Parmin, & Nadira, 2019) : 1) Mekanisme IMUN ( Antigen- Antibody) seperti interaksi antara IGC dan faktor Reumatoid 2) Gangguan Metabolisme 3) Genetik, infeksi virus 4) Faktor lain : nutrisi, faktor usia dan faktor lingkungan yaitu (pekerjaan dan psikososial).



c. Manifestasi Klinik Gejala awal terjadi pada beberapa sendi. Persendian yang paling sering terkena adalah sendi tangan, pergenalngan tangan, sendi lutut, sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu serta sendi panggul dan biasnya bersifat bilateral/simetris. 1) Stadium awal Malaise, penurunan BB, rasa lelah, sedikit demam dan anemia. Gejala local yang berupa pembengkakan nyeri dan gagguan gerak pada sendi matakarpolfangeal. Pemeriksaan fisik : tenosinofitas pada daerah ekstensor pergelangan tangan dan fleksor jari-jari. Pada sendi besar (misalnya sendi lutut ) gejala peradangan local berupa pembengkakan nyeri serta tanda-tanda efusi sendi. 2) Stadium lanjut Kerusakan sendi dan deformitas yang bersifat permanen, selanjutnya timbul/ketidakstabilan sendi akibat rupture tendon/ligament yang menyebabkan deformitas rheumatoid yang khas berupa deviasi ulna jari-jari, deviasi radikal/volar pergelangan tangan serta valgus lutut dan kaki. 1.1.4 Patofisiologi Pada Arthritis Rheumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi, enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran synovial dan akhirnya pembentukan pannus. Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Devi et al., 2019). 1.1.5 Pemeriksaan penunjang a. Faktor Reumatoid, Fiksasi lateks, reaksi-reaksi aglutinasi b. Laju Endap Darah: Umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h) mungkin kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat c. Protein C-reaktif: positif selama masa ekserbasi d. Sel Darah Putih: Meningkat pada waktu timbul proses inflamasi e. Haemoglobin: umumnya menunjukkan anemia sedang f. Ig (Ig M dan Ig G); peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR



g. Sinar X dari sendi yang sakit: menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartistik yang terjadi secara bersamaan h. Scan radionuklida: identifikasi peradangan sinovium i. Artroskopi Langsung, Aspirasi cairan synovial j. Biopsy membrane synovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas 1.1.6 Penatalaksanaan medis terbaru Setelah diagnose AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antar pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpa OAINS yang dapat diberikan: a. Aspirin; pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1g/hari kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksis. Dosis terapi 20-30 mg/dl. b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya c. DMARD (disease-modifyng antirheumatic drugs) digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthritis rheumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses rheumatoid akan berkurang. Jenis jenis yang digunakan adalah: 1) Klorokuin ; paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektifitasnya lebih rendah dibandingkan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250mg/hari, hidrosikklorokuin 400mg/hari. 2) Sulfazalazin dalam bentuk tablet bersalut digunakan dalam dosis 1x500mg perhari, ditingkatkan 500mg perminggu, sampai mencapai dosis 4 untuk dipakai dalam jangka waktu panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam wktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan digantikan dengan yang lain, atau dikombinasi. 3) D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja lambat digunakan dalam dosis 250-300mg perhari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4minggu sebesar 250-300mg perhari untuk mencapai dosis total 4x250 – 300 mg/hari.



4) Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Aurosodium tiummalat (AST) diberikan intramuscular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10mg, seminggu dosis ke 2 20mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50mg tiap 2 minggu-3 bulan jika diperlukan dapat diberikan dosis 50mg setiap 3 minggu – keadaan remisi tercapai. 5) Obat imunupresif atau imunoregulator. Sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relative pendek. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus di tingkatkan. Dosis jarang melebihi 20mg/minggu. Penggunaan siklosforin untuk atritis rheumatoid masih dalam penelitian. 6) Kortikosteroid hanya di gunakan dalam pengobatan atritis rheumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti faskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah, seperti predmison 5-7,5 mg 1xsehari. Sangat bermanfaat sebagai breaking terapi dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD. Mulai bekerja, yang kemudian dihentikan dengan bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus di singkirkan terlebih dahulu. d. Riwayat penyakit alamiah Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami 1 episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna) pada pihak lain sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi sampai saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat sebagai disease kontroling antireumatic therapy (DCART) e. Rehabilitasi Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan tujuan : 1) Mengurangi rasa nyeri



2) 3) 4) 5) 6)



Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot Mencegah terjadinya deformitas Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri Mempertahankan kemandirian sehingga tidka bergantung pada orang lain. Rehabilitasi dilaksanakan dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang ras anyeri dengan arus listrik. 1.1.7 Konsep tindakan keperawatan yang akan diberikan  Terapi kompres air hangat serai Secara nonfarmakologi yaitu menghangatkan persendian yang sakit dengan terapi kompres hangat, yang dilakukan dengan menggunakan kain yang direndam pada air hangat, dimana terjadi pemindahan panas dari kain kedalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot, sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang. Terapi kompres hangat tersebut dapat dikombinasikan dengan herbal yaitu air rebusan serai. Dalam buku Herbal Indonesia disebutkan bahwa khasiat tanaman serei mengandung minyak atsiri, yang memiliki sifat kimiawi dan efek farmakologi yaitu rasa pedas dan bersifat hangat sebagai anti radang (anti inflamasi), dan menghilangkan rasa sakit atau nyeri yang bersifat analgetik, serta melancarkan sirkulasi darah yang di indikasikan untuk menghilangkan nyeri otot dan nyeri sendi pada penderita arthritis rheumatoid, badan pegallinu dan sakit kepala (Devi et al., 2019)  Terapi kompres jahe merah Intervensi non farmakologi yang dapat dilakukan perawat secara mandiri dalam menurunkan skala nyeri rheumathoid arhtritis yaitu dengan kompres jahe. Jahe (Zinger Officinale (L) Rosc) mempunyai manfaat yang beragam, antara lain sebagai rempah, minyak atsiri, pemberi aroma, ataupun sebagai obat. Secara tradisional, kegunaannya antara lain untuk mengobati rematik, asma, stroke, sakit gigi, diabetes, sakit otot, tenggorokan, kram, hipertensi, mual, demam dan infek. Beberapa komponen kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan zingerone memberi efek farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti inflamasi, analgesik, antikarsinogenik (Syapitri, 2018). Jahe merah mengandung 19 komponen bio-aktif yang berguna



bagi tubuh. Salah satu komponen terbanyak terdapat di jahe merah adalah subtansi rasa pedas gingerol dan panas, berkhasiat sebagai antihelmintik, antirematik, dan pencegah masuk angin. Gingerol bersifat antikoagulan yaitu pencagah penggumpalan darah. Khusus sebagai obat, khasiat jahe merah sudah dikenal turun-temurun diantaranya sebagai pereda sakit kepala, batuk, masuk angin. Jahe merah juga kerap digunakan sebagai obat untuk meredakan gangguan saluran pencernan, rematik, obat antimual dan mabuk perjalanan, kembung, kolera, diare, sakit tenggorokan, difteria, penawar racun, gatal digigit serangga, kaseleo, bengkak serta memar. Efek panas pada jahe merah inilah yang meredakan nyeri, kaku dan spasme otot pada RA. Jahe merah juga dapat digunakan untuk mengobati luka lecet dan luka tikam karena duri atau benda tajam, karena jatuh, dan luka digigit ular juga dapat disembuhkan (Virgo & Sopianto, 2019). 1.2 Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual 1.2.1 Identitas Pasien dan Penanggung Jawab Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, status pernikahan, alamat, nomor rekam medic, diagnosa, tanggal pengkajian, tanggal masuk RS, nama penanggung jawab, umur, jenis kelamin, serta hubungan dengan pasien. 1.2.2 Status Kesehatan 1.2.2.1 Keluhan Utama Pasien mengeluh nyeri pada daerah persendian 1.2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengatakan nyeri pada persendian dan merasa kram 1.2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit rematik sebelumnya pernah menderita penyakit rematik 1.2.2.4 Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien saat ini.



1.2.3 Pola Kebutuhan 1.2.3.1 Pernapasan Frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tiroksikosis) 1.2.4 Pemeriksaan Fisik 1.2.4.1 B1 (Breathing) Pemeriksaan paru-paru (IPPA) 1.2.4.2 B2 (Blood) Pengisian kapiler < 1 detik, keringat dingin dan pusing 1.2.4.3 B3 (Brain) Kesadaran composmentis, kepala dan wajah, sclera tidak ikterik, konjungtiva anemis 1.2.4.4 B4 (Bladder) Produksi urin dalam batas normal dan tidak terdapat keluhan kecuali penyakit gout 1.2.4.5 B5 (Bowel) Normal tapi harus dikaji frekuensi, warna, dan bau feses. Biasanya mengalami nyeri lambung, mual dan tidak nafsu makan. 1.2.4.6 Bone (Bone) - Look : keluhan nyeri sendi dan perlu segera diberi pertolongan - Feel : ada nyeri tekan pada kaki yang bengkak - Move : hambatan gerak sendi biasanya semakin bertambah berat 1.3 Diagnosa Keperawatan Diagnose keperawatan menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) 1.3.1 Nyeri kronis berhubungan fungsi metabolic (D.0078) Kategori : Psikologis Subkategori : Nyeri dan Kenyamaan 1.3.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (D.0054) Kategori : Fisiologi Subkategori : Aktivitas/Istirahat



1.4 Rencana Asuhan Keperawatan Intervensi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018) Kriteria Hasil (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2019) No 1.



2.



Diagnose Keperawatan Nyeri kronis berhubungan fungsi metabolik



Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri



Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi 1. Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri 2. Kontrol Nyeri 1. Identifikasi lokasi, 3. Status karakteristik, durasi, Kenyamanan frekuensi, kualitas, Kriteria Hasil: intensitas nyeri 1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala Meningkat pada 1 nyeri menurun pada 5 3. Control lingkungan 2. Meringis yang memperberat Meningkat pada 1 rasa nyeri menurun pada 5 4. Ajarkan teknik non 3. Melaporkan nyeri farmakologi untuk terkontrol mengurasi rasa nyeri Menurun pada 1 (tekinik relaksasi meningkat pada 5 napas dalam) 4. Kemampuan 5. Kolaborasi menggunakan teknik pemberian analgetik. non-farmakologi Menurun pada 1 meningkat pada 5 5. Keluhan tidak nyaman Meningkat pada 1 menurun pada 5 Mobilitas Fisik Dukungan ambulasi Criteria Hasil : 1. Identifikasi adanya 1. Pergerakan ektremitas nyeri atau keluhan Menurun pada 1 fisik lainnya meningkat pada 5 2. Identifikasi toleransi 2. Gerakan terbatas fisik melakukan Menurun pada 1 ambulasi meningkat pada 5 3. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi 4. Libatkan keluarga untuk membantu



pasien dalam meningkatkan ambulasi 5. Anjurkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan 1.5 Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik menggambarkan criteria hasil yang diharapkan (Patrica, 2010). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Mulyanti, 2017). 1.6 Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. 1.7 Program perencanaan pulang/discharger planning Discharger Planning adalah perencanaan yang dilakukan untuk pasien dan keluarga sebelum pasien meninggalkan rumah sakitdengan tujuan agar pasien dapat mencapai kesehatan yang optimal dan mengurangi biaya rumah sakit (Rakhmawati & Dian, 2013). Sebelum pemulangan pasien, keluarga harus memahami dan mengetahui cara manajemen pemberian perawatan yang dapat dilakukan dirumah seperti perawatan pasien yang berkelanjutan, sehingga dapat mengurangi komplikasi (Patrica, 2010). 1.7.1 Mengistirahatkan sendi yang nyeri 1.7.2 Menghindarkan faktor pencetus 1.7.3 Pemberian obat anti inflamasi 1.7.4 Minum 2-3 liter cairan setiap hari dan meningkatkan masukan makanan pembuat alkalis, serta menghindari makanan yang mengandung purin tinggi



1.7.5 Hindari minuman beralkohol DAFTAR PUSTAKA Devi, R., Parmin, & Nadira. (2019). Asuhan Keperawatan Keluarga pada Kasus Arthritis Reumatoid Untuk Mengurangi Nyeri Kronis Melalui Pemberian Terapi Kompres Hangat Serai. Jurnal Kesehatan Tadulako, 5(2), 54–62. Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (1st ed.). Retrieved from https://books.google.co.id/books? id=3FmACAAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summar y_r&cad=0#v=onepage&q&f=false Dinarti, & Mulyanti, Y. (2017). Bahan Ajar Keperawatan Dokumentasi Keperawatan (Edisi 1). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hidayat, R. (2020). Efektivitas Kompres Serei Hangat Terhadap Penurunan Skala Nyeri Arthritis Rheumatoid pada Lansia di Desa Naumbai Wilayah Kerja Psukesmas Kampar. Jurnal Ners, 4(23), 29–34. Retrieved from http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/ners%0AEFEKTIFITAS Mudjaddid, Puspitasari, M., Setyhoadi, B., & Dewiasty, E. (2017). Hubungan Derajat Aktivitas Penyakit dengan Depresi pada Pasien Artritis Reumatoid. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 4(4), 194–198. Muhith, A., & Siyoto, S. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik (1st ed.; P. Christian, ed.). Retrieved from https://books.google.co.id/books? id=U6ApDgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summar y_r&cad=0#v=onepage&q&f=false Muizzulatif, M., Sukohar, A., & Irawati, N. A. V. (2019). Efektivitas Pengobatan Herbal Untuk Rheumatoid Arthritis. 8, 206–210. Patrica, P. (2010). Fundamental of Nurisng (Edisi 7). Jakarta: Salemba Medika. Rakhmawati, N., & Dian. (2013). Pengaruh Discharge Planning Terhadap Penambahan Berat Badan Pada BBLR Dalam 3 Bulan Pertama Di Kota Semarang. Jurnal Keperawatan Anak, Volume 1,. Syapitri, H. (2018). Kompres Jahe Berkhasiat dalam Menurunkan Intensitas Nyer pada Penderita Rheumatoid Arthritis. Jurnal Mutiara Ners, 1(1), 57–64. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.



Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteris Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Virgo, G., & Sopianto. (2019). Efektivitas Kompres Jahe Merah Terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Lansia yang Menderita Rheumatoid Arthritis di Puskesmas Pembantu Bakau Aceh Wilayah Kerja Puskesmas Batang Tumu. Jurnal Ners, 3(23).