LTK-K15-Kelompok-006, 007, 026, 045-Febriyanti, Sigit, Liana, & Yosef  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LTM “KONSEP MANAJEMEN REHABILITASI PADA GANGGUAN JIWA”



Oleh:



1. Febriyanti



(196070300111006)



2. Sigit Yulianto



(196070300111007)



3. Liana



(196070300111026)



4. Yosef Andrian Beo



(196070300111045)



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2020



BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia. Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut di bagi ke dalam dua golongan yaitu: gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa). Menurut Zakiah Drajat dalam buku keperawatan jiwa, orang yang terkena neurosa masih mengetahui dan merasakan kesukarannya, serta kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya, sedangkan orang yang terkena psikosa tidak memahami kesukarankesukarannya, kepribadiannya (dari segi tanggapan, perasaan/emosi, dan dorongan motivasinya sangat terganggu), tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan. Keabnormalan terlihat dalam berbagai macam gejala yang terpenting di antaranya adalah: ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeria, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk dan sebagainya (Lestari dkk, 2014). Gangguan jiwa dapat menyerang siapa saja dan tidak mengenal usia. Gangguan jiwa tidak hanya menyerang orang-orang tua, tetapi juga menyerang anakanak muda dan remaja. Umumnya, penderita gangguan jiwa adalah orang tua dan tak jarang kita juga menemukan beberapa penderita yang masih muda atau remaja yang terkena penyakit tersebut. Ada beberapa stigma dari masyarakat yang mengatakan gangguan jiwa berasal dari guna-guna orang lain. Tidak hanya stigma seperti itu, ada juga yang mengatakan bahwa ganggguan jiwa tidak dapat disembuhkan. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan dari luar individu maupun tekanan dari dalam individu. Gangguan jiwa adalah gangguan yang ada dalam cara berpikir, kemauan, emosi dan tindakan. Seseorang bisa dikatakan jiwanya sehat jika ia bisa dan mampu untuk menikmati hidup, punya keseimbangan antara aktivitas kehidupannya, mampu menangani masalah yang ada pada dirinya secara sehat, serta berperilaku normal dan wajar sesuai dengan tempat atau budaya dimana dia berada.



Orang yang jiwanya sehat akan dapat menyalurkan emosinya secara tepat dan biasanya dapat menyesuaikan antara kebutuhan dan lingkungannya. Ada beberapa jenis gangguan jiwa yang sering ditemukan dan terdengar sudah tidak asing lagi. Jenis gangguan jiwa tersebut dapat dilihat dengan ciri-ciri yang ada pada penderita. Beberapa jenis gangguan jiwa tersebut meliputi skizofernia, depresi, bipolar, kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan mental organik dan lain-lain. Jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) cenderung terus bertambah. Menurut data rutin Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY pada 2015 telah menunjukkan angka sebesar 10.993 ODGJ. Di tahun 2016, jumlah itu menjadi 10.554 orang, belum termasuk Kabupaten Sleman. Dalam menangani masalah gangguan jiwa, pemerintah menyediakan fasilitas berupa rumah sakit jiwa di mana dalam rumah sakit tersebut terdapat terapi medis, psikologis, maupun sosial. Terapi sosial bertujuan untuk mengembalikan keberfungsian sosial pasien yang mencakup terapi okupasi dan terapi vokasional. Terapi okupasi adalah terapi yang bertujuan agar pasien mampu melakukan kegiatan sehari-hari dan untuk hidup mandiri setelah keluar dari rumah sakit nanti. Contoh terapi okupasi adalah melatih makan, minum dan mandi secara mandiri. Sedangkan terapi vokasi adalah terapi yang bertujuan agar individu dapat memperoleh keterampilan, meningkatkan sumber daya, mengoptimalkan sikap, serta harapan yang diperlukan. Contoh dari terapi vokasional adalah pelatihan keterampilan seperti menjahit, berkebun, membantik dan mengelas. Pelayanan yang ada pada rehabilitasi mental dirancang untuk meningkatkan kembali kemampuan yang ada pada diri klien dan melatih kesiapan mental dan sosial klien agar mau untuk kembali ke masyarakat, mau untuk diberdayakan yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup klien menuju kesejahteraan klien atau pasien. Kesejahteraan sosial merupakan kondisi dimana terpenuhinya segala kebutuhan hidup baik kehidupan dasar maupun kebutuhan tambahan seperti papan, sandang, pangan, spiritual, dan sosial dengan tujuan agar dapat hidup layak dan mampu memenuhi diri sehingga dapat melaksanakan fungsifungsi sosial dengan baik. Menurut Edi Suharto dalam buku Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, keberfungsian sosial sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan dasar,



menjalankan peranan sosial, serta menghadapi goncangan dan tekanan (shock and stress) B. Tujuan Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan konsep terkait Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa C. Manfaat Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu mahasiswa mampu mengidentifikasi konsep terkait Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa



BAB II TINJAUAN TEORI A. Konsep Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa Konsep manajemen rehabilitasi kesehatan mental dapat mencakup sejumlah besar kondisi melumpuhkan, dari psikotik atau bipolar yang parah dan gangguan afektif yang lebih sementara. Untuk merenungkan Konsep rehabilitasi itu berguna untuk merefleksikan konsep disabilitas. Tidak ada definisi istilah 'disabilitas' karena istilah itu telah didefinisikan dalam banyak hal sepanjang sejarah tergantung pada struktur dan nilai sistem setiap masyarakat. Konsep rehabilitasi kejiwaan adalah untuk membantu individu dengan disabilitas kejiwaan untuk meningkatkan fungsi mereka sehingga mereka berhasil dan puas dalam lingkungan pilihan mereka dengan jumlah profesional paling sedikit intervensi (Etherington, 2002). Setiap upaya untuk campur tangan dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk masuk rehabilitasi ke berbagai tingkatan tergantung pada kombinasi keadaan, termasuk interpretasinya intervensi dan dampak dari upaya sebelumnya. Begitu pula di masyarakat mengalami masalah penyalahgunaan zat, berbagai faktor dapat memengaruhi apakah warga memulai upaya pencegahan, termasuk sikap mereka tentang faktor risiko baru dan yang ada (Freeman, 2001). Definisi rehabilitasi pada dasarnya menyatu di sekitar gagasan bahwa klien harus mencapai penyesuaian hidup terbaik di lingkungannya. Tampaknya para profesional rehabilitasi memiliki sedikit kesulitan dalam memahami konsep ini sehubungan dengan kecacatan fisik, namun banyak ahli rehabilitasi tidak memahami apa yang terlibat dalam prinsip dan praktik rehabilitasi kejiwaan (Anthony, 1991). Meskipun ada perbedaan yang jelas antara dua pendekatan perawatan, pendekatan rehabilitasi psikiatris didasarkan pada model rehabilitasi, model cacat-cacat-cacat yang sama yang mendasari bidang rehabilitasi fisik (Rogers, Anthony, & Jansen, 1991). Menurut Bond (1995), rehabilitasi psikiatris memberikan kesempatan kepada individu dengan gangguan kejiwaan untuk bekerja, hidup dalam komunitas, dan nikmati kehidupan sosial, dengan langkah mereka sendiri, melalui pengalaman yang direncanakan dalam suasana penuh hormat, suportif, dan realistis. Rehabilitasi psikiatris biasanya melibatkan individu dalam memperoleh atau meningkatkan



keterampilan dan memperoleh sumber daya dan dukungan yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan mereka. Misi rehabilitasi kejiwaan seperti yang didefinisikan oleh Anthony et al. (1990) adalah untuk membantu orang dengan cacat kejiwaan jangka panjang untuk meningkatkan fungsi mereka sehingga mereka berhasil dan puas di lingkungan pilihan mereka. Proses di mana misi ini dapat dicapai termasuk mengembangkan keterampilan individu dan / atau mengembangkan lebih banyak dukungan di lingkungan mereka; dengan kata lain, membantu orang untuk mengubah dan / atau mengubah hidup mereka, belajar, atau lingkungan kerja (Anthony, 1991). Praktek rehabilitasi kejiwaan adalah dibimbing oleh filosofi dasar rehabilitasi yaitu bahwa penyandang cacat memerlukan keterampilan dan dukungan lingkungan untuk memenuhi tuntutan peran hidup, belajar, sosial, dan lingkungan kerja (Moxley & Finch, 2003). Stuart membagi empat stase perawatan yaitu krisis, akut, health maintenance dan promosi kesehatan. Pada stase krisis, tujuan perawatan adalah stabilisasi pasien. Untuk mencapai tujuan ini, perawat perlu melakukan pengakajian faktor resiko, melakukan intervensi yang diarahkan langsung untuk mengatur lingkungan untuk menyediakan keamanan bagi pasien sehingga diharapkan tidak ada hal berbahaya yang terjadi pada pasien atau orang lain. Pada stase akut, tujuan utama perawatan adalah remisi penyakit pasien. Pada stase ini perawat perlu melakukan pengkajian gejala repon koping maladaptive yang dimiliki pasien. Perawat perlu melakukan intervensi yang diarahkan langsung untuk merencanakan perawatan dengan pasien dan model serta pengajaran terkait respon adaptif. Pada tahap health maintenance, tujuan utama keperawatan adalah pemulihan seluruhnya dari pasien. Pada tahap ini perawat perlu melakukan pengkajian terkait functional status yang dimiliki pasien. Intervensi keperawatan diarahkan langsung kepada penguatan respon koping adaptif pasien dan advokasi pasien dimana keberhasilan intervensi ditandai dengan hilangnya gejala. Pada stase promosi kesehatan, tujuan keperawatan adalah kesejahteraan pasien berada pada level optimal. Perawat perlu melakukan pengkajian terkait kualitas hidup dan kesejahteraan pasien pada stase ini. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk menginspirasi dan memvalidasi pasien dimana keberhasilan intervensi ditandai dengan optimalnya kualitas hidup pasien.



Pada fase health maintenance inilah perawat perlu memberikan recovery support kepada pasien agar pasien patuh terhadap program pengobatan (Stuart, 2013). Individu yang memiliki penyakit mental serius, dengan pemberian dukungan yang sesuai dan individual, dapat pulih dari penyakit mereka dan menjalani kehidupan yang memuaskan dan produktif. Pemulihan (recovery) adalah perjalanan penyembuhan dan transformasi yang memungkinkan seseorang dengan masalah kesehatan mental untuk menjalani kehidupan yang bermakna dalam komunitasnya sambil berusaha untuk mencapai potensi penuhnya (USDHHS, 2006). Pemulihan adalah proses di mana orang dapat hidup, bekerja, belajar, dan berpartisipasi penuh dalam komunitas mereka. Bagi sebagian orang, pemulihan adalah kemampuan untuk menjalani kehidupan yang memuaskan dan produktif meskipun memiliki disabilitas. Bagi yang lain, pemulihan menyiratkan pengurangan atau remisi lengkap gejala. Pemulihan juga melibatkan keterhubungan, atau kapasitas untuk hubungan interpersonal timbal balik, dan kewarganegaraan, yang mencakup hak, hak istimewa, dan tanggung jawab keanggotaan dalam masyarakat demokratis (Ware et al, 2007, 2008). B. Penerapan Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa Rehabilitasi dapat diartikan sebagai suatu proses untuk mengembalikan fungsi-fungsi dan pengembangan dari pasien gangguan jiwa agar dapat terbentuk kembali atau mengembalikan fungsi sosialnya dengan baik tentunya dengan tujuan agar dapat kembali menyesuaikan antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa pasti akan memiliki jarak dengan masyarakat. Selain itu seseorang yang pernah mengalami gangguan jiwa pasti akan mengalami diskriminasi oleh masyarakat ataupun lingkungan sekitarnya. Secara tidak langsung pasti orang tersebut mengalami tekanan batin atas diskriminasi yang dilakukan oleh orang orang disekitarnya. Ketika orang-orang diberi sdikit kesempatan atau ketika mereka menghadapi tekanan karena karakter manusia yang tidak tergantikan, mereka sepertinya mengalami kekacauan batin, frustasi, dan stres yang menyebabkan berkembangnya simpton-simptom psikologis. Rehabilitasi sosial dimaksudkan dalam kaitannya dengan layanan kepada individu yang membutuhkan layanan khusus dibidang sosial, yaitu meningkatkan kemampuan bersosialisasi,



mencegah jangan sampai kemampuan sosialnya menurun, atau lebih parah dari kondisi sosial sebelumnya.10Rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk membantu seseorang kembali ke tengah tengah masyarakat dan mengembalikan lagi fungsi-fungsi sosialnya dengan baik agar dapat kembali melakukan aktivitas seperti semula seperti bekerja, bermasyarakat dan lingkungan sekitarnya (Tarmansyah, 2003). Dalam melakukan rehabilitasi, seorang perawat juga melakukan pemberian motivasi kepada pasien dengan tujuan untuk menguatkan dan memotivasi klien agar bersemangat dalam mengikuti rehabilitasi. Program rehabilitasi sebagai persiapan kembali ke keluarga dan ke masyarakat meliputi berbagai macam kegiatan, antara lain terapi kelompok, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian (menyanyi, musik, tari-tarian, seni lukis dan sejenisnya), terapi fisik berupa olah raga (pendidikan jasmani), keterampilan (membuat kerajinan tangan), berbagai macam kursus (bimbingan belajar/les), bercocok tanam (bila tersedia lahan), rekreasi (darmawisata), dan lain sebagainya Adapun tujuan dari rehabilitasi yaitu: 1. Memulihkan atau mengembalikan lagi rasa percaya diri, kesadaran



serta



tanggung jawab terhadap masa depan dirinya dan juga keluarganya. Selain itu ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) juga dapat menyesuaikan kembali ke dalam lingkungan sosialnya dan masyarakat sekitarnya. 2. Mengembalikan kembali kemauan dan kemampuan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)untuk dapat melakukan aktivitas seperti melaksanakan fungsifungsi sosialnya dengan baik seperti sedia kala. Jenis - jenis kegiatan yang ada dilakukan dalam rehabilitasi yaitu: 1. Terapi Okupasi. Menurut American Occupational Therapist Association yang dikutip dalam buku Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa pengantar dan teori, terapi okupasi adalah perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk penderita cacat mental maupun fisik.Pengertian lain dari terapi okupasi adalah terapi yang dilakukan melalui kegiatan atau pekerjaan terhadap anak yang mengalami gangguan koordinasi sensori motor, kegiatan kehidupan seharihari (Activity of Daily Living), diberikan secara sistematis melalui kegiatan



identifikasi, analisi, diagnosis, pelaksanaan serta tindak lanjut layanan dalam upaya mencapai kesembuhan yang optimal. Aktivitas yang ada dalam terapi okupasi meliputi latihan gerak badan, olahraga, permainan, kerajinan tangan, kesehatan/kebersihan dan kerapihan pribadi, pekerjaan sehari-hari/aktivitas kehidupan sehari-hari, praktik pre-vokasional, seni tari/musik/lukis/drama, rekreasi dan diskusi dengan topik tertentu. Fungsi dan tujuan terapi okupasi untuk pasien mental/jiwa yaitu: a. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya. b. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif. c. Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya. d. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan penetapan terapi lainnya. 2. Rehabilitasi Vokasional merupakan Terapi vokasional merupakan suatu proses di mana pasien ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya kemudian dilatih lagi agar lebih baik dan dapat membantu pasien pada saat sudah keluar dari rumah sakit atau tempat rehabilitasinya, pasien dapat melanjutkan lagi pekerjaan tersebut sehingga dapat membantu pasien untuk hidup mandiri dan dapat memenuhi kebutuhannya. Kegiatan ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengasah bakat dan meningkatkan kreatifitas pasien agar pasien tidak menganggur saat sudah kembali dari rumah sakit. Sebelum mengikuti terapi vokasional biasanya pasien mengikuti test untuk mengetahui keterampilan dan minat apa saja yang ada pada pasien seperti keterampilan membatik, mengelas, membuat batako, menjahit, berkebun atau membuat telur asin. Setelah pasien mengikuti kegiatan keterampilan ini kemudian pekerja sosial biasanya memberikan peneliaian untuk menentukan pasien bisa lulus dari program terapi lalu kembali ke keluarga dan masyarakat. Dengan terapi ini, pasien bisa mengembangkan minatnya kembali untuk bekerja



seperti sedia kala saat belum masuk ke rumah sakit atau belajar pengetahuan dan keterampilan baru (Tarmansyah, 2003). Menurut Hubertus (2013), penanganan orang dengan gangguan kejiwaan tidak boleh sembarangan, bergantung jenis gangguan yang dialami, penanganannya bisa dengan obat-obatan, terapi atau, kombinasi keduanya. Terapi yang digunakan bisa berupa konseling, terapi perilaku, atau perilaku kognitif.Dalam artikel Dokter Sehat (2012) tentang Penyebab Kambuhnya Pasien Gangguan Jiwa, dijelaskan beberapa terapi untuk penanganan yang menderita gangguan jiwa diantaranya: Psikofarmakologi, Psikoterapi, Terapi Psikososial, Terapi Psikoreligius, dan Rehabilitasi. Sasanto. Prof dalam Bali Post (2005) mengatakan, salah satu titik penting untuk memulai pengobatan adalah keberanian keluarga untuk menerima kenyataan. Mereka juga harus menyadari bahwa gangguan jiwa itu memerlukan pengobatan sehingga tidak perlu dihubungkan kepercayaan yang macam-macam. Terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga dan masyarakat dibutuhkan guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan C. Prinsip Etik dan Legal Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa Etik profesi merupakan prinsip moral atau asas yang harus diterapkan oleh perawat dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya. Etik ini mengatur tentang perilaku profesional pada perawat dalam menjalankan pekerjaannya, sebagaimana tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik perawat yang disusun organisasi profesional bersama pemerintah. Untuk menghindari pelanggaran etik dalam praktik keperawatan profesional, maka perawat harus menerapkan prinsip/asas etik dan kode etik serta mematuhi aspek legal keperwatan yang diatur dalam KepMenkes 148/2010 dan UU Kes 36/2009. Dalam melaksanakan perawat harus memperhatikan dan menghindari yang disebut dengan negligence (kealpaan): commision dan ommision. Hal ini bisa dilakukan apabila perawat dalam setiap mengambil keputusan etik selalu didasarkan pada ethical decision making dan clinical decision making (Nursalam, 2014). Apa Penyebab dari Masalah Etik? 1. Kurangnya pendidikan formal.



2. Kurangnya tim etik yang menyelesaikan masalah etik. 3. Kurangnya dukungan dari kelompok. 4. Kurangnya kewenangan dalam pengambilan keputusan Prinsip praktik keperawatan yang bertanggung jawab akan dijelaskan sebagai kriteria sentral dan normatif dalam kebijakan etis atau metode sistematis yang dipilih untuk pertimbangan etika, refleksi, dan pengambilan keputusan. Nilai dan prinsip-prinsip moral yang muncul dari etika standar professional, misalnya, Kode Etik ICN, atau Kode Etik untuk Perawat. Jadi, misalnya, ANA, dalam ketentuan 6, mengatakan: "Perawat, melalui upaya individu dan kolektif, menetapkan, memelihara, dan meningkatkan lingkungan etis dari pengaturan kerja dan kondisi kerja yang kondusif untuk perawatan kesehatan yang aman dan berkualitas". Dalam Kode Etik ICN, Bagian 3 (Perawat dan Profesi) secara eksplisit merumuskan: “Perawat praktik untuk mempertahankan dan melindungi lingkungan alami dan menyadari konsekuensi pada kesehatannya". Meskipun istilah "keberlanjutan" tidak secara eksplisit digunakan di sini, dapat dilihat bahwa perawat memiliki tanggung jawab untuk praktik berkelanjutan dan pengambilan keputusan dan bahwa ini termasuk elemen yang relevan adil. Aspek sentral, dapat ditemukan dalam kedua standar etika, adalah pentingnya faktor lingkungan. Terhadap latar belakang standar etika profesional yang dikutip, dan juga atas dasar diskusi tentang keberlanjutan sebagai prinsip praktik profesional, elemen tanggung jawab(untuk keberlanjutan dalam praktik profesional), keadilan (distributif) dan kualitas hidup (subyektif dan penilaian kualitas hidup objektif) dapat diidentifikasi sebagai titik orientasi etis dan dimensi target dalam kebijakan etika untuk praktik keperawatan profesional. Sebagai prinsip etika / moral, keberlanjutan membutuhkan keputusan keperawatan yang tidak hanya focus pada tindakan saat ini tetapi yang juga fokus pada konsekuensi yang dapat diperkirakan dan yang dikontekstualisasikan faktor lingkungan secara bertanggung jawab. Keberlanjutan sebagai prinsip etika / moral di Indonesia, keperawatan profesional berkomitmen untuk dimensi normatif keadilan, tanggung jawab dan kualitas hidup. Dalam setiap situasi keperawatan individu tertentu, nilai-nilai dan prinsip-prinsip perawat professional ada visi dan nilai-nilai orang yang membutuhkan asuhan keperawatan. Nilai-nilai ini termasuk otonomi (berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri). Dari titik awal yang etis / Prinsip



moral keberlanjutan sangat penting untuk praktik keperawatan profesional, dapat terjadi bahwa pada khususnya situasi pengambilan keputusan yang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas membawa potensi konflik bagi mereka: ini mungkin konflik kepentingan atau konflik nilai. Baik konflik itu sendiri maupun dilema etis yang berpotensi melekat pada gilirannya dapat menyebabkan tekanan moral situasional. Sekarang kita memiliki contoh situasi di mana seorang perawat profesional harus memilih bertanggung jawab antara distribusi barang mahal dan penentuan nasib pasien (otonomnya) (Riedel, 2015). Pada hakikatnya keperawatan sebagai profesi senantiasa mengabdi kepada kemanusiaan, mendahulukan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi, bentuk pelayanannya bersifat humanistic, menggunakan pendekatan secara holistic, dilaksanakan berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan serta menggunakan kode etik sebagai tuntutan utama dalam melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan. Dengan memahami konsep etik, setiap perawat akan memperoleh arahan dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang merupakan tanggung jawab moralnya dan tidak akan membuat keputusan secara sembarangan. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflikyang mungkin mereka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial danhukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Dalam profesi keperawatan, ada 8 prinsip etika keperawatan yang harus diketahui oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada penerima layanan keperawatan, baik individu, kelompok, keluarga atau masyarakat. Pertama Autonomy (Kemandirian) Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembelaan diri, dan perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai kemandirian ini. Beneficence (Berbuat Baik) Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan. Justice (Keadilan) Nilai ini direfleksikan ketika perawat bekerja sesuai ilmu dan kiat keperawatan dengan memperhatikan keadilan sesuai standar praktik dan hukum yang berlaku. Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta ada juga klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor



dalam faktor tersebut kemudian bertindak sesuai dengan asas keadilan. NonMaleficence (Tidak Merugikan) Prinsip ini berarti seorang perawat dalam melakukan pelayanannya sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Veracity (Kejujuran) Prinsip ini tidak hanya dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar klien mengerti. Fidelity (Menepati Janji) Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain. Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan, upaya peningkatan kesehatan klien dan atau atas permintaan pengadilan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan harus dihindari. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa tindakan seorang professional dapat dinilai dalam berbagai kondisi tanpa terkecuali. D. Model Pelayanan Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa Di antara banyak model rehabilitasi psikiatrik dalam praktik saat ini, model clubhouse dan model sistem dukungan komunitas (CSS) perlu mendapat perhatian khusus. Menurut Bond (1995), model clubhouse adalah pendekatan kelompok komprehensif yang berfokus pada masalah praktis dalam pengaturan informal. Clubhouse menawarkan peluang kejuruan, perumahan, kelompok penyelesaian masalah, manajemen kasus, kegiatan rekreasi, dan persiapan akademik. Inti dari model clubhouse adalah pekerjaan transisi (TE). Dikembangkan di Fountain House di New York, TE pada awalnya dikembangkan sebagai bagian integral dari pendekatan clubhouse. Program Clubhouse membahas kebutuhan dasar anggota untuk perumahan, rekreasi, dan dukungan sosial (Bond & McDonel, 1991). Model clubhouse adalah model yang didefinisikan dengan baik jaringan nasional yang kuat. Menurut Bond, hanya sedikit penelitian yang mengevaluasi efektivitas pendekatan clubhouse, terutama bagi individu yang termotivasi untuk mengejar



pekerjaan masyarakat dan yang menikmati kegiatan kelompok. Inisiatif CSS dimulai pada tahun 1977 oleh National Institute of Mental Health (NIMH). Tujuannya adalah untuk membantu negara bagian dan komunitas dalam mengembangkan rangkaian luas layanan yang terdiri dari CSS. Inisiatif ini akhirnya dikenal sebagai NIMH Community Support Program (CSP) dengan manajemen kasus sebagai salah satu layanan CSS yang penting (Anthony et al., 1990). Salah satu model utama manajemen kasus adalah asertif pendekatan community treatment (ACT) yang bekerja dengan klien secara individual, kebanyakan di rumah dan lingkungan klien daripada di kantor. Menurut Bond (1995), program ACT dikelola oleh sekelompok profesional yang bekerja sebagai tim perawatan di RSUP masyarakat. ACT pertama kali dikembangkan di Madison, Wisconsin, dan telah menyebar ke seluruh Australia Amerika Serikat, terutama di Midwest (Bond & McDonel, 1991). Tim ACT terus masuk sering kontak dengan klien dan membantu dengan hal-hal seperti penganggaran uang, belanja, mencari perumahan, minum obat, menemukan pekerjaan, dan kesulitan memecahkan masalah pada pekerjaan. Perlakuan masyarakat terhadap orang-orang dengan cacat mental berat terutama berfokus pada pengajaran keterampilan koping dasar yang diperlukan untuk hidup dan berfungsi semandiri mungkin di Komunitas. Keterampilan koping ini terdiri dari kegiatan keterampilan hidup sehari-hari, keterampilan kejuruan, keterampilan waktu luang, dan keterampilan sosial atau interpersonal (Bond, 1995). Penekanan pada sosial pelatihan keterampilan dan keterampilan sosial telah menerima banyak perhatian di bidang psikiatri rehabilitasi dalam dua dekade terakhir. Sebagai contoh, Tsang dan Pearson (1996) mencatat bagaimana pasien psikiatris, terutama mereka yang menderita skizofrenia, memiliki defisit signifikan dalam keterampilan sosial. dan kinerja sosial. Mereka seringkali tidak dapat menemukan pekerjaan yang kompetitif, atau jika mereka mendapatkan pekerjaan, mungkin kehilangan itu karena keterampilan interpersonal yang buruk (Corrigan, Reedy, Thadani, & Ganet, 1995). Karakteristik pendekatan ACT membuatnya berbeda. Karakteristik pertama adalah asertif penjangkauan di mana staf memulai kontak daripada bergantung pada klien untuk menepati janji. Karakteristik kedua ACT adalah penekanannya pada kontinuitas dan konsistensi. Akhirnya, program ACT menggabungkan pengobatan dan rehabilitasi secara komprehensif dan interdisipliner pendekatan (Bond, 1995).



Menurut Fischler dan Booth (1999), tim interdisipliner pendekatan, termasuk profesional rehabilitasi kejuruan, psikolog, tempat kerja supervisor atau perwakilan sumber daya manusia, dan mungkin seorang pekerja sosial, perawat psikiatris, psikiater, atau profesional penolong lainnya yang terbiasa dengan situasi itu, sangat berharga (Moxley & Finch, 2003). E. Manajemen Pelayanan Manajemen Rehabilitasi Pada Gangguan Jiwa Pada penerapannya didalam pelayanan rehabilitasi pada gangguan jiwa pada Self determination adalah dasar dari dukungan dan sistem pemulihan yang berpusat pada klien dan konsumen. Memiliki harapan memainkan peran penting dalam pemulihan individu (Stuart, 2010). Berikut adalah beberapa komponen recovery lain yang perlu diperhatikan perawat (Stuart, 2013): 1. Self determination Klien memiliki hak untuk menggunakan pilihannya dalam optimalisasi otonomi, kemandirian dan kontrol sumber daya untuk menentukan tujuan proses perawatan. Klien juga dapat memilih jenis terapi yang ditawarkan dalam proses perawatan. 2. Individual Ada beberapa jalur pemulihan yang perlu ditawarkan kepada klien berdasarkan kekuatan dan ketahanan unik individu serta kebutuhan, preferensi, pengalaman individu (termasuk trauma masa lalu), dan latar belakang budaya. 3. Pemberdayaan Klien memiliki wewenang untuk memilih dari berbagai pilihan dan untuk berpartisipasi dalam semua keputusan, termasuk alokasi sumber daya yang akan memengaruhi kehidupan mereka, dan mereka perlu diedukasi dan didukung untuk melakukan hal itu. Perawat perlu menyadari bahwa klien memiliki kemampuan untuk bergabung dengan klien lain untuk secara kolektif dan efektif menyatakan tentang kebutuhan, keinginan, dan aspirasi mereka. Melalui pemberdayaan, individu akan memperoleh kendali atas nasibnya sendiri dan memengaruhi struktur organisasi dan masyarakat dalam hidupnya. 4. Strengths based



Pemulihan berfokus pada menilai dan membangun berbagai kapasitas, ketahanan, bakat, kemampuan mengatasi, dan nilai individu yang telah ada. Dengan membangun kekuatan ini, klien akan terlibat dalam peran kehidupan yang baru. Proses pemulihan bergerak maju melalui interaksi dengan orang lain dalam hubungan yang suportif dan berbasis kepercayaan. 5. Peer support Dukungan timbal balik, termasuk berbagi pengetahuan pengalaman dan keterampilan dan pembelajaran sosial, memainkan peran penting dalam proses pemulihan. Klien mendorong dan melibatkan klien lain dalam pemulihan dan saling memberikan rasa memiliki, hubungan yang mendukung, peran yang dihargai, dan masyarakat 6. Respect Penerimaan dan apresiasi masyarakat, sistem, dan masyarakat terhadap klien, termasuk melindungi hak-hak mereka dan menghilangkan diskriminasi dan stigma merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai pemulihan. Penerimaan diri dan mendapatkan kembali kepercayaan pada diri sendiri sangat penting. Respect memastikan keterlibatan dan partisipasi penuh klien dalam semua aspek kehidupan mereka. 7. Harapan Pemulihan seharusnya menjadi motivasi bagi klien untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Harapan akan membuat individu dapat mengatasi hambatan-hambatan yang menghadang mereka. Harapan merupakan hal yang diinternalisasi tetapi dapat ditingkatkan oleh teman sebaya, keluarga, petugas kesehatan, dan lainnya. Harapan adalah katalisator proses pemulihan



BAB III TINJAUAN KASUS A. Tinjauan kasus Seorang perawat CMHN mengelolah ODGJ di Desa Kinasih sebanyak 36 orang. Dari kondisi ODGJ tersebut, perawat melakukan pengelompokkan tingkat kemandirian ODGJ dengan hasil sebagai berikut: mandiri sebanyak 22 orang, 10 orang parsial care dan 4 orang total care. Pertanyaan: 1. Berdasarkan kasus diatas analisis sesuai dengan manajemen rehabilitasi 2. Identifikasi sesuai tahapan rehabilitasi B. Analisis kasus 1. Analisis kasus sesuai dengan manajemen rehabilitasi Pada penerapannya Menurut Bond (1995), rehabilitasi psikiatris memberikan kesempatan kepada individu dengan gangguan kejiwaan untuk bekerja, hidup dalam komunitas, dan nikmati



kehidupan sosial, dengan langkah mereka



sendiri, melalui pengalaman yang direncanakan dalam suasana penuh hormat, suportif, dan realistis. Rehabilitasi psikiatris biasanya melibatkan individu dalam memperoleh atau meningkatkan keterampilan dan memperoleh sumber daya dan dukungan yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan mereka. Stuart membagi empat stase perawatan yaitu krisis, akut, health maintenance dan promosi kesehatan. Pada stase krisis, tujuan perawatan adalah stabilisasi pasien. Untuk mencapai tujuan ini, perawat perlu melakukan pengakajian faktor resiko, melakukan intervensi yang diarahkan langsung untuk mengatur lingkungan untuk menyediakan keamanan bagi pasien sehingga diharapkan tidak ada hal berbahaya yang terjadi pada pasien atau orang lain, 10 orang parsial care termasuk dalam fase ini. Pada stase akut, tujuan utama perawatan adalah remisi penyakit pasien. Pada stase ini perawat perlu melakukan pengkajian gejala repon koping maladaptive yang dimiliki pasien. Perawat perlu melakukan intervensi yang diarahkan langsung untuk merencanakan perawatan dengan pasien dan model serta pengajaran terkait respon adaptif, 4 orang pasiaen total care masuk



dalam fase ini. Pada tahap health maintenance, tujuan utama keperawatan adalah pemulihan seluruhnya dari pasien. Pada tahap ini perawat perlu melakukan pengkajian terkait functional status yang dimiliki pasien, 22 orang pasien mandiri masuk dalam fase ini. 2. Identifikasi sesuai tahapan rehabilitasi Model Adaptasi Stres Stuart dapat diterapkan ketika memberikan dukungan pemulihan. Penilaian sasaran pemulihan pasien dimulai dengan kontak awal antara perawat dan pasien. Penilaian keperawatan psikiatrik yang komprehensif memberikan informasi yang memungkinkan perawat untuk membantu pasien mencapai fungsi semaksimal mungkin. Ketika melakukan penilaian awal, perawat perlu membantu pasien untuk merencanakan pemulihan dengan terlebih dahulu



mengidentifikasi



tujuan



hidup



individu.



Perawat



kemudian



mengidentifikasi dan memperkuat kekuatan sebagai salah satu cara membantu pasien mengatasinya. Perawat mengkaji tantangan yang dapat menghalangi kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan ini, serta layanan yang tersedia dari sistem perawatan kesehatan dan jaringan dukungan sosial seseorang yang akan mendukung kekuatan dan membantu dalam pencapaian tujuan. Empat intervensi yang telah diidentifikasi untuk mendukung manajemen diri penyakit pada orang yang pulih dari penyakit kejiwaan adalah sebagai berikut: 1. Psikoedukasi: Suatu pendekatan yang mendukung proses pemulihan dengan mengajarkan pasien dan keluarga tentang penyakit mental dan keterampilan koping yang akan membantu kehidupan masyarakat yang sukses. psikoedukasi didefinisikan sebagai proses menyampaikan informasi manajemen penyakit dengan cara yang dapat dipahami dan dilakukan oleh individu. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi seperti CT, CBT dan FPE. 2. Penyesuaian perilaku untuk pengobatan: Mengembangkan strategi dengan pasien yang mengintegrasikan rejimen obat ke dalam rutinitas harian pasien dan menyederhanakan jadwal pengobatan. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi seperti CBT dan psikodinamik. 3. Pelatihan pencegahan kambuh: Kebanyakan orang yang memiliki penyakit mental serius dapat belajar mengenali tanda-tanda dan gejala-gejala kambuh



yang mendekat. Ini membantu mereka untuk mencari intervensi dini, sehingga meningkatkan kemungkinan episode penyakit menjadi kurang parah dan diobati di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi seperti CBT. 4. Pelatihan keterampilan koping: Mengajarkan teknik orang untuk mengatasi gejala penyakit mental yang persisten. Misalnya, seseorang yang memiliki halusinasi pendengaran dapat dilatih untuk mendengarkan musik menggunakan headphone, sehingga mengurangi gangguan suara. Hal ini dapat dilakukan dengan terapi seperti CBT dan SST. Terapi kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada konsep proses patologi jiwa, di mana fokus dari tindakannya didasarkan pada modifikasi kognitif dan perlindungan maladpatif (Townsend, 2018). Nevid, Rathus, dan Greene (2006) mengungkapkan tujuan dari terapi kognitif sebagai monitor pikiran otomatis negatif, memahami hubungan antara pikiran, perasaan dan perilaku, mengubah hukuman yang salah menjadi hukuman yang logis, dan membantu pasien meningkatkan dan mengubah keyakinan yang salah sebagai akibat negatif internal pasien. Pemberian terapi kognitif diharapkan dapat mengubah pikiran otomatis negatif klien menjadi pikiran positif. Pemberian terapi kognitif ini diharapkan klien dapat merubah pikiran-pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan kepercayaan dirinya. Kegiatan yang dilakukan pada sesi 1 mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran negatif yang pertama. Sesi 2 yaitu penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang kedua. Sesi 3 yaitu penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang ketiga. Sesi 4 yaitu manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif). Sesi 5 yaitu support system. Jenis-jenis pikiran negatif atau distorsi kognitif yang sering ditemukan pada klien depresi dan ansietas menurut Varcarolis dan Halter (2010) ada sepuluh, yakni: 1) All or nothing thinking, yaitu seseorang memikirkan segala sesuatu seperti warna hitam dan putih, tidak berupaya untuk menggapai hal yang tinggi karena pada jenis distorsi ini seseorang cenderung menghindari hal yang rumit dalam kehidupannya. 2) Overgeneralization, memikirkan bahwa segala



sesuatu yang dilakukan tidak akan menghasilkan yang baik, mereka cenderung menggunakan pemikiran sesuatu yang dihasilkan akan berakibat buruk atau kurang bagus. 3) Labeling, bentuk overgeneralization dimana karakteristik atau kejadian dijadikan sebagai pedoman atau standar bagi diri sendiri atau orang lain. Sebagai contoh : “karena saya telah gagal dalam ujian statistik, saya akan mengalami kegagalan dalam hal lain, saya lebih baik mundur” 4) Mental filter, fokus pada kejadian negatif atau kejadian buruk dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau mempengaruhi hal yang lain. 5) Disqualifying the positive, mempertahankan pandangan negatif



dengan mengulang informasi



yang mendukung pandangan positif menjadi sesuatu yang tidak relevan, tidak akurat atau sesuatu yang tidak dipertimbangkan. 6) Jumping to conclusions, membuat interpretasi negatif tanpa adanya fakta yang mendukung. Jenis distorsi ini terbagi atas dua yaitu mind reading yang ditandai dengan menyimpulkan pikiran negatif, respon dan motif dari orang lain; fortune-teeling terror, mengasumsi hasil negatif sebagai sesuatu tidak dapat dielakkan lagi 7) Magnification or minimization, yaitu melebih-lebihkan sesuatu (seperti kegagalan atau kesuksesan orang lain), tapi tidak mengakui hal tersebut. terdiri dari catastrophizing, yang sebagai suatu bentuk yang ekstrim dari magnification dimana kesalahan sebagai diasumsikan sebagai sesuatu hasil yang akan terjadi 8) Emotional reasoning, menggambarkan kesimpulan berdasarkan atas pernyataan emosional 9) Should and must statements, memberanikan diri mengarahkan diri sendiri untuk memegang kontrol dari hal-hal yang tidak realistik dari kejadian eksternal 10) Personalization, yaitu merasa bertanggung jawab atas kejadian eksternal atau situasi yang terjadi diluar kontrol personal.



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Layanan rehabilitasi sosial dilakukan di instalasi rehabilitasi mental. Rehabilitasi sosial meliputi okupasi terapi dan latihan kerja. Terapi okupasi mencakup program non medis dengan tujuan untuk membantu pasien mengembalikan keberfungsian pada dirinya dan meninggalkan semua rasa minder pasien. Evalusi proses rehabilitasi adalah proses terakhir dimana pasien diberikan penilaian terhadap kinerja pasien pada saat mengikuti proses rehabilitasi. Penilaian dalam tahap evaluasi adalah kemampuan klien, inisiatif, tanggung jawab, kerja sama, emosi dan tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Kegiatan evaluasi dilakukan secara periodic setiap seminggu sekali atau setiap selesai melaksanakan kegiatan. B. Saran Sebaiknya perawat dirumah sakit dapat menerapkan layanan rehabilitasi pada pasien dengan gangguan jiwa dan proses rehabilitasi dengan gangguan jiwa dapat terlaksana dengan baik dan optimal.



DAFTAR PUSTAKA



Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing (10th ed.). Missouri: Elsevier. Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional. Salemba Medika. Jakarta Selatan. Hal 165-168 Riedel, A. (2015). Sustainability as an Ethical Principle: Ensuring Its Systematic Place in



Professional



Nursing



Practice.



Healthcare,



4(1),



2. doi:10.3390/healthcare4010002  Etherington, K. (2002). Rehabilitation Counselling in Physical and Mental Health. London. Jessica Kingsley Publishers. Hal 147 Freeman, M. (2001). Substance Abuse Intervention, Prevention, Rehabilitation, and Systems Change Strategies. New York. Columbia University Press. Hal 139 Moxley, D. P., & Finch. J. R. (2003). Sourcebook of Rehabilitation and Mental Health Practice. New York. Kluwer Academic/Plenum Publishers. Hal 95-117 Tarmansyah. (2003). .Rehabilitasi Dan Terapi Untuk Individu Yang Membutuhkan Layanan Khusus.Padang: DepartemenPendidikanNasional Rees, E., O’Donovan, M. C., & Owen, M. J. (2015). Genetics of schizophrenia. Current Opinion inBehavioral Sciences, 2, 8-14. doi: 10.1016/j.cobeha.2014.07.001 Videback, S. L. (2020). Psychiatric-mental health nursing. Philadelphia: Lippincott williams & Wilkins.