Makalah ACS Kel 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1 ACUTE CORONARY SYNDROM (ACS)



Dosen Pengampu : OLEH KELAS A KELOMPOK 3



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2021-2022



KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami dengan tepat waktu. Adapun judul dari makalah kami adalah "ACUTE CORONARY SYNDROM (ACS)". Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami pun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turun membantu dalam pembuatan makalah ini hingga selesai. Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna dan merupakan langkah awal dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, karena keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan juga bagi pihak lain.



Bogor, 18 Agustus 2021



Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...................................................................................................................2 BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................4 1.1



Latar Belakang................................................................................................................4



1.2



Rumusan Masalah...........................................................................................................4



1.3



Tujuan..............................................................................................................................4



BAB 2 ISI........................................................................................................................................6 2.1



Pengertian dan Klasifikasi.............................................................................................6



2.2



Prevelensi.........................................................................................................................8



2.3



Etiologi dan Faktor Resiko.............................................................................................9



2.4



Patofisiologi....................................................................................................................15



2.5



Tanda dan Gejala..........................................................................................................16



2.7



Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................18



2.8



Penatalaksanaan Medis................................................................................................19



2.9



Asuhan Keperawatan ACS..........................................................................................22



2.10



Telaah Jurnal.................................................................................................................29



BAB 3 PENUTUP........................................................................................................................31 3.1



Kesimpulan....................................................................................................................31



3.2



Saran..............................................................................................................................31



DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................32



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan suatu istilah untuk menggambarkan keadaan penyakit arteri koroner yang bersifat trombotik. Kelainan dasarnya adalah aterosklerosis atau penyempitan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak pada dinding pembuluh darah. Pecahnya plak aterom ini akan menimbulkan gumpalan darah (trombus) yang akan menyebabkan iskemik sampai Infark miokard (Achar, et al., 2005). Data WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa 70% kematian di dunia disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (39,5 juta dari 56,4 kematian). Dari seluruh kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) tersebut, 45% nya disebabkan oleh Penyakit jantung dan pembuluh darah, yaitu 17.7 juta dari 39,5 juta kematian. Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5% atau mencapai 2.650.340 pasien dengan peringkat prevalensi tertinggi. Faktor risiko SKA terbagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi riwayat penyakit jantung koroner (PJK) pada keluarga, usia (lebih dari 45 tahun), jenis kelamin (laki-laki lebih berisiko dari pada perempuan), dan etnik, sementara faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, merokok, gaya hidup sedenter, diet tinggi lemak, obesitas, dan stres. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari sindrom koroner akut dan bagaimana klasifikasi penyakit tersebut? 2. Prevelensi 3. Apa saja etiologi dan factor resiko sindrom koroner akut? 4. Bagaimana patofisiologi sindrom koroner akut? 5. Apa saja tanda dan gejala sindrom koroner akut? 6. Apa komplikasi dari sindrom koroner akut? 7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada sindrom koroner akut? 8. Bagaimana penatalaksaan medis sindrom koroner akut? 9. Bagaimana asuhan keperawatan sindrom koroner akut? 10. Bagaimana telaah jurnal sindrom koroner akut? 1.3 Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui dan memahami tentang Konsep Dasar Teori dan Asuhan Keperawatan pada pasien Sindrom Koroner Akut (ACS).



Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengertian dari sindrom koroner akut dan juga pengklasifikasian penyakit tersebut 2. Mengetahui prevelensi sindrom koroner akut 3. Mengetahui etiologi dan factor-faktor resiko sindrom koroner akut 4. Mengetahui patofisiologi sindrom koroner akut 5. Mengetahui tanda dan gejala dari sindrom koroner akut 6. Mengetahui komplikasi yang akan terjadi karena sindrom koroner akut 7. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada sindrom koroner akut 8. Mengetahui penatalaksanaan medis syndrome koroner akut 9. Mengetahui asuhan keperawatan sindrom koroner akut 10. Mengetahui telaah jurnal sindrom koroner akut



BAB 2 ISI 1 Pengertian dan Klasifikasi 



Pengertian Acute Coronary Syndrome (ACS) atau Sindrom koroner akut mengacu pada konstelasi tanda dan gejala klinis yang disebabkan oleh iskemia miokard yang memburuk. Tidak adanya kerusakan miokard, dinilai dengan mengukur kadar biomarker jantung sehingga pasien dapat diklasifikasikan sebagai mengalami angina tidak stabil (Griffin & Menon, 2018) Sindrom koroner akut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju. Penyakit Jantung Koroner jenis infark miokard sendiri merupakan penyebab utama kematian di sebagian besar negara Barat. Prevalensi yang meningkat pesat di negara berkembang, khususnya Asia Selatan dan Eropa Timur ditambah dengan peningkatan insiden penyalahgunaan tembakau, obesitas, dan diabetes diprediksi akan membuat penyakit kardiovaskular semakin meningkat. penyebab kematian global utama pada tahun 2020. Meskipun Penyakit Jantung Koroner pada pasien dengan arteri koroner normal semakin dikenali, pembentukan plak aterosklerotik dalam arteri koroner dengan gangguan lesi berikutnya, agregasi trombosit, dan pembentukan trombus tetap menjadi penyebab utama sindrom koroner akut di manusia (Jeremias & Brown, 2019) sindrom koroner akut ini yaitu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dang angka kematian yang tinggi.







Klasifikasi ACS Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elekrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, sindrom koroner akut dibagi menjadi : 1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) STEMI terjadi karena sumbatan yag komplit pada arteri koroner. Jika tidak dilakukan pengobatan akan dapat menyebabkan kerusakan miokardium yang lebih jauh. Pada fase aku pasien beresiko tinggi untuk mengalami fibrilasi vetrikel atau takhikardi yang dapat menyebabkan kematian.  STEMI adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini erat hubungannya dengan adanya penyempitan arteri koronaria oleh plak atheroma dan thrombus yang terbentuk akibat rupturnya plak



atheroma. Secara anatomi, arteri koronaria dibagi menjadi cabang epikardial yang memperdarahi epikard dan bagian luar dari miokard dan cabang profunda yang memperdarahi endokard dan miokard bagian dalam. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.         



Penyempitan arteri koroner nonsklerolik Penyempitan aterorosklerotik Trombus Plak aterosklerotik Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium Penurunan darah koroner melalui yang menyempit Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur Spasme otot segmental pada arteri kejang otot



2. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST( IMA-NEST) NSTEMI adalah infark miokard akut tanpa elevasi ST yang terjadi dengan mengembangkan oklusi lengkap arteri koroner kecil atau oklusi parsial arteri koroner utama yang sebelumnya terkena aterosklerosis. Hal ini menyebabkan kerusakan ketebalan parsial otot jantung. Jumlah NSTEMI sekitar 30% dari semua serangan jantung. NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokontriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil biasanya terbatas pada subendokaardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis.  











Adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan suplai oksigen kemiokardium terutama akibat penyepitan arteri coroner yang akan menyebabkan iskemia miokardium local. Terjadi dengan mengembangkan oklusi lengkap arteri coroner kecil atau oklusi parsial pada arteri coroner utama yang sebelumnya terkena arterosklerosis. Hal ini menyebabkan kerusakan ketebalan parsial pada otot jantung. Pada pemeriksaan rekam jantung diperoleh data adanya ST depresi dan T inverted dan terjadi peningkatan enzim jantung.



3. Angina pektoris tidak stabil (APTS) Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST akut (IMA-EST) merupakan indikator kejadian oklus total pembuluh darah arteri koroner . keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara medikamentosa menggunakan agen



fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan primer. Diagnosa IMA-EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan . Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarka jantung. Diagnosis IMA-NEST dan APTS ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa segmen ST, inversi gelombang T, gelombang yang datar,gelombang T pseudo-normalisasi atau bahkan tanpa perubahan.Angina pektoris tidak stabil dan IMA-NEST dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosisnya infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (IMA-NEST) , jika biomarka jantung tidak meningkat secara bermakna maka diagnosisnya APTS.pada sindroma koroner akut,nilai ambang untuk peningkatan biomarka jantung yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas ( upper limits of normal/ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukan kelainan ( normal ) atau menunjukan kelainan yang non-diagnostik sementara angina masih bisa berlangsung , maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian, jika EKG ulang tetap menunjukan gambaran non-diagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam . 2 Prevelensi Data WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa 70% kematian di dunia disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (39,5 juta dari 56,4 kematian). Dari seluruh kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) tersebut, 45% nya disebabkan oleh Penyakit jantung dan pembuluh darah, yaitu 17.7 juta dari 39,5 juta kematian. Penyakit kardiovaskular menyebabkan sekitar sepertiga dari semua kematian di dunia, di mana 7,5 juta kematian diperkirakan disebabkan oleh penyakit jantung iskemik (IHD). Sindrom koroner akut (ACS) dan kematian mendadak menyebabkan sebagian besar kematian terkait IHD, yang mewakili 1,8 juta kematian per tahun. Insiden IHD pada umumnya, dan ACS, meningkat seiring bertambahnya usia meskipun, rata-rata, ini terjadi 710 tahun sebelumnya pada pria dibandingkan dengan wanita. ACS terjadi jauh lebih sering pada pria daripada wanita di bawah usia 60 tahun tetapi wanita mewakili mayoritas pasien di atas 75 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, Prevalensi PJK lebih tinggi pada perempuan (1,6%) dibandingkan pada laki-laki (1,3%). Sedangkan jika dilihat dari sisi pekerjaan, ironisnya penderita Penyakit Jantung tertinggi terdapat pada aparat pemerintahan, yaitu PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD dengan prevalensi 2,7%. Begitu pula, jika dilihat dari tempat tinggal, penduduk perkotaan lebih banyak menderita Penyakit Jantung dengan prevalensi 1,6% dibandingkan penduduk perdesaan yang hanya 1,3%.



Berdasarkan data yang diolah oleh Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi dengan perkiraan sekitar 1.017.290 orang.



3 Etiologi dan Faktor Resiko 







Etiologi Etiologi ACS umumnya disebabkan oleh karena adanya pecahnya plak, trombosis atau iskemia. Dasar mekanisme terjadinya ACS umumnya adalah aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penyakit inflamasi imun sistemik yang disebabkan oleh lipid. Inflamasi, merupakan salah satu faktor penyebab ACS, yang bersifat lokal dan sistemik. Inflamasi berperan dalam inisiasi dan perkembangan plak aterosklerotik,yang kemudian menyebabkan ketidakstabilan plak dengan pembentukan trombus. Faktor Resiko American Heart Association / American College of Cardiologi (2017) membagi faktor risiko kardiovaskular dalam 3 bagian,yaitu: 1. Faktor risiko utama, yaitu faktor risiko yang menunjukkan hubungan kuantitatif faktor risiko dengan risiko ACS, yaitu: a. Merokok Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih banyak untuk menderita penyakit kardiovaskular dibanding orang yang tidak merokok. Efek merokok terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain dapat menurunkan kadar HDL, trombosit lebih mudah mengalami agregasi, mudah terjadi luka endotel karena radikal bebas dan pengeluaran katekolamin berlebihan serta dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah. Kematian mendadak karena SKA 2 – 3 kali lebih banyak pada perokok dibandingkan bukan perokok. Orang yang merokok mempunyai risiko kematian 60% lebih tinggi, karena merokok dapat menstimulasi pengeluaran katekolamin yang berlebihan sehingga fibrilasi ventrikel mudah terjadi. Merokok dapat menaikkan kadar karbon dioksida dalam darah, kemampuan mengikat oksigen menjadi menurun dan jumlah oksigen yang rendah dapat mengganggu kemampuan jantung untuk memompa, dan nikotin yang terkandung dalam rokok menstimulasi diproduksinya katekolamin yang akan meningkatkan frekuensi heart rate dan blood pressure. Merokok akan mengganggu respon vaskuler sehingga meningkatkan adhesi dari platelet, yang akan meningkatkan risiko terjadinya trombus (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Trombus merupakan gumpalan darah yang menempel pada pembuluh darah, hal ini terjadi karena permukaan pembuluh darah mengalami kerusakan. Trombus yang menempel pada dinding pembuluh darah akan berdampak pada gangguan aliran darah karena trombus dan berpotensi untuk lepas yang selanjutnya akan berjalan didalam aliran darah sehingga terjadilah



penutupan pembuluh darah secara mendadak. Hasil penelitian menyatakan bahwa pasien yang mempunyai riwayat merokok menunjukkan adanya plak koroner yang lebih tinggi (rata-rata ± SD, 38,6 ± 12,5%) dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok (36,4 ± 11,0%), p-value = 0.080 (Hoo, Foo, Lim, Ching, & Boo, 2016). b. Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan atau tekanan darah diastolik yang tidak normal. Nilai yang dapat diterima berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Hipertensi merupakan faktor risiko yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan penbuluh darah. Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala, sifatnya non spesifik misalnya sakit kepala atau pusing. Kalau hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak dirawat, maka akan mengakibatkan kematian karena SKA, payah jantung, stroke atau payah ginjal. Diagnosis dini hipertensi dan perawatan yang efektif dapat mengurangi kemungkinan morbiditas dan mortalitas. Hipertensi adalah kondisi tekanan darah yang melebihi atau sama dengan 40 mmHg pada tekanan sistolik dan melebihi atau sama dengan 90 mmHg pada tekanan diastolik (JNC VIII, 2013). Hipertensi merupakan beban tekanan terhadap dinding arteri yang mengakibatkan semakin berat beban jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan, hal ini akan mengakibatkan fungsi jantung akan semakin menurun dan dinding jantung akan semakin menebal dan kaku (AHA, 2015). Selain itu pada kondisi menurunnya kelenturan dinding arteri dan meningkatnya adhesi platelet, tingginya tekanan juga akan mengakibatkan plak yang menempel pada dinding arteri akan mudah terlepas dan mengakibatkan trombus (Hoo et al., 2016). Trombus terjadi sesudah pecahnya plak aterosklerosis, kemudian mengaktivasi koagulasi dan platelet. Apabila plak pecah akan terjadi perdarahan sub endotelial sampai terjadi trombogenesis yang akan menyumbat baik secara parsial maupun total pada arteri koroner. Apabila trombus menutup pembuluh darah secara total akan menyebabkan infark miokard dengan ST elevasi, sedangkan trombus yang menyumbat secara parsial akan menyebabkan stenosis dan angina yang tidak stabil (Gray, 2005). AHA merekomendasikan target tekanan darah pada ACS adalah < 140/90 mmHg pada pasien berusia < 80 tahun dan < 150/90 mmHg pada mereka yang berusia > 80 tahun. European Society of Cardiology (ESC) juga merekomendasikan untuk menurunkan tekanan darah < 140/90 mmHg tanpa mempertimbangkan usia, dan < 140/85 mmHg pada pasien dengan diabetes melitus (Archbold, 2016).



c. Dislipidemia Dislipidemia adalah meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk ikatannya dengan protein seperti trigliserida dan LDL, tetapi sebalikya kadar HDL menurun. Dislipidemia tidak lepas dari keterpajanan terhadap asupan lemak sehari – hari terutama asupan lemak jenuh dan kolesterol, yang dapat meningkatkan insidens penyakit jantung koroner. Dikatakan setiap penurunan 200 mg asupan kolesterol per 1000 kalori akan menurunkan 30% insidens penyakit jantung koroner. Sedangkan asupan lemak jenuh dalam ukuran normal maksimal 10% dari 30% total lemak yang dibutuhkan untuk keperluan sehari – hari, asupan kolesterol tidak lebih dari 30 gram perhari. WHO merekomendasikan asupan lemak jenuh maksimal 10% dari 30% lemak keseluruhan yang digunakan sebagai bahan kalori ( Hartono,2004; Mann,2000). Study Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) mengemukakan bahwa angka kematian meningkat sesuai dengan angka kanaikan kolesterol. Pada kadar kolesterol diatas 300 mg% angka kematian SKA sebanyak 4 kali dibandingkan dengan kadar kolesterol dibawah 200 mg %. Diit juga memiliki implikasi penting pada jumlah kolesterol dan LDL. Baik pada laki-laki maupun wanita relatif mempunyai kadar yang sama sampai sekitar usia 20 tahun, setelah itu tingkat titik kolesterol meningkat lebih pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Namun, setelah menopause, kadar kolesterol total dan tingkat LDL pada wanita meningkat karena tingkat estrogen rendah. Selain kolesterol total, LDL, dan HDL merupakan komponen penting dalam mendiagnosa ACS (AHA, 2013). Kadar HDL dan LDL telah terbukti menjadi faktor risiko untuk penyakit jantung. Dalam beberapa penelitian HDL dan trigliserida merupakan prediktor kuat untuk kematian kardiovaskuler pada wanita dibandingkan LDL dan jumlah kolesterol (J. & S., 2015). Kolesterol merupakan suatu jenis lemak yang terdapat di dalam darah, bentuknya seperti lilin berwarna kuning dan di produksi oleh hati dan usus halus. Bila tubuh mengkonsumsi cukup banyak makanan maka jumlah trigliserida dan kolesterol akan meningkat. Kelebihan trigliserida akan disimpan dalam jaringan lemak di bawah kulit yang kemudian akan digunakan sebagai cadangan makanan dalam tubuh. Kolesterol akan berikatan dengan VLDL, LDL, dan HDL. Selain makanan yang tinggi kolesterol dan lemak yang harus dihindari, kandungan makanan yang harus dihindari adalah makanan tinggi kadar garam, tinggi kalsium dan tinggi kalium, sebagaimana diketahui bahwa makanan dengan kadar garam tinggi akan mengikat cairan tubuh lebih tinggi, sehingga beban pre load dan after load juga akan meningkat dan lebih



lanjut lagi kerja jantung akan semakin berat (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hipertrigliseridemia berat berkorelasi positif dengan mortalitas ACS. Atherogenic dyslipidemia (AD) adalah komponen utama dari sindrom metabolik dan merupakan prediktor penyakit jantung koroner (ACS). Sedangkan LDL merupakan faktor utama penyebab patogenesis ACS (Wan et al., 2015). d. Diabetes Melitus Pada penderita diabetes terjadi kelainan metabolisme yang disebabkan oleh hiperglikemi yang mana metabolit yang dihasilkan akan merusak endotel pembuluh darah termasuk didalamnya pembuluh darah koroner. Pada penderita diabetes yang telah berlangsung lama akan mengalami mikroangiopati diabetik yaitu mengenai pembuluh darah besar, dimana pada penderita ini akan sering mengalami triopati diabetik / mikrongopati yaitu neuropati, retinopati dan nefropati. Dan bilamana makroangiopati ini terjadi bersama – sama dengan neuropati maka terjadilah infark tersembunyi ataupun angina yang tersembunyi yaitu tidak ditemukan nyeri dada, dimana keadaan ini mencakup hampir 40% kasus. Pada penderita DM terjadi percepatan aterosklerosis dan 75 – 80% kematian penderita diabetes disebabkan oleh makroangiopati terutama yang terjadi pada jantung, yaitu ACS. e. Stress Banyak ahli yang mengatakan bahwa faktor stress erat kaitannya dengan kejadian penyakit jantung koroner. Dalam kondisi stres yang kronis dan berkepanjangan syaraf simpatis akan dipacu setiap waktu, dan adrenalin pun akan meningkat, yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah bersamaan dengan meningkatnya kadar kolesterol dalam darah. Hal ini tentunya akan membebani jantung dan merusak pembuluh darah koroner. Stress merupakan salah satu risiko koroner yang kuat, tapi sukar diidentifikasi. Stres merupakan respon yang tidak spesifik dari seseorang terhadap setiap tuntutan kehidupan (Selye, 1976 dalam Stuart & Laraia, 2008). Chandola (2010, dalam European Heart Journal, 2010) menyatakan bahwa ada korelasi antara stres psikologis dengan kejadian ACS. Stres yang terus menerus berlangsung lama akan meningkatkan tekanan darah dan kadar katekolamin sehingga mengakibatkan penyempitan pada arteri koroner (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Situasi kecemasan dan depresi akan merangsang hipotalamus untuk mensekresikan adreno cortico tropin (ACTH), yang kemudian akan menstimulasi korteks adrenal untuk mengeluarkan hormon kortisol yang berdampak pada perubahan hemodinamik pasien ACS (Hare, Beierle, Toufexis, Hammack, & Falls, 2014). Perubahan hemodinamik ini terjadi



karena adanya pengaturan sistem neurohormonal yang bersifat adaptif maupun maladaptif. Sistem neurohormonal bersifat adaptif jika dapat memelihara MAP selama terjadi penurunan cardiac output (CO). Dikatakan maladaptif ketika terjadi peningkatan hemodinamik tubuh melebihi nilai ambang batas normal, sehingga akan menstimulasi peningkatan kebutuhan oksigen dan memicu cidera sel otot miokard (Onk et al., 2016). 2. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah, yaitu: a. Umur dan jenis kelamin Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit jantung koroner. SKA lebih sering timbul pada usia lebih dari 35 tahun keatas dan pada usia 55 – 64 tahun terdapat 40% kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Dikutip dari American Heart Association / American College of Cardiologi (2001). Menurut Kusmana (2002), umur merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dimana seseorang yang berumur lebih atau sama dengan 60 tahun memiliki risiko kematian sebesar 10,13 kali dibandingkan yang berumur 25 – 49 tahun. Insidens SKA dikalangan wanita lebih rendah daripada laki – laki, tetapi hal ini akan berubah begitu memasuki periode menopause, dimana insidens penyakit ini akan mendekati insiden pada pria. Hariri (1997) mengemukakan bahwa laki – laki lebih dominan untuk terkena SKA sebesar 2,34 kali jika dibandingkan dengan perempuan. Mempunyai peranan yang dominan terhadap penyakit yang menyerang pembuluh darah. Penuaan pembuluh darah dikaitkan dengan perubahan struktur dan fungsi keberadaan pembuluh darah, khususnya pembuluh darah besar (Mengden, 2006; Nilson, 2008), seperti diameter lumen, ketebalan dinding pembuluh darah, peningkatan kekakuan dinding pembuluh darah dan perubahan fungsi endotel (Mengden, 2006, Najjar et al., 2005). Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah yang bersifat elastis seperti aorta sentralis dan arteri karotis (Science Blog, 2003, Lakatta, 2003; Najjar et al., 2005). Lumen pembuluh darah besar akan mengalami dilatasi, dindingnya semakin tebal dan semakin kaku (Lakatta, 2003; Najjar et al., 2005). Perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan struktur, mekanika, dan biokimiawi oleh karena faktor umur yang kemudian berakibat pada menurunnya arterial compliance dan kakunya dinding pembuluh darah (Jani & Rajkumar, 2006; Laurent et al., 2006; Nilson, 2008). Najjar et al., (2005), yang mengutip pendapat O’Rourke dan Nicholas, (2005), menyebutkan bahwa peningkatan kekakuan dinding pembuluh darah adalah akibat dari siklus tekanan yang terus menerus dan putaran yang berulang-ulang pada dinding elastis arteri, sehingga menekan jaringan elastisnya untuk digantikan dengan jaringan kolagen. Selain itu, Lakatta dan Levy, (2003), dalam review artikelnya menyebutkan juga bahwa kekakuan arteri ini berkaitan dengan pengaruh regulasi endotel terhadap tonus



otot polos arteri (Lakatta, 2003). Selanjutnya kemungkinan kekakuan dinding ini diperbesar oleh adanya specific gene polymorphism (Hanon et al., 2001; Safar, 2005). Aterosklerosis mengalami peningkatan seiring dengan adanya pertambahan usia. Pada wanita usia dibawah 55 tahun angka kejadian ACS lebih rendah dibandingkan laki-laki, namun pada usia 55 tahun angka kejadian relatif sama antara keduanya. Pada usia diatas 55 tahun angka kejadian jantung koroner pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita mempunyai risiko lebih tinggi terjadi serangan jantung dibandingkan dengan laki-laki (AHA, 2014). Wanita relatif tidak terlalu rentan terhadap penyakit ACS sampai terjadinya menopause. Usia merupakan salah satu faktor risiko terkuat untuk penyakit arteri koroner; kebanyakan kasus terjadi pada pasien yang berusia 40 tahun atau lebih tua. b. Genetik Penelitian Rastogi (2004), menyatakan bahwa, orang yang mempunyai riwayat keluarga positif penyakit jantung memiliki risiko 2,3 kali untuk mendapatkan ACS dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga. Riwayat orang tua atau dari beberapa generasi sebelumnya yang menderita penyakit jantung koroner akan meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis pada orang tersebut. Tidak hanya faktor keturunan saja yang dapat menyebabkan ateroseklerosis tetapi juga familal lipid mempunyai andil dalam meningkatkan penyakit aterosklerosis tersebut. Riwayat keluarga dapat juga menggambarkan gaya hidup seseorang yang dapat menyebabkan terjadinya stres dan kegemukan (Santoso & Setiawan, 2005). Penelitian Saxena (2011) di India menyatakan bahwa ada korelasi antara kejadian hipertensi dengan riwayat keluarga aterosklerosis. Seseorang memiliki risiko empat kali lebih besar terkena ACS, jika kita mempunyai salah satu dari orang tua kita yang mempunyai riwayat penyakit aterosklerosis. 3. Faktor risiko predisposi, seperti: a. Obesitas Obesitas didefinisikan sebagai berat badan lebih yang terutama disebabkan oleh akumulasi lemak tubuh. Obesitas adalah apabila indeks masa tubuh (IMT) > 27, dimana IMT adalah berat badan dalam kg dibanding tinggi dalam m2. Orang dengan obesitas mempunyai risiko 2,68 kali untuk terjadinya ACS. Dikutip dari American Heart Association / American College of Cardiologi (2001). Studi Farmingham mengemukakan bahwa pada orang dengan obesitas kemungkinan untuk mengalami payah jantung dan ACS lebih besar pada laki – laki dibanding perempuan. Seseorang yang obesitas secara umum berisiko mengalami hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia, yang merupakan faktor dominan yang dapat



menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Selain itu beban cairan tubuh yang cukup besar dan menurunnya kemampuan beraktivitas secara bertahap akibat dari obesitas, lambat laun akan menimbulkan meningkatnya beban kerja jantung dan menurunkan fungsinya. Obesitas berhubungan dengan peningkatan volume darah dan curah jantung yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas metabolik yang tinggi dan jaringan adiposa yang akan mempengaruhi perubahan hemodinamik pasien ACS. Hasil perubahan hemodinamik tersebut menyebabkan left ventrikel (LV) remodeling, peningkatan stres dinding miokard sehingga berdampak pada ketidaknyamanan fisik (Plourde, Sarrazin, Nault, & Poirier, 2014). Secara global, sekitar 39% orang dewasa berusia 18 tahun keatas mengalami berat badan lebih dan 13% orang dewasa berusia 18 tahun keatas mengalami obesitas (WHO, 2014). Seseorang dikatakan mengalami obesitas apabila Body Mass Index (BMI) melebihi 30 (Depkes, 2010). Hasil penelitian di University Hospital di Gyeonggi-do, South Korea dari 2 Januari 2010 sampai 31 Desember 2012 menunjukkan adanya korelasi secara signifikan antara usia dan indeks massa tubuh (BMI) terhadap peningkatan ACS (Lee et al., 2015). b. Inaktifitas fisik Aktifitas fisik atau olahraga akan menstimulasi pembentukan pembuluh darah kolateral yang berperan protektif terhadap kejadian miokard infark. Penelitian Monica (1993) yang dilakukan terhadap 2040 orang di 3 kecamatan wilayah Jakarta Selatan menunjukkan mereka yang teratur berolahraga atau bekerja fisik cukup berat mempunyai presentase terendah untuk terkena hipertensi ataupun ACS. Orang yang tidak berolahraga mempunyai risiko terkena ACS 2 kali lebih besar dibanding yang berolahraga teratur atau beraktifitas fisik cukup berat (Kusmana, 2002). 4 Patofisiologi Acute coronary syndrome terjadi karena perubahan morfologi pembuluh darah koroner akibat penimbunan lemak pada area lumen pembuluh darah koroner, maka lambat laun plak tersebut menjadi rapuh. Pada saat plak yang rapuh tersebut lepas, maka terbentuk sumbatan pada aliran darah koroner. Dilain pihak pada lapisan pembuluh darah koroner tersebut akan terjadi kikisan maka inilah pemicu terjadinya thrombus, kadang kejadian ini diserta tanda atau keluhan dari klien seperti nyeri dada. Keluhan nyeri dada timbul sebagai tanda supply oksigen tidak sesuai dengan kebutuhan otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi iskemi. Terjadinya ACS pada umumnya diawali dengan terjadinya proses aterosklerosis pada saat monosit berpindah dari aliran darah dan melekat pada lapisan dinding pembuluh darah koroner, yang akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan lemak. Setiap daerah penebalan atau plak selain terdiri dari monosit dan lemak menimbulkan jaringan ikat dari sekitar area perlekatan. Hipertensi juga menyebabkan gesekan antara aliran darah dengan ateroma.



Ateroma atau plak aterosklerosis dapat menyebar dimana saja, tetapi umumnya ada di daerah percabangan. Pada ateroma yang pecah dapat mempersempit lumen pembuluh darah arteri yang kemudian mengakibatkan pembentukan bekuan darah yang mengalir (trombus), bekuan ini dapat menyebabkan sumbatan (tromboemboli) di tempat lain Dengan adanya sumbatan pada arteri koroner dapat mengakibatkan menurunnya suplai darah (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). 5 Tanda dan Gejala Acute Myocardial Infarction termasuk ST-segment elevation MI (STEMI) dan nonsegment elevation MI (NSTEMI), dan angina tidak stabil kini dikenal sebagai bagian dari kelompok penyakit klinis yang disebut Acute Coronary Syndrome. Ruptur plak mengawali hampir semua sindrom ini. Ruptur menyebabkan pembentukan thrombus. Jika hal ini terlambat ditangani, maka tingkat kematian rata-rata tinggi, dan hampir setengah dari kematian mendadak disebabkan oleh MI yang terjadi sebelum penderita dirawat inap atau dalam waktu satu jam setelah gejala menyerang. Prognosisnya akan membaik jika penderita segera ditangani dengan baik. Sign and symptoms ACS ini yang dikutip dari Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2004, adalah : 1. Adanya nyeri, juga rasa tidak nyaman pada toraks di substernal, dada kiri dan menjalar ke leher, bahu kiri, tangan kiri dan serta punggung. 2. Kualitas nyeri nya seperti diremas-remas, tertekan, terbakar atau ditusuk. 3. Tanda dan gejala ACS ini juga dapat disertai keringan dingin, mual, muntah, lemas, pusing seperti melayang, dan pingsan. 4. Timbulnya secara tiba-tiba dengan intensitas tinggi, berat, ringan, bervariasi. Diagnosis Sindrom Koroner Akut menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik: 1. Pria 2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non coroner (penyakit arteri perifer / karotis) 3. Diketahui mempunyai penyakit jantung coroner atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas coroner, atau IKP (Intervensi Koroner Primer) 4. Mempunyai faktor-faktor resiko: a. Umur b. Hipertensi c. Merokok d. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga e. Makanan berlemak tinggi dan berkarbohidrat tinggi f. Hiperlipoproteinemia g. Obesitas h. Status postmenopausal



i. Banyak duduk dan tidak bergerak j. Stres Tanda dan Gejala 1. Angina Tanda dan gejalanya meliputi: a. Rasa terbakar, teremas dan sesak yang menyakitkan di dada substernal atau precordial yang bisa menjalar ke lengan kiri, leher dan rahang. b. Rasa nyeri saat beraktivitas, meluapkan kegembiraan emosional, terpapar dingin atau makan dalam jumlah besar. 2. MI (myocardial infarction) Tanda dan gejalanya meliputi: a. Rasa tertekan, teremas, terbakar yang tidak nyaman, nyeri atau rasa penuh yang sangat terasa dan menetap di tengah dada dan berlangsung selama beberapa menit (biasanya lebih dari 15 menit). b. Nyeri yang menjalar sampai ke bahu, leher, lengan atau rahang atau nyeri di punggung c. Berkeringat d. Mual e. Sesak napas 2.6 Komplikasi A. Aritmia Aritmia jantung yang mengancam nyawa yaitu ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrillation (VF), dan AV blok total dapat menjadi manifestasi awal terjadinya SKA. Insidens aritmia ventrikel biasanya terjadi 48 jam pertama setelah onset SKA. B. Gagal jantung Gagal jantung pada SKA biasanya disebabkan oleh kerusakan miokard tapi dapat pula terjadi karena aritmia atau komplikasi mekanik seperti ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral iskemik. Gagal jantung pada SKA menandakan prognosis yang lebih buruk. Tatalaksana umum meliputi monitor kemungkinan terjadinya aritmia, gangguan elektrolit dan adanya kelainan katup atau paru. Pemeriksaan foto toraks dan ekokardiografi direkomendasikan untuk evaluasi luas kerusakan miokard dan komplikasi yang mungkin terjadi seperti ruptur septum dan regurgitasi mitral akut. Syok kardiogenik pada SKA menandakan kegagalan pompa jantung berat dan hipoperfusi dengan manifestasi klinis TD sistolik < 90 mmHg, pulmonary wedge pressure > 20 mmHg atau cardiac index < 1,8 L/m2. Hal ini akibat nekrosis miokard yang luas. Inotropik atau IABP sering diperlukan untuk mempertahankan TD sistolik > 90 mmHg. Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan setelah menyingkirkan penyebab lain hipotensi seperti hipovolemik, reaksi vagal, tamponade, aritmia dan gangguan elektrolit.



Terapi suportif IABP direkomendasi sebagai jembatan untuk terapi definitive yaitu terapi intervensi (emergency PCI). C. Komplikasi mekanik 1. Ruptur dinding ventrikel Pada ruptur dinding ventrikel akut terjadi disosiasi aktivitas listrik jantung yang menyebabkan henti jantung dalam waktu singkat. Biasanya hal ini fatal dan tidak respon dengan resusitasi kardiopulmoner standar karena tidak ada cukup waktu untuk dilakukan tindakan bedah segera. Ruptur dinding ventrikel subakut pada 25% kasus masih memberikan harapan untuk dilakukan tindakan bedah secepatnya. Manifestasi klinisnya yaitu gambaran reinfark dan didapatkan kembali gambaran elevasi segmen ST pada EKG. Biasanya terdapat gangguan hemodinamik mendadak, tamponade dan efusi perikard yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi. 2. Regurgitasi Mitral Akut Regurgitasi mitral akut biasanya terjadi dalam 2-7 hari SKA. Ada 3 mekanisme terjadinya yaitu; dilatasi annulus mitral akibat dilatasi ventrikel kiri, disfungsi muskulus papilaris akibat infark miokard inferior, ruptur dari badan atau ujung muskularis papilaris. Evaluasi regurgitasi dilakukan dengan ekokardiografi. Atrium kiri biasanya normal atau hanya sedikit membesar. Pasien harus dikirim segera untuk intervensi bedah karena dapat menyebabkan syok kardiogenik. 2.7 2.7.1



2.7.2



2.7.3



2.7.4



2.7.5



2.7.6



2.7.7



2.7.8



Pemeriksaan Penunjang EKG (Elektrokardiogram) Pemeriksaan EKG ini bertujuan untuk mengetahui iskemik, injuri dan infark dari otot jantung : T.Inverted, ST depresi, ST elevasi, Q patologis. Elektrolit Ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh dapat mempengaruhi kondisi dan kontraktilitas, missal hipokalemi, hiperkalemi. Enzim Jantung Enzim mempunyai peran penting dalam menunjang kerja otot jantung. Saat terjadi kerusakan, maka enzim ini akan meningkat dalam darah. Sel darah putih Leukosit (10.000-12.000) biasanya akan tampak pada hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi. Analisa Gas Darah (AGD) Pemeriksaan AGD mampu menunjukan kondisi hipoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis. Kolesterol atau Trigliserida serum Ketika kolesterol meningkat maka akan menyebabkan arterisklerosis sebagai penyebab AMI. Foto Thoraks Pada pemeriksaan foto thoraks mungkin saja akan normal atau menunjukan pembesaran jantung diduga gagal jantung kongestif (GJK) atau aneurisms ventrikuler. Ekokardiogram



Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup, atau dinding ventrikuler dan konfigurasi atua fungsi katup. 2.7.9 Pemeriksaan pencitraan nuklir Talium : dapat mengevaluasu aliran darah miocardia dan status sel miocardia. misal lokasi atau luasnya IMA. 2.7.10 Angiografi coroner Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase IMA kecuali mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi. 2.7.11 Nuklear Magnetic Resonance (NMR) Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel, lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah. 2.7.12 Tes stress olah raga Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan. 2.8 Penatalaksanaan Medis 1. Terapi Farmakologi a. Aspirin Pasien dapat diberikan aspirin dengan dosis 162-325 mg per oral (dapat digerus atau dikunyah) secepat mungkin setelah serangan timbul, kecuali ada kontraindikasi. Aspirin menghambat agregasi trombosit dan vasokonstriksi dengan menghambat produksi tromboksan A2. Aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus peptikm, kelainan perdarahan, dan alergi terhadap penisilin. b. Nitrogliserin Nitrogliserin tablet (0,3-0,4 mg) harus diberikan sublingual setiap lima menit, hingga tiga kali pemberian. Nitrogliserin menyebabkan dilatasi arteri dan vena, yang akan menurunkan baik preload dan afterload dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung. Tersedia dalam bentuk tablet atau spray atau juga dapat diberikan secara intravena. Karena nitrogliserin dapat menyebabkan hipotensi, pasien sebaiknya berada di tempat tidur atau diposisikan duduk sebelum pemberian obat. Jika setelah pemberian sebanyak tiga kali rasa nyeri tidak menghilang atau berkurang dapat diberikan nitrogliserin intravena dimulai dengan dosis 10-20 mcg per menit dan perlahan-lahan dititrasi 10 mcg setiap 3-5 menit hingga rasa nyerinya berkurang atau pasien menjadi hipotensi. Dosis maksimum adalah 200 mcg per menit.Nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi sildenafil (viagra) 24 jam sebelumnya. c. Morfin Sulfat Jika pasien tidak membaik setelah pemberian nitrogliserin, maka dapat diberikan morfin sulfat dengan dosis inisial 2-4 mg intravena dapat diulang setiap 5 hingga 15 menit hingga rasa nyeri dapat terkontrol. Morfin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, menurunkan preload dan afterload, dan kemampuan analgesiknya dapat



mengurangi nyeri dan kecemasan yang diakibatkan ACS. Namun, morfin dapat menyebabkan hipotensi dan depresi pernapasan, sehingga tekana darah, frekuensi napas, tingkat SaO2 harus dimonitor. d. Beta Bloker Penggunaan beta bloker secara dini selama atau setelah infark miokard masih kontroversial. Menurut ACC dan AHA pada tahun 2008, beta bloker menurunkan angka reinfark dan kematian akibat aritmia pada pasien STEMI dan NSTEMI namun tidak secara langsung menurunkan angka kematian, terutama pada pasien dengan gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil. Jika tidak terdapat kontraindikasi beta bloker dapat diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan setelah keadaan membaik. Pasien yang mendapat terapi beta bloker harus dimonitor untuk keadaan hipotensi, bradikardi, gejala gagal jantung, hipoglikemi, dan bronkospasme. e. ACE inhibitor ACE inhibitor menurunkan resiko disfungsi ventrikel kanan dan kematian pada pasien dengan SKA dan harus diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan kecuali terdapat kontraindikasi. Perlu diawasi untuk keadaan hipotensi, jumlah urin berkurang, batuk, hiperkalemia, dan insufisiensi ginjal pada pengguna ACE inhibitor. Pada pasein yang intoleransi denganACE inhibitor, angiotensinreseptor bloker dapat digunakan sebagai terapi alternatif. f. Statin Statin harus diberikan pada pasien SKA dengan kadar kolesterol lebih dari 100 mg/dL. Kadar lemak dan kolesterol harus selalu dikontrol pada pasien SKA. g. Clopidogrel (plavix) Clopidogrel (plavix) menghambat agragasi trombosit dan dapat diberikan pada pasien andina tak stabil atau NSTEMI yang alergi terhadap penisilin. Clopidogrel juga dapat diberikan sebagai tambahan pada terapi aspirin dan tidak boleh diberikan pada pasien yang akan menjalani operasi bypass arteri koroner dalam waktu 5 hingga 7 hari ke depan karena menignkatkan resiko perdarahan. h. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan anti platelet yang digunakan untuk angina tak stabil dan NSTEMI yang dijadwalkan akan dilakukan tindakan diagnostik invasif. Pilihan untuk terapi antikoagulan pada pasien dengan angina tak stabil atau NSTEMI antara lain enoxaparin (Lovenox), unfractionated heparin, bivalirudin (Angiomax) dan fondaparinux (Arixtra). Enoxaparin dan unfractionated heparin sangat direkomendasikan pada pasien yang memilih panegobatan konservatif, namun fondaparinux dipilih unutk mereka yang memiliki resiko tinggi perdarahan. 2. Terapi Non Farmakologi a. PCI Primer



PCI primer didefinisikan sebagai tindakan intervensi pada culprit vessel (pembuluh darah yang terlibat serangan) dalam 12 jam setelah onset nyeri dada, tanpa sebelumnya diberi trombolitik atau terapi lain untuk menghancurkan penyumbatan tersebut. Tindakan IKP primer sangat efektif mengembalikan patensi pembuluh darah koroner, mengurangi iskemik miokard berulang, pengurangan reoklusi koroner, pengurangan kejadian infark miokard berulang, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, dan pengurangan kejadian stroke. Indikasi Klinik PCI 



Iskemia yang diinduksi pada stress testing







Angina refractory terhadap terapi medis







Iskemia berulang setelah infark miokar







Acute myocardial infarction (AMI) dengan obstruksi infarct-related coronary artery (IRA)







Pasien dengan AMI yang tidak termasuk kandidat untuk fibrinolysis atau pembedahan







Gagal trombolitik



Kontraindikasi PCI 



Mutlak: peralatan dan fasilitas yang kurang memadai







Relatif:







CHF yang tidak terkontrol, BP tinggi, aritmia







Gagal ginjal







Perdarahan saluran cerna akut/anemia







Stroke baru (