Makalah Analisis Hukum Shopeepay Later [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

METODOLOGI PENELITIAN ANALISIS HUKUM PADA SISTEM PEMBAYARAN SHOPEE PAYLATER PADA MARKETPLACE SHOPEE DI INDONESIA



Mata Kuliah



: Telematika Kelas E



Dosen Pengampu



: Hervina Puspitorini, S.H, M.H



DI SUSUN OLEH : 1. Ma’rifatus Solikin 2. Muhammad Septian Wahyu 3. Inka Armadila 4. Lukman Hakim 5. Shafa Auriellia



(19071010242) (19071010231) (19071010055) (19071010220) (19071010128)



FAKULTAS ILMU HUKUM UNIVERSITAS PEMBAGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR TAHUN AJARAN 2021/2022



DAFTAR ISI



Bab 1 Pendahuluan...............................................................



1



1.1 Latar Belakang Masalah......................................................



1



1.2 Rumusan Masalah................................................................



2



1.3 Tujuan Penelitian...................................................................



2



1.4 Manfaat Penelitian...................................................................



3



Bab 2 Tinjuan Pustaka...........................................................



4



2.1 Teori Kepastian Hukum........................................................



4



2.2 Teori Perjanjian....................................................................



6



2.3 Sistem Pembayaran Elektronik.............................................



10



2.4 Transaksi Elektronik...............................................................



11



2.5 Peer to Peer Lending (P2P)....................................................



12



Bab 3 Pembahasan..............................................................



14



3.1. Sistem Pembayaran PayLater .................................................



14



3.2. Ketentuan, Syarat dan Prosedur ..................................................... 15 3.3 Perjanjian dalam Kitab UU.............................................................. 16 3.4 Sistem Pembayaran Shopee Paylater................................................16 3.5 Kedudukan Hukum Perjanjian..........................................................17 Bab 4 Penutup..........................................................................



17



4.1. Kesimpulan..........................................................................



18



4.2. Saran....................................................................................



18



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam-meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. 1 Perkembangan Teknologi dan Informasi yang berkembang pesat pada berbagai aspek kehidupan. Pemanfaatan Teknologi dan Informasi ini menimbulkan berbagai perubahan pada masyarakat. Hubungan antar sesama masyarakat yang semakin meluas dan tanpa batas baik pada sektor sosial, ekonomi, maupun budaya. Dalam hal ini kebutuhan manusia berusaha memenuhi keinginan untuk memperoleh barang atau jasa untuk memenuhi hidupnya dan menyejahterakan hidupnya. Namun, keinginan yang tak terbatas dari manusia terkadang tidak sesuai dengan dana yang dimiliki. Beberapa dari mereka kemudian akan melakukan transaksi pinjam meminjam yakni salah satunya uang. Erat kaitanya pinjam meminjam dengan perikatan (verbintenis) yang diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) . Kata “perikatan” memiliki artian yang lebih luas dari kata perjanjian. Pada dasarnya perikatan bersumber dari perjanjian dan bersumber dari Undang-Undang. Pada buku III KUHPer juga mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum serta peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan. Buku III KUHPer bersifat terbuka, artinya adalah Buku III KUHPer tersebut bersifat dinamis pada praktiknya sehingga para pihak dapat melakukan pengaturan yang berbeda dari apa yang diatur dalam KUHPer, namun hal tersebut harus disepakati oleh kedua pihak yang melakukan perjanjian.



1



M. Bahsan, 2008, Hukum Jamiman dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 1



Penggunaan layanan PayLater merupakan salah satu bentuk dari perjanjian, sehingga dalam pemanfaatannya menggunakan regulasi perjanjian. Pada perjanjian yang dipakai pada sistem pembayaran PayLater, isi dari perjanjian tersebut telah dibuat terlebih dahulu oleh salah satu pihak, yang dikenal dengan perjanjian baku. Rumusan yang dikemukakan bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian yang isinya ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah terbatas, untuk ditawarkan kepada konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi konsumen.2 Untuk mengetahui kedudukan perjanjian pada layanan PayLater, maka dapat ditinjau dari Buku III KUHPer mengenai perikatan. Timbulnya bentuk perjanjian baru ini merupakan salah satu dari akibat implementasi asas kebebasan berkontrak pada perjanjian. Ini adalah suatu permasalahan yang penting, dimana seharusnya suatu perjanjian menganut asas konsensualisme yang seharusnya dalam proses pembuatan perjanjian ini perlu kesepakatan diantara kedua belah pihak yang ada. Pada makalah ini, akan diketahui alasan perjanjian baku digunakan sebagai skema perjanjian yang dipilih dalam layanan PayLater. Salah satu marketplace di Indonesia yang menyediakan layanan PayLater dalam sistem pembayarannya adalah



Shopee . Shopee PayLater hadir untuk memudahkan



konsumen dalam membeli berbagai kebutuhan konsumen melalui aplikasi Shopee. Proses layanan PayLater Shopee terdapat beberapa syarat dan ketentuan yang diberikan bagi pengguna agar dapat mengetahui hak serta kewajiban yang akan diikatkan pada pengguna maupun pihak penyedia jasa pada saat pengguna tersebut mendaftarkan diri pada layanan Shopee PayLater. Syarat dan ketentuan tersebut meliputi syarat pendaftaran, jumlah limit yang diberikan, biaya yang harus dibayarkan, dan lainnya sampai dengan denda yang harus dibayarkan apabila terjadi masalah dalam penggunaan layanan Shopee PayLater tersebut. Pada ketentuan seperti nominal pinjaman yang diberikan, serta biaya lain yang harus dibayarkan oleh pengguna ketika menggunakan layanan Shopee PayLater dituangkan ke dalam suatu perjanjian atau perjanjian baku yang diatur daripada 2



Sembiring Sentosa (1999). Pencantuman Asas Kewajaran dalam Kontrak Standar (Perjanjian Baku) Sebagai Salah Satu Upaya Melindungi Konsumen. Jurnal Hukum FH-UII No. 12 Vol.6. Yogyakarta ; hlm 110



Penyelenggara Sistem Elektronik yang dapat dilihat pada saat pertama kali pengguna mengaktifkan layanan Shopee PayLater. Ketika pengguna mendaftarkan diri pada aplikasi yang menyediakan sistem pembayaran Shopee PayLater tersebut, maka pengguna dianggap telah menyetujui segala perjanjian yang telah dilampirkan pada laman aplikasi tersebut. Pada saat itu, pengguna telah setuju dan mengikatkan dirinya pada perjanjian yang telah diberikan sehingga menimbulkan suatu hak dan kewajiban baik dari pihak pengguna maupun pihak Penyelenggara Sistem Elektronik. Kemudian timbul diman para pihak memiliki kewajiban umtuk memenuhi prestasi terhadap pihak lain dan apabila terdapat pihak yang tidak menunaikan kewajibannya maka pihak tersebut dianggap telah melakukan suatu wanprestasi dan dapat diambil suatu tindakan agar pihak tersebut melakukan kewajibannya. Berdasarkan keadaan tersebut, maka di dalam makalah ini juga akan dicari solusi untuk menyelesaikan suatu sengketa yang ditimbulkan akibat wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak di dalam penggunaan layanan Shopee PayLater, karena pada praktiknya di dalam masyarakat, juga masih banyak yang kurang paham mengenai regulasi yang ada dalam penggunaan layanan Shopee PayLater. Hal ini menyebabkan baik pihak pengguna maupun pihak Penyelenggara Sistem Elektronik lalai ataupun sewenang-wenang dalam menjalankan hak dan kewajiban yang timbul daripada perjanjian baku ini. Pada makalah membahas tentang pentingnya era perkembangan teknologi seperti sekarang ini, masyarakat akan mengikuti perkembangan yang ada termasuk dalam sistem pembayaran. Di dalam makalah ini akan ditelusuri bagaimanakah kedudukan perjanjian layanan PayLater di dalam KUHPer. Akan ditelusuri juga alasan mengapa perjanjian baku merupakan skema perjanjian yang ditawarkan. Makalah ini juga menjadi penting karena dengan adanya perjanjian yang dilakukan, maka akan ada kemungkinan suatu wanprestasi dilakukan, sehingga penting untuk mengetahui bagaimanakah cara yang tepat untuk menyelesaikan sengketa wanprestasi tersebut sehingga pihak yang melakukan perjanjian akan mendapat suatu kepastian hukum. Adapun makalah ini akan dituangkan dalam judul : Analisis Hukum Pada Sistem Pembayaran Shopeepaylater pada Marketplace Shopee Di Indonesia. 2.2 Rumusan Masalah



3



1.



Bagaimanakah kedudukan hukum perjanjian layanan PayLater pada Kitab



Undang-Undang Hukum Perdata? 2. Bagaimana perjanjian baku adalah skema perjanjian yang ditawarkan dalam layanan PayLater? 2.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.



Untuk mengetahui kedudukan hukum sistem pembayaran



PayLater



pada



Hukum Perdata. 2.



Untuk mengetahui alasan mengapa dalam sistem pembayaran



PayLater



digunakan skema perjanjian baku.



2.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan dan menyempurnakan peraturan pada perjanjian mengenai sistem pembayaran Shopee PayLater, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap pihak-pihaK yang terlibat di dalam perikatan yang diakibatkan dari layanan Shopee PayLater ini. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu konsumen dalam memahami konsep Shopee PayLater suatu layanan pinjam meminjam fintech atau layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi atau online. Terutama dalam memahami hak dan kewajiban daripada masing-masing pihak yang mengikatkan dirinya pada perjanjian baku yang telah dibuat. Agar di dalam penggunaan layanan, dapat menghindari risiko melakukan perbuatan sewenang-wenang dikarenakan perjanjian yang terjadi dalam penggunaan Shopee PayLater merupakan perjanjian dari satu pihak saja. Diharapkan juga dalam penggunaan layanan ini, mengerti akan kewajibannya guna menghindari denda yang dibebankan apabila melewati waktu pembayaran yang telah tertulis di dalam perjanjian



BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Teori kepastian hukum Teori kepastian hukum merupakan pradigma teori positivistik sebagai these dari Teori hukum alam, sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.3 Positivisme yuridis telah dipelopori oleh aliran hukum Humanisme antara lain Jean Bordin dengan idenya tentang kedaulatan raja. Menurut ajaran ini satu-satunya sumber hukum adalah pembentukannya oleh Negara. 4 Teori kepastian hukum juga dipelopori oleh Aguste Comte yang mengatakan pada dasarnya kaidah hukum itu sendiri tanpa melibatkan kaidah-kaidah di luar non hukum (Etika), hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai azas moral metayuridis, yang abstrak tentang keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex. 5 Selanjutnya John Austin selaku aliran positivisme berpendapat : “Law is A Command of the law”, hukum adalah perintah dari penguasa yang kekuasaan tertinggi dan berdaulat, aturan yang berlaku adalah aturan yang tertulis sebagai penjelmaan kehendak penguasa karenanya harus dipatuhi, jika tidak siaplah terima sanksi, bukan persoalan adil atau tidak, juga bukan soal telavan atau tidak, ia ada dan sah secara yuridis. 6 Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum, akan tetapi tidak bisa untuk mengakomodir semua kepentingan yang ada dalam masyarakat. Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat dimana dituangkannya



perlindungan



kepentingan-kepentingan



tersebut



adalah



undang-undang. 7 Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam



3



Theo Huijbers, 1995. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ke VIII, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 196



4



Ibid, hlm. 129



5



Otje Salman dan Anthon F Susanto, 2009. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Cetakan ke V, Bandung: Reifika Aditama, hlm. 80 6



Bernard L Tanya, dan Yoan. N Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 119



7



Peter Mahmud Marzuki, 2008. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 157



3



hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan individu, sehingga dalam pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. 8 Jadi dengan demikian kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu: a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh



mengetahui



dilakukan;



b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan karena dengan adanya aturan yang bersifat



pemerintah



umum itu individu dapat mengetahui



apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.9 Kemudian Utrecht dalam bukunya “Pengantar dalam Hukum Indonesia” mengatakan



bahwa



hukum



bertugas



menjamin



adanya



kepastian



hukum



(rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tercermin 2 (dua) tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tercermin bahwa tugas ketiga yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). 10 Tujuan hukum selain untuk mencapai keadilan, juga bertujuan menciptakan kepastian hukum bagi manusia pribadi dan masyarakat luas. 11 Meskipun semakin tegas dan tajamnya suatu peraturan hukum untuk mencapai kepastian hukum, maka ini membuat semakin terdesaklah keadilan. Kedua hal tersebut antara keadilan dan kepastian hukum tidak dapat diwujudkan dalam situasi yang bersamaan. Oleh karena itu hukum haruslah bersifat kompromi, yaitu dengan mengorbankan keadilan untuk mencapai kepastian hukum.12 2.2 Teori Perjanjian 8



Ibid 158



9



Ibid



10



Utrecht, dalam Riduan Syahrani, 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 23



11



Munir Fuadi, dalam Muchtar Wahid, 2008. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Jakarta: Republika, hlm. 86



12



Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 161



Istilah perjanjian berasal dari Bahasa belanda overeenkomst. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPer perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu dan dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan. Dari pengertian ini dapat dimengerti bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang melibatkan dua sisi. Adanya penawaran dan penerima penawaran atas kesepakatan yang diajukan. Dengan demikian, kedua sisi bersepakat atau setuju untuk melakukan suatu perbuatan yang akan dapat menimbulkan akibat hukum. Kedua sisi saling mengikatkan diri satu dengan yang lainnya. Kesepakatan yang terjadi harus dinyatakan oleh dengan tegas,tidak disembunyikan, harus bebas dari pengaruh atau tekanan seperti: paksaan; kekhilafan; dan penipuan. Demikian juga kesepakatan yang terjadi harus diketahui kedua pihak. Segala perjanjian yang telah dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang kepada mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan daari kedua belah pihak atau karena alasan yang terdapat dalam undang-undang. Dalam Pasal 1330 KUHPer diuraikan mengenai siapa saja yang dianggap tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian. Ketidakcakapan (onbekwaamheid) berbeda dengan ketidakwenangan (onbevoegheid). Ketidakcakapan adalah keadaan dimana seseorang yang berdasarkan ketentuan di dalam undang-undang tidak mampu membuat suatu perjanjian, yang terdiri dari : orang yang belum dewasa; orang yang berada di bawah pengampuan; orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. 2.3 Sistem Pembayaran Elektronik Sistem Pembayaran Elektronik merupakan suatu inovasi yang muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang canggih. Sistem pembayaran elektronik ini hadir sebagai suatu bentuk pembayaran non tunai yang lebih efektif dan efisien. Individu dengan tingkat mobilitas yang tinggi tidak perlu lagi membawa uang tunai dalam jumlah yang banyak, dapat mengurangi tingkat kriminalitas yang terjadi di dalam masyarakat. Sistem pembayaran ini pun mulai dikembangkan oleh berbagai lembaga 3



penyelenggara sistem pembayaran di Indonesia, melakukan kerjasama dengan perusahaan maupun pusat perbelanjaan sehingga setiap orang dapat menggunakan sistem pembayaran elektronik dimana saja dan kapan saja. 2.4 Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menjelaskan pengertian transaksi elektronik menurutadalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan atau media elektronik lainnya. Perbuatan hukum menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki subjek hukum. 13 Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa pelaku usaha dan konsumen yang melakukan transaksi, berarti telah melakukan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum yaitu lahirnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dimana perbuatan tersebut dilakukan melalui media elektronik. Dalam penyelenggaraannya, berdasarkan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012, transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik maupun privat. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi: penyelenggaraan transaksi elektronik oleh instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan dalam lingkup publik lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Transaksi elektronik dalam lingkup privat meliputi : a. Transaksi elektronik antar pelaku usaha b. Transaksi elektronik antar pelaku usaha dengan konsumen c. Transaksi elektronik antar pribadi d. Transaksi elektronik antar instansi e. Transaksi elektronik antar instansi dengan pelaku usaha sesuai peraturan perundang-undangan 2.5 Peer to Peer Lending (P2P) 13



Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, hlm. 63.



Menurut Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech lending/peer-to-peer lending/ P2P lending adalah layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara



langsung



antara



debitur/borrower (penerima



kreditur/lender (pemberi



pinjaman)



berbasis



teknologi



pinjaman)



dan



informasi. Fintech



lending juga disebut sebagai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).14 Dalam istem ini menghubungkan ketiga pihak, sehingga masing-masing pihak mendapatkan berbagai keuntungan. Sistem ini adalah sistem yang diterapkan pada sistem pembayaran PayLater. Sistem ini membuat transaksi melalui platform digital menjadi lebih cepat dan mudah. Selain itu, dapat memberikan ketersediaan finansial yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan konsumtif maupun produktif dari borrower. Pada P2P yang dilaksanakan melalui pembayaran Shopee PayLater melibatkan pihak-pihak yaitu: a. PT. Lentera Dana Nusantara sebagai lender b. Marketplace Shopee sebagai Peer to Peer Lending Platform c. User Marketplace Shopee sebagai borrower 15 Pengertian lender termuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Pasal 1 angka 8 yaitu orang dan/atau badan hukum yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi. Selanjutnya pada Pasal 16, termuat lebih rinci mengenai peminjam (lender), terdiri dari perseorangan warga negara Indonesia (WNI) , perseorangan warga negara asing (WNA), badan hukum Indonesia/ asing dan/atau lembaga internasional. Selanjutnya, mengenai borrower juga telah diatur dalam dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Pasal 1 Angka 7 yaitu orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi. Penerima pinjaman merupakan perseorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.



14



https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/20566 akses pada 3 Desember 2021 pada pukul 20.29 WIB. 15



Ketzia Stephanie, Skripsi Aspek Hukum Perjanjian dalam Penerapan Sistem Pembayaran Shopee PayLater Pada Kegiatan Transaksi Elektronik di Indonesia hal 11



3



BAB III PEMBAHASAN 3.1 Sistem Pembayaran PayLater dengan Dasar Hukumnya Di masa pandemi covid-19 banyak sekali orang yang mengandalkan segala sesuatunya secara online. Mulai dari pembelajaran sekolah, sampai pada berbelanja kebutuhan primer hingga tersier Di kondisi sulit saat ini keadaan ekonomi yang tidak menentu, membuat banyak orang juga untuk mencari cara bagaimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kegiatan belanja secara online, adalah hal yang banyak dilakukan pada zaman sekarang. Timbulkah transaksi yang dilakukan secara online, menimbulkan banyak inovasi sistem pembayaran baru. Lalu, hadirlah suatu sistem pembayaran elektronik baru yang dikenal dengan nama PayLater, yang sekarang sedang diminati oleh banyak orang. Sistem PayLater ini, merupakan sistem pembayaran kredit yang disediakan oleh beberapa marketplace secara online. Dengan PayLater, pengguna marketplace, sebagai konsumen, dapat memenuhi kebutuhannya baik konsumtif maupun produktif. Sistem pembayaran PayLater ini, mengadopsi suatu sistem pinjam meminjam secara online yang disebut dengan P2P. P2P merupakan sistem pembayaran kredit atau dengan kata lain pinjam- meminjam, secara online. Pengaturan mengenai sistem pembayaran ini terdapat pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini didukung juga dengan Undang-Undang lain serta peraturan lain yang berhubungan dengan Sistem Transaksi Elektronik. Di dalam sistem PayLater, lender dipertemukan dengan borrower pada suatu wadah yang disebut P2P Platform. Biasanya, platform tersebut merupakan marketplace sebagai alternatif lain dari lembaga resmi seperti bank, koperasi atau jasa kredit yang umumnya prosesnya lebih kompleks dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencairkan dananya. Hal ini juga tercantum pada POJK Nomor 12 Tahun 2017 Pasal 1 angka 5 yang menyebutkan bahwa penyelenggara pinjaman dalam sistem Peer to Peer Lending merupakan suatu penyedia jasa keuangan yang berasal dari sektor keuangan non perbankan.



Kegiatan jual-beli online semakin mudah dengan hadirnya sistem pembayaran ini. Selain itu, banyak promo seperti potongan harga hingga cashback yang diberikan apabila konsumen menggunakan sistem pembayaran PayLater. Dengan sistem pembayaran ini juga, konsumen dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suatu usaha pembuatan makanan, beroperasi menggunakan sealer. Suatu ketika, sealer tersebut rusak padahal sealer merupakan kebutuhan utama yang digunakan dalam kegiatan produksi makanan. Untuk mengatasinya, pemilik usaha tersebut dapat membeli sealer baru pada sebuah marketplace yang menyediakan sistem pembayaran PayLater. Pemilik usaha tersebut tidak perlu khawatir dalam pembayarannya karena dalam penggunaan PayLater, pemilik usaha tersebut dapat membayarnya dikemudian hari. Pemilik usaha pun dapat meneruskan kegiatan produksi yang dilakukan dengan segera dan tanpa khawatir. Disamping banyaknya manfaat yang ditawarkan, sistem pembayaran ini juga memiliki kelemahan. Sebagai akibat dari mudahnya bertransaksi dengan sistem pembayaran PayLater, masyarakat cenderung memiliki sifat yang konsumtif. Masyarakat tidak lagi menggunakan PayLater untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggunakannya untuk memenuhi keinginan mereka, yang sebenernya tidak diperlukan. Selain itu, karena sistem pembayaran ini merupakan pembayaran secara kredit, pengaturan keuangan dapat terganggu dengan cicilan, apalagi apabila sewaktu-waktu diperlukan biaya tak terduga tetapi pengguna masih memiliki kewajiban untuk membayar cicilan. Keamanan identitas juga merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan apabila menggunakan sistem pembayaran PayLater. Meskipun ada pengamanan yang sangat ketat, tidak dapat menjamin keamanan data para pengguna. Masih besar risiko para pelaku cyber criminal dapat mengakses data kita dengan mudah, mengingat seluruh transaksi yang dilakukan dengan pembayaran PayLater ini menggunakan sistem elektronik. Penggunaan sistem pembayaran PayLater dengan segala kelebihan dan kekurangannya merupakan sistem yang hadir untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat. Namun, masyarakat sebagai pengguna, juga harus memperhatikan pembayaran cicilan yang harus dilakukan. Pembayaran sebaiknya dilakukan tepat waktu. Apabila tidak dibayar tepat pada waktunya, maka pengguna sistem PayLater



3



ini akan dikenakan denda. Hal ini pun telah disampaikan pada syarat dan ketentuan bagi pengguna pada saat pertama kali mendaftarkan diri pada sistem layanan ini. Sistem Penyelenggarna Elektronik dalam layanan PayLater merupakan suatu lembaga yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pengguna sistem pembayaran PayLater kadang melakukan pembayaran dengan telat atau bahkan sampai tidak membayar, maka akan berpengaruh penilaian layanan paylater mereka. 3.2 Ketentuan, Syarat dan Prosedur Jual Beli Kredit Melalui Shopee Paylater Shopee mulai masuk ke pasar Indonesia pada akhir bulan Mei 2015 dan baru mulai beroperasi pada akhir Juni 2015 di Indonesia. Sasaran pengguna Shopee adalah kalangan muda yang saat ini terbiasa melakukan kegiatan dengan bantuan gadget termasuk kegiatan berbelanja. Untuk itu hadir dalam bentuk aplikasi mobile guna untuk menunjang kegiatan berbelanja yang mudah dan cepat. Kategori produk yang ditawarkan dan lebih mengarah pada produk fashion dan perlengkapan rumah tangga. Saat ini sudah dapat mencakup wilayah di seluruh Indonesia bahkan di kota kecil, dan sudah banyak penjual yang menawarkan produknya pada fitur ini dan banyak juga konsumen memilih sebagai tempat belanja online. Adapun



cara



praktis



dalam



melakukan pembayaran, yaitu kartu kredit/debit online, indomaret/i, saku, alfamart, transfer bank, kredivo, oneklik, akulaku, bayar di tempat (COD), shopeepay, dan shopeepay later. Adapun shopeepay merupakan fitur layanan dompet dan uang elektronik yang ini dapat digunakan sebagai alternatif metode pembayaran di platform tersebut dan untuk menampung pengembalian dana. Shopee paylater hanya dapat dinikmati oleh para pengguna aktif aplikasi yang dianggap telah memenuhi syarat untuk menggunakan shopee paylater dan untuk dapat menggunakannya terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk akun pengguna fitur tersebut. Syarat daftar shopee paylater perlu dipahami fitur ini tidak dapat di miliki semua pengguna marketplace tersebut. Pengguna harus melakukan beragam tahapan sebelum fitur shopee paylater dapat aktif dalam akun yang di miliki. Hal pertama yang dilakukan untuk mengaktifkan fitur shopee paylater adalah: A.



Klik menu saya lalu klik shopee paylater



B.



Setelah itu klik aktif sekaran



C.



Ketik kode OTP yang diterima



D.



Tahap selanjutnya adalah mengunggah foto KTP sesuai dengan



ketentuan. Pastikan data yang tercantum serta foto KTP jelas dan tidak buram. E.



Setelah foto KTP berhasil diunggah, tuliskan nama serta Nomor Induk



Kependudukan yang sesuai dengan foto KTP tersebut. F.



Masukkan nomor atau kontak darurat yang bisa dihubungi jika



sewaktu-waktu akun anda mengalami masalah atau disalahgunakan oleh oknum tertentu. G.



Selesai



mengisi



kontak



darurat,



Anda



akan



diminta



memverifikasi diri. Pihak fitur akan memberikan frame foto sebagai tentang bagaimana wajah harus diperlihatkan.



Usahakan



untuk



penunjuk



pencahayaan



pada



wajah cukup terang sehingga membuat foto menjadi lebih mudah dilihat. H.



Selesai melakukan proses verifikasi wajah tersebut, pengajuan



fitur



shopee paylater pada akun akan diproses. I.



Jika disetujui, pihak fitur akan mengirimkan notifikasi bahwa



fitur



shopee paylater telah aktif dan bisa digunakan. 16 Keunggulan shopee paylater Karena perannya yang mampu melancarkan proses transaksi serta membuat pembelian lebih banyak dilakukan, hampir semua marketplace yang ada di Indonesia telah mencanangkan fitur paylater ini. Namun terdapat beberapa keunggulan dari fitur paylater ini dibanding dengan para pesaingnya yaitu: 1. Dapat membeli barang yang diinginkan secara langsung 2. Bunga sangat ringan 3. Limit yang disesuaikan dengan pengguna Pengawasan pengguna shopee paylater yang pertama adalah proses vertifikasi identitas pada saat akan mengaktifkan fitur shopee paylater diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).



16



Irene Radius Saretta, “Shopee Payleter Belanja Sekarang Bayar Bulan Depan”, diakses dari https://www.cermati.com, pada tanggal 3 Desemberi 2021, pukul 21:00.



3



Hal ini bisa saja berkaitan dengan rekam financial anda jikalau nanti ada tagihan yang tidak bisa dilunasi dan lain sebagainya. Pengaturan dalam undang-undang perlindungan konsumen tidak hanya di tujukan untuk melindungi hak-hak konsumen karena tujuannya dari di adakannya undang-undang perlindungan konsumen. 3.3 Perjanjian dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan. Perikatan berasal dari Bahasa belanda yaitu verbintenis. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak untuk melakukan sesuatu dan pihak lainnya memiliki kewajiban untuk melakukan hal tersebut. Hak dan kewajiban tersebut disebut dengan prestasi. Pasal 1234 KUHPer menyebutkan bahwa ada 3 bentuk prestasi yaitu : a. Memberikan sesuatu b. Berbuat sesuatu c. Tidak berbuat sesuatu Perikatan memiliki definisi yang lebih luas daripada perjanjian. Perjanjian memiliki definisi yang lebih konkret atau merupakan sebuah peristiwa yang dapat menimbulkan perikatan. Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Subekti menyebutkan bahwa perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Definisi lainnya, menurut KMRT Tirtodiningrat, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. Berdasarkan pengertian ini dapat diambil beberapa unsur daripada perjanjian yaitu : a. Perbuatan



Perbuatan yang dimaksud dalam pengertian perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan yang dilakukan dalam suatu perjanjian harus berakibat hukum bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian. b. Pihak yang terlibat Dalam melakukan perjanjian, setidaknya ada dua pihak ada yang terlibat untuk mememberikan pernyataan persetujuan. Pihak yang terlibat dapat merupakan perseorangan atau badan hukum. c. Mengikatkan diri Dalam melakukan perjanjian, para pihak mengikatkan diri berarti bahwa terjadi persetujuan diantara kedua pihak atas kehendaknya sendiri yang dapat menimbulkan akibat hukum.17 Berdasarkan Pasal 1338 KUHPer, dinyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dijelaskan oleh Subekti 18 bahwa kalimat tersebut mengandung arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah dan tidak bertentangan dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut Abdulkadir Muhammad19 yang menjadi unsur dalam suatu perjanjian adalah : a. Adanya pihak-pihak b. Adanya consensus atau persetujuan para pihak c. Adanya objek dalam perjanjian yang berupa benda



17



A. Qirom Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta:



Liberty, 1985), hal. 8 18



R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hal. 342 19



Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990),



hal. 78



3



d. Adanya tujuan yang bersifat kebendaan mengenai harta



kekayaan



e. Ada bentuk tertentu, baik secara lisan maupun tulisan f. Adanya syarat-syarat tertentu 2. Syarat Sah Perjanjian Perjanjian lahir dari persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Namun, perjanjian tersebut belum tentu sah. Untuk mengikat para pihak yang ada pada suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut harus sah, yaitu memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dalam KUHPer. Kualifikasi atau syarat tersebut dimuat di dalam Pasal 1320 KUHPer. Ada 4 syarat sah perjanjian, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kata “sepakat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti setuju; sependapat; semufakat; seia sekata. Dalam perjanjian, kataa. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kata “sepakat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti setuju; sependapat; semufakat; seia sekata. Dalam perjanjian, kata sepakat menunjukkan bahwa adanya persamaan kehendak antara pihak yang ada di dalam perjanjian, kehendak untuk melakukan apa yang diperjanjikan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menjelaskan secara tegas bagaimana para pihak menyatakan kesamaan kehendaknya. J. Satrio berpendapat bahwa ada dua cara para pihak dalam menyatakan kesamaan kehendaknya, yaitu dengan akta otentik atau akta dibawah tangan. Kata “sepakat” yang dicapai para pihak harus merupakan “sepakat” yang dicapai secara sah. Kata “sepakat” dicapai dengan kehendak masing- masing pihak tanpa ada paksaan (dwang), kekhilafan, atau penipuan (fraud) (Pasal 1321 KUHPer). Paksaan dalam hal ini merupakan setiap tindakan yang dilakukan atau ancaman yang menghalangi kebebasan berkehendak seseorang. Menurut Subekti, paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ancaman akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika tidak menyetujui perjanjian.



Penipuan (fraud) diatur dalam Pasal 1328 KUHPer. Pihak yang mencapai kesepakatan dengan penipuan mendapat kata “sepakat” dengan suatu daya tipu. Pihak diarahkan kepada suatu hal yang bertentangan dengan keadaan sebenarnya sehingga pihak tersebut menyetujui perjanjian. Seandainya tidak terpengaruh daya tipu, maka tidak ada kesepakatan yang dicapai. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Syarat kecakapan merupakan syarat subjektif mengenai sahnya suatu perjanjian. Dalam Pasal 1329 KUHPer dinyatakan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, jika ia tidak dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. Selanjutnya, pada Pasal 1330 KUHPer, dijelaskan mengenai siapa saja yang tidak cakap dalam membuat perjanjian, yaitu: orang yang belum dewasa, orang yang berada dibawah pengampuan, dan terakhir orang perempuan dalam pernikahan. Pengaturan mengenai kedewasaan seseorang di dalam KUHPer tercantum dalam Pasal 330 yang menyebutkan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21, dikatakan belum dewasa. Apabila seseorang telah berumur 21 tahun, atau belum mencapai 21 tahun tetapi sudah menikah, maka orang tersebut dapat dikatakan sudah dewasa. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada Pasal 47 dan Pasal 50, menentukan bahwa seseorang telah dianggap dewasa apabila sudah mencapai umur 18 tahun. Orang yang berada dibawah pengampuan, meskipun menurut usianya sudah dianggap dewasa, orang tersebut tetap dianggap tidak cakap dalam melaksanakan perjajian. Dalam Pasal 433 KUHPer dijelasakan mengenai pengampuan. Seseorang yang diletakkan dibawah pengampuan merupakan seseorang yang dinyatakan gila, dungu, mata gelap, lemah akal, dan pemboros. Seseorang yang dinyatakan seperti disebutkan sebelumnya, tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh karena hal tersebut, orang itu dapat merugikan dirinya sendiri. Selain itu, orang yang pailit juga tidak diperbolehkan dalam membuat suatu perjanjian yang terkait dengan harta kekayaannya (Pasal 24 ayat 1 UU 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan). Orang yang pailit tersebut hanya diperbolehkan untuk melakukan perikatan yang mengungkap budel pailit, namun hal tersebut juga harus diketahui oleh Kurator yang ditunjuk oleh pengadilan (Pasal 26 ayat 1 UU 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan) c. Suatu hal tertentu



3



Syarat ini berkaitan dengan obyek dari suatu perjanjian. Dalam pembuatan perjanjian, KUHPer pada Pasal 1333 mengatur bahwa di dalam suatu perjanjian harus ada pokoknya, yaitu suatu benda atau hal tertentu yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Hal tertentu tersebut yang kemudian disebut prestasi perjanjian, yang merupakan obyek dari perjanjian itu sendiri. Dalam Bahasa Belanda, benda merupakan zaak yang bukan hanya berarti sebagai barang dalam arti sempit, namun juga dalam arti yang luas, yaitu suatu pokok dari persoalan. Karena itu, obyek perjanjian bukan hanya berupa benda namun bisa juga berupa jasa. Dalam KUHPer juga ditegaskan bahwa benda tersebut tidak harus disebutkan, asalkan benda tersebut dapat dihitung atau ditentukan. d. Suatu sebab yang halal Kata “sebab” yang dimaksud pada syarat ini bukanlah merupakan penyebab dari seseorang membuat perjanjian. Namun, hal ini mengacu pada isi serta tujuan dari perjanjian yang dibuat. Misalnya dalam perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang. Apabila seseorang membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli membeli menbunuh orang dengan pisaunya, maka disini tidak ada kausa hukum yang halal. Kemudian dijelaskan pada Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPer, bahwa suatu sebab atau kausa dinyatakan terlarang apabila sebab tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu sebab dapat dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika sebab yang tertulis di dalam perjanjian bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Suatu sebab yang terlarang karena bertentangan dengan kesusilaan masih sulit untuk didefinisikan karena definisi dari kesusilaan masih sangat abstrak, dapat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya maupun dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal kesusilaan juga dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebab terlarang karena bertentangan dengan kepentingan umum meliputi keamanan negara dan keresahan dalam masyarakat, dan karenanya hal tersebut dapat dikatakan sebagai masalah ketatanegaraan.



Dalam sistem common law, hal ini disebut dengan public policy. Suatu perjanjian dapat menjadi tidak sah karena perjanjian tersebut bertentangan dengan public policy. Jika perjanjian berdampak negatif bagi masyarakat atau menganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan bertentangan dengan public policy yang menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Keempat syarat tersebut dibedakan menjadi syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif merupakan syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian, yaitu syarat a dan b. Syarat objektif merupakan syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian, yaitu syarat c dan d. Syarat tersebut dapat menyebabkan batal demi hukum (null) suatu perjanjian atau dapat dibatalkannya suatu perjanjian (void). Tidak terpenuhinya syarat subjektif dapat membuat perjanjian tersebut dapat dibatalkan, namun sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan oleh pengadilan, maka perjanjian terus berlaku. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat batal demi hukum, atau dianggap bahwa perjanjian tersebut tidak sejak awal. 3. Asas-asas dalam Perjanjian Keberadaan suatu perjanjian tidak akan terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan asas sebagai dasar atau hukum dasar. Pembuatan perjanjian harus memenuhi asas-asas dari suatu perjanjian karena asas tersebut menjadi suatu dasar bagi para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perbuatan hukum yang akan dilakukan yaitu melakukan perjanjian. Ada 5 (lima) asas di dalam perjanjian yaitu : a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract) b. Asas Konsensualisme (Consesualism) c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) d. Asas Itikad Baik e. Asas Kepribadian (Personality)



1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)



3



Asas ini memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapapun, membuat isi, maupun menentukan bentuk dari perjanjian itu sendiri. Kebebasan yang diberikan ini merupakan perwujudan atas kehendak bebas, pancaran hak dan hak asasi manusia. Akibat dari asas kebebasan berkontrak inilah juga muncul jenis serta bentuk perjanjian baru lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 2. Asas Konsesualisme (Consensualism) Konsesnsualisme berasal dari bahasa Latin yaitu ‘consensus” yang berarti sepakat. Asas konsensualisme menegaskan bahwa dalam membuat perjanjian harus ada suatu kesepakatan atau persetujuan yang terjadi diantara dua pihak. Hal ini dinyatakan pula di dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Konsensualisme juga mengandung arti bahwa perjanjian dapat dibentuk dengan adanya kesepakatan, yaitu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Asas ini menjelaskan bahwa perjanjian dapat terbentuk cukup dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, hal tersebut dapat terjadi walaupun tidak diadakan secara formal. 3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Asas pacta sunt servanda atau asas kepastian hukum dikaitkan dengan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyetakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak merupakan suatu Undang-Undang bagi pihak yang membuatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pihak yang membuat perjanjian, terikat dalam perjanjian tersebut sehingga pra pihak wajib mematuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mereka mematuhi dan melaksanakan suatu Undang-Undang yang berlaku. Dijelaskan juga di dalam ayat (2) bahwa perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan yang dinyatakan oleh Undang-Undang cukup untuk itu. 4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa “... suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik harus ada sejak awal perjanjian akan disepakati, itikad baik merupakan asas yang



berlaku pada “pembuatan” perjanjian bukan “pelaksanaan” perjanjian. Definisi itikad baik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik). Secara umum, definisi itikad baik terdiri dari definisi subyektif dan obyektif. Itikad baik dalam diri seseorang, yaitu sikap batinnya merupakan definisi subyektif dari itikad baik. Definisi obyektifnya adalah bahwa perjanjian harus dibuat dan dilaksanakan dengan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkatannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan perilaku sebagai orang terhormat dan jujur walaupun kewajiban itu tidak secara tegas diperjanjikan. 5. Asas Kepribadian Asas Kepribadian merupakan asas yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian hanya dibuat untuk kepentingan perseorangan. Asas ini diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menyatakan bahwa pihak yang membuat perjanjian harus membuat perjanjian tersebut atas dasar kepentingannya sendiri. Pasal 1340 KUHPer juga menyatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.



3.4 Sistem Pembayaran Shopee PayLater 1. Mekanisme Pembayaran dengan Shopee PayLater Shopee PayLater merupakan produk layanan pinjaman yang disediakan oleh dua penyedia pinjaman, yaitu dari PT Lentera Dana Nusantara yang merupakan operator platform layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi atau peer to peer lending, dan PT Commerce Finance sebagai pemberi pinjaman kepada pengguna yang ingin berbelanja di Shopee.20



20



https://duniafintech.com/aplikasi-shopeepinjam/ diakses pada 4 Desember 2021 pukul 15.45



3



Dalam penyelenggaraannya, PT. Lentera Dana Nusantara dan PT. Commerce Finance diawasi langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sistem pembayaran Shopee PayLater hanya dapat digunakan oleh pengguna marketplace Shopee yang terpilih. Untuk dapat menggunakannya, maka pengguna harus aktif melakukan pembelian pada marketplace Shopee. Untuk menggunakan , pendaftaran untuk Shopee PayLater dilakukan mandiri pada sistem pembayaran Shopee PayLater. Sistem pembayaran Shopee PayLater ini hanya dapat digunakan untuk melakukan transaksi jual-beli di marketplace Shopee saja. Untuk mengaktifkan sistem pembayaran ini, dapat dilakukan langsung dari aplikasi Shopee atau website shopee. Pengajuan aktivasi ShopeePayLater akan diperiksa oleh tim terkait selama 2x24 jam. Apabila limit Shopee PayLater yang diberikan tidak mencukupi, maka pembayaran dapat di split dengan metode pembayaran lain. 2. Syarat dan Ketentuan Penggunaan Shopee PayLater Pengguna



shopee payletter dapat memilih tanggal jatuh tempo kapan



dilakukannya pembayaran tagihan. Tanggal jatuh tempo yang tersedia yaitu pada tanggal 5 dan 11 setiap bulannya. Apabila pengguna memilih tanggal jatuh tempo setiap tanggal 5, maka rincian tagihan akan muncul setiap tanggal 25. Apabila pengguna memilih jatuh tempo setiap tanggal 11, maka rincian tagihan akan muncul setiap tanggal 1 setiap bulannya. Pada penggunaannya, Shopee PayLater mengenakan biaya penanganan (admin) sebesar 1% dari total pembayaran pada setiap transaksi yang dilakukan. Adapun syarat dan ketentuan berbelanja dengan Shopee PayLater : 1. Shopee PayLater telah aktif 2. Pengguna dapat checkout barang sebanyak mungkin dengan



harga



sesuai



3. Pengguna tidak memiliki keterlambatan pembayaran tagihan untuk



fitur



limit yang dimiliki



Shopee PayLater dan/atau Shopee Pinjam 4. Pengguna dapat menggunakan Shopee PayLater untuk dari kategori voucher, emas, uang elektronik dan



zakat.



membeli



produk



5. Pengguna dapat menggunakan Shopee PayLater untuk



membeli



produk



digital seperti pulsa, listrik PLN, paket data, BPJS, tiket kereta api, Telkom, PDAM, pasca bayar, tiket pesawat, TV



Kabel & Internet, tiket bus & travel.



Shopee PayLater memberikan bunga sebesar 0% kepada pengguna yang melakukan pembayaran hanya dalam jangka waktu pembayaran satu bulan saja. Namun apabila pengguna memilih jangka waktu pembayaran 2x, 3x, atau 6x, maka akan dikenakan bunga yang berkisar 0-2.95% per bulannya.



3.5 Kedudukan Hukum Perjanjian PayLater dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Penggunaan sistem layanan PayLater yang diberikan oleh Shopee, memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi. Syarat dan ketentuan tersebut, merupakan suatu hal yang wajib diketahui oleh pengguna sebelum pengguna melakukan pendaftaran untuk dapat menggunakan layanan Shopee PayLater. Hal ini menyatakan bahwa apabila pengguna mendaftarkan dirinya atau melakukan aktivasi layanan pembayaran Shopee PayLater, maka pengguna berarti sudah mengetahui syarat dan ketentuan tersebut sehingga pengguna mengikatkan dirinya pada syarat dan ketentuan yang diberikan. Dalam mengaktivasi atau mendaftarkan diri dalam sistem pembayaran Shopee PayLater hal ini merupakan suatu perbuatan hukum yaitu membuat perjanjian. Sistem perjanjian yang digunakan dalam Shopee PayLater ini, bukan suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis diatas kertas. Dalam pendaftaran Shopee PayLater, perjanjian yang digunakan merupakan perjanjian elektronik. Hal ini yang kemudian dikenal dengan sistem P2P yaitu suatu sistem pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Pada mekanisme P2P ini mengadakan hubungan hukum yaitu hubungan antara pemberi pinjaman dan peminjam melalui suatu perjanjian. Perjanjian pada umumnya dilakukan dengan membuat kesepakatan yang dilakukan secara langsung antara para pihak yang akan saling mengikatkan diri, akan tetapi perjanjian dalam fintech berbasis P2P dilakukan secara elektronik sehingga perjanjian tersebut berbentuk perjanjian elektronik yang dituangkan dalam dokumen elektronik oleh para pihak. Pembuatan perjanjian dilakukan tanpa harus tatap muka. 3



Hal seperti ini memberikan kemudahan akses bagi para pihak yang akan membuat perjanjian P2P. Syarat dan ketentuan, serta mekanisme pada sistem pembayaran Shopee PayLater ditentukan terlebih dahulu oleh pihak Shopee. Syarat dan ketentuan serta mekanisme yang sudah ditentukan ini menimbulkan suatu pertanyaan, mengapa isis suatu perjanjian dapat ditentukan satu pihak terlebih dahulu, yang kita ketahui pada uraian mengenai syarat hukum perjanjian, harus ada kesepakatan antara dua pihak, dalam pembuatan perjanjian, termasuk dalam menentukan isi perjanjian yang akan dibuat. Perjanjian banyak mengalami perkembangan dengan berbagai inovasi baru. Seperti dalam perjanjian yang digunakan pada sistem pembayaran PayLater ini. Isi perjanjian, telah ditentukan oleh salah satu pihak terlebih dahulu. Bentuk perjanjian seperti ini disebut dengan bentuk perjanjian baku. Hukum Perjanjian dalam KUHPer diatur di dalam buku III tentang perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan. Di dalam perjanjian, tercantum hak dan kewajiban yang telah disetujui oleh kedua pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUHPer dikenal banyak jenis perjanjian. Jenis perjanjian tersebut ada yang bersumber dari Undang-Undang atau disebut juga perjanjian bernama (nominaat) dan ada juga perjanjian yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat pada praktiknya yang dikenal dengan perjanjian tidak bernama (inominaat). Dalam pelaksanaannya, perjanjian juga didukung dengan asas-asas sebagai dasar atau prinsip dalam pelaksanaan perjanjian. Salah satunya adalah asas kebebasan berkontrak, Kebebasan berkontrak memiliki ruang lingkup berupa kebebasan melakukan perjanjian dengan siapa pun dan mengenai hal apapun, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan, kesusilaan, serta ruang lingkup kewajiban tunduk pada apa yang diperjanjikan. 21 Perjanjian baku, ada di dalam masyarakat berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini menimbulkan bentuk perjanjian baru di dalam praktiknya, Perjanjian baku merupakan suatu perjanjian yang dibuat tertulis, sepihak dan dibuat



21



Aryo Dwi Prasnowo, Siti Malikhatun Badriyah, (2019) Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku. Udayana Magister Law Jurnal hal 70



oleh pihak yang menempatkan klausula baku di dalamnya. Perjanjian baku mengandung syarat-syarat baku yang telah distandarisasi yang bentuk dan isinya telah dibuat dan dipersiapkan terlebih dahulu. Munculnya perjanjian baku sebenarnya merupakan akibat tidak langsung asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). Hal tersebut menyebabkan posisi kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Asas kebebasan berkontrak artinya memberi ruang kebebasan kepada para pihak dalam membuat perjanjian apa saja. Hanya saja dalam menentukan isi dan bentuknya biasanya konsumen tidak diberi kesempatan dalam hal ini. Dengan ini, dapat dilihat juga bahwa ada salah satu pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dibanding pihak lainnya. Pihak yang lebih kuat sudah pasti adalah pihak pembuat perjanjian sebagai kreditur, dan pihak yang lebih lemah yaitu pengguna, atau sebagai debitur. Pihak yang kebih kuat merupakan pihak yang paling berperan dalam menentukan standar perjanjian, dan pihak ini juga yang menyusun klausul-klausul dalam perjanjian tersebut. Hal ini mengakibatkan perjanjian baku memiliki klausul berat sebelah atau cenderung berpihak pada salah satu pihak. Perjanjian baku yang dikembangkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak tersebut, sebelumnya belum diatur di dalam KUHPer. Hal ini mengandung arti bahwa perjanjian baku termasuk dalam perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang belum ada pengaturan khususnya pada KUHPer maupun KUHD. Perjanjian tidak bernama bisa tercipta karena pada prakteknya perjanjian tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian tidak bernama juga dikenal sebagai perjanjian inominaat. Perjanjian ini diatur di dalam Pasal 1319 KUHPer. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan perjanjian layanan PayLater menerapkan sistem perjanjian baku yang di dalam KUHPer merupakan sebagai perjanjian tidak bernama atau biasa dikenal dengan perjanjian inominaat, dan perjanjian ini merupakan perkembangan bentuk perjanjian yang dikenal di dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya asas kebebasan berkontrak.



3



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kedudukan perjanjian shopeepayletter di dalam KUHPer yaitu sebagai perjanjian tidak bernama, yang merupakan suatu pengembangan di dalam praktik perjanjian dan muncul sebagai akibat dari asas kebebasan berkontrak. Sistem pembayaran PayLater diterapkan dengan mengadopsi sistem baku yaitu suatu sistem perjanjian yang pada pembuatannya telah ditentukan dan ditetapkan terlebih dahulu mengenai isi perjanjiannya secara sepihak, yang biasanya dilakukan oleh pihak yang lebih tinggi posisi tawar- menawarnya (bargaining position). Dimana di dalam penggunaannya, syarat dan ketentuan di dalam Shopee PayLater telah ditentukan terlebih dahulu oleh pihak Shopee maupun pihak penyelenggara Shopee PayLater. Pengaturan perjanjian baku ini belum dijelaskan secara langsung. 2. Perjanjian pada umumnya dilakukan dengan membuat kesepakatan yang dilakukan secara langsung antara para pihak yang akan saling mengikatkan diri, akan tetapi perjanjian dalam fintech berbasis P2P dilakukan secara elektronik sehingga perjanjian tersebut berbentuk perjanjian elektronik yang dituangkan dalam dokumen elektronik oleh para pihak. Pembuatan perjanjian dilakukan tanpa harus tatap muka B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, saran sebagai berikut : 1. Perjanjian baku yang tidak memiliki pengaturan secara khusus baik di dalam KUHPer maupun Undang-Undang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Pemerintah seharusnya dapat membuat regulasi yang khusus mengenai Perjanjian Baku ini. 2. Karena isi perjanjian dalam paylater tidak dapat diubah maka bagi para pengguna Shopee PayLater dalam melakukan aktivasi sistem pembayaran sebaiknya paham terlebih dahulu mengenai syarat dan ketentuan yaitu isi perjanjian yang ditetapkan oleh pihak Shopee maupun pihak penyelenggara sehingga dapat mengurangi risiko bagi pengguna mengalami kerugian yang diakibatkan oleh denda yang diberikan.



1i