MAKALAH Fiqh Muamalah (Repaired) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



MAKALAH FIQIH MUAMALAH Tentang HUKUM BUYU’ DALAM ISLAM



DI SUSUN OLEH: RITA SUKRIA 19050101081



FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI KENDARI TAHUN 2021



2



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Hukum Buyu’ dalam islam



tepat pada waktunya. Selain itu,



makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan serta ilmu pengetahuan tentang hukum buyu’ dalam islam terhadap para pembaca dan juga bagi penulis, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Muhammad Hadi M. HI, selaku dosen bidang studi fiqh muamalah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis pelajari. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Saran yang membangun akan Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.



Kendari, 09 Maret 2021 Penulis RITA SUKRIA



3



DAFTAR ISI COVER ..................................................................................................................1 KATA PENGANTAR..........................................................................................iii DAFTAR ISI..........................................................................................................iv BAB I LATAR BELAKANG ...............................................................................1 A. Latar Belakang.............................................................................................1 B. Rumusan Masalah........................................................................................2 C. Tujuan..........................................................................................................2 D. Manfaat........................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3 A. Pengertian Jual Beli (Al-Buyu’) Dalam Islam............................................3 B. Dasar Hukum Jual Beli (Al-Buyu’) Dalam Islam........................................4 C. Rukun dan Syarat Jual Beli (Al- Buyu’) Dalam Islam...............................10 D. Macam-Macam Jual Beli (Al-Buyu’) Dalam Islam...................................13 BAB III PENUTUP..............................................................................................21 A. Kesimpulan................................................................................................21 B. Saran...........................................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22



4



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai agama yang membawa berkah serta rahmat bagi seluruh alam semesta termaksud mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam penjelasan hukum Islam jual beli juga dibahas secara detail karena pada hakekatnya Islam bukan hanya agama yang mementingkan aspek ibadah saja melainkan juga sangat menekankan aspek sosial termaksud (muamalah). Jual beli (Al-Buyu’) merupakan suatu kegiatan tukar menukar antara barang yang satu atau lebih dengan barang lain dengan cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dengan menggunakan alat tukar seperti uang. Jual beli (Al-Buyu’) ini dilakukan dengan memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya. Hukum jual beli dalam Islam merupakan konsep yang melarang adanya aspek dzalim. Maksudnya, yaitu dalam jual beli tersebut umat Islam sangat dilarang melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain demi keuntungan yang ingin diperolehnya. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah mempunyai landasan hukumnya. Demikian halnya dengan perjanjian jual beli merupakan akad dari sejumlah akad yang diatur oleh agama. islam menekankan bahwa kemerdekaan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, terikat oleh



5



syari’at Islam. Individu dalam Islam diberikan kebebasan melakukan kegiatan ekonomi selama tidak dilarang oleh nash. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas



maka yang menjadi rumusan



masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1.



Apa pengertian Jual Beli (Al-Buyu’) dalam Islam?



2.



Bagaimana Dasar Hukum Jual Beli (Al-Buyu’) dalam Islam?



3.



Bagaimana rukun dan Syarat Jual Beli (Al- Buyu’) dalam Islam?



4.



Apa saja macam-macam Jual Beli (Al-Buyu’) dalam Islam?



C. Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk: 1.



Mengetahui Pengertian Jual Beli (Al-Buyu’) dalam Islam.



2.



Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli (Al-Buyu’) dalam Islam.



3.



Mengetahui Rukun dan Syarat Jual Beli (Al- Buyu’) dalam Islam.



4.



Mengetahui Macam-Macam Jual Beli (Al-Buyu’) dalam Islam.



D. Manfaat Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bentuk referensi bagi pembaca yang mempelajari hukum(AlBuyu’) dalam islam 2. Sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi pembaca 3. Sebagai sarana belajar agar menambah ilmu pengetahuan yang baru 4. Menerapkan ilmu pengetahuan yang dipelajari untuk diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.



6



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Jual Beli (Al-Buyu’) Dalam Islam Di dalam hukum Islam, jual beli (Al-Buyu’) termasuk ke dalam lapangan hukum perjanjian/perikatan, atau „aqad dalam bahasa Arab. Jual beli adalah kegiatan tukar menukar antara barang dengan uang, antara benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.1 Jual beli (al-Buyu’) menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan almub adalah, sebagaimana firman Allah:



Artinya: Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Faathir[35]: 29). Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut: 1.



Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.



2.



Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan Syara.



3.



Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara dll.



1



Hendi Suhendi, Fiqh Muâmalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 68.



7



Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli (alBuyu’) ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian  atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.2 Pendapat lain, jual beli (al-Buyu’)



menurut syariat agama yaitu



kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual beli dan ini dibenarkan dalam Alquran:



Artinya: ‘Allah menghalalkan jual beli dan, mengharamkan riba’ (QS. alBaqarah[2]: 275). 3 Apabila jual beli itu menyangkut suatu



barang yang sangat besar



nilainya, dan agar tidak terjadi kecurangan di belakang hari, Alquran menyarankan agar ada saksi. Artinya: Dan hendaklah kamu mengadakan saksi kalau kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi itu mempersulit. (QS. alBaqarah(2) 282). B. Dasar Hukum Jual Beli (Al-Buyu’) Dalam Islam Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah mempunyai landasan hukumnya, seperti yang telah dijelaskan di atas. Demikian halnya dengan perjanjian jual beli merupakan



2



Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawi Pers, 2010) H. 67-69



3



 Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: Cahaya Islam, 2007), H. 425-426



8



akad dari sejumlah akad yang diatur oleh agama. Jika dilihat dari kitab-kitab fikih akan ditemukan hukum yang terdapat dalam perjanjian jual-beli, yaitu mubâh, wajib, sunat, makruh dan haram.4 1.



Mubâh, adalah hukum asal dari perjanjian jual beli, hal ini sesuai dengan frman Allah SWT.



Artinya:“Padahal Allah telah menghalalkan jual mengharamkan riba.” QS. Al-Baqarah Ayat 275.5



beli



dan



Sesuai dengan ayat di atas, hukum jual beli pada dasarnya adalah boleh (mubâh). Yang diharamkan dalam muamalah adalah apabila jual belinya tersebut mengandung unsur riba, karena riba itu bisa merugikan salah satu pihak dan dilarang oleh agama. 2.



Wajib yaitu Hukum jual beli menjadi wajib apabila dalam keadaan terpaksa karena melarat atau ketiadaan makanan sehingga jika barang tersebut tidak dijual dapat mengakibatkan masyarakat luas menderita kelaparan. Jual beli yang seperti ini biasanya terjadi ketika ada peperangan yang lama atau terjadi embargo ekonomi (pemberhentian pengiriman bantuan) oleh satu negara terhadap negara lain, maka para pedagang tidak diperbolehkan menyimpan barang-barang kebutuhan masyarakat atau bahan makanan yang diperlukan oleh masyarakat setempat. Karena selain merugikan rakyat juga bisa mengacaukan



4 5



Aiyub Ahmad, Fikih Lelang: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif(Jakarta: Kiswah, 2004), 13-16. Departemen Agama RI, Al-Hikmah, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,47



9



ekonomi rakyat Jadi barang-barang yang disimpan oleh para pedagang tersebut wajib dikeluarkan sesuai dengan harga pasar yang ada. Atau seperti kasus seseorang mempunyai utang, dan dia hanya mempunyai barang untuk melunasi utangnya, maka bagi dia hukumnya wajib menjual barang tersebut untuk melunasi utangnya. 3.



Sunnah (mandûb) adalah Jual beli jika dilaksanakan keluarga dekat atau sahabat-sahabatnya, maka hukumnya sunnah. Karena dalam Islam dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesama saudaranya, temannya, dan kaum kerabat yang lainnya. Jadi hukum sunnah (mandûb) ini hanya berlaku apabila jual beli tersebut dilakukan dengan keluarganya sendiri atau dengan sahabat terdekatnya, karena Islam lebih mengutamakan hal tersebut, agar tetap terjalinnya tali persaudaran dan kekerabatan yang baik.



Akan



tetapi,



apabila



salah



satu



keluarga/sahabat



tidak



membutuhkan barang tersebut maka tidak boleh dipaksa. 4.



Makruh yaitu melaksanakan sesuatu perjanjian yang akan digunakan untuk melanggarketentuan syara‟ seperti menjual anggur kepada sesesorang



yang



diduga



akandibuat



menjadi



minuman



keras



(khamr).Ketentuan makruh tersebut dikarenakan yang menjadi objek jual beli dikhawatirkan akan merugikan orang lain atau dalam penggunaan barang yang di perjualbelikan dikhawatirkan akan digunakan untuk halhal yang bisa membahayakan orang dan terdapat unsur yang dilarang oleh syara‟.



10



5.



Haram yakni hukum dalam bermuamalah itu dapat berubah menjadi haram apabila benda yang menjadi objeknya transaksi itu adalah sesuatu yang memang telah diharamakan oleh syara‟, seperti khamr, bangkai, daging babi dan sebagainya. Jadi segala sesuatu yang dilarang oleh syara‟, maka jual belinya tidak sah, baik yang dilarang itu barangnya atau harganya. Karena jual beli yang baik adalah yang sesuai dengan syari‟at



Islam,



yaitu



dengan



menjalankan



syarat,



rukun



dan



mementingkan kesejahteraan umum. Sedangkan yang dimaksud dilarang barangnya dan harganya adalah apabila barang yang diperjualbelikan adalah barang yang pada dasarnya telah dilarang oleh agama, seperti jual beli bangkai, khamrdan sebagainya, maka harganya juga ikut terlarang. Apabila barangnya tidak dilarang tapi harganya dilarang, seperti harga dari suatu barang dijual tiga kali lipat bahkan lebih, dari harga pasarnya, maka jual belinya menjadi tidak sah. Dalam hukum Islam, transaksi jual beli dihalalkan atau dibenarkan agama asalkan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama, dan tidak ada perbedaan pendapat dia antara mereka. Hal ini dikarenakan al-Quran dengan tegas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[6] Dalam prinsip bermua’malah, jual beli tidak boleh saling menyakiti antara penjual dan pembeli. Apabila dalam transaksi jual beli terdapat penipuan maka ada pihak yang dirugikan karena pada dasarnya jual beli adalah suatu media untuk mencapai suatu keinginan yang 6



Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam(Jakarta: Bulan Bintang), 336



11



tidak ada pihak yang dirugikan dan apabila terjadi penipuan maka hukumnya haram. Adapun dasar hukum dalam jual beli (Al-Buyu’) terdapat dalam AlQur’an, Sunnah Rosulullah saw dan ijma.



(Al-Buyu’) Jual beli sebagai



sarana tolong menolong antara sesama umat manusia.



1.



Terdapat sejumlah ayat Alquran yang berbicara tentang jual beli diantaranya:



Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’ … (QS. Al-Baqarah [2] : 275). 7



Artinya : Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. (Q.S. AlBaqarah: 282).8



Artinya: Tiada salahnya kamu mencari rezeki dari Tuhanmu (QS. alBaqarah[2] :198)



Artinya: kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara kamu… (QS. an-Nisa’[4]: 29).9



2. 7 8 9



Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah Saw. Di antaranya : Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Surabaya: DEPAG RI, 2010. Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, h. 70. Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, h. 122.



12



a.



Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Bajjar



Artinya: Rifa'ah bin Rafi', sesungguhnya Nabi SAW. ditanyatentang mata pencaharian yang paling baik. Nabi SAW menjawab: seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur. (HR. Bajjar).10 Maksud mabrur dalam hadişdi atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain b.



Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah



Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Hibban dan Ibnu Majah bahwa Nabi SAW, sesungguhnya jual-beli harus dipastikan harus saling meridai." (HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah). c.



Ijma Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.11



10 11



. Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam,Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, h. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh..., h. 147.



13



C. Rukun dan Syarat Jual Beli (Al- Buyu’) Dalam Islam Menurut jumhur ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli), ada shigat(lafazijab kabul), ada barang yang dibeli, ada nilai tukar pengganti barang. Sedangkan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli adalah terpenuhinya syarat shihahyang bersifat khusus yaitu tidak boleh mengandung unsur riba (tambahan dalam pembayaran). Jual Beli (Al-Buyu’) Agar suatu perjanjian atau akad jual beli yang dilaksanakan oleh para pihak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka transaksi tersebut harus memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli ada tiga, yaitu: 1.



Akad (ijab qabul)



2.



Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan



3.



Ma’kud alaih (objek akad). Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum



dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul. Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah Saw. Bersabda:



14



“Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw. Bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi). “Rasulullah Saw. Bersabda: sesungguhnya jual beli hanya akan sah apabila saling merelakan” (Riwayat Ibn Majah). Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Hanafiyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Imam Al-Nawawi dan Ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barangbarang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli sebungkus rokok. [12] Transaksi jual beli dianggap sah apabila dengan ijab dan kabul, kecuali barang-barang kecil, yang hanya cukup dengan mua’thaah (saling memberi) sesuai adat dan biasaan yang berlaku. Tidak ada kata-kata khusus dalam pelaksanaan ijab dan kabul, karena ketentuannya tergantung pada akad sesuai dengan tujuan dan maknanya, bukan berdasarkan atas kata-kata dan bentuk kata tersebut. Jual beli dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut: pelaku akad, barang yang diakadkan atau tempat berakad, artinya yang akan dipindah kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau harga. Dalam fiqh mu’amalat, ketentuan jual beli yang harus dilaksanakan adalah memenuhi syarat dan rukunnya dan menjauhi larangan-larangannya. 12



. Suhendi,



Fiqh Muamalah, H. 70-71



15



1.



Rukun jual beli Rukun jual beli yang kedua adalah ‘aqid atau orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli. Secara umum, penjual dan pembeli harus orang yang memiliki ahliyah(kecakapan) dan wilayah (kekuasaan).



2.



Syarat untuk ‘aqid (orang yang melakukan akad), yaitu penjual dan pembeli ada dua,yaitu : a.



‘Aqad harus berakal yakni mummayiz, maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila, dan anak yang belum berakal (mummayyiz).



b.



‘Aqid (orang yang melakukan akad) harus berbilang (tidak sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayahyang membeli barang dari anaknya yang masih dibawah umur dengan harga pasaran. Hal ini dalam jual beli terdapat dua hak yang mustahil, pada saat yang sama satu orang bertindak sebagai penjual yang menyerahkan barang sekaligus menjadi pembeli yang menerima barang.



c.



Ma’qud Alaih (objek jual-beli), Ma’qud Alaih atau objek jual beli adalah barang yang dijual (mabi’) dan harga/uang (saman). Syaratsyarat Ma’qud Alaihialah:[13] 1) Suci 2) Mengandung manfaat;



13



‘Alauddin Al-Kasani, Badai Ash-Shanai fi Asy-Syarai, Juz 4, CD Room, Silsilah Al-‘Ilm An-Nafi’, Seri 9, Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm. 320



16



3) Dapat diserahkan. 4) Diketahui kadarnya, baik bentuk, jumlah dan sifatnya.Apabila syarat dan rukun jual beli yang diipaparkan diatas tidak terpenuhi, maka jual beli dianggap tidak sah atau halal. Apabila syarat dan rukun jual beli yang diipaparkan diatas tidak terpenuhi, maka jual beli dianggap tidak sah atau halal. D. Macam-Macam Jual Beli (Al-Buyu’) Dalam Islam Macam-macam jual beli yang dilarang: 1.



Ketidak jelasan (jahalah)



2.



Pemaksaan (al-ikhrah)



3.



Pembatasan dengan waktu (at-tauqih)



4.



Penipuan (garar)



5.



Kemudharatan (darar)



6.



Syarat-syarat yang merusak.14 Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya,



jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam  Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.



14



A. Janwari (ed.), Lembaga-lembaga perekonomian Umat Sebuah Pengenalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 22.



17



Jual beli itu ada tiga macam: 1.



Jual beli benda yang kelihatan,



2.



Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan



3.



Jual beli benda yang tidak ada." Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual



beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. Sedangkan jual beli yang disebutkan sifatsifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barangbarangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad. Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya seperti berikut ini: 1.



Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang, maupun diukur.15



2.



Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkan jenis kapas saclarides nomor satu, nomor dua, dan seterusnya, kalau kain, sebutkan jenis kainnya. Pada intinya sebutkan



15



Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 75-76



18



semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini yang menyangkut kualitas barang tersebut. 3.



Barang yang akan diserahkan hendaknya baranag-barang yang biasa didapatkan di pasar.



4.



Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli



yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak dperbolehkan, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Syarbini Khatib bahwa penjualan bawang merah dan wortel serta lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan ghoror. Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.[16] Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label 16



. Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 76-78



19



harganya,



dibandrol



oleh



penjual



dan



kemudian



diberikan



uang



pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab kabul terlebih dahulu. Selain pembelian diatas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang jual beli yang dilarang juga ada yang batal ada pula yang terlarang tetapi sah. Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut: 1.



Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamar, Rosulullah saw. Bersabda: “Dari jahir r.a, Rosulullah saw. Bersabda: sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkat, babi, dan berhala” (Riwayat Bukhari dan muslim).



2.



Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena Rosulullah saw. Bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a berkata: Rosulullah saw telah melarang menjual mani binatang” (Riwayat Bukhari).



3.



Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini dilarang. Karena barangnya belum ada dan tidak tampak, juga Rosulullah saw bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a Rosulullah saw telah



20



melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim.17 4.



Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di lading atau di sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.



5.



Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh si pembelinya.



6.



Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemngkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.



7.



Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku’. Setelah terjadi lempar-melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan Kabul.



17



. Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 78-79



21



8.



Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi



kering.



Hal



ini



dilarang



oleh



Rasulullah



saw



dengan



sabdanya:“Dari Anas r.a, ia berkata: Rosulullah saw. Melarang jual beli muhaqallah, mukhadharah, muammassah, munazabah dan muzabanah”. (Riwayat Bukhari). 9.



Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan. Menurut Syafi’I penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata “kujual buku ini seharga S 10,- dengan tunai S 15,dengan cara utang”. Arti kedua ialah seperti seseorang berkata. “aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku.” Rasulullah saw. Bersabda: “Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: barang siapa yang menjual dengan dua harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada kerugian atau riba.” (Riwayat Abu Daud).



10. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan jual beli menentukan dua harga, hanya saja di sini dianggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata, “aku jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku.” lebih jelasnya, jual beli ini sama dengan jual beli dua harga arti yang kedua menurut a-Syafi’i.18[8]



18



22



11. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tetapi di bawahnya jelek. Penjualan seperti ini dilarang, karena Rasulullah saw. Bersabda: “janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias nipu”. (Riwayat Ahmad). 12. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti seseorang  menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya, misalnya A menjual seluruh pohon-pohonan yang ada dikebunnya, kecuali pohon pisang. Jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas. Namun, bila yang dikecualikannya tidak jelas (majhul), jual beli tersebut batal. Rasulullah saw bersabda: “Rasulullah melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzabanah, dan yang dikecualikan, kecuali bila ditentukan”. (Riwayat Nasai) 13.



Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang membeli sesuatu dengan takaran dan telah diterimanya, kemudian ia jual kembali, maka ia tidak boleh menyerahkan kepada pembeli kedua dengan takaran yang pertama sehingga ia harus menakarnya lagi untuk pembeli yang kedua itu. Rasulullah saw. Melarang jual beli makanan yang dua kali ditakar, dengan takaran penjual dan takaran pembeli (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni).      



23



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian  atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad). Jual beli dapat ditinjau dari



24



beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli. B. Saran Dengan adanya beberapa uraian di atas, maka penulis memberikan saran untuk menjadi bahan pertimbangan yakni hendaknya para penjual menaati apa yang sudah disyari’atkan islam karena jika ingin jual beli itu berkah,Maka hal yang harus dilakukan adalah menjauhi unsur-unsur yang dapat merusak sahnya jual beli. karena hal ini sangat penting bagi masyarakat dalam hal bermuamalah agar terhindar dari kesalahan seperti yang ditetapkan oleh hukum islam.



DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Aiyub. 2004. Fikih Lelang: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Jakarta: Kiswah. Andre A. Danang. 2016. Illat Keharaman Riba Al-Buyu’ Menurut Muhammad Abu Zahrah. Skripsi. Fakultas Syari’ah Dan Hukum universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Departemen Agama RI, Al-Hikmah, Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Jakarta: Bulan Bintang Janwari A. 2002. Lembaga-lembaga perekonomian Umat Sebuah Pengenalan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.



25



Rijal, H. Syamsul, 2007. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: Cahaya Islam. Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muâmalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Yayasan Penterjemah / Pentafsir Al-Qur‟an. 2010. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Surabaya: DEPAG RI.