Makalah Kapita Selekta Hukum Pidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world). 1 Dalam beberapa literatur, cyber crime sering diidentikan dengan computer crime. United State Departement of Justice merumuskan computer crime secara sempit, yaitu “Setiap perbuatan melawan hukum dimana pengetahuan komputer diperlukan untuk pelaksanaan penyidikan atau penuntutan” (any illegal act for which knowledge of computer technology is essential for its perpetration, investigation or prosecution). Sementara Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya adalah “Sejenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas”. Dalam laporan Kongres PBB ke X Tahun 2000 tentang The Prevention of crime and The treatment Of Offender, ditemui dua kategori untuk cyber crime yaitu. 1. Cyber crime in a narrow sense (computer crime), any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them; 2. Cyber crime in a broader sense (computer related crimes), any illegal behavior committed by means of, or in relation to, a computer system or 1 Wikipedia Bahasa Indonesia, Kejahatan Dunia Maya, https://id.wikipedia.org, Diakses pada Tanggal 16 Desember 2016.



2



network, including such crimes as illegal possessions, offering or distributing information by means of a computer system or network.2 Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dimasukkan dalam klasifikasi pertama, perbuatan yang baru ada atau dikenal setelah dunia mengenal komputer, karena komputer dan data atau sistem yang ada di dalamnya sebagai target kejahatan (computer crime). Sedangkan dalam kategori kedua termasuk perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya telah dikenal sebelum adanya teknologi komputer, namun sejak ditemukannya komputer lalu dilakukan dengan media komputer (cyber crime). Pada umumnya, modus operandi yang berkembang dalam Cyber Crime adalah credit card fraud, stock exchange fraud, banking fraud, child pornography, dan drug trafficking. Selain itu, Denial of service attack (DDoS attack), defacing, cracking, dan lainnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan rumusan masalah diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah. 1.



Bagaimana pengaturan kejahatan cyber (cyber crime) menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?



2.



Bagaimana analisis yuridis kejahatan cyber crime dalam penipuan online?



C. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan makalah ini adalah. 1.



Untuk mengetahui pengaturan kejahatan cyber (cyber crime) menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;



2.



Untuk mengetahui dan menganalisis kejahatan cyber crime dalam penipuan online. BAB II ANALISIS HUKUM KEJAHATAN CYBER (CYBER CRIME)



2 Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, Dalam Insider : Legal Journal From Indonesian Capital and Investmen Market, http://business.fortunecity.com, Diakses Pada Tanggal 17 Desember 2014.



3



DALAM PENIPUAN ONLINE A. Pengaturan Kejahatan Cyber (Cyber Crime) Menurut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pengaturan cyber crime yang mengelompokkan berbagai perbuatan ke dalam 2 klasifikasi besar, kemudian dibagi lagi dalam beberapa kelompok berdasarkan pasal-pasal di atas, dipedomani oleh pembuat UU ITE. Hanya saja pembuat UU ITE tidak mengelompokkan perbuatan tersebut secara eksplisit sebagaimana terdapat dalam konvensi tersebut. Lebih jelas pengaturan cyber crime dalam UU ITE adalah sebagai berikut. 1.



Indecent Materials/Illegal Content (Konten Ilegal)



Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik serta pemerasan, pengancaman serta yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan atas SARA serta yang berisi ancaman kekerasan (Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE) 2.



Illegal Acces (Akses Ilegal) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum



mengakses komputer dan/ atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apapun untuk memperoleh Informasi elektronik serta melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30 UU ITE). 3.



Illegal Interception (Penyadapan Ilegal) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan intersepsi atas



Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dalam suatu Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/ atau penghentian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan (Pasal 31 UU ITE).



4



4.



Data Interference (Gangguan Data) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum



mengubah,



menambah,



mengurangi,



melakukan



transmisi,



merusak,



menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, atau mentransfer suatu Informasi Elektronik milik orang lain atau milik publik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak, sehingga mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. (Pasal 32 UU ITE). 5.



System Interference (Gangguan Sistem) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan apapun



yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/ atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya (Pasal 33 UU ITE). 6.



Misuse of Devices (Penyalahgunaan Perangkat) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, menjual,



mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan yang dilarang dan sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu, yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat akses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE). 7.



Computer Related Fraud and Forgery (Penipuan dan Pemalsuan yang berkaitan dengan Komputer) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan manipulasi,



penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/ atau



5



Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik (Pasal 35 UU ITE).3 Sebagaimana umumnya UU di luar KUHP yang mengatur perbuatan dengan sanksi pidana, dalam UU ITE perumusan perbuatan dan sanksi pidana juga dicantumkan secara terpisah. Semua perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai Pasal 35 di atas, diancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 45-52. Jika diteliti pengaturan cyber crime dalam UU ITE maka terlihat bahwa semua perbuatan yang direkomendasikan dalam European Convention on Cyber Crime telah diatur dalam UU ITE. Perbedaannya hanya pada tata letak atau urutan pengaturan berbagai perbuatan tersebut. Jika Konvensi memulai dengan perbuatan yang terkategori sebagai cyber crime dalam arti sempit (murni), maka pengaturan dalam UU ITE tidak mengikuti pola tersebut. Hal ini terlihat bahwa pasal pertama yang mengatur tentang cyber crime tersebut, justru mengatur perbuatan yang sebenarnya merupakan tindak pidana konvensional (ada dalam KUHP), hanya saja sekarang dilakukan dengan media komputer berikut jaringannya. Perhatikan Pasal 27 yang melarang perbuatan orang yang dengan sengaja atau tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memilik muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, ataupun pemerasan. B. Analisis Yuridis Kejahatan Cyber Crime Dalam Penipuan Online 1.



Studi Kasus Kepala Kantor Wilayah Imigrasi Jakarta Selatan Cucu Koswala



membantah kecolongan terkait terbongkarnya kasus penipuan menggunakan fasilitas cyber online yang dilakukan warga negara asing (WNA) asal China dan Taiwan di kawasan Jakarta Selatan. Meski membantah kecolongan, Cucu mengatakan pihaknya memiliki keterbatasan dalam mengawasi aktivitas WNA yang berada di wilayahnya. Cucu menjelaskan sindikat asal China dan Taiwan 3 Fajar Purwawidada, Perbandingan Undang-Undang Informasi Dan Tranformasi Elektronik Dengan European Convention On Cyber Crime, http://analisishankamnas.blogspot.co.id, Diakses Pada Tanggal 12 Desember 2009.



6



tersebut memanfaatkan celah dari kebijakan visa on arrival yang dikeluarkan pemerintah sehingga mereka merasa bebas masuk ke Indonesia tanpa harus melewati prosedur pemeriksaan ketat. Sementara soal visa on arrival bukan kewenangan Cucu untuk melakukan evaluasi atasnya. "Itu kebijakan kepada 64 negara untuk berkunjung ke Indonesia. Itu kebijakan bersifat nasional. Jadi pemerintah pusat yang berwenang mengevaluasi," ujarnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun, para pelaku kejahatan penipuan cyber online yang tertangkap akan dibawa ke Kantor Imigrasi Jakarta Selatan untuk diselidiki terkait penyalahgunaan dokumen keimigrasian, juga untuk melakukan pengidentifikasian terhadap seluruh WNA yang tertangkap. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM telah mendeportasi 33 warga China yang dicokok di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, terkait kasus serupa, yaitu mengancam pengusaha hingga pejabat kotor di Tiongkok melalui fasilitas cyber online di Indonesia. Para pelaku tersebut meminta sejumlah uang kepada pihak yang menjadi targetnya. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Khrisna Murti mengatakan bahwa modal yang digunakan oleh sindikat cyber crime lintas negara tersebut mencapai ratusan juta rupiah. "Operasional saja sudah Rp 400 juta. Itu untuk keperluan keseharian saja. Jadi keuntungannya bisa miliaran," ujar Khrisna di rumah kontrakan yang menjadi markas komplotan itu, Jalan Kemang Selatan Blok 1D No. 15A, Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan. Khrisna mengatakan, setiap pegawai dari sindikat tersebut mendapatkan upah bulanan mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah tergantung perannya dalam menjalankan aktivitas ilegal tersebut. "Pegawainya digaji sekitar Rp 12 sampai Rp 15 juta. Kalau pengawas mencapai Rp 30 juta sampai Rp 50 juta," ujarnya. Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya, para pelaku yang bekerja dalam sindikat cybercrime lintas negara tersebut sebelumnya direkrut dengan diiming-imingi janji oleh koordinator mereka akan mendapat upah besar saat bekerja di Indonesia. Namun setibanya di Indonesia, para pelaku tidak dipekerjakan sesuai janji dan justru ditempatkan di daerah tersembunyi



7



untuk melakukan kegiatan ilegal. Saat dilakukan penggerebekan di wilayah Kemang itu, para pelaku sempat berusaha melarikan diri serta mengosongkan isi rumah usai mengetahui kawanannya telah diringkus di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.4 2.



Dasar Teori Dari kasus tersebut akan dianalisis dan dibahas dengan menggunakan



dasar teori Sutherland dalam kriminologi, menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial. Teori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa. a. Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dapat dipelajari; b. Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi; c. Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan; d. Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar; e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai; f. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya; g. Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas; h. Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar; i. Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai4 Ihsan Ashshiddiqi, Jurnal : Analisis YuridisKejahatan Dunia Maya/Cyber Crime dalam Penipuan Online (Studi Kasus: Penipuan Online 33 Warga Tiongkok dan Taiwan di Jakarta), https://www.academia.edu, Diakses Pada Tanggal 27 Juli 2017.



8



nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. Selain itu, pelaku kejahatan tersebut adalah warga negara asing, sehingga berhubungan dengan keberlakuan hukum pidana indonesia terhadap warga negara asing. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, hukum pidana indonesia dapat berlaku jika: a.



Prinsip Teritorialitas Prinsip teritorialitas adalah prinsip yang menganggap hukum pidana



Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP. b.



Prinsip Nasional Aktif Prinsip ini dianut dalam Pasal 5 KUHP yang mengatakan bahwa



ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara. c.



Prinsip Nasional Pasif Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-letentuan hukum pidana



Indonesia di luar wilayah Indonesia berdasar atas kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuk orang asing yang melakukannya dimana saja pantas dihukum oleh pengadilan negara Indonesia d.



Prinsip Universalitas Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat



kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Maka, kalau ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara ini, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, dengan tidak dipedulikan, siapa saja yang melakukannya dan di mana saja.5 3.



Analisis Hukum Kejahatan Cyber (Cyber Crime) Dalam Penipuan Online 5 Ibid.



9



Kasus



penipuan



Onlinepada



prinsipnya



sama



dengan



penipuan



konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan sistem elektronik. Penipuan Online juga dapat dirumuskan sebagai suatu kejahatan secara hukum karena tindakan yang dilakukan dapat merugikan seseorang dan juga peraturan ini tercantum dalam hukum pidana dan bagi pelakunya dikenakan sanksi hukuman yang jelas. Dalam instrumen hukum nasional, pelaku dalam kasus tersebut melanggar Pasal 378 KUHP yang memuat tentang tindakan penipuan dan berbunyi sebagai berikut. Pasal 378 KUHP “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memakai nama/ keadaan palsu dengan tipu muslihat agar memberikan barang membuat utang atau menghapus utang diancam karena penipuan dengan pidana penjara maksimum 4 tahun”. Selain itu, kasus tersebut juga melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008 Pasal 28 yang berisi. Pasal 28 UU 11 Tahun 2008 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik; (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Berdasarkan objek kriminologi, pelaku kejahatan adalah sekelompok warga negara Tiongkok dan Taiwan yang menjalankan aksi kejahatannya di Indonesia. Target yang menjadi korban dalam kejahatan yang mereka lakukan ternyata bukan warga negara Indonesia sendiri. Akan tetapi, masyarakat di negara asalnya, yaitu warga negara Tiongkok dan Taiwan. Disamping itu, kejahatan ini juga terjadi dan bertempat di Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan faktor ketidaktelitian keamanan imigrasi indonesia sehingga kelompok kejahatan dapat lolos dengan memanfaatkan visa on arrival yang dapat diproses diperbatasan negara yang dituju. Selain itu, faktor ekonomi juga berpengaruh karena biaya hidup dan tempat tinggal di Indonesia tergolong murah.



10



Kelompok ini merupakan salah satu jaringan penipuan lintas negara lewat cyberfraud, credit card fraud. Kejahatan ini dilakukan dengan cara memanipulasi informasi dengan cara membuat, beradaptasi, dan meniru dokumen-dokumen dengan maksud untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya melalui media internet. Dalam hal ini, mereka berperan sebagai pihak bank dan setiap orang dalam kelompok tersebut memiliki tugasnya masing-masing, seperti petugas bank dan call data center. Mereka berpura-pura menelepon target mereka dan menyampaikan jika kartu kredit target sedang bermasalah atau sudah habis. Setelah itu, mereka merayu target agar mendapatkan digit kartu kredit dan jika mendapat respon positif, itulah yang menjadi target penipuan. Pelaku kejahatan dunia maya dalam bentuk penipuan ini mendapat reaksi formal oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dengan dijerat hukuman deportasi ke negara asalnya untuk ditindaklanjuti secara hukum di asal negara. Hukuman ini tertera pada UU No. 6 Tahun 2011 Pasal 75: Pasal 75 UU No. 6 Tahun 2011 Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundangundangan. 1) Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa, a. Pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan; b. Pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal; c. Larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia; d. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia; e. pengenaan biaya beban; dan/atau f. Deportasi dari Wilayah Indonesia. 2) Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dapat juga dilakukan terhadap Orang Asing yangberada di Wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya. Dalam dunia internasional, cybercrime diatur pertama kali dalam Konvensi Hungaria yang diselenggarakan oleh Council of Europe Convention on



11



Cybercrime. Konvensi ini mengandung kebijakan kriminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Selanjutnya, konvensi Palermo diselenggarakan untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir. Konvensi ini berisikan kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan transnasional/lintas negara dan salah satunya terdapat kejahatan dunia maya/cybercrime. Dasar itu lah yang menjadi adopsi untuk membuat peraturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008.