Makalah MESO [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Pengantar Farmakologi Monitoring Efek Samping Obat



Kelompok 4 Akhmad Ardiansyah Idris Wahyu Muh. Bayu Putranto Erensia Wisata Deviya Purwandarie Prisckila inawati Samuel Agustinus L.



1243057022 1043050009 1143050022 1143050067 1443057003 1343050002 1243050021



UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA FAKULTAS FARMASI 2014



DAFTAR ISI DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Rumusan Masalah BAB II PEMBAHASAN A. Definisi MESO B. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO) C. Yang terlibat dalam melakukan MESO D. Yang melaporkan MESO E. Pelaksanaan MESO F. Cara melaporkan ESO G. Perlu MESO H. Tujuan MESO di lakukan I. Reaksi-reaksi yang seyokyanya dilaporkan dalam monitoring efek samping obat J. Obat-obat apa yang perluh MESO K. Laporan Efek Samping dan Kasus ESO



BAB III PENUTUP DAFTAR PUSTAKA



2



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG



Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia, sebagai lembaga yang mengemban otoritas regulatori di bidang obat di Indonesia mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua produk obat yang beredar (pasca pemasaran) memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Dalam hal ini, Badan POM melakukan langkah pengawalan dan pemantauan baik dari aspek keamanan, kemanfaatan dan mutu obat yang beredar, mulai dari evaluasi pra pemasaran hingga pengawasan pasca pemasaran obat yang beredar di wilayah Republik Indonesia. Secara khusus, kegiatan pengawasan pasca pemasaran utamanya pemantauan aspek keamanan obat merupakan upaya Badan POM dalam rangka jaminan keamanan obat (ensuring drug safety) pasca pemasaran. Kegiatan ini merupakan kegiatan strategis pengawasan yang harus dilakukan secara berkesinambungan, karena upaya jaminan keamanan obat pasca pemasaran akan 5 berdampak pada jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai pengguna akhir dari suatu obat. Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum. Pengawalan atau pemantauan aspek keamanan suatu obat harus secara terus menerus dilakukan untuk mengevaluasi konsistensi profil keamanannya atau risk- benefit ratio-nya. Dimana kita harus mempertimbangkan benefit harus lebih besar dari risk, untuk mendukung jaminan keamanan obat beredar. Pengawalan aspek keamanan obat senantiasa dilakukan dengan pendekatan risk management di setiap tahap perjalanan atau siklus obat.



3



Badan POM tidak dapat melakukan pengawalan aspek keamanan obat ini secara sendiri, namun perlu juga dukungan partisipasi semua pemeran kunci (key players) yang terlibat dalam perjalanan atau siklus suatu obat, sejak obat melalui proses perijinan (prapemasaran) hingga peresepan dokter dan penggunaan oleh pasien (pasca – pemasaran). Untuk tujuan menggalakkan kembali peran partisipasi aktif semua pemeran kunci, utamanya sejawat tenaga kesehatan, Badan POM melakukan pemutakhiran terhadap panduan pemantauan aspek keamanan obat atau ESO di Indonesia. Sejawat tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan baik di sektor pemerintah maupun swasta merupakan mitra kerja Badan POM dalam hal aktifitas pemantauan aspek keamanan obat pasca – pemasaran. Hingga saat ini sistem pemantauan dan pelaporan ESO oleh sejawat tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela, namun demikian dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan juga standar pelayanan kesehatan dalam rangka patient safety, pemantauan ESO menjadi bagian yang sangat penting.



B. RUMUSAN MASALAH 



Apa yang dimaksud dengan MESO?







Siapa yang terlibat dalam melakukan MESO?







Siapa yang melaporkan MESO?







Mengapa perluh MESO?







Apa yang dilaoporkan dalam MESO?







Bagaimana cara melaporkan ESO?







Apa tujuan MESO di lakukan?







Obat-obat apa saja yang perluh MESO?







Reaksi-reaksi apa saja yang seyokyanya dilaporkan dalam monitoring efek samping obat?







Apa yang dimaksud dengan High Alert medications?



BAB II 4



PEMBAHASAN A. DEFINISI MESO



Monitoring Efek Samping Obat, adalah program pemantauan keamanan obat sesudah beredar (pasca-pemasaran). Program ini dilakukan secara berkesinambungan untuk mendukung upaya jaminan atas keamanan obat, sejalan pelaksanaan evaluasi aspek efikasi, MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare). keamanan dan mutu sebelum suatu obat diberikan ijin edar (pra-pemasaran).



B. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT (ESO) MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare).



C. PETUGAS YANG TERLIBAT DALAM MELAKUKAN MESO a. MESO DI RUMAH SAKIT Merupakan salah satu tugas PFT Tim Meso dalam PFT adalah :  Para Klinisi Terkait  Ahli Farmakologi  Apoteker  Perawat 5



D. SIAPA YANG MELAPORKAN MESO Tenaga kesehatan, dapat meliputi: 1. dokter 2. dokter spesialis 3. dokter gigi 4. apoteker 5. bidan 6. perawat 7.



tenaga kesehatan lain.



E. PELAKSANAAN MESO Program MESO menggunakan metode pelaporan secara sukarela (Voluntary reporting) dari tenaga kesehatan dengan formulir pelaporan yang dirancang sesederhana mungkin sehingga memudahkan pengisiannya (formulir kuning). Hasil pengkajian aspek keamanan berdasarkan laporan ESO di indonesia atau informasi ESO internasional, dapat digunakan untuk pertimbangan suatu tindak lanjut regulatori berupa pembatasan indikasi, pembatasan dosis, pembekuan atau penarikan ijin edar dan penarikan obat dari peredaran untuk menjamin perlindungan keamanan masyarakat. Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO-UMC Collaborating Centre for International Drug Monitoring. Untuk itu laporan ESO di Indonesia yang diterima oleh Pusat MESONasional dari Saudara, akan dikirim ke “Pusat Monitoring Efek Samping Obat Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala, Swedia. Data ESO dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari Indonesia, selanjutnya akan masuk dalam data base Pusat MESO Internasional. Drug Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling bertukar menukar informasi berkaitan drug safety melalui e-mail Vigimed Lists. Laporan efek samping yang dikaji/evaluasi sesuai derajat/tingkat kegawatan efek samping dan/atau insidens atau hal lain, hasilnya dapat berbentuk saran serta tindak lanjut terhadap kasus yang bersangkutan oleh pihak regulatori, dan dipublikasi di dalam bulletin BERITA MESO. Pusat MESO Nasional sangat mengharapkan dan menghargai peran aktif untuk berpartisipasi di dalam kegiatan 6



MESO dengan cara mengirimkan laporan efek samping produk terapetik yang Saudara jumpai.



F. CARA MELAPOR DAN INFORMASI APA SAJA YANG HARUS DILAPORKAN Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik efek samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang sudah pasti merupakan suatu ESO (ADR). Ketika suatu obat telah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makan an (POM) untuk diedarkan, penggunaan obat secara luas oleh masyarakat tidak dapat dihindari. Untuk itu, tuntutan pengawalan dan pemantauan aspek keamanan suatu obat pun harus terus-menerus dilakukan. Hal itu lebih dikenal dengan istilah pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran (post-marketing surveillance). Dalam hal ini Badan POM melakukan langkah pengawalan dan pemantauan baik dari aspek keamanan, kemanfaatan, dan mutu obat yang beredar. Kegiatan itu dilakukan Badan POM dalam upaya menjamin keamanan obat (ensuring drug safety) pascapemasaran. Bila kegiatan strategis itu dilakukan secara berkesinambung an akan berdampak pada jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai pengguna akhir dari suatu obat. Dengan pemantauan aspek keamanan pascapemasaran, efek samping obat dapat dicegah. Kegiatan itu juga menjadi salah satu komponen penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik, dan kesehatan masyarakat secara umum. Peran masyarakat Masyarakat merupakan salah satu unsur penting dalam perjalanan suatu obat. Masyarakat atau pasien adalah pengguna akhir suatu produk obat. Pasien menerima pengobatan yang diberikan dokter untuk perawatan kesehatannya. Saat itulah pasien berhak mengetahui informasi apa pun tentang obat yang hendak digunakan. Untuk itu, tenaga kesehatan, baik dokter maupun apoteker, harus dapat memberikan informasi yang jelas terkait de ngan penggunaan obat tersebut. Mereka juga harus menyarankan kepada pasien untuk tidak sungkan kembali lagi kepada dokter apabila merasakan halhal yang tidak nyaman selama menggunakan obat.



7



Beragam pertanyaan yang dapat diajukan terkait dengan penggunaan obat menunjukkan obat merupakan suatu produk khusus yang membutuhkan perhatian dan kewaspadaan serta kepatuhan dalam penggunaannya. Kepatuhan penggunaan itu sesuai dengan rambu-rambu yang diberikan secara khusus oleh dokter pada saat meresepkan obat ataupun ramburambu yang melekat pada obat tersebut, yaitu yang tercantum dalam brosur yang menyertai produk obat. Brosur di dalam obat itu terdapat informasi untuk penga walan keamanan penggunaannya, seperti indikasi (obat diberikan sesuai dengan indikasi penyakit yang diderita pasien), kontraindikasi (obat dilarang untuk diberikan kepada pasien dengan kondisi medis tertentu yang disebutkan), peringatan dan perhatian (hal-hal yang harus diperhatikan pasien selama menggunakan obat tersebut), dan informasi efek samping. Lantas, bagaimana aspek keamanan obat dapat dikawal agar manfaatnya tetap konsisten sesuai dengan pada saat pertama kali disetujui beredar? Untuk itulah dibutuhkan partisipasi pengawalan aspek keamanan obat oleh pasien atau masyarakat. Caranya dengan melaporkan efek samping yang dialaminya kepada dokter yang meresepkan obat. Pasien atau masyarakat adalah sumber utama dalam hal pemantauan efek samping obat karena pasienlah yang mengalami dan merasakannya.Pelaporan itu dapat mencegah kemungkinan efek samping yang sama terjadi pada orang lain apabila diresepkan obat yang sama. Di beberapa negara, kasus efek samping obat yang menyebabkan pasien memerlukan perawatan di rumah sakit menunjukkan persentase yang tidak dapat diabaikan (misal di Norwegia 11,5%, Prancis 13%, Britania Raya 16%) (WHO). Di beberapa negara lainnya, pembiayaan kesehatan di rumah sakit dapat mencapai 15% hingga 20% untuk menangani permasalahan komplikasi yang terkait dengan penggunaan obat (WHO). Dalam upaya mendorong partisipasi semua pihak terkait dengan penggunaan obat, Badan POM melakukan program pemantauan efek samping obat. Peran tenaga kesehatan Selain masyarakat atau pasien, dibutuhkan pula peranan tenaga kesehatan dalam melaporkan kasus efek samping obat. Saat ini sistem pelaporan efek samping oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting). Karena itu, keberhasilan berjalannya sistem ini bergantung pada peran tenaga 8



kesehatan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap laporan efek samping yang diinformasikan pasien kepada dokter, sangat didorong (encouraged) untuk dapat diteruskan kepada Badan POM dalam bentuk laporan efek samping. Badan POM memberikan fasilitasi pelaporan efek samping obat dengan menyirkulasikan formulir pelaporan berwarna kuning (dikenal dengan formulir kuning) kepada tenaga kesehatan di seluruh Indonesia. Di dalam formulir kuning, tenaga kesehatan diharapkan memberikan informasi yang lengkap. Informasi itu terkait dengan empat unsur penting, yaitu informasi tentang pasien, efek samping yang dialami, obat yang dicurigai penyebab efek samping, dan tenaga kesehatan pelapor. Formulir kuning dapat diperbanyak dan dikirim tanpa menggunakan prangko. Metode pelaporan itu sedikit membutuhkan biaya dan cukup efektif. Keuntungan lainnya adalah dapat menemukan efek samping obat yang jarang terjadi, fatal, atau gawat. Dengan populasi yang sangat besar di negara kita, pelaporan efek samping obat oleh tenaga kesehatan merupakan potensi yang penting untuk mengevaluasi profi l keamanan suatu obat pascapemasaran. Laporan efek samping obat itu merupakan langkah deteksi dini dan pencegahan adanya permasalahan terkait dengan penggunaan suatu obat. Dengan mengetahui efek samping atau informasi aspek keamanan suatu obat tersebut membangun rasa percaya diri dokter dalam meresepkan obat tersebut kepada pasiennya. Beberapa survei menunjukkan rasa percaya diri dokter dalam meresepkan suatu obat lebih besar dengan mengetahui informasi efek samping atau aspek keamanan yang harus diwaspadai sehingga keberhasilan terapi kepada pasien juga meningkat. Pengkajian profil keamanan obat Terhadap semua laporan efek samping yang diterima, Badan POM selanjutnya akan mengevaluasi setiap laporan untuk menentukan hubungan kausalitasnya. Dalam melakukan evaluasi aspek keamanan, Badan POM melakukan penilaian tentang kemanfaatan dan risiko (riskbenefit assessment). Perimbangan yang diharapkan antara kemanfaatan dan risiko adalah kemanfaatan melebihi risiko.Laporan efek samping yang disampaikan tenaga kesehatan kepada Badan POM merupakan masukan penting untuk melakukan identifi kasi kemungkinan bergesernya perimbangan antara kemanfaatan dan risiko.



9



Bila profil keamanan suatu obat dengan pergeseran perimbangan dengan risiko menjadi lebih besar daripada kemanfaatan, Badan POM akan mengkaji profil keamanan obat tersebut. Pengkajian harus dilakukan untuk penetapan langkah tindak lanjut regulatori yang tepat. Dalam pengkajian komprehensif tersebut, Badan POM menunjuk tim ahli sesuai dengan spesifi kasi keahlian yang dibutuhkan. Selanjutnya mereka akan memberikan rekomendasinya. Jika hasil pengkajian mengindikasikan/merekomendasikan perlunya pengambilan langkah tindak lanjut regulatori, pembahasan akan dibawa ke tingkat Komite Nasional Penilai Obat Jadi. Rekomendasi yang dilaku kan harus berpihak pada kepentingan keamanan pasien secara khusus, dan kesehatan masyarakat secara umum. Rekomendasi tindak lanjut regulatori yang dihasilkan dari proses pengkajian dan pembahasan aspek keamanan suatu obat dapat berupa pembatasan indikasi, perubahan dosis pemberian dan posologi, perubahan penandaan (penambahan informasi aspek keamanan), pembekuan sementara izin edar, pembatalan izin edar, dan penarikan dari peredaran. Langkah berikutnya, tindak lanjut regulatori ini harus dapat diinformasikan secara luas utamanya kepada tenaga kesehatan sebagai penyedia pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Penyebaran informasinya dilakukan dengan penerbitan informasi untuk dokter atau yang dikenal dengan dear doctor letter. Informasi itu disampaikan kepada asosiasi profesi ke sehatan (IDI) untuk dapat disebarluaskan ke seluruh anggotanya. Di samping itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan juga menerbitkan buletin berita MESO, yang disebarluaskan ke hampir seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktivitas pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran saat ini telah berkembang secara pesat dan merupakan suatu yang mendesak bagi Indonesia untuk dapat sejajar dengan negara lainnya. Untuk itu, perlu dilakukan intensifi kasi program dalam rangka meningkatkan peran serta tenaga kesehatan dan kesadaran masyarakat agar lebih proaktif dalam melaporkan efek samping obat. Selain itu juga menumbuhkan budaya pelaporan efek samping (reporting culture). Dibutuhkan kerja sama antara Badan POM dan semua pihak yang terkait, untuk mendorong budaya kepedulian dan kewaspadaan terhadap penggunaan obat yang lebih baik. Pihak-pihak terkait itu mulai dari pasien sendiri, tenaga kesehatan, rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan, 10



institusi pendidikan kesehatan, organisasi profesi kesehatan, hingga penyedia obat (industri farmasi pemegang izin edar), dan media. Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan pelaporan KTD atau ESO, sejawat tenaga kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga pasien. Untuk melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari catatan medis pasien. Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD atau ESO dengan menggunakan formulir kuning, adalah sebagai berikut: a. Kode sumber data



di isi oleh Badan POM



b. Informasi tentang penderita - Nama (singkatan)



Diisi inisial atau singkatan nama pasien, untuk menjaga kerahasiaan identitas pasien



Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien bayi di



- Umur :



bawah 1 (satu) tahun, diisi angka dari minggu (MGG) atau bulan (BL) sesuai umur bayi, dengan diikuti penulisan huruf MGG atau BL, misal 7 BL.



c. Informasi tentang ESO -Bentuk/



Diisi informasi tentang diagnosa ESO yang dikeluhkan atau dialami pasien



manifestasi



setelah menggunakan obat yang



ESO



dicurigai. Bentuk/manifestasi ESO dapat dinyatakan dengan istilah diagnosa ESO secara ilmiah atau deskripsi secara harfiah, misal bintik kemerahan di sekujur tubuh, bengkak pada kelopak mata, dan lain lain.



11



Riwayat ESO



Diisi informasi tentang riwayat atau pengalaman ESO yang pernah terjadi



yang



pada pasien di masa lalu, tidak terbatas terkait dengan obat yang saat ini



Pernah



dicurigai



dialami



menimbulkan KTD/ESO yang dikeluhkan, namun juga obat lainnya.



d. Obat - Nama Obat :



Ditulis semua nama obat yang digunakan oleh pasien, baik yang diberikan dengan resep maupun yang digunakanatas inisiatif sendiri, termasuk suplemen, obat tradisional yang digunakan dalam waktu yang bersamaan. Nama obat dapat ditulis dengan nama generik atau nama dagang. Apabila ditulis nama generik, apabila diketahui nama pabrik atau industri farmasi dapat ditambahkan. Apabila ditulis nama dagang, tidak perlu ditulis nama pabrik atau industri farmasi.



-



Bentuk



Sediaan



Diutlis bentuk sediaan dari obat yang digunakan pasien. Contoh: tablet, kapsul, sirup, suspensi, injeksi, dan lain-lain.



- Saat/tanggal



Diisi tanggal awal terjadinya ESO, dan juga jarak interval waktu antara



mula terjadi



pertama kali obat diberikan sampai terjadinya ESO.



Kesudahan



Diisi informasi kesudahan /outcome dari ESO yang dialami oleh pasien, pada



ESO



saat laporan ini dibuat. Terdapat pilihan yang tercantum dalam formulir kuning, agar diberikan tanda (X) sesuai dengan informasi yang diperoleh. Kesudahan penyakit utama dapat berupa: sembuh, meninggal, sembuh dengan gejala sisa, belum sembuh, atau tidak tahu



Riwayat ESO Diisi informasi tentang riwayat atau pengalaman ESO yang pernah yang



terjadi pada pasien di masa lalu, tidak terbatas terkait dengan obat yang



Pernah



saat ini dicurigai



dialami



menimbulkan KTD/ESO yang dikeluhkan, namun juga obat lainnya.



d. Obat



12



- Nama Obat : Ditulis semua nama obat yang digunakan oleh pasien, baik yang diberikan dengan resep maupun yang digunakanatas inisiatif sendiri, termasuk suplemen, obat tradisional yang digunakan dalam waktu yang bersamaan. Nama obat dapat ditulis dengan nama generik atau nama dagang. Apabila ditulis nama generik, apabila diketahui nama pabrik atau industri farmasi dapat ditambahkan. Apabila ditulis nama dagang, tidak perlu ditulis nama pabrik atau industri farmasi. Bentuk



Diutlis bentuk sediaan dari obat yang digunakan pasien. Contoh: tablet,



Sediaan



kapsul, sirup, suspensi, injeksi, dan lain-lain.



Beri tanda (X) Sejawat Tenaga Kesehatan dapat membubuhkan tanda (X) pada kolom obat untuk obat



yang dicurigai menimbulkan ESO yang dilaporkan, sesuai informasi produk



yang dicurigai atau pengetahuan dan pengalaman sejawat tenaga kesehatan terkait hal tersebut Dosis/Waktu



Dosis: Ditulis dosis obat yang digunakan oleh pasien, dinyatakan dalam satuan berat atau volume. Waktu: Ditulis waktu penggunaan obat oleh pasien, dinyatakan dalam satuan waktu, seperti jam, hari dan lain-lain.



Tanggal mula



Ditulis tanggal dari pertama kali pasien menggunakan obat yang dilaporkan, lengkap dengan bulan dan tahun (Tgl/Bln/Thn)



Tanggal akhir Ditulis tanggal dari kali terakhir pasien menggunakan obat yang dilaporkan atau tanggal penghentian penggunaan obat, lengkap dengan bulan dan tahun (Tgl/Bln/Thn) Indikasi



Ditulis jenis penyakit atau gejala penyakit untuk maksud penggunaan



penggunaan



masingmasing obat.



Keterangan



Ditulis semua keterangan tambahan yang kemungkinan ada kaitannya secara



Tambahan



langsung atau tidak langsung dengan gejala ESO yang dilaporkan, misal kecepatan timbulnya ESO, reaksi setelah obat dihentikan, pengobatan yang diberikan untuk mengatasi ESO.



Data



Ditulis hasil uji laboratorium dinyatakan dalam parameter yang diuji dan



Laboratorium hasilnya, apabila tersedia. 13



(bila ada) e. Informasi



Cukup Jelas. Informasi pelapor diperlukan untuk



Pelapor



klarifikasi lebih lanjut dan follow up, apabila diperlukan.



G. MENGAPA PERLU MESO Pemantauan keamanan obat sesudah beredar masih perlu dilakukan karena penelitian atau ijin yang dilakukan sebelum obat diedarkan, baik uji preklinik maupun uji klinik belum sepenuhnya dapat mengungkapkan efek samping obat (ESO) utamanya efek samping yang jarang terjadi ataupun yang timbul setelah penggunaan obat untuk jangka waktu lama. Disamping itu pada uji klinik seringkali tidak melibatkan penggunaan obat yang termasuk kelompok anak-anak, wanita hamil, wanita menyusui atau usia lanjt. Maka perhatian terhadap reaksi yang tidak diinginkan selama pemakaian sangat perlu dipantau secara sistemik.



H. TUJUAN MESO TUJUAN LANGSUNG DAN SEGERA 



Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal sekali yang baru saja ditemukan







Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya ESO atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya reaksi ESO.







Memberi umpan balik adanya interaksi pada petugas kesehatan







Membuat peraturan yang sesuai







Memberi peringatan pada umum bila dibutuhkan







Membuat data esensial yang tersedia sesuai sistem yang dipakai WHO



I. REAKSI-REAKSI



YANG



SEYOKYANYA



DILAPORKAN



DALAM



MONITORING EFEK SAMPING OBAT  Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek samping yang selama ini tidak pernah / belum pernah dihubungkan dengan obat yang bersangkutan . 14



 Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat.  Setiap reaksi efek samping serius, antara lain : 



Reaksi anafilaktik







Efek karsinogenik







Diskrasia darah







Kegagalan ginjal







Perforasi usus







Edema laring







Aritmia jantung







Efek samping berbahaya







Seluruh jenis efek fatal



seperti sindrom Stevens







Kelainan congenital



Johnson







Perdarahan lambung







Efek toksik pada hati







Serangan



epilepsi



dan



neuropati



 Setiap reaksi ketergantungan Sebagai contoh klasik adalah yang berkaitan dengan obat golongan opiat; walaupun demikian berbagai obat lain dapat menimbulkan reaksi ketergantungan fisik dan atau psikis. J. Obat-Obat Yang perlu di monitoring efek sampingnya:  Obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) merupakan golongan obat yang bekerja dengan menurunkan jumlah atau menekan sekresi asam lambung. Obat– obat yang dikategorikan sebagai PPI dan beredar di Indonesia antara lain: (esomeprazole, omeprazole, lansoprazole dan pantroprazole.) Informasi aspek keamanan terkini terkait produk obat golongan PPI yang diperoleh dari US FDA menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan peningkatan risiko penurunan kadar magnesium (hypomagnesemia) jika digunakan dalam jangka waktu panjang. Hypomagnesemia dilaporkan terjadi pada pasien dewasa yang menerima PPI minimal 3 bulan, tetapi sebagian besar hypomagnesemia terjadi setelah 1 tahun terapi dengan PPI. Kadar serum magnesium yang rendah menyebabkan efek samping serius termasuk muscle spasm (tetany), irregular heartbeat (arrhytmias) dan convulsions (seizures), namun tidak semua pasien mempunyai gejala-gejala tersebut. Hypomagnesemia juga menyebabkan sekresi hormon parathyroid terganggu dan dapat berkembang menjadi hypocalcemia.



15



 Obat golongan Fibrat merupakan golongan obat yang telah digunakan ber tahuntahun untuk menurunkan kadar lipid, seperti trigliserida dan kolesterol dalam darah. Hasil review menyimpulkan bahwa obat golongan fibrat memiliki rasio manfaat yang lebih besar daripada risiko. Namun, dokter sebaiknya tidak meresepkan fibrat sebagai pengobatan lini pertama pada pasien baru yang didiagnosis



mengalami



gangguan



lipid



darah,



kecuali



pada



pasien



hipertrigliseridemia parah atau pasien yang tidak dapat menggunakan statin. Jenis obat golongan fibrat yang beredar antara lain: bezafibrat, ciprofibrat, fenofibrat dan gemfibrozil. Sementara itu, efek samping terkait penggunaan obat golongan fibrat yang sering dilaporkan adalah ini antara lain: digestive, gastric or intestinal disorders (seperti abdominal pain, nausea, vomiting, diare, dan perut kembung); skin reactions (seperti rash, pruritus, urticaria dan photosensitivity, dan pada beberapa pasien dapat mengalami cutaneous photosensitivity dengan manifestasi eritema, vesiculation atau nodulation pada bagian kulit yang terpapar matahari).  Rosiglitazone merupakan antidiabetik oral yang bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Rosiglitazone mengontrol glikemia dengan mengurangi kadar insulin dalam sirkulasi darah. Di Indonesia, terdapat 2 (dua) jenis sediaan obat, yaitu dalam bentuk tunggal rosiglitazone dan kombinasi rosiglitazone dengan metformin atau rosiglitazone dengan glimepiride. Informasi aspek keamanan terbaru rosiglitazone menunjukkan potensi efek samping pada cardiovascular. Hal ini didasarkan pada safety data yang diperoleh dari suatu pooledanalysis of controlled clinical trials (42 randomized controlled clinical studies), menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan risiko efek samping serangan jantung dan heart-related deaths pada pasien yang menggunakan obat ini.



16



 Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cephalosporin spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Informasi keamanan terkini menyebutkan bahwa terdapat beberapa laporan kasus efek samping fatal terkait penggunaan bersama ceftriaxone dengan sediaan yang mengandung calcium. Terdapat laporan kematian pada bayi/neonatal dimana penggunaan bersama kedua obat tersebut menyebabkan presipitasi pada paru-paru dan ginjal. Pada beberapa kasus, dilaporkan bahwa obat yang mengandung calcium diberikan pada waktu pemberian dan rute administrasi yang berbeda dengan ceftriaxone. Oleh karena itu, sebaiknya ceftriaxone tidak diberikan kepada bayi/neonatal yang mengalami hyperbilirubinaemia, khususnya bayi prematur.  Metoclopramide merupakan suatu dopamine receptor antagonist yang disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi diabetik gastroparesis, mual muntah dan esofagitis refluks. Informasi baru atau terkini terkait aspek keamanan obat metoclopramide yang dilansir oleh US FDA dan kemudian juga dimuat dalam WHO News Letter. Disebutkan bahwa obat ini berisiko menyebabkan tardive dyskinesia pada penggunaan jangka panjang (kronis) atau dosis tinggi, utamanya pada pasien wanita usia lanjut. Tardive dyskinesia adalah kondisi medis yang ditandai dengan gejala gangguan perubahan bentuk (disfiguring disorder) berupa gerakan-gerakan yang diluar kesadaran (involuntary) pada wajah, lidah atau ekstrimitas, yang berpotensi irreversible. Pada umumnya atau sebagian besar laporan kasus efek samping obat yang diterima oleh US FDA, kasus tardive dyskinesia terjadi pada pasien yang menggunakan metoclopramide lebih dari tiga bulan.  Clopidogrel merupakan suatu obat golongan thienopyridine, yang secara struktur kimia mirip dengan ticlopidine, bekerja dengan mekanisme menghambat ADPinduced platelet aggregation. Obat ini disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi untuk mengurangi kejadian atherothrombotik. Pada tanggal 29 Mei 2009 yang menyatakan terdapat 17



beberapa studi yang menunjukkan bahwa clopidogrel bekerja kurang efektif pada pasien yang dalam waktu bersamaan juga mengkonsumsi obat proton pump inhibitors (PPI) Hal inilah yang dapat meningkatkan risiko thrombotic events, termasuk acute myocardial infarction. Pada praktik klinik kemungkinan kedua obat ini diresepkan secara bersama, karena Clopidogrel dapat mengakibatkan efek samping nyeri lambung dan ulser lambung, dan biasanya untuk mengatasi hal tersebut diresepkan juga obat golongan PPI tersebut.



K. LAPORAN EFEK SAMPING OBAT DI INDONESI 1. Carbamazepin Seorang wanita, suku Sunda, usia 27 tahun dengan berat badan 50 kg, penderita epilepsi, diberikan tablet carbamazepin (100 mg) 2 kali sehari 1 tablet. Setelah minum obat selama 12 hari timbul purpura, ptekhie, ekhimosis , sugulasi pada wajah,leher, dada dan punggung, bokong dan menyebar ke seluruh tubuh disertai nyeri menelan, nyeri buang air kecil dan buang air besar yang didiagnosa sebagai Stevens Johnson Syndrom. Penggunaan obat dihentikan, 10 hari kemudian pasien sembuh, namun pada laporan tidak disebutkan pengobatan yang diberikan dalam mengatasi efek samping obat tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi Panitia MESO Nasional, hubungan kausal antara carbamazepin dengan Stevens Johnson Syndrom pada kasus ini adalah probable.



2.



Amoksisilin + Paracetamol + Asam Mefenamat Seorang laki-laki, suku Sunda, usia 37 tahun dengan berat badan 55 kg, menderita



infeksi saluran pernapasan bagian atas, diberikan amoksisilin 500mg 3 kali sehari 1 tablet, paracetamol 500 mg 3 kali sehari 1 tablet, asam mefenamat 500 mg 3 kali sehari 1 tablet. Pasien datang kerumah sakit karena pada hari ke 3 setelah pemakaian obat timbul makula eritema dan skuama yang terasa gatal pada hampir seluruh tubuh. Penggunaan obat dihentikan, kesudahan ESO tidak diketahui, dan pada laporan tidak disebutkan pengobatan yang diberikan untuk mengatasi ESO tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi Panitia MESO Nasional, hubungan kausal antara penggunaan bersama obat Amoksisilin + Paracetamol + Asam Mefenamat pada kasus adalah certain. Kedua laporan kasus efek samping obat yang diterima Pusat MESO Nasional ini dapat menjadi pengalaman teman sejawat.



18



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN



Monitoring Efek Samping Obat, adalah program pemantauan keamanan obat sesudah beredar (pasca-pemasaran).



Program ini dilakukan secara



berkesinambungan untuk mendukung upaya jaminan atas keamanan obat, sejalan pelaksanaan evaluasi aspek efikasi, MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).



19



Daftar Pustaka WHO Pharmaceuticals Newsletter, No.4, 2007 Data Badan POM The Uppsala Monitoring Centre, Safety Monitoring of Medicinal Products: Guidelines for Setting-up and Running a Pharmacovigilance Centre, Sweden, WHO Collaborating Centre for International Drug Monitoring, 2000.



The Uppsala Monitoring Centre, WHO International Drug Monitoring Program: Guide to Participating countries, Sweden, WHO Collaborating Centre for International Drug Monitoring, 2002



WHO, Safety of Medicines: A guide to detecting and reporting adverse drug reactions – Why health professional need to take action, WHO, Department of Essential Drugs and Medicines Policy, Geneva, 2002



Health Canada, Adverse reaction Reporting and Health Product Safety Information, Guide for Professionals



Health Sciences Authority, Guidance for industry, safety reporting requirements for registered medicinal products, Singapore, October, 2008



BPFK, Malaysia, Guideline for the reporting and monitoring, Kuala Lumpur, March, 2002



International Society of Pharmacovigilance, Drug Safety, ADIS International, 1994;10:93-102



20