14 0 437 KB
Hukum Kelembagaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Fatmawati (B021181004) Nur Intan Syamrin (B021181014) Windi Putri Wananda (B021181018) Rindiani (B021181022) Kiky Venna Violetta (B021181318) Ryan Hidayat M (B021181326) Nanda Febrialita A. H (B021181346)
Nama Dosen : Dr. Muh. Hasrul,S.H., M.Hum.
KATA PENGANTAR 1
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “MPR”. Kami berterima kasih pada Bapak selaku Dosen Hukum Kelembagaan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kepada kami, generasi dan masyarakat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya dokumen yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan yang kurang berkenan serta kami berhadap adanya partisipasi kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Makassar, 1 Oktober 2019
DAFTAR ISI 2
Kata Pengantar ................................................................................................................i Daftar Isi .........................................................................................................................ii Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1 1.3 Tujuan Masalah ..................................................................................................2 Bab II Pembahasan 2.1 Sejarah MPR ........................................................................................................3 2.2 Dasar Hukum .......................................................................................................6 2.3 Tugas dan wewenang ..........................................................................................7 2.4 Struktur Organisasi ..............................................................................................8 2.5 Implementasi Kerja MPR ..................................................................................11 Bab III Penutup Simpulan ............................................................................................................16
Daftar Pustaka ..............................................................................................................17
BAB I 3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar yang telah disusun oleh BPUPKI dan diberi nama UUD tahun 1945. Di dalam UUD tersebut diatur ketentuan tentang beberapa lembaga negara yang menyelenggarakan negara dan pemerintahan. Rinciannya adalah MPR, DPR, Presiden, DPA, MA dan BPK. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Ketika gelombang reformasi datang yang dimotori oleh Prof. Amien Rais bersama-sama dengan mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat dan menyebabkan runtuhnya Orde Baru dan berhentinya Soeharto dari kursi kepresidenannya pada 21 Mei 1998, MPR kembali mengalami dinamika yang sangat besar. UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Telah tercatat dalam sejarah kedudukan MPR RI sebelum amandemen mendapatkan posisi menjadi lembaga tertinggi negara dan kekuasaan penuh berada di tangan lembaga ini. Namun, karena banyak terjadi ketidakcocokan antara pemerintah dengan rakyat maka dilakukanlah empat kali amandemen UUD hingga MPR RI ditetapkan menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga lainnya. Dalam artian MPR RI merupakan lembaga terpenting dan sakral sepanjang sejarah dengan perkembangan masa ke masa. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimana sejarah berdirinya MPR RI serta dasar hukumnya ? 2. Bagaimana susunan organisasi dan tugas MPR RI ? 4
3. Bagaimana hasil kerja MPR RI hingga saat ini ? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu : 1. Untuk memaparkan latar belakang berdirinya MPR RI dengan dasar hukumnya 2. Untuk memaparkan susunan organisasi dan tugas MPR RI. 3. Untuk memaparkan hasil kerja MPR RI hingga saat ini
BAB II PEMBAHASAN 5
II.1 Latar belakang lahirnya MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam ketatangeraan Indonesia. Pada awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, MPR memiliki posisi sebagai lembaga negara tertinggi. Konsep penyelenggaraan negara yang bercorak demokrasi oleh lembaga-lembaga negara tersebut sesungguhnya merupakan wujud dari sila ke-empat Pancasila, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Adapun kehendak untuk mewadahi aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan pertama kali dikemukakan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945. Moh. Yamin juga menyampaikan bahawa diperlukan sebuah prinsip kerakyatan dalam penyelenggaraan negara.Begitu pula dengan Mr. Soepomo yang mengutarakan gagasannya mengenai Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah. Istilah prinsip musyawarah itu dinamakan Badan Permusyawaratan. Prinsip kekeluargaan menjadi dasar ide tersebut. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya, demikian pula dengan Badan Permusyawaratan. Dalam rapat yang diadakan Panitia Perancang UUD, Mr. Soepomo menyampaikan gagasannya mengenai Badan Permusyawaratan diubah namanya menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Anggotanya pun terdiri atas wakil rakyat, wakil daerah, dan wakil golongan secara keseluruhan. Konsep Majelis Permusyawaratn Rakyat ini kemudian ditetapkan dalam sidang PPKI pada saat pengesahan UUD 1945 (Pra Amandemen). Masa Orde Lama (1945-1965) MPR belum dapat dibentuk secara utuh pada masa Orde Lama karena situasi saat itu tidak mendukung. Hal tersebut telah diantispasi para pejuang kemerdekaan dengan dibuat Pasal IV Aturan Peralihan UUD RI 1945 (pra Amandemen) yang berbunyi: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan
Agung
dibentuk
menurut
Undang-Undang
Dasar
ini,
segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.
6
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahanperubahan mendasar atas tugas KNIP. Sejak saat itu, lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dimulai, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya UUD RI 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai cikal bakal MPR. Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), MPR tidak dikenal sebagai lembaga dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar. Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan UUD menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak mencapai jalan tengah, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi usulan ini juga tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante. Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan: 1.
Pembubaran Konstituante.
2.
Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak diberlakukan lagi UUD Sementara 1950.
3.
Pembentukan dua lembaga, yaitu MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Untuk melaksanakan pembentukan MPRS sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang isinya mengatur: 1.
MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
2.
Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
3.
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
7
4.
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
5.
MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden. Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.
Sebagai pembersihan dari G-30-S/PKI, diperlukan adanya perombakan total atas seluruh kebijaksanaan kenegaraan. Setelah terjadi pemberontakan setelah G-30-S/PKI, Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dianggap tidak memadai lagi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dilakukan pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI. Penegasan atas hal tersebut dituang dalam UU No. 4 Tahun 1966 yang isinya: “sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk”. Rakyat mengharapkan
yang
merasa
adanya
dikhianati
oleh
pertangungjawaban
peristiwa
Presiden
G-30-S/PKI
Soekarno.
kemudian
Tetapi,
pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” tidak membuahkan hasil yang diharapkan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS tertuang dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang isinya meminta Presiden agar menyempurnakan pidato pertanggungjawaban tersebut. Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. MPRS kemudian mengambil kesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”. MPRS kemudian melangsungkan Sidang Istimewa. Sidang tersebut bertujuan untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS. Pengganti Presiden Soekarno yang terpilih adalah Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966.
8
MPRS juga memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk melakukan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Masa Reformasi (1999-sekarang) Setelah reformasi, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Perubahan UUD telah menata ulang posisi lembaga-lembaga negara. kedudukan, fungsi, dan wewenang MPR yang dianggap tidak sejalan dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat akhirnya diubah. Tujuannya agar sistem ketatanegaraan dapat berjalan maksimal. Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, Kemudian berubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyar sepenuhnya melalui car-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945. II.2 Dasar Hukum Dasar hukum MPR adalah UUD NRI Tahun 1945 khususnya adalah pasal 2 dan pasal 3. Pasal 2 UUD NRI tahun 1945 memuat mengenai pengertian MPR, keanggotaan MPR serta kewajiban MPR sementara tugas dan wewenang MPR diatur dalam pasal 3 UUD NRI tahun 1945. Untuk perincian tugas dan wewenang MPR terdapat di UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis pemusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan daerah dan Dewan perwakilan rakyat daerah. Keberadaan ketetapan MPR dicantumkan dalam Tap MPR dengan Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan
Perwakilan Rakyat
dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur BAB II Pasal 2 Majelis Permusyawaratan Rakyat
lebih lanjut dengan undang-undang, (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara, 9
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (1)
ditetapkan
dengan
suara
yang
terbanyak. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UndangUndang Dasar,
BAB II
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik
Pasal 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat
Presiden dan/atau Wakil Presiden, (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
II.3 Tugas dan Wewenang MPR RI Tugas dan wewenang MPR RI telah disebutkan dalam UUD NRI tahun 1945 pada pasal 3 dan lebih rincinya terdapat pada UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis pemusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan daerah dan Dewan perwakilan rakyat daerah. Wewenang MPR a. Mengubah dan menetapkan
Undang-
Tugas MPR a. Memasyarakatkan ketetapan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
MPR;
Tahun 1945;
Memasyarakatkan Pancasila,
b. Melantik
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden hasil pemilihan umum; c. Memutuskan
usul
DPR
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
untuk
Tahun 1945, Negara
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Kesatuan Republik Indonesia,
Presiden dalam masa jabatannya, setelah
dan Bhinneka Tunggal Ika;
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
b. Mengkaji sistem
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
ketatanegaraan, Undang-
melakukan pelanggaran hukum berupa
Undang Dasar Negara
pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
Republik Indonesia Tahun
penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
1945, serta pelaksanaannya;
atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
c. Menyerap aspirasi 10
tidak
lagi
memenuhi
syarat
sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang
d. Melantik
Wakil
Presiden
menjadi
Dasar Negara Republik
Presiden
apabila
Presiden
mangkat,
Indonesia Tahun 1945.
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; e. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila
keduanya
mangkat,
berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan
oleh
partai
politik
atau
gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua
dalam
sebelumnya,
pemilihan
sampai
berakhir
umum masa
jabatannya. II.4 Struktur Organisasi MPR “Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal,” bunyi Pasal 1 ayat (1) Perpres ini. Dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan administrasi dan keahlian terhadap kelancaran pelaksanaan wewenang dan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat 11
Bambang Soesatyo Periode 2019-2024
Gambar 1.1 Bagan Struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR RI
Deskripsi 12
1. Pimpinan MPR RI Pimpinan MPR RI bertugas untuk menjadi pemimpin Sidang Paripurna MPR dan Sidang Istimewa MPR dan beserta wewenang yang telah dipaparkan. 2. Sekretaris Jenderal/ Wakil Sekretaris Jenderal Sekretariat Jenderal MPR dalam melaksanakan tugasnya, menurut Perpres 45 Tahun 2019 tentang Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi: -
Perumusan dan evaluasi rencana strategis Sekretariat Jenderal;
-
Koordinasi dan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas unit organisasi di lingkungan Sekretariat Jenderal
-
Perumusan kebijakan, pembinaan, dan pelaksanaan dukungan bidang pengkajian dan pemasyarakatan konstitusi, serta penyerapan aspirasi masyarakat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
-
Perumusan
kebijakan,
pembinaan,
dan
pelaksanaan
dukungan
bidang
administrasi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; -
Perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan Sekretariat Jenderal;
-
Pelaporan pelaksanaan tugas dan fungsi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; dan
-
Pelaksanaan fungsi lain yang ditugaskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Biro Persidangan Mempunyai tugas melaksanakan pelayanan persidangan, penyusunan risalah dan penyusunan panduan rapat. 4. Biro Sekretariat Pimpinan Melaksanakan Kesekretariatan Pimpinan, Melayani Musyawarah dan Pengaturan Jadwal Penerimaan tamu dan Delegasi Ketua dan Wakil Ketua MPR, serta penyusunan panduan Rapat Pimpinan. 5. Biro Hubungan Masyarakat Mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pemberitaan dan hubungan antar lembaga, keprotokolan, penerbitan, pengolahan data dan sistem informasi, serta pelayanan perpustakaan dan dokumentasi. 6. Biro Administrasi 13
Mempunyai tugas melaksanakan perencanaan, organisasi dan evaluasi, administrasi keanggotaan dan kepegawaian, ketatausahaan serta pelayanan kesehatan. 7. Biro Kerumahtanggaan Mempunyai tugas melaksanakan pelayanan perlengkapan dan investarisasi, pemeliharaan, akomodasi, dan angkutan, serta pengaman. 8. Biro Keuangan Mempunyai tugas melaksanakan administrasi keuangan anggota MPR dan Pegawai Sekretariat Jenderal. 9. Pusat Pengkajian Mempunyai tugas melaksanakan pengkajian pelaksanaan putusan MPR dan aspirasi masyarakat, penelitian, seminar, pembuatan naskah pidato dan ceramah pimpinan MPR, pimpinana alat kelengkapan MPR dan pimpinan Sekretariat Jenderal II.5 Implementasi Program Kerja MPR RI 1. Keterlibatan MPR pada awal pembentukan dan amandemen Undang-Undang Dasar. - Terlibat dalam awal pembentukan UUD NRI 1945 Dalam rapat yang diadakan Panitia Perancang UUD, Mr. Soepomo menyampaikan gagasannya mengenai Badan Permusyawaratan diubah namanya menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar sehingga sejarah membuktikan MPR telah diberi tugas lembaran pertama untuk membuat UUD.
Gambar 1.2 Naskah Pertama UUD 1945
- Terlibat dalam perubahan UUD NRI 1945 atau amandemen 14
Sebagaimana tugas dan wewenang MPR ialah dapat mengubah dan menetapkan UUD maka sebagai risalah rapat paripurna ke-5 sidang tahunan MPR Tahun 2002 sebagai naskah perbantuan yang dimaksud untuk mempermudah masyarakat dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dalam memahami pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang telah mengalami satu kali perubahan dengan empat tahapan yang diputuskan dalam persidangan MPR Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002.
Gambar 1.3 UUD NRI 1945
Amandemen 1- IV : Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002 . -
Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
-
Perubahan kedua dilakukan dalam dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah luas dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuanketentuan terperinci tentang HAM.
-
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas
15
landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
-
Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan rakyat, dan aturan peralihan serta aturan tambahan. 2. Keterlibatan MPR dalam melantik dan memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam sidang istimewa MPR. -
Sidang Istimewa MPRS 1967 (Pemberhentian Presiden Soekarno) Pembuktiannya pada peristiwa MPRS melangsungkan Sidang Istimewa. Sidang tersebut bertujuan untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS. Pengganti Presiden Soekarno yang terpilih adalah Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 S/d ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS 1966, pada akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan Jabatannya kepada Jenderal TNI Soeharto. Pada saat orde lama, belum ditetapkannya wewenang MPR mengenai melantik dan memberhentikan presiden dan wakil presiden. Wewenang tersebut baru ada saat amandemen ketiga UUD NRI Tahun 1945 pasal 3 (3). Namun, MPR telah memberhentikan presiden Soekarno karena peristiwa G-30-S/PKI dan langsung melantik bapak Soeharto sebagai presiden.
- Sidang Istimewa MPR 1998 (Pemberhentian Presiden Soeharto) Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden (lengser) pada tanggal 29 Mei 1999 dan menyerahkan jabatan Presiden kepada Wakilnya yaitu B.J. Habibie. Ketatanegaraan pascaperalihan yang dimulai dari pergantian Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie yang proses peralihan dan solusi Hukum Tata Negaranya sudah tidak lagi menjadi perhatian sebenarnya masih tetap meninggalkan suatu misteri yang perlu dicermati. Pendapat pro dan kontra tentang perlunya ketetapan MPR tentang pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia, tetap merupakan catatan buruk dalam sejarah ketatanegaraan di 16
Indonesia. Soeharto secara yuridis adalah Presiden kedua yang belum pernah diberhentikan sampai sekarang. Presiden mengundurkan diri atau menyatakan berhenti, secara de facto Wakil Presiden menggantikan jabatan Presiden. Akan tetapi harus diingat, dalam sidang umum MPR. MPR harus memberhentikan Presiden dan menyatakan berlaku surut sejak Presiden mengundurkan diri atau menyatakan berhenti. Di sini terlihat betapa sebenarnya formalitas pengangkatan dan pemberhentian oleh MPR masih diperlukan. Dasar hukum yang memberikan kewenangan MPR “mengangkat dan memberhentikan” Presiden dan Wakil Presiden adalah Ketetapan MPR No. III/MPR/1978. Ketetapan ini tidak bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, tetapi bersifat melengkapi UUD 1945 (Soewoto Mulyosudarmo, 2004:137)
- Sidang Istimewa MPR 1999 (Presiden B.J Habibie) Sidang Istimewa pada tahun 1999 dilakukan dengan agenda pidato pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden pada tanggal 14 Oktober 1999. Pertanggungjawaban tersebut dinyatakan ditolak pada tanggal 20 Oktober 1999, tetapi tidak menyebabkan kejatuhan Habibie. Hanya saja, Habibie menyatakan tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden berikutnya. Akhirnya fraksi Partai Golkar mengalihkan dukungannya kepada Abdurrahman Wahid, yang kemudian menjadi presiden ke-4 Indonesia.
- Sidang Istimewa MPR 2001 (Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid) Dapat dilihat dengan jelas pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan alasanalasan pemberhentian Presiden dan mekanisme serta proses pemberhentiannya. Unsur utama yang dijadikan pemberhentian Presiden adalah pelanggaran Haluan Negara yang dilakukan oleh Presiden, apakah itu pelanggaran terhadap konstitusi,
pelanggaran
terhadap
ketetapan-ketetapan
MPR
maupun
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pembuktian adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden lebih banyak dilakukan oleh DPR melalui Pansus yang dibentuk oleh DPR, dan tidak ada proses pembuktian yang dilakukan oleh lembaga MPR. Dengan demikian MPR hanya 17
menjatuhkan putusan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden sehubungan dengan adanya permintaan DPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ketetapan MPR RI yang memberhentiakan Presiden Abdurrahman Wahid karena dinyatakan sungguhsungguh
melanggar
pertimbangan
yaitu
Haluan karena
Negara
dengan
ketidakhadiaran
alasan dan
yang
dijadikan
penolakan
Presiden
Abdurahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden Tanggal 23 Juli 2001. 3. MPR menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. - Ketetapan permusyawaratan republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. - Ketetapan Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang pengangkatan pahlawan ampera - Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaran negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. - Ketatapan nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia. - Ketetapan nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan tentara nasional indonesia dan kepolisian negara republik indonesia.
18
BAB III PENUTUP Kesimpulan MPR berdiri saat PPKI telah mengesahkan UUD 1945 pada naskah pertama. Mr. Soepomo adalah bapak yang mengusulkan adanya lembaga atau badan perwakilan rakyat dengan keputusan nama ialah badan permusyawaratan hingga menjadi majelis permuswaratan rakyat. Lembaga legislatif ini telah ditetapkan pada pasal 2 dan 3 UUD NRI 1945. Dahulu MPR menjadi lembaga tertinggi sehingga keberadaan MPR mengatur seluruh aspek masyarakatnya. Setelah Amandemen dilakukan, keberadaan MPR diubah pada amandemen ke-3 menjadi lembaga yang setara kedudukannya dengan lembaga lainnya. Susunan organisasi MPR RI ditetapkan dalam struktur sekretariat Jenderal MPR RI. Sekretariat tersebut mengayomi dan menyediakan kebutuhan pimpinan MPR dan program kerja yang akan dijalankan dengan mempunyai beberapa biro sebagai divisi yang saling berkoodinasi. MPR telah melakukan perubahan sampai empat tahapan pada UUD NRI 1945. Melantik dan memberhentikan presiden dan wakil presiden semenjak orde lama hingga orde baru.
19
DAFTAR PUSTAKA Ardara Primadia., “Sejarah lengkap MPR”. https://sejarahlengkap.com/organisasi/sejarah-mpr. Diakses pada 28 September 2019. Berita Mahkamah Konstitusi RI.”Sejarah MPR RI”. https://mkri.id/index.php? page=web.Berita&id=11776. Diakses pada 28 September 2019. DPR. “UU No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf. Diakses 28 September 2019. Septi, Winda. “Struktur Organisasi MPR”. https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/676/jbptunikompp-gdl-windasepti-33765-8unikom_w-i.pdf. Diakses pada 28 September 2019. Sunarno. 2011. Pemberhentian Presiden dari Masa ke Masa. Surakarta. Jurnal Wacana Hukum. 8(2). 76-90.
20