Makalah Peradaban Islam Pada Masa Abbasiyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERADABAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah “Sejarah Peradaban Islam” Dosen Pengampu : Dra. Hermawati, MA



Disusun Oleh :



Ariq Shalahuddin



(11200321000037) (31)



Azmi Dicky Hermawan



(11200321000038) (32)



Iin Inayatul Karimah



(11200321000041) (33)



Nimas Ayu Masithoh



(11200321000043) (34)



PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021



Kata Pengantar Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah’’ dapat tersusun, meskipun masih banyak kekurangannya. Dalam kesempatan ini tak lupa kami menyampaikan terima kasih tentunya makalah ini tidak lepas dari dukungan Dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan pengujian produk ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah ini. Makalah ini di susun dengan tujuan, dapat memberikan informasi dan pembelajaran bagi semua.



Jakarta, 20 Maret 2021 Penyusun,



Kelompok 2



DAFTAR ISI Kata Pengantar ........................................................................................................ 2 PENDAHULUAN .................................................................................................. 4 A. LATAR BELAKANG ................................................................................. 4 B. TUJUAN ...................................................................................................... 5 BAB II ..................................................................................................................... 6 ISI ............................................................................................................................ 6 A. Latar Belakang Berdiri Dinasti Abbasiyah .................................................. 6 B. Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah ............................................ 7 C. Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi Dan Sosial Politik 10 1.



Politik ..................................................................................................... 10



2.



Ekonomi ................................................................................................. 11



3.



Sosial ...................................................................................................... 12



D. Tradisi Intelektual Dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan ............................... 13 1.



Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Non Formal ................................ 15



2.



Lembaga-Lembaga Pendidikan Formal dan Materi yang Diberikan ..... 18



BAB III ................................................................................................................. 25 PENUTUP ............................................................................................................. 25 A. Kesimpulan ................................................................................................ 25 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26



BAB I



PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn alAbbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-12 Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan Ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah, Pada masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan pada masa itu berbagai kemajuan dalam segala bidang mengalami peningkatan seperti bidang pendidikan, ekonomi, politik dan sistem pemerintahannya.



B. TUJUAN 1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah. 2. Untuk Mengetahui Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah. 3. Untuk Mengetahui Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi, dan Sosial. 4. Untuk Mengetahui Tradisi Intelektual dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan



BAB II



ISI A. Latar Belakang Berdiri Dinasti Abbasiyah Tonggak berdirinya dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem internal dan performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan dinasti Umayah di Damaskus, maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan bani Abbasiyah. Propaganda revolusi Abbasiyah ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah, karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidin.1 Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al- Abbas.2 Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.3 Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah adanya beberapa kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap kekuasaan imperium bani Umayyah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian



1



Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 118



2



Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49.



3



M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 143.



kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij, serta kaum Mawali (orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi). Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan



suara



mereka.



Seniman-seniman



terkenal



bermunculan,



diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat (Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.



B. Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah Pada zaman kekhalifahan Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin kekhalifahan Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah SWT, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman kekhalifahan Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh kekhalifahan Abbasiyah I antara lain :



1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali. 2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan. 3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia. 4. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya . 5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah. Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan politik kekhalifahan Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya kekhalifahan-kekhalifahan kecil, seperti kekhalifahan Umayyah di Andalusia atau Spanyol, kekhalifahan Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya kekhalifahan Abbasiyah ada dua tindakan yang dilakukan oleh para kekhalifahan Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan karena adanya gangguan timbulnya pemberontakan yaitu : 1. Tindakan keras terhadap kekhalifahan Umayah . 2. Pengutamaan orang-orang keturunan Persia. Dalam menjalankan pemerintahan, kekhalifahan Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat .Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1. Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2. Wizaaratut Tafwid (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan, sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada



kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah. Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama Diwanul Kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemendepartemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul Idary Al-Markazy. Selain itu, pada zaman kekhalifahan Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama kekhalifahan ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah menjadi lima periode yaitu : 1. Periode pertama (750–847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama 2. Periode kedua (847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama 3. Periode ketiga (945 -1055 M), masa kekuasaan kekhalifahan Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini juga disebut pengaruh Persia kedua 4. Periode keempat (1055-1199 M), masa kekuasaan kekhalifahan Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua 5. Periode kelima (1199-1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh kekhalifahan lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. Pada periode pertama pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.



Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri kekhalifahan ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari kekhalifahan Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi kekhalifahan Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan kekhalifahan Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.4



C. Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi Dan Sosial Politik 1. Politik Kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah masuknya orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah memberikan peluang yang cukup besar kepada orang-orang Mawali keturunan Persia untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis seperti jabatan Wazir. Dengan demikian, pengaruh Persia semakin signifikan dalam tatanan kehidupan politik pada masa itu. Kehidupan a-la Persia menjadi trend-setter, baik pemikiran maupun gaya hidup. Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan masyarakat awam, akan tetapi juga terjadi di kalangan elit pemerintahan. 4



Rahmat Trisnamal. Makalah Peradaban Islam Tentang Khalifah Bani Abbasiyah, Blogspot.com



[Diakses 15 Maret 2021]



Masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran pemerintahan Dinasti Abbasiyah, tidak dapat dipungkiri karena mereka juga telah memainkan peranan yang sangat penting dalam menegakkan eksistensi Dinasti Abbasiyah pada periode awal berdirinya dinasti ini. Disamping politik balas budi, masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran penting pemerintahan Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena Dinasti ini mengedepankan politik terbuka. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang selalu dipraktekkan oleh Dinasti Umayyah yang bersifat ArabSentris.



2. Ekonomi Perekonomian Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan dan pertanian. Di berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyah terdapat



kegiatan-kegiatan industri



diantaranya, Industri kain linen di Mesir, sutra di Syiria dan irak, kertas di Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan Kurma dari Irak hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyah dan Negara lain. Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia. Hubungan dagang dengan dunia luar jazirah Arab telah membuktikan bahwa masa Abbasiyah hubungan diplomatik dalam bidang ekonomi perdagangan sudah dibangun sebelum orang Arab terjun ke dunia perdagangan. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat semakin melambungkan perekonomian Abbasiyah. Untuk mendukung kegiatan perdagangan berbagai sarana pendukung didirikan seperti: membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang, membangun armada-armada dagang, membangun armada pertahanan laut untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut, dan lain-lain. Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri, karena para kafilah-kafilah dagang dapat



leluasa melintasi segala negeri, bahkan kapal-kapal dagang Abbasiyah dikenal mampu mengarungi tujuh lautan. Dalam bidang pengembangan



perdagangan Khalifah membela dan



menghormati kaum petani, bahkan meringankan pajak hasil bumi dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali. Pertanian berkembang pesat karena pemerintahannya berada pada pemerintahan yang subur di tepi sungai Sawad. Tanaman asli terdiri dari gandum, padi, kurma, wijen kapas dan rami. Sayuran segar sepert, kacang, jeruk,terong, tebu dan anek ragam bunga. Dinasti Abbasiyah juga sudah mengenal mata uang dinar. Khalifah Abbasiyah yang pertama menerbitkan dinar adalah Abu Al-Abbas Abdullah bin Muhammad, pada 749 M. Ia mengganti corak koin, kalimat Muhammad Rasulullah dipakai mengganti Allah Ahad, Allah Al-Samad, lam Yalid wa lam yulad, pada sisi belakang koin. Selama masa Abbasiyah dinar emas juga diterbitkan di Mesir dan Damaskus dengan menggunakan kata-kata yang sama dengan gambar dan cetakan yang ditulis dalam dinar Bani Umayyah, kecuali tanggal penerbitan. Selama masa Abu Jafar Al-Mansur, koin baru diterbitkan di Teheran dan Provinsi-provinsi lain (145 H). Pada koin-koin tersebut terlihat nama dan gelar putra Mahkota (diperintahkan oleh Al-Mahdi Muhammad bin Amir Al-Mukminin).



3. Sosial George Zaydan dalam bukunya Tamaddun al-Islam menggambarkan pada masa Bani Abbasiyah, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelas khusus dan kelas umum. a. Kelas khusus terdiri dari : 1) Khalifah 2) Keluarga Khalifah, Bani Hasyim 3) Para pejabat negara 4) Para bangsawan yang bukan Bani Hasyim, yaitu Bani Quraisy 5) Para petugas khusus seperti anggota tentara dan para pegawai istana b. Kelas Umum terdiri dari :



1) Para seniman 2) Para ulama, fuqaha dan pujangga 3) Para saudagar dan pengusaha 4) Para tukang dan petani Namun demikian, untuk menciptakan keadilan sosial kekhalifahan Dinasti Abbasiyah membuat kebijakan membentuk Badan Negara yang anggotanya terdiri dari wakil semua golongan. Tugasnya untuk melayani masyarakat dari berbagai golongan. Tidak ada perbedaan suku, kelas sosial dan agama. Di dalamnya para wakil golongan bebas berpendapat di depan khalifah. Dalam lindungan kebijakan ini pula, masyarakat non muslim dilindungi dan diberikan hak-haknya sebagai warga negara. Mereka bebas melaksanakan berbagai aktivitas keagamaannya. Bahkan beberapa orang non muslim pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan, seperti Gabriel bin Bakhtishu.



D. Tradisi Intelektual Dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan Perluasan kekuasaan Islam melalui penaklukan-penaklukan secara besarbesaran dimulai sejak masa khulafa’ al rasyidin dan dilanjutkan oleh pemerintahan Dinasti Umayah. Dengan penaklukan-penaklukan itu, umat Islam mampu menguasai Persia, Afganistan, sebagian India, Turkistan, Balukhisran, sebagian Romawi Timur, Spanyol, dan lain-lain. Dengan demikian, umat Islam telah mampu membentuk satu imperium yang besar. Sebagai kelanjutan dari berdirinya imperium Umayyah yang kuat dan luas itu, dapat melapangkan jalan untuk terjadinya percampuran bangsa-bangsa serta asimilasi peradaban. Orang-orang Islam yang pada waktu itu sebagai pemegang tampuk pemerintahan mulai terpengaruh oleh budaya-budaya negara lain dan mulai meninggalkan sebagian cara-cara hidup mereka, sebagai akibat dari pergaulan mereka dengan orang yang berperadaban lebih tinggi. Dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, kegiatan intelektual dan tradisi ilmiah lebih nampak kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan di bidang-bidang lain.



Kegiatan intelektual itu sendiri, bukan langsung mengalami kemajuan begitu saja di jaman Abbasiyah, melainkan sudah terintis dan terkait dengan sejarah sebelumnya. Hanya saja di zaman Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan pendidikan memang mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tercatat dalam sejarah bahwa sebelum kedatangan Islam telah terdapat berbagai pengembangan tradisi ilmiah Yunani, India, dan Persia. Selanjutnya persentuhan itu meningkat kepada aktivitas penerjemahan. Gerakan penerjemahan ini sebenarnya telah dimulai sejak masa Dinasti Umayah di Damaskus.5 Hanya saja, seperti yang dinyatakan Ahmad Amin, penerjemahan pada masa itu lebih bersifat pribadi, belum secara formal.6 Meskipun penerjemahan sudah dimulai sejak masa Dinasti Umayah, tetapi baru mengalami kemajuan pada masa Abbasiyah, dan mencapai puncaknya di masa khalifah Harun al-Rasyid dan putranya Al-Makmun. Al-Makmun pernah mengirim rombongan penerjemah ke Konstantinopel, Roma, dan lain-lain untuk menghimpun buku-buku sains dan filsafat yang belum ada pada umat Islam untuk diterjemahkan di Baghdad.7 Sebagai urat nadi kegiatan penerjemahan itu adalah Baitul Hikmah (Gedung Ilmu Pengetahuan), dibangun pada masa al-Makmun, yang semula hanya merupakan perpustakaan sederhana di zaman al-Rasyid dengan sebutan Khizanah al-Hikmah.8 Di lembaga ini buku filsafat dan sains dari berbagai bahasa diterjemahkan. Ahmad Syalabi mengatakan bahwa Bait al-Hikmah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang saat itu,



5



Nurcholis Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 23



6



Ahmad Amin, Dhuha al-Islam I, (Kairo: al-Nahdhah, 1933), hal. 271



7



S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1981), hal.10



8



Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 109



dan berbagai buku terjemah dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Arami.9 Dari gerakan penerjemahan inilah akhirnya ilmu pengetahuan dan pendidikan di masa Dinasti Abbasiyah berkembang dengan pesat, hingga mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan kenamaan, seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Ghazali, dan lain-lain. 1. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Non Formal Sebelum lahirnya pendidikan formal seperti yang terdapat pada pemerintahan Abbasiyah, sebenarnya sudah terdapat tempat-tempat atau lembaga pendidikan yang sifatnya non formal. Diantara lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah: a. Halaqah Halaqah arti harfiahnya adalah perkumpulan yang melingkar. Karena itu dalam hal ini pengkajian yang dilakukan adalah dengan duduk melingkar. Dinamakan demikian karena guru duduk di tengah-tengah di sebuah mimbar atau bantal membelakangi tembok atau tiang dan para pelajar duduk dengan membentuk lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatannya. Semakin tinggi tingkatan seseorang atau pelajar, maka ia duduk paling dekat dengan gurunya. Para pelajar seringkali melakukan perjalanan yang lama untuk bergabung dengan lingkaran seorang guru yang ternama, atau berpindah dari satu lingkaran ke lingkaran lainnya. Kadang-kadang melakukan perjalanan ke kota-kota yang jauh untuk menyerap suatu ilmu dari seorang cendekiawan, kemudian berpindah ke cendekiawan lainnya. Bentuk tempat pendidikan ini oleh Mehdi Nakosteen dikatakan sebagai bentuk yang sederhana dalam pendidikan Islam pada masa awal.10



9



Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj.), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 92-93



10



Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 60



b. Maktab atau Kuttab Maktab atau Kuttab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi maktab atau kuttab berarti tempat belajar menulis. Munculnya lembaga kuttab ini kalau ditelusuri, akan sampai pada zaman Rasulullah, atau mungkin bahkan sebelum datangnya Islam, kuttab ini telah ada di negeri Arab.11 Maktab ini merupakan tempat untuk memperoleh pendidikan dasar. Pada masa awal Islam hampir di semua kota dan desa, materi yang diberikan sekitar persoalan menulis dan membaca serta mengajarkan pokok-pokok ajaran agama. Kurikulumnya berbeda-beda disesuaikan dengan sosial-budaya serta latar belakang setempat. c. Toko-Toko Kitab Saudagar-saudagar buku di jaman dinasti Abbasiyah, bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba saja. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas yang telah memiliki usaha sebagai pedagang kitab, agar mereka mendapat kesempatan untuk membaca dan menelaah serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. Dengan demikian toko-toko kitab itu akhirnya berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjual dan membeli buku saja, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan para ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. d. Rumah-Rumah Para Ulama Dipergunakannya rumah para ulama tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat. Misalnya rumah al-Ghazali setelah tidak mengajar lagi di madrasah Nizamiyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar datang ke rumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan, terutama karena pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Selain rumah al-Ghazali adalah rumah milik Ali ibn Muhammad al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di Nizamiyah, lalu mengajar di rumahnya



11



Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 89



sendiri. Ulama-ulama itu dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan, maka kelompok-kelompok pelajar tetap mengunjungi rumahnya untuk meneruskan pelajaran.12 Di antara rumah para ulama yang terkenal menjadi tempat belajar adalah rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali ibn Muhammad al-Fasihi, Ya’kub bin Killis, wazir khalifah al-Aziz Billah al-Fatimy, dan lain-lain. e. Rumah Sakit Pada zaman kejayaan Islam, rumah sakit bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat orang-orang sakit saja, tetapi juga untuk mendidik tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Karena itu rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan. f. Perpustakaan Ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang di dunia Islam, peran perpustakaan Islam sudah terasa penting. Karena itu perpustakaan yang sifatnya umum diselenggarakan oleh pemerintah atau waqaf dari para ulama dan sarjana. Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya itu dikatakan sedah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan. g. Masjid Tempat pendidikan muslim yang paling khas dan bertahan paling lama adalah di masjid. Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan perkembangannya yang luar biasa, tradisi belajar di masjid selalu turut menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu sedikit demi sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan, tapi juga sebagai pusat penngajaran bagi kaum muda.13



12



Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 73-74



13



Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 22-23



Lembaga-lembaga pendidikan non-formal itu meskipun tidak seluruhnya masih tetap berlangsung hingga kejayaan Islam di masa Abbasiyah. Lembagalembaga tersebut merespon perkembangan ilmu pengetahuan di samping melaksanakan tugas utamanya yaitu untuk mewariskan pengetahuan-pengetahuan agama pada generasi muslim selanjutnya. Bahkan sampai lahirnya lembagalembaga pendidikan formal pun, sebagian sarana pendidikan yang bercorak nonformal itu tetap masih ada. 2. Lembaga-Lembaga Pendidikan Formal dan Materi yang Diberikan Bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan dan kebudayaan di masa dinasti Abbasiyah, lahir pulalah pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah. Sebenarnya timbulnya lembaga pendidikan formal dalam dunia Islam itu merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya. Di antara faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya sekolah-sekolah formal itu antara lain14: a. Halaqah-halaqah yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, di samping sering pula mengganggu orang yang beribadat di dalam masjid. Keadaan demikian mendorong untuk dipindahkannya halaqah-halaqah tersebut ke luar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai ruang belajar atau kelas-kelas tersendiri. b. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan, baik mengenai ilmu pengetahuan keagamaan maupun umum, maka diperlukan semakin banyaknya halaqah-halaqah yang tidak mungkin keseluruhannya tertampung dalam ruang masjid.



14



Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 100



Lembaga-lembaga pendidikan formal yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Sekolah-sekolah Rendah (Kuttab) Pada permulaan masa Abbasiyah dan masa selanjutnya, terdapat banyak kuttab dan guru-guru yang mengajar. Keberadaan kuttab formal pada masa Abbasiyah ini merupakan upaya memperkuat status kuttab yang telah ada sebelumnya, dengan memperbaiki sarananya atau membangun kuttab baru yang bersifat formal. Adapun materi yang diberikan pada pengajaran sekolah-sekolah rendah (kuttab) ini secara umum sebagai berikut: 1) Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya. 2) Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, shalat, puasa, dsb. 3) Menulis 4) Kisah (riwayat orang-orang besar Islam) 5) Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa). 6) Berhitung 7) Pokok-pokok nahwu dan sharaf. Materi yang diberikan di masing-masing wilayah tu berbeda-beda, tergantung pada sosial budaya serta latar belakang wilayahnya. Di Maroko, pada anak-anak hanya diajarkan al-Qur’an saja serta dipentingkan tulisannya, serta tidak dicampurkan dengan materi lain seperti hadis, fiqh, syair atau natsar. Di Tunisia, dicampurkan pelajaran al-Qur’an, hadis, dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi menghafal al-Qur’an sangat dipentingkan. Di Irak dan sekitarnya dipentingkan pelajaran al-Qur’an dan bermacammacam ilmu serta kaidah-kaidahnya. Tetapi tidak dipentingkan tulisan indah pada kuttab, hanya cukup tulisan sederhana. Meskipun materi yang diberikan di masing-masing wilayah berbeda-beda, tetapi pada umumnya materi yang diberikan itu memiliki kesamaan-kesamaan. b. Sekolah Tingkat Menengah Selain sekolah tingkat rendah, terdapat pula sekolah tingkat menengah. Sekolah tingkat menengah ini lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan sekolah kuttab. Seperti halnya kuttab, di sekolah tingkat menengah ini juga tidak



ada keseragaman dalam hal materi di seluruh negara Islam. Pada umumnya materi pelajaran yang diberikan adalah15: 1) Al-Qur’an 2) Bahasa Arab dan kesusastraannya 3) Fiqh 4) Tafsir 5) Hadis 6) Nahwu/Sharaf/Balaghah 7) Ilmu-ilmu pasti 8) Mantiq 9) Falak 10) Tarikh 11) Ilmu-ilmu alam 12) Kedokteran 13) Musik



c. Sekolah Tingkat Tinggi Sebagai kelanjutan dari kemajuan Islam di bidang pendidikan, maka selain terdapat sekolah tingkat rendah dan sekolah tingkat menengah, terdapat juga sekolah tingkat tinggi. Materi pelajaran pada sekolah tingkat tinggi ini seperti halnya dua sekolah di bawahnya, tidak mempunyai keseragaman di seluruh dunia Islam. Bahkan berbeda-beda pula sesuai dengan perubahan masa dan keadaan. Akan tetapi materi umumnya dibagi menjadi dua jurusan, yaitu16: Ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusastraannya, yang juga disebut dengan ilmu naqliyah, yang meliputi: a) Tafsir al-Qur’an b) Hadis



15 16



Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 103 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 57; lihat juga Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 104-105



c) Fiqh dan Ushul Fiqh d) Nahwu/Sharaf e) Balaghah f) Bahasa dan sastra Arab Ilmu-ilmu hikmah (filsafat) yang juga disebut ilmu aqliyah, yang meliputi: a) Mantiq b) Ilmu-ilmu alam dan Kimia c) Musik d) Ilmu pasti e) Ilmu ukur f) Falak g) Ilmu hewan h) Ilahiyah (ketuhanan) i) Ilmu tumbuh-tumbuhan j) Kedokteran Materi-materi di atas banyak dikembangkan oleh para ilmuwan pada saat Abbasiyah maju setelah mengadakan gerakan penerjemahan secara besar-besaran terhadap karya-karya ilmuwan terutama ilmuwan-ilmuwan Yunani, Persia, dan India. Masyarakat Islam di masa Abbasiyah sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan dapat sedemikian maju. Keadaan yang semacam ini nampaknya berpengaruh terhadap dunia pendidikan terutama pada materi-materi yang diberikannya. d. Sekilas tentang Universitas Nizamiyah dan Mustansiriyyah Pada saat Dinasti Abbasiyah berjaya dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan, lahirlah suatu universitas yang sangat terkenal. Universitas itu adalah universitas Nizamiyah. diberi nama Nizamiyah sesuai nama pendirinya. Nizamul Mulk menyediakan angaran yang sangat besar untuk menggaji para pengajar dan untuk menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi para



mahasiswanya.17 Lembaga pendidikan tinggi ini mempunyai guru besar yang disebut ustadz atau mudarris, dan masing-masing memiliki seorang asisten yang disebut mu’id yang mengulangi kata-kata yang diucapkan guru besar yang dibantunya. Disamping staf pengajar, terdapat banyak pegawai dan pustakawan, imam shalat dan petugas pendaftaran. Lembaga pendidikan ini memiliki perpustakaan yang bagus dan masjid yang besar.18 Kuliah pertama sering diikuti oleh pejabat tinggi dan kadang-kadang setelah kuliah selesai diberikan acara-acara hiburan. Guru besar biasanya menyampaikan kuliahnya dengan jelas, kemudian kata-katanya diulangi oleh asistennya sehingga para mahasiswa berkesempatan untuk mencatatnya. Pada umumnya para pengajar di Nizamiyah adalah para sarjana berbobot, orang-orang yang berbudi pekerti luhur dan berkaliber tinggi. Mereka secara ikhlas membimbing mahasiswanya. Mereka terkenal karena kesalehannya, kesederhanaannya, kerajinannya, kebaikan hatinya serta kejujurannya. Sedangkan mengenai unversitas Mustansiriyah adalah universitas yang dibangun oleh khalifah al-Mustanshir di Baghdad pada abad XIII M. Universitas ini merupakan universitas terindah di dunia Islam. Di dalamnya terdapat Iwan (tempat khusus) bagi tiap mazhab yang empat, dan untuk setiap mazhab disediakan seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar 75 orang pelajar secara gratis dan setiap guru diberi gaji bulanan, dan setiap pengajar memperoleh sebuah dinar emas tiap bulan. Ibn al-Furat mengatakan bahwa di sana disediakan perpustakaan yang besar yang melengkapi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Perpustakaan ini diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi para pelajar untuk membaca apa yang disukainya, juga dilengkapi dengan alat-alat tulis, yang terdiri dari tinta dan kertas.



17



Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989) hal. 45



18



Bayard Dodge, Muslim Education in Medievel Times, (Washington DC: t.p., 1962), hal. 20



Eksistensi ilmu pengetahuan dan sains di masa Dinasti Abbasiyah tidak dapat dilepaskan dari peran aktif dan kesadaran dari para khalifah, khusunya Al-Mansur, khalifah Harun Ar-Rasyid dan khalifah Al-Makmun, yang sangat mencurahkan perhatian mereka pada pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta filsafat di zaman mereka.38 Kemajuan dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu pengetahuan yang monumental ini tidak bisa dipisahkan dari adanya gerakan penerjemah buku-buku asing dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Berkat gerakan penerjemah inilah ilmu pengetahuan Islam mengalami peradaban yang sangat besar, hingga sampai saat ini karya-karya dari para ilmuan muslim baik dalam bidang kedokteran, filsafat, astronomi dan bidang sains lainnya diabadikan dan tercatat dalam buku sejarah sumbangan Islam kepada ilmu dan peradaban modern. Bukan hanya menjadi sebuah buku bacaan namun dalam praktik dan keilmuannya, karya-karya keilmuan tersebut diakui dan sudah nyata difungsikan serta diterapkan dalam kehidupan baik itu di Timur maupun di Barat, maka pantaslah jika gerakan penerjemah disebut sebagai masa kejayaan, dengan tidak melupakan tokoh-tokoh yang sudah ikut andil dalam proses penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab. Selain itu dari hasil penerjemahan yang dilakukan, kemudian membuat uraian-uraian beserta melakukan penyempurnaan untuk membuat karya-karya baru, namun tetap disesuaikan dengan latar belakang keilmuan dan agama Islam. Dengan adanya gerakan penerjemah ini, umat Islam juga seperti mendapatkan udara segar kembali dan pencerahan akan keilmuan-keilmuan baru yang mulai dikenalnya untuk kemudian dikembangkan. Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan sistematisasi ilmu-ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-tarjamah) secara masif. Demikianlah kurang lebih gambaran mengenai tradisi intelektual dan kemajuan ilmu pengetahuan di masa Dinasti Abbasiyah,



masa-masa maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Lembaga-lembaga di atas serta materi-materi yang diberikan, kalau diperhatikan seperti mampu mengikuti kondisi perkembangan zaman. Sehingga materinya pun adalah materi-materi yang diperlukan saat itu. Hal itu penting untuk dilakukan dalam rangka pelaksanaan dinamisasi pendidikan yang merupakan salah satu prinsip pendidikan.



BAB III



PENUTUP A. Kesimpulan Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan sistematisasi ilmuilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat altarjamah) secara masif.



DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman, Dudung, dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI, 2003 Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam I, Kairo: al-Nahdhah, 1933. Asari, Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994. Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid Ali Asyraf. Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 Dodge, Bayard. Muslim Education in Medievel Times, Washington DC: t.p., 1962. Intan, Salmah. Kontribusi dinasti Abbasiyah Bidang Ilmu Pengetahuan. Jurnal Rihlah Vol. 6 No.2 tahun 2018. al-Jumbulati, Ali. Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Karim, Muhammad Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009 Madjid (Ed.), Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Jakarta: Girimukti Pusaka, 1981. Syalabi, Ahmad. Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj), Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Trisnamal, Rahmat. Makalah Peradaban Islam Tentang Khalifah Bani Abbasiyah, Blogspot.com, 2013. [Diakses 15 Maret 2021] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hadikarya Agung, 1989. Zuhairini et al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.