Makalah Pola Pangan Dan Budaya Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

POLA PANGAN DAN BUDAYA DI INDONESIA MAKALAH Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosio – Anthropologi Gizi yang diberikan oleh tim dosen mata kuliah tersebut oleh Dewi Astri Kamilasari Erisa Rosepina Isti Tri Novia Syifa Nurul Aini Tingkat: IA



JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI DIPLOMA III POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG 2014



Kata Pengantar



Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pola Pangan dan Budaya di Indonesia”. Tujuan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosio-Anthropologi Gizi yang diberikan oleh tim dosen mata kuliah tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga, dosen, teman-teman dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi dosen serta mahasiswa lainnya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima saran beserta kritik dari Bapak/Ibu dosen maupun rekan-rekan.



Bandung, Maret 2014



Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................I DAFTAR ISI.................................................................................................II BAB I............................................................................................................1 A. LATAR BELAKANG............................................................................1 B. RUMUSAN MASALAH........................................................................2 C. TUJUAN..............................................................................................2 BAB II...........................................................................................................3 A. PERSEPSI BUDAYA DAN MAKANAN.........................................................3 B. MAKANAN DAN IDENTITAS BUDAYA.........................................................4 C. MAKANAN DALAM KONTEKS BUDAYA......................................................7 D.FAKTOR YANG MEMENGARUHI POLA PANGAN........................................11 E. BEBERAPA IMPLIKASI KORELASI KEBUDAYAAN DENGAN MAKANAN.........15 BAB III........................................................................................................17 A. KESIMPULAN...................................................................................17 B. SARAN..............................................................................................17 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Sebagai makhluk hidup manusia pun membutuhkan makanan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang akan senantiasa berusaha mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelompok tertentu berpendirian bahwa hakikat hidup adalah bekerja untuk mecari makanan. Sehingga wajar jika kelompok Darwinian mengatakan bahwa perjuangan hidup adalah perjuangan umtuk



mendapatkan



makanan.



Hanya



mereka



yang



mampu



mendapatkan akses makanan sajalah yang dapat mempertahankan “hak” hidupnya. Sementara orang yang tidak mendapatkan akses pada makanan, dia akan mengalami ketersisihan dari kehidupan ini. Dalam hukum rimba, siapa yang dapat menguasai sumber-sumber produksi, maka dia yang memiliki peluang untuk mempertahankan hidup yang lebih baik. Dengan menggunakan perspektif ini, fungsi makanan (lebih luasnya



yaitu



komoditas



ekonomi)



adalah



alat



selector



bagi



kelangsungan hidup manusia. Makanan atau pola makanan menjadi alat alamiah yang menyeleksi manusia atau pengelompokkan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan bahan makanan mengelompokkan manusia menjadi orang kaya dan orang miskin, variasi



jenis



makanan



mengelompokkan



manusia



menjadi



orangmodern dan orang tradisional, serta perbedaan gaya hidup mengenai makanan mengelompokkan manusia menjadi manusia gaul ataui tidak.



1



Berdasarkan pertimbangan ini, keberadaan makanan ternyata memberikan



warna-warna



kehidupan



yang



berbedaantara



satu



kelompok dengan kelompok lainnya. Makanan bukan lagi sekedar benda ekonomi yang “ hampa makna “. Makanan justru merupakan entitas budaya yang tumbuh dan berkembang dalam tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan konteks social budaya, maka makanan itu ternyata mengandung maknayang lebih luas dibandingkan sekedar bahan konsumsi manusia.



B. RUMUSAN MASALAH a.



Bagaimana pola pangan masyarakat Indonesia ?



b.



Bagaimana budaya masyarakat Indonesia ?



C. TUJUAN a. Mengetahui pola pangan masyarakat Indonesia. b. Mengetahui budaya yang ada di Indonesia.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Persepsi Budaya dan Makanan Dalam



catatan



antropologi,



peradaban



manusia



dibedakan



berdasarkan mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan/atau memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu dan kemudian di bakar. Setiap masyarakat memiliki persepsiyang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini, sangat di pengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakatnya. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya berbeda akan menunjukkan persepsi nilai terhadap makanan yang berbeda. Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras. Padahal dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Di Negara-negara industry maju, konsumsi garam relative tinggi ( kirakira 10-12 g sehari atau setara dengan 2-2,5 sendok the sehari ). Padahal kebutuhan tubuh seseorang hanya sekitar 5-7,5 g sehari bergantung pada usia. National Academy of Sciences (NAS) memperkirakan bahwa jumlah



3



garam dapur yang aman dan layak konsumsi setiap hari adalah 2,75-3,25 g per orang. Contoh mengenai persepsi budaya dan makanan ini dapat ditemukan pula dalam tanggapannya terhadap daging tikus. Bulan Januari 2006, masyarakat Indonesia digemparkan oleh adanya isu bakso yang dicampur dengan daging tikus. Isu ini merebak di saat masyarakat kecil sedang mengalami kesulitan ekonomi yang akut dan berbagai sector riil pun terganggu. Bukan hanya para pengusaha besar yang berbasiskan bahan baku impor, tetapi kalangan pedagang bakso pun turut merasakan adanya krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan.



B. Makanan dan Identitas Budaya Melanjutkan kajian, maka telaah mengenai makna budaya dari sebuah makanan menjadi sangat penting untuk dipahami oleh berbagai kalangan. Pengetahuan seprti ini, selain dapat bermanfaat untuk mengembangkan sikap bijak terhadap persepsi masyarakat lain, juga untuk menghindari gizi buruk akibat adanya kesalahan persepsi terhadap satu jenis makanan tertentu. Terkait dengan masalah ini, ada beberapa nilai budaya makanan yang perlu diperhatikan. a. Kebutuhan Fisiologis David



Morely



adalah



orang



pertama



yang



memperkenalkan



penggunaan grafik tumbuh kembang fisik anak sebagai alat untuk memantau secara longitudinal kecukupan gizi anak dan mulai diadopsi di Indonesia sejak tahun 1974 dengan sebutan Kartu Menuju Sehat (KMS). Setiap tahap tumbuh kembang anak membutuhkan asupan gizi yang berbeda. Oleh karena itu, setiap orang tua atau tenaga medis perlu memerhatikan aspek asupan gizi bagi setiap tahap tumbuh kembang anak.



4



Kesimpulan pemikiran ini menekankan bahwa mengonsumsi makanan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembanganfisiologis seseorang. Oleh karena itu, usaha menjaga keseimbangan gizi dan/atau konsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna merupakan usaha untuk mendukung pada tujuan makanan dari sisi fisiologis. b. Makanan sebagai identitas kelompok Nasi adalah komoditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa. Sementara jagung menjadi komoditas makanan utama bagi masyarakat Madura. Bagi orang barat, mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam budaya Barat. Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah masyarakat. Bagi kelompok “gang”, menghirup ganja, narkoba, dan merokok merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikkan sebagai makanan yang bias menemani orang untuk nonton sepakbola. Merokok menjadi teman untuk menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi seperti ini lebih merupakan sebuah persepsi budaya tandingan (counterculture) terhadap budaya dominan. Makanan sebagai makanan khusus untuk kelompok tertentu. Makanan subkultur ini misalnya daging babai untuk kalangan nasrani, ketupat bagi kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi masyarakat Cina di hari imlek, coklat menjadi ikon budaya dalam menunjukkan rasa cinta dan kasih. Berdasarkan telaahan ini, makanan mengandung makna sebagai ( a ) identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan menjadi kebutuhan utama masyarakat, ( b ) budaya tandingan (counter culture), yaitu menghindari arus utama akibat adanya kesangsian atau ketidaksepakatan dengan budaya arus utama, dan ( c ) makanan sebagai identitas budaya bagi sekelompok orang tertentu (subculture). c. Makanan sebagai nilai sacral 5



Khusus untuk makanan yang memilki nilai sakral, diantaranya dapat ditemukan dalam beberapa agama atau budaya daerah Indonesia. Daging kambing kurban dan beras zakat merupakan makanan sakral dalam kehidupan bagi kalangan muslim. Kue sakramen merupakan makanan sakral bagi kalangan nasrani. Sapi adalah hewan sakral bagi masyarakat hindu. Rokok cerutu merupakan komoditas sakral bagi masyarakat Jawa karena biasa digunakan sebagai bagian dari sesaji bagi nenek moyangnya. Dalam tradisi Jawa ada ritual memakan makanan tertentu yang terbiasa muncul dalam ritual keyakinannya. Mutih adalah ritual makan orang jawa untuk mengonsumsi yang tidak berasa (tawar) dalam rangka melakukan tirakat atau penyucian batin untuk mencapai tujuan tertentu. d. Makanan sebagai keunggulan etnik Bila orang mendengar kata gudeg, maka akan terbayang kota Yogyakarta. Mendengar kata pizza akan terbayang italia. Mendengar kata dodol dan jeruk terbayang



kota Garut. Contoh tersebut menunjukkan



bahwa makanan merupakan unsure budaya yang membawa makna budaya komunitasnya. Di dalam makanan itu, orang tidak hanya mengonsumsi material makanannya melainkan “mengonsumsi” kreativitas dan keagungan nilai budaya. Makanan adalah ikon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif makanan itu dikenal public semakin tinggi apresiasi masyarakat terhadap daerah itu. Semakin luas distribusi wilayah pasar dari makanan tersebut, menunjukkan kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat. e. Makanan sebagai kebutuhan medis Kebutuhan



vitamin



atau



gizi



dapat



dipenuhi



jika



seseorang



mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang atau dahulu sisebut 4 sehat 5 sempurna. Kendati belum didukung penelitian yang mencukupi, 6



mengunyah permen karet sekarang diakui sebagai salah satu pilihan untuk olahraga wajah. Sehingga pada akhirnya kepenatan hidup dapat dikurangi. Merujuk pada paparan tersebut, tidak salah lagi dapat dikatakan bahwa makanan bisa menjadi sumber penyebab hadirnya sebuah penyakit. Tetapi tidak dapat diingkari pula, bahwa makanan memilki peran dan fungsi nyata sebagai sumber terapi kesehatan.



C. Makanan dalam Konteks Budaya Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks



kegiatan



masak-memasak,



masalah



kesukaan



dan



ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-keercayaan, pantanganpantangan, dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan sebagai sebuah kategori yang penting. Dengan kata lain, sebagaimana halnya dengan system medis yang memainkan peranan dalam mengatasi kesehatan dan penyakit, demikian pula kebiasaan makan memainkan peranan social dasar yang jauh mengatasi soal makanan untuk tubuh manusia semata-mata. 1. Kebudayaan menentukan makanan Makanan adalah yang tumbuh di ladang-ladang, yang berasal dari laut, yang di jual di pasar dan yang muncul di meja kita pada waktu makan. Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata



suatu



produk



organic



dengan



kualiatas-kualiatas



biokimia, yang dapat dipakai oleh organism yang hidup, termasuk manusia, untuk memertahankan hidup. Lebih tepat, bagi para anggota tiap masyarakat, makanan dibentuk secara budaya; bagi sesuatu yang akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya, dan keaslian. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut, akan mempergunakan semua zat gizi yang ada



7



sebagai makanan. Karena antangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. Dengan kata lain, penting untuk membedakan antara nutriment (nutriment) dengan makanan (food). Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Makanan adalah konse budaya, suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini saat bagi kebutuhan gizi kita.” Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat suakr untuk meyakinkan orang untuk meneysuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik. Selanjutnya pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu, karena tidak seorang pun dari kita yang menikmati secara mutlak segala sesuatu yang diakui oleh kebudayaan kita sebagai makanan. Pengalaman-pengalaman masa kecil, sebagaimana yang kita catat, banyak mempengaruhi kegemaran kita pada usia dewasa; makanan yang kita kenal semasa kanak-kanak tetap menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih mudah untuk ditolak. Meskipun sejumlah orang gemar mencoba-coba makanan baru, sebagian besar lagi paling senang dengan menu yang telah dikenal. (Lihat Hall dan Hall 1939 ; Wallen 1943). 2. Nafsu makan dan lapar Bukan makanan (food) saja dibatasi secara budaya, namun juga konsep tentang makanan (meal), kapan dimakannya, terdiri dari apa, dan etiket makan. Di antara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar dan apa, 8



serta berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Dengan kata lain, nafsu makan dan lapar adalah gejala yang berhubungan, namun juga berbeda. Nafsu makan, dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya, adalah suatu konsep budaya yang dapat sengat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan suatu konsep fisiologis. Akibatnya, banyak macam makanan yang bergizi dan penting, termasuk makanan kecil seperti larva dan serangga, tidak termasuk dalam analisis, dan makanan itu kelihatan kurang seimbang dengan yang sebenarnya. 3. Semua masyarakat mengklasifikasikan makanan Dalam setiap kelompok, makanan diklasifikasikan dengan caracara yang bervariasi: apa yang layak bagi waktu-waktu makan yang resm, dan sebagai makanan ringan di antara waktu makanan; dan menurut pemikiran tentang status dan prestise, menurut pertemuan social, usia, keadaan sakit, dan sehat, dan menurut nilai-nilai simbolik serta ritual. Pilihan kalangan luas terhadap beras putih giling, misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik daripada beras coklat yang tidak digiling,



rupa-rupanya



adakaitannya



prestisie.



Makanan



yang



dipandang bermutu, di bungkus dan sangat luas diiklankan tampaknya mempunyai daya penarik yang tak tertahan bagi orang-orang di Negara sedang berkembang, meskipun banyak dari makanan ini lebih rendah gizinya dibandingkan dengan makanan tradisional. Negaranegara maju juga mencerminkan ide-ide status yang lepas dari kenyataan gizi yang sebenarnya, seperti, misalnya, kegemaran yang hampir universal kepada daging sapi dibandingkan dengan daging babi atau domba. Kualitas local apa pun yang diberikan kepada setiap makanan, tema yang umum adalah bahwa melalui keseimbangan makanan 9



yang bijaksana dan pengindraan jumlah yang berkelibahan antara panas dan dingin, kesehatan dapat dipertahankan sebaik-baiknya. 4. Makanan sebagai Ungkapan dari Kesetiakawanan Kelompok Pada tingkat yang lebih luas, makanan sering dihargai sebagai lambang-lambang identitas suku bangsa atau nasional. Namun tidak semua makanan mempunyai nilai lambang seperti ini, makanan yang mempunyai dampak yang besar adalah makanan yang berasal, atau dianggap berasal dari kelompok itu sendiri, dan bukan yang biasanya dimakan di banyak negara yang berlainan atau juga dimakan oleh banyak kelompok suku bangsa. 5. Makanan dan Stres Makanan-makanan khusus dapat merupakan pencerminan identitas dari yang memakannya, melebihi benda-benda budaya lainnya; dengan demikian, makanan memberi rasa ketentraman dalam keadaan yang menyebabkan stres. Nilai keamanan psikologis dari makananjuga dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan melebihi biasanya dan makan makanan kecil diantara waktuwaktu makan, apabila seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami keadaan stres yang berat. Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap terhadap makanan sering mencerminkan persepsi tentang bahaya maupun perasaan stres. Menurut mereka, suatu cara untuk mengatasi stres dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau terhadap keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya dari luar, cara lainnya adalah mempersalahkan ancaman dari dalam akibat pengaruh-pengaruh luar. Berbagai macam usaha magisdilakukan untuk menghindari bahaya dari luar atau untuk mengimbangi suatu jenis ancaman tertentu terhadap ancaman lain. “praktek memberi



10



makanan yang ‘dipanasi’ atau ‘didinginkan’khususnya dalam kondisikondisi klinis tertentu mungkin merupakan suatu bentuk dari jenis teknik keseimbangan ini; serupa halnya, menghindari makanan tertentu, mungkin tanpa disadari merupakan suatu teknik magis untuk mengelakkan apa yang dipandang sebagai pengaruh-pengaruh yang mengancam – yang bukan dari hal gizi” (Burgess dan Dean 1962: 68).



D. Faktor yang Memengaruhi Pola Pangan 1. Nilai Norma Makanan Norma social ini kita kembangkan dalan lima kategori norma. A. Makanan yang memiliki nilai pokok (wajib). Yang dimaksud wajib ini, yaitu makanan pokok dari sebuah komunitas. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, nasi merupakan makanan pokok dari masyarakat Sunda-Jawa, jagung menjadi makanan pokok masyarakat Madura. B. Makanan yang memiliki nilai anjuran (sunnah), yaitu komoditas makanan yang merupakan tambahan (suplemen). Di era modern ini, banyak produksi makanan yang berfungsi sebagai makanan/minuman suplemen. C. Makanan yang memiliki nilai mubah. Kelompok makanan ini, sesungguhnya belum diketahui efek positif atau negatifnya bagi kesehatan. Informasi yang baru diketahui itu, yang kandungan makanan dari komoditas tersebut sangat rendah, sehingga tidak dianjurkan dan juga tidak menjadi sebuah pantangan. D. Makanan yang memiliki nilai pantangan. Sebuah masyarakat atau individu kadang memiliki pantangan. Karakter pantangan ini, lebih bersifat sementara. Bagi mereka yang akan dioperasi pantang makan, orang yang sedang sakit tipus dilarang makan makanan yang keras.



11



E. Dalam kategori yang terakhir, yaitu pantangan mengonsumsi sebuah makanan yang bersifat permanen. Dalam ajaran agama, terdapat beberapa jenis makanan-minuman yang dilarang dikonsumsi secara permanen. 2. Frustasi Ekonomi dan Perilaku Konsumsi Tekanan



hidup



dan



tantangan



hidup



menyebabkan



seseorang dapat melakukan perilaku yang menyimpang dari norma masyarakat arus utama. Salah satu perilaku menyimpang ini, yaitu munculnya



perilaku



masyarakat



dalan



memperdagangkan



makanan yang sudah tidak layak jual dan layak konsumsi secara medis. Badan Pengawsan Obat dan Makanan (BPOM) biasanya rajin mengawasi peredaran makanan menjelang hari raya—baik hari raya agama maupun hari raya nasional—sebagai salah satu sasaran operasinya. Dalam beberapa kasus, kerap muncul ada indikasi parsel yang mengandung makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa, tetapi masih saja dijajakan dipasaran. 3. Peradaban: Alkoholik Konsumsi minuman kerasa telah sedemikian luas. Bukan hanya dikalangan remaja, tetapi anak-anak dibawah umur, orangtua, selebritis, atau elit politik pun banyak yang mengonsumsi alcohol. Para dokter yang turut menyertai Kongres Internasional ke24 untuk memerangi alkoholisme du Prancis mengeluarkan pernyataan tentang efek alcohol terhadap akal dan jiwa. 20% dari wanita dan 60% dari laki-laki yang masuk ke rumah sakit adalah pecandu alcohol. 70% penderita penyakit jiwa dan 40% penderita veneral parah merupakan akibat dari penyalahgunaan alcohol. Di Inggris, para pakar menyatakan bahwa 95% kasus mental adalah penyakit mental yang disebabkan oleh minuman beralkohol. 12



Health



magazine



menyebutkan



Menteri



Kesehatan



Prancis



melaporkan angka kematian yang disebabkan oleh konsumsi alcohol mencapai 20.000 jiwa per tahun. 4. Gaya Hidup dan Gaya Makan Efek langsung dan tidak langsung dari kemajuan peradaban manusia ini, terasa pula dalam bentuk perubahan gaya hidup. Bila 10mtahun yang lalu, masih banyak terlihat para pengusaha atau karyawan makan di rumahnya sendiri serta seorang mahasiswa atau seorang anak kecil sarapan dirumah bersama keluarga. Dalam situasi zama seperti ini, makan bersama dengan keluarga itu menjadi sesuatu hal yang istimewa dan didapatnya pada harihari istimewa misalnya saja pada hari libur bersama. Tingginya jam kerja atau padatnya aktivitas menyebabkan orang harus mengubah jam makan. Efek negatifnyam bagi mereka yang sibu tetapi kurang mampu mengelola waktu kerap menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk menunda atau menangguhnangguhkan makan. Berbeda dengan makanan sebagai keunggulan etnik, dalam gaya hidup modern ini ad makanan yang dianggapnya sebagai budaya universal. Makanan cepat saji direstoran-restoran cepat saji merupakan satu diantara sekian banyak jenis makanan yang muncul ke permukaan sebagai makanan global. Ketika mnegonsumsi dua jenis makanan ini, identitas etniknya musnah dan yang muncul adalah identitas gaya hidup modern yang sarat dengan prinsip hidup. (1) mengutamakan efisiensi, artinya cepat saji, (2) prinsip kuantitatif, artinya jelas porsinya, (3) mudah prediksi, yaitu gamoang menebak kapan berakhirnya dan (4) adanya control, pada masyarakat modern makan bukanlah sesuatu hal yang bebas nilai.



13



E. Makanan Indonesia Masakan Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi berasal dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000 pulau dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisiadat yang terdapat pula pengaruh melalui perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa. Pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh Kebudayaan Indonesia serta pengaruh asing. Sebagai contoh, beras yang diolah menjadi nasi putih, ketupat atau lontong (beras yang dikukus) sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia namum untuk bagian timur lebih umum dipergunakan juga jagung, sagu, singkong, dan ubi jalar dan Sagu. Bentuk lanskap penyajiannya umumnya disajikan di sebagian besar makanan Indonesia berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur disisi piring. Sepanjang



sejarahnya,



Indonesia



telah



terlibat



dalam



perdagangan dunia berkat lokasi dan sumber daya alamnya. Teknik memasak dan bahan makanan asli Indonesia berkembang dan kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, China, dan akhirnya Eropa. Para pedagang Spanyol dan Portugis membawa berbagai bahan makanan dari benua Amerika jauh sebelum Belanda berhasil menguasai Indonesia. Pulau Maluku yang termahsyur sebagai "Kepulauan Rempah-rempah", juga menyumbangkan tanaman rempah asli Indonesia kepada seni kuliner dunia. Seni kuliner kawasan bagian timur Indonesia mirip dengan seni memasak Polinesia dan Melanesia.



14



Masakan Sumatera, sebagai contoh, seringkali menampilkan pengaruh Timur Tengah dan India, seperti penggunaan bumbu kari pada hidangan daging dan sayurannya, sementara masakan Jawa berkembang dari teknik memasak asli nusantara. Unsur budaya masakan China dapat dicermati pada beberapa masakan Indonesia. Masakan seperti bakmi, bakso, dan lumpia telah terserap dalam seni masakan Indonesia. Beberapa jenis hidangan asli Indonesia juga kini dapat ditemukan di beberapa negara Asia. Masakan Indonesia populer seperti sate, rendang, dan sambal juga digemari di Malaysia dan Singapura. Bahan makanan berbahan dasar dari kedelai seperti variasi tahu dan tempe, juga sangat populer. Tempe dianggap sebagai penemuan asli Jawa, adaptasi lokal dari fermentasi kedelai. Jenis lainnya dari makanan fermentasi kedelai adalah oncom, mirip dengan tempe tapi menggunakan jenis jamur yang berbeda, oncom sangat populer di Jawa Barat.



F. Beberapa Implikasi Korelasi Kebudayaan dengan Makanan Bagi mereka yang menaruh perhatian pada usaha memperbaiki tingkat gizi dari masyarakat yang menderita kurang gizi, jelaslah bahwa analisis klinis dari kekurangan gizi baru merupakan langkah awal. Kemajuan akan sedikit sekali tercapai, kecuali apabila petugas penyuluhan juga memahami fungsi-fungsi sosial dari makanan, arti dan simbolik kepercayaan yang terkait dengannya. Tidak ada manfaatnya untuk menyarankan makanan yang seimbang apabila makanan yang disarankan itu melanggar kepercayaan inti yang bertalian dengan pantangan makanan panas-dingin, yang oleh kebanyakan orang dihubungkan tidak saja dengan makanan sehari-hari, namun terutama berhubungan dengan krisiskehidupan seperti kehamilan, periode setelah kelahiran dan sakit. Juga tidak ada faedahnya, misalnya, 15



menganjurkan orang untuk minum susu dalam masyarakat yang tidak menganggapnya sebagai makanan atau karena kekurangan laktase, dalam tubuhnya, orang tidak bisa meminumnya, paling sedikit sesudah melewati



masa



kanak-kanak.



Segi



positifnya



adalah



bahwa



pengetahuan mengenai kepercayaan lokal tersebut dapat dipakai dalam perencanaan perbaikan gizi. Cassel telah menunjukkan, betapa pengidentifikasian makanan-makanan sehat dalam makanan kuno orang Zulu dapat membangkitkan perhatian mereka terhadap makanan dan dengan



motivasi nasionalistik, bersedia menerima banyak



perubahan-perubahan demi peningkatan gizi mereka (Cassel 1955). Kemiskinan dan kekurangan akan gizi yang memadai pada tingkatan tertentu, membatasi kemungkinan untuk memperbaiki gizi jutaan penduduk yang menderita kurang pangan. Sebaliknya, sungguh mengecewakan untuk melihat, betapa seringnya praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan kebutuhan dasar. Kesadaran akan praktek-praktek



demikian



dan



pengetahuan



tentang



“hambatan-



hambatan” yang harus diatasi untuk dapat merubah mereka adalah sangat penting untuk membantu masyarakat memaksimalkan sumbersumber pangan yang tersedia bagi mereka. Di sinilah antropologi dapat memberikan sumber-sumber besar kepada ilmu gizi dalam lapangan penelitian dan pengajaran.



16



BAB III PENUTUPAN A. KESIMPULAN Masakan Indonesia merupakan pencerminan beragam budaya dan tradisi berasal dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000 pulau dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh melalui perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa. Pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh Kebudayaan Indonesia serta pengaruh asing. Sebagai contoh, beras yang diolah menjadi nasi putih, ketupat atau lontong (beras yang dikukus) sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia namum untuk bagian timur lebih umum dipergunakan juga jagung, sagu, singkong, dan ubi jalar dan Sagu. Bentuk lanskap penyajiannya umumnya disajikan di sebagian besar makanan Indonesia berupa makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur disisi piring.



B. SARAN Semoga makalah ini dapat diterima dan dapat memberikan informasi untuk para pembacanya. Dengan penuh harapan dari



17



penulis bahwa makalah ini masih begitu jauh dari kesempurnaan sebagai suatu karya ilmiah.



DAFTAR PUSTAKA Sudarma, Mumun. 2012. Sosiologi Untuk Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta Antropologi dan Gizi



18