Makalah Sistem Kekerabatan Dan Perkawinan Suku Nias [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Ammar Muhammad NIM



: 16407144005



Prodi : Ilmu Sejarah



MAKALAH SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN SUKU NIAS A. PENDAHULUAN Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1988: 92). Dalam suatu perkawinan, setiap suku bangsa memiliki konsep dan aturan mengenai acara adat perkawinan. Tiap-tiap aturan acara perkawinan tersebut berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini berdasarkan bagaimana setiap suku bangsa memaknai dan menilai setiap rangkaian upacara adat perkawinan baik itu berdasarkan unsur-unsur budaya setiap suku bangsa, waktu dan biaya yang dibutuhkan, ataupun kepentingan - kepentingan dari pihak keluarga yang melangsungkan perkawinan. Masyarakat Nias juga memiliki salah satu upacara adat yang menjadi ciri khasnya. Menurut konsep masyarakat Nias, perkawinan (Falőwa) pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang tua untuk memilih teman hidup bagi anak laki-lakinya. B. PEMBAHASAN Upacara tentang perkawinan di Nias merupakan upacara terbesar dibanding upacara lainnya yang dijalani oleh seseorang sejak lahir sampai meninggal. Laki-laki dan perempuan mendapatkan keutuhannya sebagai manusia dalam perkawinan. Laki-laki yang belum kawin belum dapat diperhitungkan dalam sistem adat. Dalam perkawinan laki-laki dihubungkan dengan “pihak bawah (soroi tou)” atau hilir sungai, dan perempuan dihubungkan dengan “pihak atas (ngofi) atau hulu sungai”. Pihak perempuan dihubungkan dengan dewasa dunia atas Tuhan (Lowalagi), sumber



kehidupan, ulu (asal) atau uwu, atau baya (sumber), dan karena itu kemurnian perempuan sebagai sumber hidup sangat dihargai. Terdapat seperangkat sanksi dari hukum adat yang melindungi kemurnian perempuan. Laki-laki dihubungkan dengan “dewa dunia bawah (laturedanő)”, akhir dari kehidupan (dunia tanpa kehidupan). Laki-laki datang dari hilir menyongsong arus untuk sampai pada hulu tempat dimana ada sumber hidup yaitu perempuan. Pada upacara perkawinan ini di sertai dengan sinunő falőwa yang artinya adalah nyanyian pada waktu perkawinan. Nyanyian pada waktu perkawinan ini , terdiri dari tiga jenis, yakni: bőlihae, fangowai, dan hendri-hendri. Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang perjalanan saat pihak tome (keluarga pengantin pria) menuju desa atau rumah pihak keluarga sowatő (keluarga pengantin wanita). Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak sowatő terhadap pihak tome, dan Hendri-hendri adalah nyanyian pujian yang dinyanyikan saat penyampaian olola mbawi. Olola mbawi ini berisi ceritera tentang seorang pemuda yang mencari teman hidup atau istri. Ketiga nyanyian vokal ini dinyanyikan tanpa menggunakan alat musik, sehingga menitik beratkan pada medium suara manusia. Namun, pada masa sekarang telah banyak terjadi percampuran budaya antara masyarakat Nias dengan berbagai suku yang mempunyai agama dan kebudayaan yang berbeda. Hal ini membuat masyarakat Nias mengalami perubahan pandangan, berkurangnya atau bergesernya adat istiadat Nias sehingga terbentuk kebudayaan baru.1 Dalam adat Nias dikenal 16 ketentuan rangkaian penyelenggaraan proses perkawinan. Dalam adat Nias nama laki-laki menjadi SESE dan perempuan menjadi BALAKI. Tingkatan tata cara melakukan perkawinan menurut ada Nias adalah : 1. Famaigi Niha (Memilih Gadis) Masyarakat Nias menganut garis keturunan pihak ayah (patrilineal), sehingga segenap garis keturunan ayah turut serta mencari calon istri dan juga membantu pembiayaan pesta perkawinan anak laki-laki mereka. Orang tua akan melihat dan menyeleksi siapa pasangan yang cocok untuk anaknya. Setelah dirasa cocok, maka orang tua akan menuju untuk berkunjung ke rumah calon 1



Samina. Mas Kawin (Bowo) pada Suku Bangsa Nias. Skripsi. Medan: USU Press. 2007.



mempelai putri. Dengan memperhatikan berbagai keadaan disekitar akan menentukan apakah tujuannya itu akan baik atau tidak. Setelah menuju dan menyampaikan kehendak kepada keluarga BALAKI, orang tua SESE pulang ke rumah dan menunggu jawaban dari keluarga SESE. 2. Famaigi Todo Manu Silatao (Memeriksa guratan jantung ayam jantan) Pemeriksaan guratan jantung ayam jantan ini dilaksanakan di rumah SESE yang dihadiri keluarga. Jika terdapat guratan seperti susunan kaki lipan dari ulu sampai puncak jantung dan lurus letaknya, maka menandakan bahwa suami isteri akan serasi, bahagia, umur panjang, dan mempunyai keturunan. Tetapi jika guratan tidak demikian maka lanjutan peminangan dibatalkan. Namun, tentang cara memeriksa guratan jantung ayam jantan ini sudah mulai ditinggalkan karena desakan agama. 3. Fame’e Laeduru (menyerahkan cincin) Yang diperlukan dalam tata cara ini adalah, cincin yang terbuat dari emas atau perak berbentuk seperti belahan rotan, sekapur sirih. Setelah lengkap maka diadakan pertemuan kedua pihak orang tua dalam pemberkatan dan pemanduan hidup antara SESE dan BARAKI agar selamat sebelum perkawinan. 4. Fanunu Manu (Upacara Pertunangan) Upacara ini adalah acara resmi yang sangat menentukan perkawinan. Upacara ini dilangsungkan di rumah BARAKI yang dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak, tokoh adat, dan masyarakat lainnya. Tujuan upacara ini adalah memperkenalkan SESE kepada seluruh keluarga BARAKI. 5. Bawi Nisila Hulu (babi dibelah dua) Upacara ini dilaksanakan di rumah BALAKI yang dihadiri oleh tokoh adat dari kedua belah pihak. Kadang-kadang upacara ini dilaksanakan di dalam upacara pertunangan untuk mempersingkat waktu. 6. Famaluali (pertanyaan melangsungkan perkawinan) 7. Fangandroli Li Nina (meminta penetapan hari dari pihak ibu BALAKI) 8. Folohe Fakhe Toho (penyerahan padi keperluan pesta kawin) 9. Fame’e (pemberian nasehat kepada BALAKI) 10. Famozi Aramba (memukul gong) 11. Famaola Ba Nuwu (memberitahu dan memanggil paman)



12. Famaegi Bawi (menengok babi adat pesta kawin) 13. Folau Bawi (upacara membawa babi) 14. Falowa (pesta kawin) 15. Fame Go (membawa makanan penganten wanita) 16. Amulia Mukha (mengembalikan pakaian adat)2 Kelompok kekerabatan orang Nias terkecil adalah sangambatö yaitu keluarga kecil, tetapi kelompok yang penting adalah sangambatö sebua, yakni keluarga besar. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua dari satu leluhur disebut Mado. Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa. Saudara sepupu tingkat kedua disebut Huwa dan saudara-saudara tingkat seterusnya disebut banua. Keluarga dari pihak istri merupakan suatu kelompok kekerabatan yang disebut uwu. Jadi dari merekalah sumber hidup anak-anak sangambatö itu, hal inilah yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua kelompok kekerabatan tadi dan selalu mendapat penghormatan yang tertinggi dari ngambatö tersebut. Selain itu keluarga yang memberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga bö’ö. Kelompok ini diundang apabila sangambatö mengawinkan anaknya, mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya.3 Semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya saja cara menyapa di bedakan kepada yang lebih tua, daripada yang lebih muda. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada yang lebih muda umurnya. Antara mertua dengan menantunya perempuan dan antara mertua dengan menantunya laki-laki mempunyai hubungan yang erat sama seperti hubungan orangtua dengan anak kandungnya. Demikian juga diantara yang beripar yaitu suami dengan istri saudara laki-laki istrinya atau istri dengan saudara perempuan suaminya dianggap seperti saudara kandung. Tidak ada garis pemisah antara mereka, boleh bebas berbicara, hanya saja yang muda harus menghormati yang lebih tua.



2



Lola Utama. Tata Cara Menentukan Mahar Bagi Perempuan Nias. Skripsi. Medan: USU Press. 2009.



3



Bambowo Laia. Solidaritas Keluarga dalam Salah Satu Masyarakat Desa Nias di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press. 1980.



Kelompok keluarga pihak istri lebih-lebih orangtua atau saudara laki-laki istri mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali datang/berkunjung kerumah saudara perempuannya, mereka harus memotong seekor anak babi minimal satu. Tidak ada alasan tidak ada persediaan, harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya pemilik rumah tersebut haruslah memberikan oleh-oleh/bawaan berupa satu ekor anak babi. Jika tidak dia akan merasa malu terhadap tetangga dan orang sekampungnya apalagi kalau mereka mengetahui kepergiannya itu.   Itu sebabnya pihak keluarga istri jarang datang kerumah anak perempuan, jika dilihatnya anaknya itu masih diperkirakan belum baik jalan hidupnya/sengsara. C. KESIMPULAN Secara umum besarnya mahar perkawinan yang berlaku dalam adat Nias terdiri kurang lebih 30 juta, perhiasan emas, 30 ekor babi, dan 20 karung beras. Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya mahar perkawinan suku Nias, namun yang paling berpengaruh antara lain status keluarga dan pekerjaan perempuan yang akan dilamar. Semakin baik pekerjaan perempuan maka jumlah mahar yang harus dikeluarkan laki-laki akan semakin banyak dan mahal. Adat atau kebiasaan yang dilakukan di suku Nias tidak selamanya diterapkan ketika berada di luar kota. Perkembangan zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap adat perkawinan. Perubahan yang dimaksud adalah menambah atau mengurangi adat yang sudah ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA Bambowo Laia. 1980. Solidaritas Keluarga dalam Salah Satu Masyarakat Desa Nias di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press. Lola Utama. 2009. Tata Cara Menentukan Mahar Bagi Perempuan Nias. Skripsi. Medan: USU Press. Samina. 2007. Mas Kawin (Bowo) pada Suku Bangsa Nias. Skripsi. Medan: USU Press.