Makalah Talak Khulu Zihar Ila1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TALAK, KHULU, ZHIHAR, ILA Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih 2 Dosen : Anggi Rivana M.Pd.I



Disusun oleh : Annisa Indriati Ivana Intan Pertiwi Krisna Vito K



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASY-SYUKRIYYAH JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TANGERANG



2021 BAB I PEMBAHASAN A. TALAK 1. Pengertian talak Talak berasal dari bahasa arab yaitu ‫ ق طال ا‬artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan,Talak juga bisa diartikan menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak ialah : “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.” Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Ini terjadi dalam kata talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumalah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi datu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i.1 Perceraian adalah hak-hak yang alami bagi pria, asalkan ia berlaku secara wajar terhadap istrinya. Perilaku yang wajar dari seorang pria terhadap istrinya ialah bahwa, apabila berkehendak untuk hidup bersama istrinya, maka ia harus mengurusinya dengan sepatutnya, menghormati hak-hak istrinya dan berlaku kasih sayang terhadapnya, apabila memang tidak ada jalan baginya untuk meneruskan kehidupan bersama dengan istrinya itu, maka ia harus dengan sopan dan ramah menceraikannya, yakni suami tidak boleh menolak menceraikannya. Ia



1



M.A Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009), h.229-230.



harus memberikan semua hak-hak istrinya, dan juga sesuatu yang lain disamping itu sebagai ungkapan terimakasih.2 Al-Quran:                                                            “Dan hendaklah kamu berikan suatu mut‟ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuanya dan orang yang miskin menurut kemampuannya(pula), yaitu pemberian menurut patut.... (QS, al-Baqarah, 2 : 236)3 Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antar keduanya, atau terjadi oleh sebab-sebab lain. Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.4 Maka, untuk memahami adanya talak dalam Islam secara tepat, haruslah dikaitkan dengan serangkaian cara-cara yang dapat mengatasi ketegangan yang harus dilakukan sebelum talak dijatuhkan. Oleh karena itu, para ulama ada yang berpendapat bahwa tidak boleh mentalak istri, kecuali karena terpaksa, demikian pendapat sebagai pengikut Hanafi dan Hambali. Pemutusan ikatan perkawinan menimbulkan kekerasan di dalam jiwa si wanita dan menjadikan perpisahan itu sebagai suatu tusukan yang menyakitkan. Seyogianya suami dapat memberikan mut‟ah (pemberian) untuk menyenangkan 2



3



4



Morteza Mutahhari, Wanita dan hak-haknya dalam Islam.(Bandung: Penerbit pustaka, 1406- 1986).h 256. Yayasan Penyelengara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: PT Fokus Media 2010),h.58. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010). h 191-192.



hati istri, yakni memberinya sesuai dengan kemampuan. Perbuatan ini memiliki nilai psikologis di samping keberadaannya sebagai bentuk penghargaan. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa talak yang terjadi merupakan manifestasi ketidakharmonisan rumah tangga yang mungkin karena kurangnya pengendalian diri dari kedua belah pihak (suami istri), yang tentunya mesti diatasi dengan kesabaran dan lapang dada, hal-hal yang terjadi dari talak itu sendiri sangatlah tidak baik bagi istri atau pihak keluarga. Dan sekiranya memang harus dilakukan talak karena memang tidak ada cara lain. 2. Macam-macam Talak Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali talak dibagi menjadi dua macam yaitu : a. Talak Raj’i Yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafallafal tertentu dan istri benar- benar sudah digauli. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Qs. Ath-Thalaaq ayat 1 :                                                                                                               



“Hai nabi, apabila menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (mengahadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Tuhan mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.



Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya Dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.5 Yang dimaksud dengan “menghadapi idah yang wajar” dalam ayat tersebut adalah istri-istri itu hendaknya ditalak ketika suci dan belum dicampuri sedangkan yang di maksud dengan perbuatan keji adalah apabila istri melakukan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru“ adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali. Dengan demikian, jelaslah bahwa suami boleh untuk merujuk istrinya kembali yang telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa idah.6 Allah berfiran dalam surat Al-Baqarah ayat 229.                                                                                                          



“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi ddengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum- hukum Allah. Jika



5 6



Yayasan Penyelengara Penterjemah, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,...h.945. M.A Tiha mi, Fikih Munakahat, ...h. 231-233.



kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah” (QS Al-Baqarah 2 : 229) Oleh karenanya, manakala istri telah diceraikan dua kali kemudian isteri terdebut dirujuk atau dinikahi sampai masa idahnya, baiknya ia tidak diceraikan lagi. b. Talak Ba‟in adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak ba‟in ini terbagi menjadi dua bagian : 1) Talak ba‟in shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada istri bekas istrinya itu. Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah : a) Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang belum terjadi dukhul (setubuh) b) Khulu 2) Talak ba‟in kubra, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas istri, walapun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya, baik di waktu idah atau sesudahnya. Sebagian ulama berpendapat yang termasuk talak bain kubra adalah segala macam perceraian yang mengandung unsur-unsur sumpah seperti : ila ,zihar, dan lian.7 Sedangkan ditinjau berdasarkan sifat syariatnya, talak terbagi menjadi dua bagian, yaitu :8 a. Talak sunni Talak sunni adalah talak yang terjadi sesuai dengan ketentuan agama,yaitu seorang suami mentalak istrinya ya ng telah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali dimasa bersihnya itu berdasarkan firman Allah Swt yang berbunyi : 7 8



M.A Tiha mi, Fikih Munakahat, ...h.245-246 M.A Tiha mi, Fikih Munakahat, ...h.237.



“... Talak dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS Al Baqarah : 229) Adapun ketentuannya Talak sunni yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Maka boleh dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat yaitu: 1)



Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talaksunni.



2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah, perhitngan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan (khulu’), atau ketika istri dalam keadaan haid, semuanya tidak termasuk talak sunni. 3) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpulinya. 4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni. b. Talak bid‟i Talak bid‟i adalah talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syaratsyarat talak sunni. Termasuk talak bid’i ialah: 1) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi),



baik



pertengahannya.



dipermulaan



haid



maupun



di



2) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud. c. Talak la sunni wala bid‟i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk bid‟i, yaitu: 1)



Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang yang belum pernah digauli.



2) Talak yang dijatukan terhadap isteri yang belum pernah haid, atau yang telah lepas haid. 3) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedamg hamil.9 3. Hukum Talak Talak adakalanya wajib, kadang-kadang haram, mubah, dan kadang-kadang dihukumi sunah. Talak wajib, mmisalnya talak dari hakim perkara Syiqaq, yakni perselisiahan suami istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka.10 Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan isteri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak isteri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami, seperti suami tidak mampu mendatangi isteri. Dalam hal ini isteri berhak menuntut talak dari suaminya dan suami wajib menuruti tuntutan isteri, jangan membiarkan isteri terkatung-katung, yakni tidak dilepaskan tetapi tidak dijamin hakhaknya.11 Adapun talak yang diharamkan, yaitu talak yang tidak diperlukan. Talak ini dihukumi haram karena akan merugikan suammi dan istrinya serta tida ada manfaatnya.Talak mubah terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena istri sangat jelek, pergaulannya jelek, atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari ppihak istri. Talak mandub atau talak sunnah, yaitu talak yang di jatuhkan keada istri 9 10 11



Abdul RahmanGhozali, FiqhMunakahat,... h.193-194 Abdul RahmanGhozali, FiqhMunakahat,... h.193-194. Abdul RahmanGhozali, FiqhMunakahat,... h.214



yang sudah keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah, misalnya meninggalkan shalat atau kelakuannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi atau istri sudah tidak menjaga kesopanan dirinya. 12 Talak adalah hak suami, karena dialah yang telah berminat melangsungkan pernikahan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah dalam idah. Disamping itu, laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak akan tergesa-gesa menjatuhkan



talak



apabila



marah



atau



ada kesukaran



yang



menimpannya. Sebaliknya, kaum perempuan itu lebih cepat marah, kurang tabah sehinngga ia sering cepat-cepat minta cerai hanya karena ada sebab yang sebenarnya sepele atai tidak masuk akal. Karena itulah kaum perempuan tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak. Dari ulasan-ulasan diatas dapat disimpulkan bahwasannya suami isteri wajib memelihara hubungan tali perkawinannya, dan tidak sepatutnya mereka berusaha untuk merusak dan memutuskan tali perkawinannya tersebut. Meskipun suami dibolehkan dalam hukum Islam untuk menjatuhkan talak, namun tidak dibolehkan juga seorang suami menggunakan haknya itu dengan secara gegabah dan sesuka hatinya, apalagi hanya untuk menurutkan hawa nafsunya saja. B. KHULU’ 1. Pengertian Khulu’ Khulu’ adalah mashdar dari khala’a, artinya menanggalkan atau melepaskan; ْ ‫ت ْال َمرْ اَ ِة َزوْ جُ ھَا َو خَا لَ َعةُ اِ َذا اِ ْفتَد‬ ُ ‫ُخلُ ُع ال َّر ُح ُل اِم َر اتَھُ َوخَا لَ َع‬ ُ‫َت ِم ْنھ‬ Maksudnya: ‘Seorang laki - laki meng khulu’ istrinya, berarti dia menanggalkan istrinya itu sebagai pokaiannya apabila istri membayar tebusan”. Khulu’ menurut bahasa berpisahnya isteri atas dasar harta yang diambil dari pakaian, karena wanita itu pakaian pria. Sedangkan khulu’ 12



M.A Tiha mi, Fikih Munakahat, ...h.250.



menurut ilmu fiqih adalah berpisahnya suami dengan isterinya denganganti yang diperolehnya. 13 Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa khulu’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut dari kata-kata khala’a ats-tsauba artinya menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki danlaki–lakipun pakaian bagi perempuan.14 Menurut terminologi ahli fiqh berarti isteri memisahkan diri dari suaminya dengan memberi ganti rugi kepadanya. Sedangkan di kalangan para fuqaha, khuluk kadang dimaksudkan makna yang umum yaitu perceraian yang disertai jumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Kadang dimaksudkan makna yang khusus yaitu talak atas dasar iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah (pembebasan). 15 2. Dasar Hukum Khulu’ a. Ayat al-Qur’an Khulu’ dibenarkan oleh syara’. Dasar-dasar hukumnya dapat ditemukan temukan dalam ayat-ayat suci al-Qur’an, alHadist, serta berdasarkan pendapat para ulama. Tentang khulu’ Allah Swt. Berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 229: Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukumhukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada 13



14



15



2Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’atil Muslimah, penerjemah. Zaid Husein al Hamid (Jakarta: Pustaka Amani, 1991), h.,87 Departemen Agama, 11mu Fiqh, (Jakarta: Dirjend Pembangunan Kelembagaan Agama Islam, 1984), h., 251 4Sayyid Sabiq, Fiqh al - Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t.), Jilid III. h., . 253.



dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. b. Hadits Nabi SAW Dasar hukum khulu’ juga dapat kita temukan dalam hadits, yakni sebagaimana diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i bahwa Rasulullah Saw. ‫ ع َِن ا ْب ِن‬57 ‫ َح َدثَنَا خَ ا لِ ٌد ع َْن ِع ْك ِر َمة‬: ‫ب قا َ َل‬ َ َ‫اَ ْخ بَرْ نَا اَ ْزھَا ُر بْنُ َج ِم ْی ُل ق‬ ِ ‫ َح َد ثَنَا َع ْب ُد ْال َوھَّا‬: ‫ال‬ ! ِ‫ یَ}}ا َر ُس}وْ َل هللا‬: ‫}ال‬ َ }َ‫ص}لَّي هللا َعلَ ْی ِھ َو َس}لَّ َم ق‬ َ ‫ت النَّبِ َي‬ ِ َ‫س اَت‬ ِ ِ‫س اَ َّن اِ ْم َراَة ثَ}}ا ب‬ ٍ ‫ت ْب ِن قَ ْی‬ ٍ ‫َعبَّا‬ ْ ‫لق َوالَ دَی ٍن َولَ ِكنَّى اَ ْك َرهُ ْال ُك ْف َر فِى ا‬ ْ‫ال ْس}الَ ِم ! فَقَ}}ا َل َر ُس}و‬ ٍ ‫ثَابِتُبْنُ قَ ْی‬ ِ ‫س َما اَ ْغتِبُ َعلَ ْی ِھ فِ ْي ُخ‬ ْ َ‫صلَّي هللاُ َع لَ ْی ِھ َو َسلَّ َم اَتُ َر ِّد ْینَ َعلَ ْی ِھ َح ِد ْیقَ}ةُ؟ قَ}}ا ل‬ ‫ص}لَّي هللا‬ َ ِ‫ت نَ َع ْم قَ}}ا َل َر ُس}وْ لُ هللا‬ َ ِ‫ُل هللا‬ )‫ النسانى‬27 ‫ ا ْقبَ ِل ْال َح ِد ْیقَة َوطَلَّقَھَا تَطلِ ْیقَة (رواه‬: ‫َعلَ ْی ِھ َو َسلَّ َم‬ Artinya: “Hadits Shohih, menceritakan kepada kami Azhar bin Jamil dia berkata: Menceritakan kepada kepada kami Abdul Wahab dia berkata: Menceritakan kepada kami Kholid dari Akromah dari Ibnu Abbas, Bahwasanya istri Zaid bin Qais telah datang kepada Rasulullah Saw. berkata: ‘Wahai Rasulullah! Tsabit bin Oais, adapun saya tidak mencela akhlak dan agamanya, akan tetapi saya benci kekuJurannya dalam Islaml, Maka Rasulullah Saw. Apakah kamu mau mengembalikan kebunya?, Dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, terimalah kebun itu dan ceraikan lah dengan talak satu’.’ (H.R. An- Nasai). 3. Syarat-Syarat Khulu’ Untuk menempuh suatu upaya hukum, subjek hukum dalam hal ini isteri, harus benar-benar mengerti dan menguasai tentang materi hukum yang diperkirakan. Sebelum menempuh upaya hukum, maka isteri harus mengetahui syarat-syarat khuluk tersebut. Di samping isteri, suamipun harus mengetahuinya sehingga dapat menempuh upaya hukum khulu’ tersebut. Adapun syarat-syarat khulu’ adalah sebagai berikut:



a. Kerelaan dan Persetujuan Para fuqaha telah sepakat, bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan kerelaan dan persetujuan dari suami isteri asal kerelaan dan persetujuan itu tidak berakibat kerugian di pihak yang lain (isteri). Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ isterinya, sedang pihak isteri tetap merasa dirugikan haknya sebagai seorang isteri, maka dapat mengajukan gugatan untuk meminta cerai kepada pengadilan. Hakim hendaknya memberi keputusan perceraian. Hakim hendaklah memberikan keputusan perceraian antara suami isteri itu, apabila ada alat-alat bukti, alasan -alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan oleh pihak isteri.16 b. Isteri yang dapat dikhulu’ Fuqaha sepakat bahwa isteri yang dikhulu’ ialah isteri yang mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya. Adapun isteri yang cakap boleh mengadakan khulu’ untuk dirinya, sedangkan bagi hamba perempuan tidak boleh mengadakan khulu’ untuk dirinya kecuali dengan minta ijin kepada tuannya. Disepakati pula isteri yang bodoh (safihah) adalah bersama walinya, yakni bagi fuqaha yang menetapkan adanya pengampunanatasnya.17 c. Iwadh Iwadh atau tebusan merupakan ciri khas dari perbuatan hukum khuluk. Selama iwadh belum diberikan oleh pihak isteri kepada pihak suami, maka selama itu pula perceraiannya belum terjadi. Setelah iwadh diserahkan oleh pihak isteri kepada suami barulah terjadi perceraian. Mengenai hal ini Imam Malik, Syafii dan golongan fudaha’ berpendapat bahwa seorang isteri boleh melakukan khuluk dengan memberikan harta yang lebih dari mahar yang pernah diterimanya saat pelaksanaan akad nikah dari suaminya, jika 16



17



Kamal Mukhtar, Asas - Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.. 185. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid. Terj. M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: Asy - Syifa, 1990), h., 489.



kedurhakaan (nusyuz) datang dari pihaknya, atau memberikan yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit.18 d. Waktu Menjatuhkan Khulu’ Fuqaha telah sepakat bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa haid, nifas dan pada masa suci yang belum dicampur atau yang telah dicampuri. Dengan demikian khulu’ dapat dijatuhkan kapan saja dan di mana saja. Pendapat tersebut berdasarkan pengertian umum dari ayat 229 surat al-Baqarah atau hadits dari Ibnu Abas yang tidak menyebutkan waktu-waktu khusus. 4. Rukun – Rukun Khulu’ Adapun rukun-rukun khulu’ adalah sebagai berikut: a. Suami yang menceraikan isterinya dengan tebusan (suami). Suami



yang



menceraikan



isterinya



dalam



bentuk



khulu’sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara



syara’



yaitu



aqil



balighdan



bertindak



atas



kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. b. Isteri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan (isteri yang di khulu’). Maksudnya adalah isteri masih berada dalam wilayah si suami dalam arti isteri tersebut telah di ceraikan, namun masih berada dalam iddah raj’i. c. Uang tebusan atau Iwadh Uang tebusan atau Iwadh adalah bagian yang urgen dan inti dan khulu’, karena tanpa adanya iwadh maka khulu’tidak akan terjadi. Sehingga mayoritas ulama menempatkan iwadh



tersebut



ditinggalkan. .



18



Ibid., h., 491



sebagai



rukun



yang



tidak



boleh



d. Sighat Ucapan



cerai



yang



mengakibatkan



di



sampaikan



putusnya



ikatan



oleh



suami



perkawinan.



yang Untuk



melafazdkan shighat dalam khulu’ disertai menyebutkan ganti rugi. Setelah itu khulu’ berlaku talak ba’in, jika tanpa menyebutkan ganti rugi makamenjadi talak biasa.19 e. Alasan untuk terjadinya khulu’ Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits terlihat adanya alasan untuk terjadinya khulu’ yaitu isteri khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tugasnya sebagai isteri yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah. C. ZHIHAR 1. Pengertian Zhihar Zhihar secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata berarti “punggung”.20 Penggunaan kata “punggung” dan bukan anggota badan yang lain melainkan hanya karena kata tersebut digunakan untuk suatu yang dikendarai atau diracak.21 Dalam hal ini, istri merupakan seseorang yang dipimpin (yang maknanya sama dengan yang diracak) oleh laki-laki yaitu suaminya. Dalam sumber lain, zhihar didefinisikan sebagai ucapan seorang laki-laki



yang



mengharamkan



istrinya



bagi



dirinya



dengan



menyerupakan keharamannya seperti ibunya, saudara perempuannya, atau salah satu mahramnya dan tidak diikuti talak.22 Pengertian ini menambahkan kualitas zhihar yang sesungguhnya adalah yang tidak diikuti talak.



19



20 21 22



Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dun Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 234. Ibid., h. 259 Ibid. Ali Yusuf as-Subki, ‫ نظام السرة في االسالم‬, Alih bahasa oleh Nur Khozin, Fiqh Keluarga, (AMZAH: Jakarta, 2012), h. 360



Terdapat pula definisi lain yang menjelaskan secara praktis bentuk dari zhihar itu, yaitu:Ucapan seorang laki-laki kepada istrinya: “Engkau bagi saya seperti punggung ibu saya”.23 Jika



kata-kata



diatas



ini



digunakan



sebagai



bentuk



penghormatan kepada istrinya sama seperti ia menghormati ibunya, maka tidak membawa akibat hukum apa-apa.24 Bisa jadi ketika si suami berusaha untuk memuji istrinya dan juga menyanjungnya. Namun, orang Arab jahiliyah terbiasa menggunakan kata-kata tersebut untuk menceraikan istrinya dengan jalan mengharamkan istrinya untuk digauli sama seperti haramnya ibunya untuk digauli.25 Bahkan hukum zhihar ini pada masa jahiliyah menjadikan haram selamanya kemudian berpisahlah laki-laki dan istrinya dan peristiwa itu masih terjadi dalam masa Islam.26 Jadi, dapat disimpulkan bahwa zhihar adalah tindakan suami yang menyamakan istrinya secara hakikatnya dengan orang-orang yang haram dinikahinya (perempuan) sehingga menyebabkan si suami tidak dapat menggauli istrinya lagi sampai ia membayar kaffarah atas tindakannya tersebut. 2. Hukum dan Dasar Hukum Hukum zhihar, berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah haram. Dasarnya adalah sebagai berikut: a. Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakan istrinya dengan ibunya, seperti yang terdapat dalam surat alMujadilah ayat 2 yang berbunyi:    







•







•



 



•   23 24 25 26



Amir Syarifuddin, Loc. Cit., Ibid. Ibid. Ali Yusuf as-Subki, Loc. Cit.,















•











        Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguhsungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. b. Dari segi sangsi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu, seperti yang tercantum dalam ayat al-Mujadilah ayat 3 yang berbunyi: 







 



 































 



    











  Artinya; Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.



3. Syarat dan Rukun



Berikut merupakan rukun yang harus terpenuhi oleh sebuah perbuatan hukum untuk dapat dikatakan sebagai zhihar sehingga dapat diberlakukan hukum zhihar atasnya : a. Suami yang mengucapkan zhihar (Muzhahir) Adapun syaratnya adalah suami yang telah baligh, berakal, dan berbuat dengan kehendak dan kesadarannya sendiri. b. Perempuan yang kepadanya diucapkan zhihar oleh suaminya (Muzhahar minhu) Muzhahar minhu atau perempuan yang terkena zhihar adalah istrinya. Syaratnya yakni istri yang terikat dalam tali perkawinan dengan laki-laki yang menzhiharnya. Seorang perempuan disebut istri jika telah melangsungkan akad nikah. c. Perempuan yang disamakan dengan istri (muzhahar atau musyabbah bih) Syarat utama bagi perempuan yang disamakan dengan istri itu adalah ibu dari suami karena alasan haramnya zhihar itu adalah mengharamkan istrinya untuk digauli sebagaimana haramnya menggauli perempuan yang secara hukum haram dikawininya. e. Ucapan zhihar Ucapan resmi dan yang telah disepakati oleh ulama sebagai zhihar adalah: 1) “Engkau dalam pandanganku adalah seperti punggung ibuku.” 2) Atau ucapan suami kepada istrinya: ‫ انت على كظهر امي‬27 4. Hukum yang berlaku terhadap zhihar Bila suami telah mengucapkan ucapan zhihar kepada istrinya dan juga telah memenuhi syarat sebagaimana disebutkan di atas, maka untuk selanjutnya suami tidak boleh menggauli istrinya sampai ia membayar kaffarah.



27



Ibid., h. 268



Bergaul disini dalam arti melakukan hubungan kelamin. Hal ini yang disepakati oleh oleh ulama berdasarkan dalil yang kuat dari al-Qur’an. Mengenai pergaulan lain seperti mendapat kesenangan di luar hubungan kelamin berciuman, bersentuhan, atau yang lainnya terdapat perbedaan yakni: a.



diharamkan selama belum membayar kaffarah, pendapat dari Abu Bakar, al-Zuhriy, Imam Malik, Hanafiyah dan satu pendapat Syafi’iyah dengan alasan bahwa ucapan yang mengharamkan hubungan kelamin juga menjangkau kepada yang berdekatan dengan itu dan diperkuat oleh pendapat Ali yakni keduanya (suami dan istri) haram untuk bersentuhan sebelum mengeluarkan kaffarah.



b. Tidak diharamkan, pendapat dari Imam Abu Hanifah, Ishaq, dan pendapat kedua dari Imam Syafi’iy karena almassu dalam ayat berarti hubungan kelamin dan tidak menjangkau kepada yang lainnya. 5. Kaffarah Kaffarah adalah kewajiban agama yang dipikulkan kepada seseorang sebagai risiko atas kesalahan dan pelanggaran yang dilakukannya yang mana dalam hal ini, pelaku zhihar diwajibkan membayar kaffarah karena zhihar dianggap agama sebagai sebuah pelanggaran.28 Adanya kewajiban dan bentuk kafffarah zhihar ini didasarkan kepada firman Allah pada surat al-Mujadilah ayat 3 dan 4 yang berbunyi:                                                        28



Ibid., h. 270



Artinya: (3) Orang-orang (suami) yang menzhihar istrinya kemudian ingin kembali, maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul. Demikianlah mereka diberi pengajaran dan Allah Maha Tahu terhadap apa yang kamu lakukan. (4) Jika dia tidak mendapatkannnya (hamba sahaya), maka hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bergaul. Maka jika dia tidak mampu berpuasa hendaklah dia member makan enam puluh orang miskin. Demikian supaya dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikianlah ketentuan Allah dan bagi orang kafir adalah azab yang pedih. Dan juga diperkuat dengan hadits Nabi di antaranya dari Salamah bin Shakhr yang dikeluarkan oleh Ahmad dan empat perawi hadit selain an-Nasa’I dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu alJarud yang berkata Artinya: Salamah bin Shakhr berkata: Telah datang bulan Ramadhan saya khawatir akan menggauli istri saya, maka saya menzhiharnya. Pada suatu malam terbuka pada di hadapan saya sesuatu, maka saya menggaulinya. Berkata Nabi SAW kepada saya: “Merdekakanlah hamba sahaya”. Saya berkata: “saya tidak memilikinya kecuali hanya yang ada pada saya”. Nabi berkata: “Puasalah dua bulan berturut-turut”. “Saya tidak dapat melakukannya”. Nabi berkata, “Beri makanlah satu gantang tamar untuk 60 orang miskin.”29 Jadi, secara singkat bentuk kaffarah zhihar adalah sebagai berikut a. Memerdekakan hamba sahaya. b. Puasa dua bulan berturut-turut. c. Memberikan makan 60 orang miskin (tiap-tiap orang ¼ sa’ fitrah atau ¾ liter (Rasjid, 2012: 412) Tingkatan ini perlu berurut sebagaimana tersebut di atas. Berarti yang wajib dijalankan adalah yang pertama terlebih dahulu; kalau yang pertama tidak dapat dijalankan, baru boleh dengan jalan 29



Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 273



yang kedua; begitu pula kalau tidak dapat yang kedua, baru boleh yang ketiga. D. ILA 1. Pengertian Ila’ Ila’ berasal dari bahasa arab yang secara arti kata berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau “ sumpah”. Sebagaimana rumusan yang terdapat dalam syarah Minhaj alThalibin yang digunakan untuk rumusan definitif dari ila’ yakni: َ ‫حلف‬ ‫اع مِنْ َو َط ِء َز ْو َج ِت َه‬ ِ ‫الز ْو ِج َعلَى ا‬ ِ ‫المْ ِت َن‬



Yang berarti: “Sumpah suami untuk tidak mengauli istri” Begitu juga dalam kitab al-Masbuth fi fiqh al-Imamiyah ‫حلف الزوج أن ال يطاء إمرأته‬



Yang berarti: Sumpah suami tidak akan menggauli istrinya Ila’ ialah sumpah seorang suami untuk tidak menggauli istrinya.30 Bahkan menurut Ali dalam bukunya Nizham al-Israh fii alIslam—yang diterjemahkan oleh Nur Khozin dengan judul Fiqh Keluarga—menyebutkan bahwa ila’ adalah sumpahnya seorang lakilaki untuk tidak menyentuh istrinya secara mutlak atau lebih dari empat bulan dengan maksud untuk menyakiti istri, menyakiti kehormatan istri dan merendahkan keperempuanannya bahkan hingga berpisah tempat tidur, menaruh kebencian, dan tidak memberinya (istri) hak-hak sesuai dengan yang



disyari’atkan.31 Ila’ menurut



definisi ini, diartikan lebih mendalam hingga kepada tindakan-tindakan yang menyakiti keadaan istri. Jadi, ila’ dapat didefinisikan sebagai tindakan seorang suami terhadap istrinya dengan bersumpah atas nama Allah untuk tidak menggaulinya. 2. Hukum dan dasar hokum 30 31



Mughniyah, Op. Cit., h. 498 Ali Yusuf as-Subki, Op. Cit., h. 359



Dalam pandangan Islam, ila’ tersebut adalah perbuatan yang terlarang



karena



menyalahi



hakikat



dari



perkawinan



untuk



mendapatkan ketenangan hidup, kasih sayang, dan rahmat. Tentang tingkat dosa bagi yang melanggar larangan tersebut menurut ulama syafi’iyah adalah dosa besar, sedangkan menurut ulama lain diantaranya al-Khathib berpendapat dosa orang yang meng-ila’ istri adalah dosa kecil. Memang tidak ditemukan dalil dalam bentuk ayat Al-Qur’an yang secara tegas melarang melakukan ila’, demikian pula tidak ada larangan yang langsung dari Nabi tentang ila’. Namun beberapa isyarat dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi dapat disimpulkan adanya larangan itu, yakni: a. Ila’ itu semacam sumpah dengan mengunakan nama Allah. Seandainya dia melakukan apa yang disumpahkan itu dia menanggung resiko yang berat dalam bentuk tuntutan Allah membayar Kaffarah.32 Hal ini dinyatakan Allah dalam surat alMaidah ayat 89 yang berbunyi: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). 3. Rukun dan Syarat 32



Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 277



Rukun dari suatu perbutan hukum merupakan bagian atau yang mewujudkan perbuatan tersebut. Rukun-rukun ila dapat dirumuskan dari tiga kata pokok/kunci dari definisi yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu suami yang meng-ila’, istri yang menjadi sasaran ila’, dan sighat atau ucapan yang meng-ila’. Meskipun tidak terdapat petunjuk yang jelas dan tegas dalam bentuk al-Qur’an tentang sesuatu yang dapat ditempatkan sebagai syarat ila’ yang mana ulama hanya merekam adanya dua ayat yang berbicara tentang ila’ yang hanya membicarakan tentang hal-hal yang harus dilakukan apabila telah terjadi suatu ila’ yakni dalam surat alBaqarah ayat 226-227 yang berbunyi: Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Adapun rukun dan syarat ila’ dirumuskan sebagai berikut : a. Suami yang meng-ila’ atau al-muliy Suami yang meng ila’ istrinya disyaratkan bahwa dia telah mukallaf dan dalam keadaan mampu untuk menggauli istri. Syarat mukallaf itu, yaitu beragama islam, telah dewasa, sehat akalnya dan berbuat atas kesadaran sendiri. b. Yang menjadi sasaran ila’ atau al-mula ‘minhu Al-Mula Minhu yang menjadi sasaran kena ila’ disyaratkan ia adalah istri yang masih berada dalam ikatan perkawinan dengan suami yang meng-ila’. Istri dengan segala sifat dan keadaannya baik beragama islam atau zimmi, orang merdeka, atau hamba sahaya. Dengan persyaratan ini tidak sah dan tidak memenuhi syarat bila ila’ tersebut adalah perempuannya yang belum atau tidak berada dalam ikatan perkawinan dengannya. c. Shighat atau ucapan ila’



Ila’ sebagaimana juga thalaq merupakan tindakan sepihak dari pihak suami kepada istrinya dan untuk itu tidak diperlukan penerimaan dari pihak istri dan juga tidak diperlukan persetujuan. Dengan demikian, dalam hal ila’ ini tidak ada yang bernama ijab dan qabul. Untuk berlangsungnya ila’ itu hanya diperlukan ucapan ila’ dari pihak suami. Ini ditempatkan sebagai salah satu rukun dari ila’. Dalam ucapan ila’ itu terkandung dua unsur, pertama sumpah dan kedua perbuatan yang disumpahkan: 1) Ucapan sumpah yang disepakati jumhur ulama adalah bila menggunakan sumpah yang dibenarkan dalam fiqh, yaitu ‫ باهللا‬،‫ تاهللا‬،‫;وهللا‬ 2) Perbuatan yang disumpahkan untuk tidak dilaksanakan, dalam hal ini adalah menggauli istrinya. Untuk ucapan ini dapat digunakan ucapan yang terus terang atau sharih dan dapat pula menggunakan ucapan tidak terus terang atau kinayah. 4. Akibat hukum Bila telah selasai suami mengucapkan ila’ terrhadap istrinya, sesuai ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an suami diberi tenggang waktu selama empat bulan. Dalam masa tersebut berlakulah ketentuan hukum sebagai berikut : a.



Dalam masa sesudah ucapan ila’ suami tidak boleh melakukan



hubungan kelamin dengan istrinya. Bila dilakukannya hal tersebut baik secara sengaja atau tidak, maka suami telah keluar dai ila’nya. Dengan demikian, dia telah melanggar sumpahnya yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian untuk orang sepuluh orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya. Bila tidak mungkin melakukan salah satu diantara tiga hal tersebut, maka dia harus berpuasa selama tiga hari. Hal ini sesuai ketentuan Allah pada surat al-Maidah ayat 89 yang artinya:



Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). b. Bila habis masa empat bulan dia tidak kembali kepada istrinya maka istri berhak menentukan sikap. Bila dia tidak keberatan dengan itu dia tidak perlu mengajukan perkaranya kepada hakim, namun bila si istri tidak menerima kenyataan itu dia berhak mengajukan halnya kepada hakim. c. Setelah habis masa empat bulan waktu yang ditentukan hakim itu, hakim menyuruh suami untuk kembali kepada istrinya, tentunya dengan membayar kifarrah. Bila suami berkenan untuk kembali dan dia mampu untuk kembali dia harus kembali dengan cara menggauli istrinya. Seandainya secara fisik waktu itu dia tidak mampu untuk menggauli istrinya, dia cukup kembali dengan ucapan yaitu dia siap kembali kepada istrinya setelah halangan yang ada padanya telah hilang. d. Bila suami tidak berkenan untuk kembali karena hal yang rasional sedangkan dia mampu untuk menggauli istrinya, maka hakim menyuruh



suami



untuk



men-thalaq



istrinya.



Bila



suami



menyatakan thalaq terhadap istrinya berlakulah thalaq raj’iy sesuai dengan jumlah yang ditetapkan, satu atau dua.



KESIMPULAN 1. Talak adalah lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan, Talak juga bisa diartikan menghilangkan ikatan perkawinan



atau



mengurangi



pelepasan



ikatannya



dengan



menggunakan kata tertentu. 2. Khulu’ menurut bahasa berpisahnya isteri atas dasar harta yang diambil dari pakaian, karena wanita itu pakaian pria. Sedangkan khulu’



menurut ilmu fiqih adalah berpisahnya suami dengan isterinya denganganti yang diperolehnya. 3. Zhihar adalah tindakan suami yang menyamakan istrinya secara hakikatnya dengan orang-orang yang haram dinikahinya (perempuan) sehingga menyebabkan si suami tidak dapat menggauli istrinya lagi sampai ia membayar kaffarah atas tindakannya tersebut. 4. ila’ dapat didefinisikan sebagai tindakan seorang suami terhadap istrinya dengan bersumpah atas nama Allah untuk tidak menggaulinya.



DAFTAR PUSTAKA



Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat II. Pustaka Setia: Bandung. as-Subki, Ali Yusuf. 2012. ‫ نظام السرة في االسالم‬, Alih bahasa oleh Nur Khozin, Fiqh Keluarga. AMZAH: Jakarta.



Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Alih bahasa oleh A.B. Masykur dkk. Lentera: Jakarta. Ramulyo, Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1978 dan Kompilasi Hukum Islam. Bumi Aksara: Jakarta. Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqih Islam: Hukum Fiqh Lengkap. Sinar Baru Algesindo: Bandung. Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.