Makalah Khulu' [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BIOGRAFI PEMAKALAH Nama saya M Lutfi Sanjaya, saya lahir di Jombang 23 Agustus 1994, saya adalah anak pertama dari lima bersaudara. Saa ini saya bertemapt tinggal di Desa Mayangan Barat, Kecamatan Jogoroto Kabupaten Jombang. Riwayat pendidikan saya mulai dari Roudhotul Athfal (RA) di RA MIDANUTTA’LIM dan lulus tahun 2000. Tahun 2006 saya lulus dari MI MIDANUTTA’LIM, kemudian melanjutkan pendidikan di MTsN Jogoroto hingga tahun 2009. Pada tahun 2012 saya lulus dari SMAN JOGOROTO dengan predikat murid paling nakal. Setelah lulus dari sekolah menengah atas dengan predikat tersebut, saya memutuskan untuk kuliah di STIKIP PGRI JOMBANG



dengan prodi Pendidikan



Matematika, namun sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun 2013 pada saat meginjak semester 2, saya memutuskan berhenti untuk kuliah karena kesibukan lain. Tahun 2016, saya bertekad untuk memperbaiki semuanya dan berhijrah dengan memutuskan untuk masuk salah satu pondok pesantren di Jombang yaitu Pondok Pesantren HAMALATUL QUR’AN. Tak lama kemudian saya pindah ke pondok pesantren ALAZHAR hingga saat ini. Bersamaan dengan itu saya juga memutuskan untuk kembali ke bangku perkuliahan dengan menempuh pendidikan di STAI AR-ROSYID Surabaya.



BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena hukum kita (Islam) telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami, dengan cara memberikan upah atau iwadh sebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri. Namun pada prakteknya dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara konsep gugatan cerai menurut persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama dilingkungan kita. Sehingga penulis mencoba untuk mengulas sedikit tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan menemukan kebenaran, baik secara nisbiy maupun absolut. B.     Rumusan Masalah 1. Apa pengertian khulu’? 2. Apa dasar hukum khulu’? 3. Apa rukun dan syarat khulu’? 4. Apa tujuan dan hikmah dari khulu’? C.    Tujuan Penulisan 1. Mahasiswa/i dapat mengetahui pengertian khulu 2. Mahasiswa/i dapat mengetahui dasar hukum khulu 3. Mahasiswa/i dapat mengetahui rukun dan syarat khulu 4. Mahasiswa/i dapat mengetahui tujuan dan hikmah dari khulu



BAB II PEMBAHASAN A.    Pengertian Khulu’ Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara etimologi



berarti



menanggalkan



atau



membuka



pakaian.



Dihubungkannya



kata khulu’ dengan perkawinan karena dala Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat al-baqarah (2) ayat 187.[1] Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Dalam artinya istilah hukum dalam beberapa kitab fiqhkhulu’ diartikan dengan: ‫فرقة بعوض بلفظ الطالق أن الخلع‬ Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan thalaq atau khulu’. Menurut fuqaha, khulu’ secara  umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan katakatakhulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah(pembebasan). [2] Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan) suaminya.[3] Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Dasar pengertian ini adalah hadits riwayat Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas yang berkata: ‫ا اعتب‬ZZ‫ابت بن قيس م‬ZZ‫ول هللا ث‬ZZ‫ا رس‬ZZ‫الت ي‬ZZ‫لم فق‬ZZ‫ه وس‬ZZ‫ جاءت امرآة ثابت بن قيس الى رسول هللا علي‬: ‫عن ابن عباس قال‬ ‫ نعم‬: ‫الت‬ZZ‫ االسالم فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم اتردين عليه حديقته ق‬ ‫عليه في خلق وال دين ولكنّي آكره الكفر في‬ )‫ اقبل الحديقته وطليقة (رواه البخاري والناساءي‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬



Istri Tsabit bin Qais bin Syammas dating kepada Rasululloh SAW, sambil berkata “Wahai Rasululloh, aku tidak mencela akhlaq dan agamanya[4], tapi aku tak inginmenjadi kafir dari ajaran Islam akibat terus hidup bersama dengannya”. Rasululloh bersabda “maukah kamu mengembalikan kebunnya (tsabit, suaminya)?, ia menjawab “ mau”, Rasul bersabda “Terimalah (Tsabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali”. Ulama fiqih berbeda pendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata khulu’ atau lafadz yang diambil dari kata dasar khulu’ atau kata lain yang memilik makna seperti itu. [5]  Imam Hanafi mengatakan : “Khulu’ boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi jual beli, misalnya si suami mengatakan kepada istrinya, “saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian,” lalu istri menjawab, “saya beli itu”. Atau si suami mengatakan kepada istri, “Belilah talak (untukmu) dengan harga sekian”. lalu si istri mengatakan, “baik, saya terima tawaranmu”. Imam Syafi’I juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan khulu’ dengan menggunakan redaksi jual beli.[6] Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu ulama menggunakan beberapa kata, yaitu: fidhyah, shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang dugunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar, disebutshulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima desebutfidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.[7] apabila hasrat bercerai dari istri karena tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah dinamakan khulu’, sedangkan bila persetujuan itu oleh suami istri, keduanya hendak bercerai dinamakan mubara’ah.[8]



B.     Dasar Hukum Khulu’ Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua hukum tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah: 1.      Mubah Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah.[9] Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu'  bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam hadist Nabi yang artinya : "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya"[10] Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini: ‫ه‬Z‫ا أعيب علي‬Z‫ابت بن قيس م‬Z‫ ث‬,‫ول هللا‬Z‫ يا رس‬:‫عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى هللا عليه وسلم فقالت‬ :‫الت‬ZZ‫ فق‬,))‫ه‬ZZ‫ه حديق‬ZZ‫ردين علي‬ZZ‫ ((أت‬:‫لم‬ZZ‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وس‬,‫ ولكنى أكره الكفر فى اإلسالم‬,‫فى خلق وال دين‬ ]‫ ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى‬:‫ فرددت عليه فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬,‫نعم‬ Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).



2.      Haram. Khulu'   bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini: a)      Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya : " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229). ‫ة‬ZZ‫ فحرام عليها رائح‬,‫ ((أيما امرأة سألت زوجها طالقا فى غير ما بأس‬:‫عن ثوبان قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ]‫الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد‬ Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surga" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad). b)      Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah yang artinya : "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19). Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.



C.    Akibat Khulu’ Dalam



hal



akibat khulu’,



terdapat



persoalan



apakah



perempuan



yang



menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaranya bersambung. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak. D.    Rukun dan Syarat Khulu’ Di dalam khulu’ terdapat beberaa unsur yang merupakan rukun yang menjadi karakteristik dari khulu’itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi perbincangan di kalangan Ulama. Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ itu adalah:[11] a) Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan; b) Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan; c) Uang tebusan atau iwadh; dan d) Alasan untuk terjadinya khulu’. Pertama: suami Syarat



suami



menceraikan



istrinya



dalam



bentuk khulu’sebagaimana



yang



berlaku thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, balig, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaannya seseorang yang berada di bawah pengampuan karena kebodohannya (‫محجور‬ ‫ )عليه بسفه‬yang menerima permintaankhulu’ istri adalah walinya. Kedua: istri yang di khulu’ Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut: 1. Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami. 2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta/



Khulu’  boleh



terjadi



dari



pihak



ketiga,



seperti



walinya



dengan



persetujuan



istri. Khulu’ sepeerti ini disebutkhulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut. Ketiga: adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau iwadh. Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama menempatkan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan oleh sahnya khulu’. Pendapat lain, diantara nya



disatu



riwayat



dari



Ahmad



dan



Imam



Malik



mengatakan



boleh



terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasanya adalah bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh, sebagaimana



berlaku



dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-hal yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di kalangan ulama. Keempat: Shighat atau ucapan cerai yang disampaikanoleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh. Kelima: adanya alasan untuk terjadinya khulu’. Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi terlihat adanya alasan untuk terjadinnya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tuganya sebagai istri yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah. E.     Tujuan dan Hikmah Khulu’ Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu. [12] Hikmah yang terkandung di dalamnyasebagaiana telah disebutkan adalah untuk menolak bahaya, yaitu pabila perpecahan antara suami istri telah menumncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami-istri, maka khulu’ dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana



merupakan penolak terjadinya permusuhan dan unutk menegakkan hukum-hukum Allah. [13] Oleh karena itu Allah berfirman yang artinya : Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. [14]



BAB III PENUTUP A.    Kesimpulan Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Menurut fuqaha,  khulu’ secara  umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua hukum tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah: 1. Mubah. Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu'manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya. 2. Haram. Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas dan apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu'. B.     Saran Diharapkan mahasiswa/i dan pembaca dapat mengetahui pengertian dari khulu’ dan ketentuan-ketentuan yang menyertainya.



DAFTAR PUSTAKA 



Ghozali, Abdul Rahman. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.







Maghniyah, Muhammad Jawwad. 2010. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.







Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Komplikasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.







Sabiq, Sayyid. 2004. Fiqih Sunnah Jilid 3.  Jakarta: Darul fath.







Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.Jakarta: Kencana.



1



1[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hl. 231. [2]  Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, hl. 220. [3] Muhammad Jawwad Maghniyah, Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera, 2010, hl. 456 [4] Maksudnya,ia istri Tsabit tidak berpisah dari suaminya karena akhlaknya yang buruk atau agamanya yang kurang, tapi ia berpisah karena ia benci melihat rupa wajahnya (dikutip dari buku Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq halaman 190). [5] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3,  Jakarta: Darul fath, 2004, hl. 190 [6] Muhammad Jawwad, Fiqih.., hl. 460 [7] Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 231 [8] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Komplikasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hl 139. [9] Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 232 [10] QS. Al-Baqarah (2) : 229. [11] Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 234 [12] Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 234 [13] Abdul Rahman, Fiqh Munakahat,..hl. 226. [14] QS. Al-Baqarah (2) : 229.