12 0 45 KB
MANFAAT MEMAHAMI PERUBAHAN SOSIAL BAGI PENDIDIKAN Pemahaman terhadap perubahan social bagi pendidikan adalah untuk mengetahui akar persoalan perubahan dan bentuk apa yang harus dilakukan pada masyarakat yang berubah tersebut. Sebagai contoh, dimasa sekarang perilaku masyarakat yang jauh berubah adalah dalam masalah
pemaknaan
moralitas,
maka
yang
diperlakukan
dalam
pendidikan adalah pendidikan moral dengan mengedepankan tokoh-tokoh rujukan. Selanjutnya dewasa ini, masyarakat Indonesia mengalami kegelisahan yang mendalam. Kegelisahan tersebut dilatarbelakangi oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan tidak mampu diimbangi dengan adanya daya dukung alam, sarana prasarana kehidupan: Sosial, ekonomi, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, transportasi, tempat tinggal, konflik social, radikalisme yang mengatasnamakan agama, dan lain sebagainya. Kegelisahan yang demikian, mengharuskan agar dunia pendidikan mampu menenagkan jiwa masyarakat, tidak cemas, gelisah, stress dan sebagainya. Perubahan masyarakat secara berkelanjutan
akan mempengaruhi
pilihan masyarakat terhadap pendidikan. Pendidikan yang akan dipilih masyarakat adalah penddikan yang dapat mngembangkan kualitas dirinya sesuai dengan perkembangan masyarakat. sebaiknya pendidikan yang kurang memberikan janji masa depan tidak akan mengundang minat atau antusiasme masyarakat. sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberkan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informative dan terbuka. Dan yang lebih penting lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat dikembangkan melalui agama. Permasalahannya adalah, sudah siapkah pendidikan menghadapi dampak dari perubahan sosial tersebut? Dalam konteks inilah akan dijumpai, betapa pendidikan Islam-yang dar segi kuantitas menunjukkan perkembangan yang dinamis mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi dalam menghadapi berbagai persoalan. Tidak saja pada tataran normatif-filosofisnya, tetapi juga menyangkut orientasi kultural di
masa depan. Rangakaian persoalan tu tidak dapat dipisahkan, karena terdapat kaitan yang bersifat causal relationship. Karena itu langkah penyelesaianya harus bersifat menyeluruh dan tidak bisa dengan cara parsial atau kasuistik. Berhasilkah
pendidikan
Islam
dalam
menyelesaikan
agenda
internalnya? Dalam hubungan ini, A. Malaik Fadjar mengatakan, bahwa dalam tataran normatif filosofis, hingga kini persoalan Endidikan Islam masih berkuat pada perdebatan semantik, apakah penddikan Islam itu secara peristilahan menggunakan tarbiyahh, ta’dib atau ta’lim? Dalam segi muatan (conten), pendidikan Islam masih dihadapkan pada persoalan dualisme-dikhotomi antara ilmu-ilmu agama, dan ilmu-ilmu umum.1 Selain itu, pendidikan Islam mash belum......(maaf icha tidak kelihatan difotonya, dintruskan sedikit yaa.. !).
Jika pendidikan Islam bertujuan
mencetak manusia yang baik misalnya, maka pertanyaannya adalah, manusia yang baik yang bagaimanakah yang ingin dihasilkan? Disinilah persoalan normatif-filosofis muncul dengan muatan yang tampaknya masih mengundang perdebatan. Misalnya saja, konsep saleh, takwa dan insan kamil
sebagai parameter dari manusia yang baik. Pemaknaan
terhadap konsep ini terkesan mash jauh dari gambaran cita ideal manusia yang diharapkan. Lucunya adalah, masih saja dijumpai pandangan bahwa yang disebut denga kesalehan atau ketakwaan adalah jika intensitas ritualnya seseorang tinggi. Karena persoalan yang paling mendasar belum diselesaikan secara tuntas. Dengan demikian, hingga saat ini pendidikan Islam dihadapkan pada persoalan ketidakjelasan orientasi sosio-kulturalnya. Sebagai bukti masih adanya persoalan ini tanpak pada belum diselesaikannya hubungan Islam dengan modernis. Apakah pendidikan Islam ingin lebih menampilkan watak
tradisionalnya
dengan
mengidealisasikan
masa
lalu,
seraya
mengkritik pendidikan modern karena dianggapnya berbau sekuler? Atau 1
ingin lebih menamplkan watak yang lebih pragmatis dan progresif, seraya mengecam orientasi pendidikan yang cenderung tradisionalistik
dengan
menuju pendidikan modern? Dengan hanya menyebut dua bidang persoalan fundamental tersebut, sudah bisa dijadikan kerangka hipotesis dalam menilai kemampuan pendidikan Islam dalam memosisikan dan memerankan dirinya di masa depan. Sehubungan dengan itu, maka dalam kerangka menjawab akibat dari perubahan sosial tersebut, maka pelaku pendidikan Islam dituntut agar segera melakukan reorientasi. Dalam yang bersifat normatif-filosofis, reorientasi dilakukan dengan cara menguji ulang terhadap petunjukpetunjuk ilahiyah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan persoalan pendidikan seperti tentang manusia, ilmu dan nilai yang berhubungan dengan tujuan pendidikan dan berbagai komponennya secara tuntas. Tentang ilmu misalnya, apakah pembidangan yang sering kali menjurus pada
dualisme-dikotomi
secara
al-Qur’an
dibenarkan?
Apakah
konseptualisasi lmu dalam Al-Qur’an sudah terdapat spesifikasi yang jelas atau masih merupakan konsep yang bersifat generik, sehingga tidak cukup
beralasan
kalau
dalam
praktiknya
pendidikan
Islam
memproritaskan ilmu-ilmu agama. Selanjutnya pada tataran orientasi kulturalnya, orientasi yang perlu dilakukan adalah perlu mempertegas kembali posisi dan peran pendidikan Islam. Dalam gerak transformasi sosial, kultural dan struktural yang sedemikian cepat dan bersifat universal seperti sekarang ini, pendidikan Islam tidak bisa lagi bertahan dalam posisi dan perannya yang bersifat tradisional yang hanya menjalankan fungsi konservator warisan budaya masa lalu. Selain itu, kata A. Malik Fajar, penddikan Islam dituntut melakukan fungsi yang bersifat reflektif dan progresif. Dalam fungsi yang pertama, pendidikan
Islam
harus
mampu
menggambarkan
corak
dan
arus
kebudayaan yang sedang berlangsung. Sedangkan dalam fungsi yang kedua,
pendidikan
Islam
dituntut
mampu
memperbarui
dan
mengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan. Pada fungsi yang ke dua ini, pendidikan Islam menjalankan kegiatan transformasinya.2 Pada akhirnya, demikian A. Malik Fadjar berkesimpulan, bahwa pada akhirnya kita masih dituntut melakukan pergumulan intelektual dengan mngerahkan seluruh potensi kita, sehingga pendidikan Islam dapat berperan secara lebh optimal dan bukan sekedar papan nama yang hanya ingin menunjukkan secara kelembagaan pendidikan Islam itu ada, tetapi dari segi muatan dan orientasinya sangat rapuh.3
NB: Foot Note tidak kelihatan di foto. Untuk daftar pustaka nanti ngmbil di Foot note aja Icha. Trimksh Spurane.
2 3
n