Manusia Sebagai Objek Dakwah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MANUSIA SEBAGAI OBYEK DAKWAH, PENDEKATAN FILOSOFIS TENTANG KONSEP MANUSIA



Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Dakwah Dosen pengampu: Siti Asiyah, M. Pd Oleh: 1. Syahid Nur Rohman



(19.32.00018)



2. Mohammad Khoirul Abidin



(19.32.00261)



PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH PATI 2020



PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada yang berpendapat bahwa aktivitas dakwah dalam kontek mengajak kepada kebaikan harus disebut “dakwah Islamiyah”, sebab terdapat ajakan yang menjerumskan kepada hal kemunkaran. Namun ada pula yang menegasakan, teminologi dakwah telah maklum (dikenal) di kalangan masysrakat islam muslim sebagai kegiatan ajakan yang brsifat Islami. Dengan demikian, istilah dakwah



suadah jelas keberadaannya, yakni aktivitas



mengajak/menyeru ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, segala bentuk ajakan ysng tidsk Islami bukanlah dakwah. Dakwah dalam praktiknya merujuk pada fitrah manusia, karena dalam fitrah itulah ada kebenaran yang diharapkan akan hadir pada diri mad’u (objek dakwah), dan diterimanya dengan ketulusan. Maka dalam aktivitas dakwah tidak ada paksaan, tidak ada tipu muslihat, tidak ada pendangkalan fungsi akal, tidak ada pengaburan kesadaran dan penciptaan prakondisi negatif yang akan mendorong pada penerimaan dakwah secara paksa. B. Rumusan Masalah 1. Apa itu Manusia Sebagai Objek Dakwah ? 2. Apa itu Pendekatan Filosofis Tentang Konsep Manusia ?



PEMBAHASAN



A. Manusia Sebagai Objek Dakwah. Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap, menuju perikehidupan yang Islami. Sudah bukan waktunya lagi, dakwah dilakukan asal jalan, tanpa sebuah perencanaan yang matang, baik yang menyangkut materinya, tenaga pelakasananya, ataupun metode yang digunakannya. Memang benar, sudah menjadi sunatullah bahwa yang hak akan menghancurkan yang bathil (Al-Isra:81), tetapi sunatullah ini berkaitan pula deangan sunatullah yang lain, yaitu bahwasannya Allah mencintai dan meridhai kebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapid an teratur (Ash-Shaff:4).1 Kata dakwah (mengajak), secara esensial mengandung tiga dimensi yang sangat integral, yaitu yang tidak bisa dipaisahkan antara satu dengan lainnya. Tiga dimensi tersebut ialah penyadaran yang ditunjukan kepada fitrah manusia sebagai makhluk monoteis (bertauhid) dan beriman kepada Allah, pengarahan yang ditunjukan kepada hawa nafsu, dan bimbingan yang ditunjukan kepada Akal sebagai power of reason (kekuatan penalaran). Dari ketiga dimensi diatas, jelaslah bahwa yang menjadi subjek dan objek dakwah adalah manusia. 1. Dimensi penyadaran Pada hakikatnya dakwah menghendaki agar manusia sadar terhadap jati dirinya sebagai makhluk yang beriman kepada Allah. Menurut Ibnu Taimiyah “pada dasarnya manusia dilahirkan ke dunia 1



Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1998. Cet. Ke-1, hlm.77



tidak memiliki pengetahuan apapun.”2 Ungkapan ini berlandaskan pernyataan Al-Quran surat Al-Naml, 27: 28, “Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara diantara manusia dengan keputusan-Nya.” Ayat ini menjelaskan bahwa manusia kondisi awalnya tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Namun



demikian manusia dibekali dengan



daya-daya potensialyang disebut fitrah. Daya-daya tersebut inheren pada diri manusia, sehingga ia dapat menduduki posisi sebagai al-Ahsan at-Taqwim. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah membagi daya-daya yang terkandung dalam fitrah pada tiga bagian. a. Daya intelek (quwwah al-aql), yaitu suatu daya yang berpotensi untuk mengenal dan mentauhidkan Allah. Dengan daya ini manusia dapat membedakan anara yang benar dan yang salah (yufariq baina‘l-haq wa’l-batil). Disamping itu, dengan daya ini manusia memperoleh pengetahuan. Inilah yang menjadi indicator manusia berbedadengan makhluk lainnya, yakni berpikir untuk mencari kebenaran. Oleh karenanya,



manusia



yang



mengingkari



terhadap



daya



ini,



konsekuensinya ia akan menjadi kufur atau musyrik. b. Daya ofentif (quwwah al-shahlah) yakni suatu daya yang berpotensi menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan pragmatis. Jika seseorang mengingkari trhadap daya ini, maka ia akan terjerumus pada perbuatan-perbuatan hedonistis yang bertentangan dengan syariat, seperti perzinaan, perjudian korupsi dan jenis perbuatan lain yang serupa. c. Daya defensif (quwwah al-ghadab), yaitu daya yang berpotensi untuk menghindari kejahatan dan kekemafsadatan. Dengan demikian, orang yang mengingkari daya ini, niscaya ia kan berbuat kejahatan yang tidak manusiawi, seperti pembunuhan dan penganiyayaan. 2



Rubiyanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, dalam Juhaya S. Praja, hlm. 16



Jika ada daya ofensif dan daya defensif tersebut terkontrol oleh daya intelek, konsekuensinya manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia di bumi ini. Sebab dengan akalnya ia dapt melebihi malaikat. Namun demikian, seandainya daya intelek tidak dapat mengontrol kedua daya itu, bahkan daya intelek dapat dikuasai oleh daya ofensif dan defensif, maka manusia kan tersesat menjadi asfal alsafilin (makhluk yang terendah) melebihi binatang. Karenanya, tahap awal dalam berdakwah adalah mengingatkan kembali pada fitrah manusia dengan proses penyadaran bahwasannya ia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci. Tentunya dalam penyadaran output yang diharapkan adalah taubat, yakni sebuah proyeksi pengakuan kembali manusia terhadap eksistensinya sebagai makhluk yang harus mengabdi kepada Allah. 2. Dimensi Pembebasan Setelah melakukan penyadaran, maka langkah selanjutnya adalah aktualisasi pembebasa, yaitu menghapus dunia lam yang tidak Islami menjadi Islami. Dengan kata lain dakwah dalan konteks pembebasan berarti melakukan rekontruksi masyarakat yang Islami. Oleh karena itulah pemahaman dakwah dalam proses pembebasan identik dengan islamisasi seluruh kehidupan mabusia karena, dakwah merupakan salah satu manifestasai keimanan seseorang (muslim) dalam amal shaleh.3 Dari uraian tersebut, dapat diambil suatu penakaran bahwa Islam sangat menitik beratkan peranan etika (akhlak) dalam kehidupan. Sebagauman dikatakan oleh Fazhur Rahman, “Al-Quran yang dijadikan sumber dan pedoman utama dalam Islam memiliki tujuan sentral, yaitu menciptakan tata sosial yang mantap dan adil di bumi ini berlandaskan



3



Rubiyanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, dalam M. Amien Rais, hlm. 18



etika.4 Oleh karenanya proses dakwah dalam pembebasan ini mencakuo empat unsur yaitu: 



Keyakinan







Fikrah (pemikiran)







Sikap, dan







Perilaku



Menurut Muhammad Naquib al-Atas (seorang ilmuan dari Malaysia), yamg dimaksud dengan Islamisasi adalah proses pembebasan manusia, mulai dari segenap tradisi yang bersifat magis, mitologis, animistis dan budaya local yang irasional hingga pada pembebasan manusia dari pengaruh sekuler yang membelenggu pikiran dan perilakunya. Pendapat Naquib al-Atas ini sangat argumentative, sebab kata Islam sendiri mengandung pengertian selamat, berarti bebas dari ekploitasi dan penundasan. Dengan itu manusia yang Islami adalah manusia yang pikiran dan bahasanya tidak lagi dikendalikan oleh magis, mutologi, animisme, tradisi-taradisi kultural dan sekularisme, sehingga sikap dan perilakunya mengekspresikan nilai-nilai Islam. Dalam rangka mengislamisasikan empat unsur tersebut, yakni keyakinan, fikrah, sikap, dan perilaku, maka diperlukan aktuisasi konsep Tuhid, sebab di samping merupakan proses seluruh ajaran Islam, juga sebagai pandangan yang paling fundamentaldalam Islam, karena di dalamnya tersirat koherensi dan keselarasan antara semua bagian alam semesta ini. Minimal ada tiga hal yang dapat diambil dari esensi ajaran tauhid, yaitu: 1) Tujuan penciptaan alam semesta 2) Pembebasan dan kemerdekaan manusia dari perbudakan, dan



4



Rubiyanah dan Ade Masturi dalam Fazhur Rahman, Major Thames of The Quran (Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980), hlm. 37.



3)



Penghambaan yang dilakukan hanya kepada Allah serta meniadaan semua hak kedaulatan dan perwalian siapapun di atas masyarakat manusia selain Allah.



Hal ini menunjukan bahwa tauhid mampu menggerakan aktivitas dakwah untuk membebasakab manusia dari perangkap-perangkap nativisme yang mengajak agar kembali ke ajaran nenek moyang tanpa melihat apakah ajaran tersebut rasional atagu tidak. Jika tauhid ini dijadikan landasan dalam proses dakwah, maka fungsi dakwah juga akan mampu menyelamatkan manusia dari keangkuhan sekularisme yang cenderung mengkultuskan manusia sebagai Tuhan, sehingga mereduksi nilai-nilai agama dengan memunculkan nilai-nilai humanistic. Sebagaimana halnya syahadatain dalam Islam, ternyata konsep humanisme sekularpum memiliki kredo khusus, yakni “ Man is Measure of All Thing” (manusia dalah ukuran segala-galanya). Dalam pernyataan tersebut menggambarkan bahwa penghambaan itu berlaku hanya kepada Allah semata. Dengan demikian, diharuskan meniadakan setiap komunikasi dan pesan-pesanyang bersifat intelektual, cultural, ekonomi dan politik yang dapat menundukan manusia kepada sesama makhluk. Dari sinilah terlihat bahwa tauhid adalah ruh dakwah yang memotivasi perbaikan kembali sistem sosial yang sesuai dengan ajaran-ajaran Allah. Jika konsep tauhid ini dilaksanakan dalam proses berdakwah, maka akan memberikan bimbingan principal di dalam menetapkan batas-batas legistimasi politis, sosial dan kultural oleh suatu sistem yang Islami. Karenanya semakin jelas bahawa dengan landasan tauhid, fungsi penting dalam dakwah adalah menghancurkan mitos-mitos. Di era sekarang, mungkin mitos-mitos itu meliputi kekuasaan, kemajuan, dan modernisasi.



3. Dimensi Pelembagaan Sebagai manifestasi teo;ogis, dakwah harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial, yakni dengan melembagakan nilai-nilai Islam ke dalam tatanan masyarakat.kewajiban mengajak manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam), pertama-tama ditunjukan kepada setiap muslim. Namun karena dalam masyarakat terdapat kompleksitas masalah, maka usaha-usaha dakwah tidak akan efektif jika dilakukan secara individual. Oleh karenanya dalam Al-Quran surat at-Taubah, 9:71, dijelaskan bahwa untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta mencegah kezhaliman, sesame muslim diharuskan bekerja sama. Dalam hal ini tentunya ada realisasi pelembagaan, yakni nilai-nilai yang telah diperoleh dalam proses penyadaran, dan pembebasan, kemudian dilembagakan dalam sebuah sistem yang kokoh. Pelembagaan yang dimaksud di sini adalah pelembagaan Islam dalam kehidupan usrah, jamaah dan umat sebagai proses institusional. Misalnya usrah pengajian majlis taklim kaum ibu kemudian dilembagakan menjadi himpunan pengajian dalam sebuah lembaga formal. Atau jamaah mendirikan lembaga-lembaga Islam, seperti pondok pesantren, TK AlQuran, TPA, srkolah-sekolah Islam dan lain-lain. Jika proses dakwah telah menginjak pada tahap pelembagaan, pada dasarnya kewajiban dakwah merupakan kewajiban setiap pemeluk. Dalam tahap ini proses dakwah dilakukan oleh lembaga formal yang telah dikelola dan digerakan dengan menejemen yang Islami. Di Indonesia sendiri sudah banyak lembaga formal yang bergerak dibidang dakwah bidang ekonomi dan keejahteraan sosial seperti, BAZIS DKI Jakarta, Dompet Du’afa, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama ( LDNU), Lembaga Dakwah Muhammadiyah (LDM) dan sebagainya. Tujuan sentral dari pelembagaan dakwah, yaitu mewujudkan sistem kemasyarakatan yang Islami, sehingga melahirkan ummatan



khairan ( umat yang terbaik). Dari sinilah terjadi interaksi antara da’idengan jamaah dakwah. Konsekuensi logisnya diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan dakwah yang professional seperti diungkapkan dalam Al-Quran terma uli’l-albab (orang-orang yang professional).5 B. Pendekatan Filosofis Tentang Konsep Manusia Dalam pendekatan terhadap manusia suapya bisa menerima ajakan, dakwah, atau pesan dari kita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Manusia dengan sifat dasar Pendekatan dakwah terhadap manusia pertama harus mengetahui bahwa manusia itu memiliki sifat dasar masing-masing yang berbeda. Adapun sifat dasar itu adalah : a. Tertutup Dalam menghadapi orang yang tertutup tentunya yang berdakwah tidak boleh bersifat memaksa kepada objek dakwah. Si pendakwah harus paham keadaan dia mengapa dia bersikap tertutup. b. Terbuka Berbeda dengan menghadapi orang yang tertutup, ketika menghadapi objek yang bersifat terbuka tentunya kita harus bisa terbuka dalam berdakwah. 2. Usia yang berbeda Dakwah juga harus melihat dari segi usia yang menjadi objek dakwah antara lain :



5



Rubiayanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, hlm. 19-22



a. Kanak-kanak Dalam berdakwah kepada kalangan kanak-kanak tentulah tidak boleh disamakan dengan berdakwah kepada orang yang dewasa. Kepada anak-anak lebih cocok dengan bercerita atau berdongeng dengan kisah-kisah para nabi, rosul, atau para wali Allah yang patut dicontoh. b. Remaja Bagi kalangan remaja dakwah bisa dilakukan dengan memberikan motivasi-motivasi supaya dia selalu bersemangat dalam beramal dan bangga menjadi remaja islam c. Dewasa Adapun bagi orang dewasa dakwah seharusnya lebih kepada yang bersifat bagaimana berhubungan dengan Allah dan manusia atau disebut dengan muamalat d. Lanjut usia Dakwah bagi orang yang sudah lanjut usia lebih cocok adalah dengan motivasi untuk memperbanyak beribadah atau hubunganya dengan akhirat dan kematian. 3. Pendidikan Pendidikan menjadi hal yang harus diperhatikan pula ketika berdakwah. Kita harus tahu objek dakwah yang dihadapi itu dari segi pendidikanya, karena jika disama ratakan tujuan dakwah tidak akan tuntas. Karena masing-masing orang yang berpendidikan berbeda, maka berbeda pula lah cara olah pikirnya. Dakwah itu tidak bisa disamakan antara orang yang berpendidikan akhirnya sarjana dengan orang yang hanya lulusan



SD. Tentulah pasti akan berbeda. Adapun bisa kita bedakan objek dakwah berdasarkan pendidikan terakhir antara lain Usia Dini, TK, SD, SMP, SMA, Tanpa Pendidikan. 4. Profesi Berdakwah juga harus memperhatikan profesi atau pekerjaan yang menjadi objek. Jika yang menjadi objeknya para petani, maka dakwah yang diberikan tentunya bagaimana menjadi petani yang baik sesuai syari’at islam. Begitupula profesi-profesi yang lain seperti Petani, Nelayan, dan profesi- profesi lain. 5. Demografi Wilayah tempat tinggal juga hal yang penting dalam memahami objek dakwah yang di hadapi. 6. Budaya Dalam menyampaikan pesan kepada banyak orang tentu kita harus tahu budaya-budaya mereka masing-masing yang berbeda. Minimal kita tahu hal-hal penting yang menjadi budaya orang yang akan di beri pesanpesan islam. Secara globalnya kebudayaan itu bisa kita lihat dari dua bagian yaitu Timur Dan barat Cara berdakwah kepada orang barat tentunya harus berbeda dengan berdakwah kepada orang timur, karena budaya mereka pun masing-masing berbeda satu sama lain bahkan mungkin bertolak belakang. 7. Jenis kelamin Hal lain yang harus diperhatikan lagi adalah dari segi jenis kelamin yang berbeda. Hal ini kita bisa bagi menjadi tiga bagian yaitu Laki-laki, Perempuan, Waria.



8. Tuna Manusia pasti memiliki kekurangan baik itu dari segi fisik ataupun batin. Dari segi fisik kita harus pandai berdakwah kepada beberapa saudara kita yang memiliki kekurangan fisik. Dan ada beberapa hal yang harus diperhatikan supaya kita sukses dalam berdakwah. Diantaranya adalah dengan : a. Menyentuh Inderanya Misalnya dengan kita berpakaian yang indah atau enak dipandang orang ketika berdakwah atau selalu memberikan wajah yang ramah pada siapa pun. b. Menyentuh Akalnya Misalnya dengan menyampaikan pesan yang rasional atau dapat di tangkap oleh akal manusia. c. Menyentuh Rasanya Misalnya dengan bersikap simpati, prihatin terhadap orang, atau merasakan apa yang diderita orang-orang.



PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa landasan filosofi AlQuran tentang konsep manusia sebagai objek dakwah, meliputi tiga tahapan, yaitu: 



Dimensi penyadara, pada hakikatnya dakwah menghendaki agar manusia sadar terhadap jati dirinya sebagai makhluk yang beriman kepada Allah.







Dimensi



pembebasan



yaitu,



proses



islamisasi



dengan



mengganti dunia lama yang tidak Islami menjadi Isalmi. Dengan kata lain membenahi diri dari hal-hal yang huruk. 



Dimensi pelembagaan, yaitu suatu dakwah yang dilaksanakan oleh sekelompok orang yang sudah termasuk dalam lembagalembaga formal.



DAFTAR PUSTAKA



Hafidhuddin, Didin 1998. Dakwah Aktual. Jakarta: GEMA INSANI PRESS Rubiyanah dan Ade Masturi.2010. Pengantar Ilmu Dakwah. Tangerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.