MINI CEX - NBN - 20214010084 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MINI CEX BELL’S PALSY



Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Lulus Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU PKU Muhammadiyah Gamping



Disusun oleh : Lailia Karunia Rahmah 20214010084



Diajukan kepada : Dr. dr. Hj. Tri Wahyuliati, Sp.S., M.Kes



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2022



BAB I KASUS A. IDENTITAS Nama



: Ny. J



Usia



: 62 tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Alamat



: Butuh Lor RT 03 Triwidadi Pajangan



Pekerjaan



: Pedagang



Tanggal periksa



: 17 Desember 2022



B. ANAMNESIS Keluhan utama Wajah sebelah kanan kaku seperti tertarik ke bawah Riwayat Penyakit Sekarang Seorang pasien datang ke poliklinik saraf



PKU Muhammadiyah Gamping dengan



keluhan wajah kaku seperti tertarik ke bawah di bagian sebelah kanan sejak dua hari sebelum pergi ke Poli Klinik. Keluhan mulai dirasakan ketika pasien baru bangun tidur, dan ketika akan meminum air pasien merasakan kesulitan. Pada waktu yang bersamaan, mata kanan dirasakan perih, berair dan sulit untuk ditutup. Keluhan tersebut hanya terjadi pada sisi kanan wajah tanpa terjadi gejala yang sama pada bagian yang sebelah kiri serta tidak terdapat kelemahan anggota gerak.



Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit serupa (-), Herpes (-)



Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat anggota keluarga dengan keluhan serupa (-)



Riwayat Personal Sosial Pasien adalah seorang pedagang pasar yang kesehariannya berangkat pagi ke pasar sekitar jam 03.30 WIB menggunakan sepeda motor.



C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan umum : Baik 2. Kesadaran



:GCS E4V5M6, Compos Mentis



3. Tanda Vital Tekanan Darah



: 153/83 mmHg



Nadi



: 74x/menit



Respirasi



: 19 x/menit



Suhu



: 36,2 C



4. Pemeriksaan N.VII 



Wajah terlihat asimetris.







Sudut bibir bagian kanan terlihat lebih rendah dibandingkan sudut bibir sebelah kiri.







Sudut mata bagian kanan lebih jatuh dibandingkan dengan sudut mata sebelah kiri.







Lipatan nasolabial memudar pada sisi sebelah kanan.







Tidak bisa menutup mata pada mata sebelah kanan







Angkat alis: tidak sama antara kanan dan kiri ( sisi kiri lebih tinggi dibandingkan sisi yang kanan).







Kembung pipi : asimetris







Kerut dahi : pada sisi kiri kanan tidak terdapat kerutan dahi.







Mengedipkan mata: sebelah kanan tidak dapat berkedip



5. Status Neurologis Refleks Fisiologis Biceps



:+/+



Triceps



: +/ +



Platella



: +/ +



Refleks Patologis Hoffman–Tromner



:-/-



Babinski



:-/-



D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang



E. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis



: Dahi sebelah kanan tidak bisa dikerutkan, sudut bibir lebih tertarik ke bagian kanan, garis senyum (nasolabial) tidak terlihat, dan tanpa adanya kelemahan anggota gerak.



Diagnosis Topik



: N.VII perifer setinggi foramen stilomastoideus



Diagnosis Etiologi



: Bell’s Palsy



Diagnosis Banding



: Infeksi (Otitis media, herpes),infeksi ganglion genikulatum, Schwanoma N.Facialis.



F. PENATALAKSANAAN R/ Alpentin 100 mg tab No.XIV S/ 2DD1 R/Kalmeco 500 mg tab No. XIV S/ 2DD1 R/Metylprednisolon 4 mg Meloxicam 7,5 mg Mfla da in caps dtd No.XIV S/2DD1 caps



G. Prognosis Ad Fungtionam : Dubia ad bonam Ad Sanationam :Dubia ad bonam



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. B. EPIDEMIOLOGI Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding nondiabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. C. ETIOLOGI Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada Lyme disease dan otitis media, atau trauma, tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edema nervus



fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya bell’s palsy. D. PATOFISIOLOGI Bell’s palsy adalah penyakit idiopatik dan merupakan penyakit saraf tepi yang bersifat akut dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan asimetri wajah serta menganggu fungsi normal. Penyakit ini merupakan salah satu gangguan neurologi yang paling sering dijumpai. Wanita muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan wanita hamil memilki resiko 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Nervus fasialis merupakan saraf motoris dengan sedikit komponen saraf sensoris (N. Intermedius of Wrisberg) yang menyampaikan sensasi rasa dari dua pertiga anterior lidah lewat nervus lingualis dan chorda tympani. Nukleus motoris nervus fasialis terletak diantara anterior dan lateral dari nukleus abdusen dan serabut intrapontine mengait disekitar nukleus abdusen sebelum muncul melalui pons. Nervus fasialis akan melintang melewati kanalis auditori internal bersamaan dengan nervus akustikus. Setelah memasuki kanal, nervus fasialis akan menikung tajam kedepan kemudian kebawah disekitar batas vestibulum telinga dalam untuk keluar melalui foramen stylomastoid. Dari foramen stylomastoid, mereka membagi canalis fasialis menjadi segmen labyrinthine, tympanic, dan mastoid. Segmen labyrinthine (bagian proximal) memanjang dari fundus kanalis auditori internal menuju ganglion genikulatum (dengan panjang 3-5 mm). Pada pintu masuk tersebut terdapat bagian tersempit dari kanalis fasialis yang mungkin merupakan lokus minorus (lokasi yang paling rentan mengalami kerusakan) bell’s palsy. Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik vaskuler dan teori infeksi virus. 1.



Teori iskemik vaskuler Teori ini dikemukakan oleh Mc Groven pada tahun 1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol dan stasis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah.



2.



Teori infeksi virus Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat ditemukan pada kasus paralisis saraf fasialis adalah otitis media, meningitis bakteri, penyakit lime, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun 1972 McCromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Pada beberapa kasus yang ringan hanya terdapat kerusakan selubung myelin saraf.



3. Teori kombinasi Teori



ini



dikemukakan



oleh



Zalvan



yang



menyatakan



bahwa



kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral1. Bell’s palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus fasialis (N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bell’s palsy. E. GEJALA KLINIS Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus. Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi. Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat



Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi



Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur masih baik. b.



Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis



fasialis). Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan gangguan salivasi. c.



Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum. Gejala: seperti



(b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis. d.



Lesi setinggi ganglion genikulatum.



Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi). e.



Lesi di porus akustikus internus.



Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII. Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis. Gejala pada wajah sisi ipsilateral: -



Kelemahan otot wajah ipsilateral



-



Kerutan dahi menghilang ipsilateral



-



Tampak seperti orang letih



-



Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata



-



Hidung terasa kaku



-



Sulit berbicara



-



Sulit makan dan minum



-



Sensitif terhadap suara (hiperakusis)



-



Salivasi yang berlebihan atau berkurang



-



Pembengkakan wajah



-



Berkurang atau hilangnya rasa kecap



-



Nyeri di dalam atau disekitar telinga



-



Air liur sering keluar



Gejala pada mata ipsilateral: - Sulit atau tidak mampu menetap mata ipsilateral - Air mata berkurang - Alis mata jatuh - Kelopak mata bawah jatuh - Sensitif terhadap cahaya Residual: -



Mata terlihat lebih kecil



-



Kedipan mata jarang atau tidak sempurna



-



Senyum yang asimetri



-



Spasme hemifasial pascaparalitik



-



Otot hipertonik



-



Sinkinesia



-



Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas



-



Otot menjadi lebih flaksid jika lelah



-



Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan



F. DIAGNOSIS Diagnosis penyakit bell’s palsy berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 1) Anamnesis Pasien mengeluh keluhan-keluhan khas pada bell’s palsy, seperti kelemahan atau paralisis komplit pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien merasa wajahnya perot. Selain itu makanan dan air liurdapat terkumpul pada



sisiyang mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah keluar melalui sudut mulut. 2) Pemeriksaan fisik  Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga menghilang sesisi, dan sudut mulut jatuh / mulut mencong ke sisi yang sehat. 



Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika psien diminta untuk mnutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena bell’s).







Produksi air mata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi dan paparan langsung.



Untuk menilai derajat paresis nervus fasialis digunakan House Brackmann Classification of Facial Function, yaitu : 



Derajat 1 Fungsional normal







Derajat 2 Angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetris.







Derajat 3 Angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal.







Derajat 4 Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal.







Derajat 5 Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomlit dengan usaha, mulut sedikit bergera







Derajat 6 Tidak bergerak sama sekali



3) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT-Scan dan elektrodiagnosis dengan ENMG dan uji kecepatan hantar saraf serta pemeriksaan laboratorium. Uji ini hanya dilakukan pada kasus-kasus dimana tidak terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi parese nervus fasialis. Pemeriksaan ENMG ini dilakukan terutama untuk menentukan prognosis.



Pada pemeriksaan laboratorium diukur Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah atau hemoglobin A1C (HbA1C), pemeriksaan titer serum HSV. Pada pemeriksaan MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat ganglion genikulatum. Sedangkan pemeriksaan CT-Scan tulang temporal dilakukan jika memiliki riwayat trauma.



G. DIAGNOSIS BANDING 1.



Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukan gambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam kavum timpani sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi paresis fasialis.



2.



Herpes Zoster Oticus Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Di samping adanya paresis fasialis juga ditemukan adanya tuli persetif dan tampak vesikel-vesikel yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka akan menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit di dalam kanalis Fallopii dan selanjutnya menyebabkan iskemia dan paresis fasialis. Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap virus varisela-zoster.



3. Trauma kapitis Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal, fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera kepala sering terjadi fraktura os temporale parspetrosus yang selalu terlihat pada foto rontgen. 4.



Sindroma Guillain – Barre dan Miastenia Gravis Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan paresis hampir selalu bilateral.



5.



Tumor Intrakranialis Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat menyebabkan paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII. tumor yang lain misalnya Ca-nasofaring (biasanya disertai dengan kelainan saraf kraniales lain) dan tumor kelenjar parotis.



6. Leukimia Paresis fasialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis terjadi bilateral dan simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala atau telinga dan tuli. H. TERAPI 1. Terapi Medikamentosa 



Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednison atau methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan secara bertahap (tappering off) selama 7 hari.







Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid. Penggunaan Aciclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek yang lebih baik. Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien dengan Bell’s palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian Metaanalisis dari tiga uji coba terkontrol secara acak membandingkan kortikosteroid dengan plasebo ditemukan pengurangan kecil dan secara statistik



tidak



signifikan



dalam



persentase.



Ada



Karena



Peran



Kemungkinan HSV-1 dalam penyebab Bell palsy, obat antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex) telah mempelajari tulang manfaat dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg lima kali per hari selama tujuh hari atau valacyclovir 1 g tiga kali per hari selama tujuh hari. Dua terakhir uji coba terkontrol plasebo menunjukkan pemulihan penuh dalam persentase yang lebih tinggi pasien diobati dengan obat antivirus dalam kombinasi



dengan prednisolon dibandingkan dengan prednisolon saja (100 persen dengan 91 persen dan 95 persen dengan 90 persen). Namun, tidak bermanfaat terlihat Ketika pengobatan tertunda lebih dari empat hari setelah timbulnya gejala (86 persen dengan 87 persen). Mengingat profil keamanan kortikosteroid oral asiklovir, valasiklovir, dan jangka pendek. Pasien yang hadir di dalam-tiga hari dari timbulnya gejala dan yang tidak harus menentukan kontraindikasi obat harus ditawarkan terapi kombinasi. Pasien yang datang dengan kelumpuhan saraf wajah lengkap memiliki tingkat lebih rendah pemulihan spontan dan mungkin lebih mungkin memperoleh manfaat dari pengobatan. Penelitian lain Numthavaj .P et al menyimpulkan dalam mengobati Bell’s palsy dengan antiviral ditambah kortikosteroid dapat menyebabkan sedikit lebih tinggi tingkat pemulihan dibandingkan dengan mengobati dengan prednison saja tapi ini tidak cukup bermakna secara statistik, prednisone merupakan pengobatan berbasis bukti terbaik. Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien dengan Bell’s palsy, perawatan dini dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 dan 9 bulan. Tidak ada bukti dari manfaat mengingat pengobatan tunggal atau manfaat tambahan dalam kombinasi dengan prednisolon atau asiklovir. Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis, berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk kortikosteroid pengobatan Bell’s palsy tidak terkait meningkat dalam tingkat pemulihan lengkap dari fungsi motorik wajah. 



Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan ACTH im 40-60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat penyembuhan.







Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.



2. Terapi Operatif Indikasi terapi operatif yaitu: -



Produksi air mata berkurang menjadi < 25%



-



Aliran saliva berkurang menjadi < 25%



-



Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA. Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi nervus



Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.



Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bell’s palsy. Komplikasi yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bell’s palsy. McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian bahwa ada bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk memutuskan apakah operasi akan bermanfaat atau merugikan pada pengelolaan palsy Bell. Penelitian ini tidak secara statistic. Membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran kelompok menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu pasien yang dioperasikan dalam studi pertama memiliki 20 dB kehilangan pendengaran sensorineural dan vertigo yang persisten. Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak mungkin dilakukan karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus.



3. Rehabilitasi Medis Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial. Tujuan rehabilitasi medik adalah : 



Meniadakan keadaan cacat bila mungkin







Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin







Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan apa yang tertinggal. Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan



efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medic. Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.



DAFTAR PUSTAKA



1.



Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.



2. Dalhar, Staf



M.



dan



Kurniawan,



S.N.



2010. Pedoman



Medis Fungsional Neurologi. Malang : RSUD



Diagnosis



dan



Terapi



Dr.Saiful Anwar/FKUB



3. Dewanto, G dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC 4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163. 5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003. 6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99. 7. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204. 8. Walkinson, L dan lennox, G. 2005. Essential Neurology Forth Edition.Massachusetts : Blackwell Publishing 9. Roob, G dkk. 1999. Peripheral Facial Palsy : Etilogy, diagnosis, and treatment. European Neurology 41:3-9. Austria : Department of Neurology, Karl Franzens University 10. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 11811184