MINIPRO [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Mini Project



PREVALENSI PENDERITA HIPERTENSI YANG TERDAFTAR PROLANIS DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS SUAKRIBEE Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Program Internship Dokter Indonesia Periode November Tahun 2021 di UPTD Puskesmas Suakribee



Disusun oleh:



dr. Verdian Lasmana Pendamping PIDI:



dr. Suhada



UPTD Puskesmas Suakribee Meulaboh April 2022



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan mini project yang berjudul Prevalensi Penderita Hipertensi yang Terdaftar Prolanis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Suakribee. Shalawat beriring salam penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan mini project ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, bimbingan, serta arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. dr. Suhada selaku pembimbing dokter internship di UPTD Puskesmas Suakribee 2. Istri dan keluarga penulis yang telah mencurahkan segenap kasih sayang, dukungan dan doa yang tiada henti kepada penulis. 3. Teman sejawat dalam Program Internship Dokter Indonesia di wahana Aceh Barat. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa mini project ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan waktu. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan proses pembelajaran ini dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Akhir kata penulis berharap semoga mini project ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.



Meulaboh, April 2022



Penulis



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL iv



ii



BAB l



PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian



1 1 2 2 3



BAB II



TINJAUAN KEPUSTAKAAN 4 2.1 Definisi Skabies 4 2.2 Epidemiologi Skabies 4 2.3 Etiologi Skabies 5 2.4 Manifestasi Klinis Skabies 7 2.5 Diagnosa Skabies 9 2.6 Diagnosa Banding Skabies 9 2.7 Penatalaksanaan Skabies 10 2.8 Komplikasi Skabies 14



BAB III



METODE PENELITIAN 15 3.1 Desain Penelitian 15 3.2 Lokasi Penelitian 15 3.3 Sumber Data 15 3.4 Populasi dan Sampel Penelitian 3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.6 Cara Kerja BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4.1 Hasil Penelitian 17 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan20 5.2 Saran 20 DAFTAR PUSTAKA 21



BAB I 3



15 15



PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Skabies adalah penyakit infeksi yang menular yang disebabkan oleh infeksi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Skabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa dan prioritas penanganannya rendah, namun sebenarnya skabies yang berlangsung lama dan berat dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Penyakit ini lebih banyak terjadi di negara berkembang, terutama di daerah endemis dengan iklim tropis dan subtropis, seperti Afrika, Amerika Selatan, dan Indonesia. Skabies ditandai gatal malam hari, mengenai sekelompok orang, dengan tempat predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat dan lembab. Menurut data Depkes RI prevalensi penyakit skabies tahun 2013 menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit yang tersering. Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi penyakit kulit diatas prevalensi nasional, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Beberapa faktor yang berpengaruh pada prevalensi skabies antara lain keterbatasan air bersih, perilaku kebersihan yang buruk, dan kepadatan penghuni rumah. Dengan tingginya kepadatan penghuni rumah, interaksi dan kontak fisik erat yang akan memudahkan penularan skabies, oleh karena itu penyakit ini banyak terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, dan pengungsian. Kelainan kulit ini sering menimbulkan ketidak nyamanan karena lesi yang sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan menyebabkan infeksi sekunder terutama yang diakibatkan oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta 4



Staphylococcus aureus. Penyakit skabies ini sangat mudah sekali menular dan sangat gatal terutama pada malam hari. Predileksi dari skabies ialah biasanya pada axilla, areola mammae, sekitar umbilikus, genital, bokong, pergelangan tangan bagian volar, sela-sela jari tangan, siku flexor, telapak tangan dan telapak kaki. Skabies yang terjadi pada anak balita biasanya terdapat pada leher, kepala, telapak tangan dan telapak kaki sehingga sering dikelirukan dengan gambaran eksema atopik. Karena sifatnya yang sangat menular, maka skabies ini popular dikalangan masyarakat padat. Dari uraian singkat di atas, adalah menarik untuk membahas tentang skabies di wilayah kerja Puskesmas Makmur Kabupaten Bireuen.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana prevalensi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin dan usia di Puskesmas Makmur periode Desember 2020 sampai dengan Januari 2021? 2. Bagaimana prevalensi pasien yang di diagnosis skabies di Puskesmas Makmur periode Desember 2020 sampai dengan Januari 2021? 1.3 Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui prevalensi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin dan usia di Puskesmas Makmur periode Desember 2020 sampai dengan Januari 2021. 2. Untuk mengetahui prevalensi pasien yang di diagnosis skabies di Puskesmas Makmur periode Desember 2020 sampai dengan Januari 2021. 1.4 Manfaat Penelitian



5



1. Manfaat bagi peneliti: menambah pengetahuan, pengalaman dan dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama bertugas di Puskesmas Makmur. 2. Manfaat bagi institusi: hasil mini project ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk mengetahui lebih lanjut faktor risiko dan menjadi dasar acuan kebijakan yang berkaitan dengan penanganan skabies di Kecamatan Makmur. 3. Manfaat bagi masyarakat: menjadi sumber informasi bagi masyarakat tentang gambaran penyakit skabies.



BAB II



6



TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Skabies Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Skabies disebut juga dengan the itch, pamaan itch dan seven year itch. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air atau sisir yang pernah dipergunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptes.



2.2 Epidemiologi Skabies Penyakit skabies diperkirakan mencapai sekitar 300 juta kasus per tahunnya di seluruh dunia dan menyerang semua umur, jenis kelamin, ras, dan tingkat sosioekonomi. Tingkat kejadian skabies dalam literatur terbaru mencapai sekitar dari 0,3% sampai 46%, namun anak-anak paling rentan terjangkit skabies. Masyarakat dengan sumber daya yang rendah sangat rentan terjangkit penyakit skabies. Faktor yang berperan pada tingginya angka kejadian skabies di negara-negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat kebersihan diri (personal hygiene), akses air yang sulit, dan kepadatan penduduk. Banyak faktor yang menunjang penyakit ini, antara lain sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual bersifat promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologik.



7



Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian skabies pada tahun 2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Menurut Internasional Alliance for the control of Scabies (IACS) kejadian skabies bervariasi mulai dari 0,3% menjadi 46%. Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Beberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% populasi umum, menyerang semua ras dan kelompok umur serta cenderung tinggi pada anak- anak dan remaja.



2.3 Etiologi Skabies Sarcoptes scabiei varietas hominis adalah parasit yang termasuk kelas Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan famili Sarcoptidae. Selain varietas hominis, S. scabiei juga mempunyai varietas hewan, namun tidak menular, hanya menimbulkan dermatitis sementara serta tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia. Siklus hidup S. scabiei terdiri tadi telur, larva, nimfa, dan tungau dewasa. Infestasi dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies ke orang sehat. Tungau betina dewasa akan berjalan di permukaan kulit untuk mencari daerah untuk digali; lalu melekatkan dirinya di permukaan kulit menggunakan ambulakral dan membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Tungau akan menggali terowongan sempit dan masuk ke dalam kulit. Penggalian biasanya malam hari sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina hidup selama 30-60 hari di dalam terowongan dan selama itu tungau tersebut terus memperluas terowongannya. Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau masuk ke dalam lapisan kulitnya. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada umumnya 8



berupa terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil metabolisme. Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih 1-10 mm yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil. Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret tersebut akan menyebabkan sensitisasi sehingga menimbulkan lesi sekunder. Lesi sekunder berupa papul, vesikel, pustul, dan terkadang bula. Selain itu dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan pioderma. Meskipun dapat terbentuk lesi sekunder dan tersier, namun tungau hanya dapat ditemukan pada lesi primer. Lesi primer pada skabies sangat menular melalui jatuhnya krusta yang berisi tungau. Krusta tersebut menyediakan makanan dan perlindungan bagi tungau yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup. Kelangsungan



hidup



Sarcoptes



scabiei



sangat



bergantung



pada



kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum korneum. Oleh karena itu, tungau ini sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan tipis seperti sela-sela jari tangan, telapak tangan bagian lateral, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria). Variasi skabies dibedakan menjadi: 1. Skabies norwegia (skabies berkrusta) Bentuk skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan 9



kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat menular, tetapi rasa gatalnya sangat sedikit. Tungau dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak. Penyakit terdapat pada pasien dengan retardasi mental, kelemahan fisik, gangguan imunologik dan psikosis. 2. Skabies nodular Skabies dapat berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak, atau pasien dengan imunokompromais.



2.4 Manifestasi Klinis Skabies Gejala klinis pada infeksi kulit akibat skabies disebabkan oleh respons alergi tubuh terhadap tungau. Setelah tungau melakukan kopulasi (perkawinan) di atas kulit, tungau jantan akan mati dan tungau betina akan menggali terowongan dalam stratum korneum sambil meletakkan sebanyak 2 hingga 50 telur. Aktivitas S. scabiei di dalam kulit akan menimbulkan rasa gatal yang umumnya mulai timbul 4-6 minggu setelah infestasi pertama; bila terjadi reinfestasi tungau, gejala dapat muncul lebih cepat dalam 2 hari. Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari disebabkan aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu lebih lembab dan panas. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan kulit menyerupai dermatitis, yaitu lesi papul, vesikel, urtika, dan bila digaruk timbul lesi sekunder berupa erosi, eksoriasi, dan krusta. Dapat ditemukan lesi khas berupa terowongan (kunikulus) putih atau keabu-abuan berupa garis lurus atau berkelok, panjang satu sampai sepuluh mm di tempat predileksi. Kunikulus umumnya sulit



10



ditemukan karena pasien biasa menggaruk lesi, sehingga berubah menjadi ekskoriasi luas. Pada dewasa, umumnya tidak terdapat lesi di area kepala dan leher; tetapi pada bayi, lansia, dan pasien imunokompromais dapat menyerang seluruh permukaan tubuh. Pada varian skabies berkrusta (Skabies Norwegia), ditemukan lesi kulit berupa plak hiperkeratotik di tangan dan kaki, kuku jari tangan dan kaki distrofik, serta skuama generalisata. Pada kasus berat dapat ditemukan lesi fisura dalam. Berbeda dari varian skabies umumnya, skabies berkrusta dapat tidak gatal. Rasa gatal dapat memberi dampak nyata karena mengganggu tidur yang dapat berdampak pada aktivitas sekolah dan kerja. Pasien penderita infeksi skabies, juga lebih mudah mengalami infeksi sekunder bakteri.



2.5 Diagnosis Skabies Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan adanya 2 dari 4 tanda kardinal (tanda utama), yaitu: 1.



Gejala gatal pada malam hari (pruritus nokturna), disebabkan aktivitas tungau skabies yang lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas. 11



2.



Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini menyerang sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti sebuah keluarga, perkampungan, panti asuhan, atau pondok pesantren.



3.



Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat predileksi, terowongan berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 2 cm, putih atau keabu-abuan. Predileksi di bagian stratum korenum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, umbilikus, bokong, perut bagian bawah, areola mammae pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki.



4.



Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei, dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup.



2.6 Diagnosis Banding Skabies Gejala yang ditimbulkan pada infeksi skabies umunya tidak spesifik karena lesi awal pada pasien biasanya berupa papul dan vesikel dengan gejala subjektif berupa rasa gatal. Terlebih lagi umunya pasien datang ke rumah sakit setelah terjadi infeksi sekunder sehingga sulit menilai penyakit yang mendasari pada keluhan pasien. Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo, urtikaria papular, pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken planus, penyakit darier, gigitan serangga, urtikaria, dermatitis eksematoid infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada kehamilan, sifilis, dan vaskulitis. Oleh karena itu skabies disebut juga “the greatest imitator”. 12



2.7 Penatalaksanaan Skabies Umum Infestasi tungau dapat tidak bergejala (asimptomatik) tetapi individu sudah terinfeksi. Mereka dianggap sebagai pembawa (carrier). Oleh karena itu, pengobatan



juga



dilakukan



kepada



seluruh



penghuni



rumah



karena



kemungkinan karier di penghuni rumah dan untuk mencegah re-infestasi karier. Gejala gatal dapat ditangani dengan krim pelembap, kortikosteroid topikal potensi ringan, dan antihistamin oral. Dengan terapi adekuat, seluruh gejala termasuk rasa gatal dapat membaik setelah 3 hari; rasa gatal dan kemerahan masih dapat timbul setelah empat minggu terapi, biasa dikenal sebagai “postscabietic itch. Pasien diedukasi hal tersebut untuk menghindari persepsi kegagalan terapi. Pasien juga diberi edukasi untuk tidak membersihkan kulit secara berlebihan dengan sabun antiseptik karena dapat memicu iritasi kulit.



Medikamentosa Terapi utama adalah topikal. 1. Topikal a. Krim Permetrin 5% Tatalaksana lini pertama adalah topikal krim permetrin kadar 5%, aplikasi ke seluruh tubuh (kecuali area kepala dan leher pada dewasa) dan 13



dibersihkan setelah 8 jam dengan mandi. Permetrin efektif terhadap seluruh stadium parasit dan diberikan untuk usia di atas 2 bulan. Jika gejala menetap, dapat diulang 7-14 hari setelah penggunaan pertama kali. Seluruh anggota keluarga atau kontak dekat penderita juga perlu diterapi pada saat bersamaan. Permetrin memiliki efektivitas tinggi dan ditoleransi dengan baik. Kegagalan terapi dapat terjadi bila terdapat penderita kontak asimptomatik yang tidak diterapi, aplikasi krim tidak adekuat, hilang karena tidak sengaja terbasuh saat mandi sebelum 8 jam aplikasi. Pemakaian pada wanita hamil, ibu menyusui, anak usia di bawah 2 tahun dibatasi menjadi dua kali aplikasi (diberi jarak 1 minggu) dan segera dibersihkan setelah 2 jam aplikasi. b. Krotamiton 10% Krotamiton 10% dalam krim atau lotio merupakan obat alternatif lini pertama untuk usia di bawah 2 bulan. Agen topikal ini memiliki dua efek sebagai antiskabies dan antigatal. Aplikasi dilakukan ke seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam dan diulang sampai 3 hari. Penggunaan dijauhkan dari area mata, mulut, dan uretra. Krotamiton dianggap kurang efektif dibanding terapi lain. c. Belerang Endap (Sulfur Presipitatum) 5%-10% Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 5-10% dalam bentuk salep atau krim. Preparat ini tidak efektif untuk stadium telur, digunakan 3 hari berturut-turut. Kekurangan preparat ini adalah berbau, mengotori pakaian, dan terkadang dapat menimbulkan dermatitis iritan, tetapi harga



14



preparat ini murah dan merupakan pilihan paling aman untuk neonatus dan wanita hamil. d. Emulsi Benzil Benzoas 25% Tatalaksana lini kedua agen topikal adalah emulsi benzil benzoas kadar 25%. Agen ini efektif terhadap seluruh stadia, diberikan setiap malam selama 3 hari. Agen ini sering menyebabkan iritasi kulit, dan perlu dilarutkan bersama air untuk bayi dan anak-anak. Pemakaian di seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam. e. Lindane (Gammexane) 1% Lindane 1% dalam bentuk losio, efektif untuk semua stadi, mudah digunakan,



dan



jarang



mengiritasi.



US



Food



and



Drug



Administration(FDA) telah memasukkan obat ini dalam kategori “black box warning”, dilarang digunakan pada bayi prematur, individu dengan riwayat kejang tidak terkontrol. Selain itu, obat ini tidak dianjurkan pada bayi, anak-anak, lanjut usia, individu dengan berat kurang dari 50 kg karena risiko neurotoksisitas, dan individu yang memiliki riwayat penyakit kulit lainnya seperti dermatitis dan psoriasis.



2. Oral a. Ivermectin Ivermectin merupakan agen antiparasit golongan macrocyclic lactone yang merupakan produk fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis. Agen ini dapat menjadi terapi lini ketiga pada usia lebih dari 5 tahun, 15



terutama pada penderita persisten atau resisten terhadap terapi topikal seperti permethrin. Pada tipe skabies berkrusta, dianjurkan terapi kombinasi ivermectin oral dengan agen topikal seperti permethrin, karena kandungan terapi oral saja tidak dapat berpenetrasi pada area kulit yang mengalami hiperkeratinisasi. Dosis yang dianjurkan untuk skabies adalah 200 μg/kg dengan pengulangan dosis 7-14 hari setelah dosis pertama. Penggunaan tidak dianjurkan untuk anak dengan berat badan di bawah 15 kg, wanita hamil, dan wanita menyusui, karena obat ini berinteraksi dengan sinaps saraf memicu peningkatan glutamat dan dapat menembus sawar darah otak (blood brain barrier) terutama pada anak di bawah 5 tahun yang sistem sawar darah otak belum sempurna. b. Moxidectin Moxidectin merupakan terapi alternatif yang sedang dikembangkan. Moxidectin adalah obat yang biasa digunakan dokter hewan untuk mengobati infeksi parasit terutama Sarcoptic mange. Preparat ini memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ivermectin, tetapi lebih lipofilik sehingga memiliki penetrasi lebih tinggi ke jaringan. Moxidectin memiliki toksisitas lebih rendah dibanding ivermectin. Saat ini studi keamanan dosis pada manusia masih sedikit, dosis terapeutik yang bertahan di kulit antara 3-36 mg (sampai 0,6 m/kg). Pencegahan reinfeksi skabies pada orang yang sama dilakukan dengan mencuci bersih semua barang pribadi penderita seperti pakaian, handuk, sprei,



16



dan sarung dengan menggunakan detergen dan dijemur di bawah terik matahari agar seluruh tungau mati.



2.8 Komplikasi Skabies Kerusakan



epidermis



pada



infeksi



skabies,



memudahkan



infeksi



Streptococcus pyogenes (Group A Streptococcus [GAS]) atau Staphylococcus aureus. Keduanya dapat menyebabkan infeksi lokal jaringan seperti impetigo, selulitis, dan abses, serta dapat menyebar sistemik lewat aliran darah dan limfe (terutama pada skabies berkrusta dapat terjadi limfadenitis dan septikemia). Infeksi kulit pada GAS dapat menimbulkan komplikasi akhir yaitu berupa poststreptococcal glomerulonephritis yang dapat berkembang menjadi gangguan ginjal kronis.



BAB III METODE PENELITIAN



17



3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data sekunder dengan desain penelitian studi cross-sectional. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di UPTD Puskesmas Suakribee 3.3 Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat dari daftar pasien prolanis periode Januari 2021 sampai dengan Desember 2021 3.4 Populasi dan Sampel a. Populasi penelitian Populasi penelitian ini adalah pasien yang terdaftar prolanis dan di diagnosis Hipertensi di UPTD Puskesmas Suakribee periode Januari 2021 sampai dengan Desember 2021. b. Sampel Penelitian Seluruh pasien prolanis menjadi sampel penelitian yang memenuhi kriteria. 3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi a. Kriteria Inklusi Pasien terdaftar prolanis yang didiagnosis Hipertensi di UPTD Puskesmas Suakribee periode Januari 2021 sampai dengan Desember 2021. b. Kriteria Eksklusi Pasien yang di diagnosis Hipertensi tetapi tidak terdaftar dalam Prolanis



18



3.6 Cara Kerja Cara pengumpulan data pada penelitian ini yaitu berdasarkan data sekunder dari pasien Prolanis Hipertensi yang ada di UPTD Puskesmas Suakribee. Dalam proses pengumpulan dan pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya: a. Editing (Pengeditan Data) Dalam penelitian ini Editing merupakan kegiatan pengecekan terhadap hasil observasi pada data rekam medis, sehingga diketahui apakah hasil sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten. b. Coding (Pengkodean) Data-data yang diperoleh kemudian diubah menjadi data berbentuk angka/bilangan. c. Processing (Pemasukan data) Langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis. Pemrosesan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meng-entry data dari isian rekam medis ke paket program komputer. d. Cleaning (Pembersih data) Setelah di entry data dari rekam medis pada penelitian ini dilakukan kegiatan pengecekan kembali apakah ada kesalahan atau tidak. e. Interpretasi Data Data di interpretasikan secara deskriptif. f. Pelaporan Hasil Mini Project



19



Hasil mini project dibuat dalam bentuk makalah laporan yang akan dipresentasikan. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1



Hasil dan Pembahasan Setelah penelitian dilakukan, selama bulan Januari 2021 sampai dengan Desember 2021 didapatkan 48 orang pasien yang telah terdaftar Prolanis dan didiagnosa menderita Hipertensi oleh dokter di UPTD Puskesmas Suakribee. Data yang telah dikumpulkan, diolah dan dianalisa berdasarkan laporan hasil rekam medis UPTD Puskesmas Suakribee Tahun 2021 yaitu sebagai berikut :



4.1.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Terhadap Prevalensi Pasien Hipertensi yang Terdaftar Prolanis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Suakribee Periode Januari 2021 sampai dengan Desember 2021



Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Terhadap Prevalensi Penderita Hipertensi Terdaftar Prolanis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Suakribee Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Laki-laki 24 50% Perempuan 24 50% Jumlah 48 100%



Berdasarkan tabel 4.1.1 didapatkan bahwa persentase laki-laki sama



20



besar dengan perempuan adalah sejumlah 24 orang (50%). Hasil penelitian ini



sesuai dengan ESC/ ESH dimana belum ditemukannya tentang



keterkaitan antara jenis kelamin dan angka kejadian. Hanya saja pada literatur disebutkan bahwa resiko komplikasi hipertensi meningkat pada orang yang berjenis laki- laki dibandingkan perempuan.



4.1.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Terhadap Prevalensi Penderita Hipertensi Terdaftar Prolanis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Suakribee Periode Januari 2021 sampai dengan Desember 2021



Tabel 4.1.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Terhadap Prevalensi Penderita Hipertensi terdaftar Prolanis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Suakribee Usia Frekuensi Persentase (%)



atas