Mitigasi Kerusakan Dan Pencemaran Lahan Basah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MITIGASI KERUSAKAN DAN PENCEMARAN LAHAN BASAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara singkat, lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayahwilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Lahan basah dapat digolongkan menjadi daerah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin. Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan berbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah (Wikipedia, 2014). Pemanfaatan sumberdaya lahan oleh manusia merupakan suatu kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan. Kebutuhan akan lahan berhubungan erat dengan kebutuhan manusia berupa pangan, sandang, dan papan serta energi. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat mengakibatkan tindakan pemanfaatan sumberdaya lahan pun semakit pesat. Permintaan terhadap lahan untuk berbagai bidang kehidupan, salah satunya lahan pertanian menjadi semakin meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan basah (dalam hal ini rawa dan gambut) menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Lahan basah memiliki keunikan tersendiri dan khas dibanding sumberdaya lahan lainnya. Lahan basah pada umumnya merupakan wilayah yang sangat produktif dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi, baik keanekaragaman hayati maupun non hayati, sehingga diyakini bahwa lahan basah merupakan salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat potensial. Meskipun lahan basah dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lahan lainnya, namun dalam pemanfaatannya manusia seringkali mengedepankan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi lingkungan. Hal ini



menjadi penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran serta kehilangan lahan basah sehingga tak dapat menjalankan fungsi lingkungannya (Arwan, 2011).



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Lahan Basah Menurut Konvensi Ramsar (dalam Tjokrokusumo, 2006) yang pertama kali terbentuk pada tahun 1971 di Iran, lahan basah adalah lahan rawa, payau, gambut, dan perairan baik buatan maupun alami, tetap atau sementara dengan kondisi air tergenang atau mengalir, apakah itu tawar atau payau maupun asin, termasuk juga wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari 6 meter pada waktu air surut. Sehingga definisi tersebut mencakup wilayah terumbu karang dan padang lamun di daerah pesisir, dataran lumpur, hutan bakau, muara, sungai, rawa air tawar, hutan rawan dan danau termasuk rawa dan danau bergaram. Sedangkan definisi lainnya mengganggap bahwa lahan basah adalah suatu ekoton yang merupakan daerah peralihan antara lingkungan daratan dan lingkungan perairan dimana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Menurut Konvensi Ramsar, lahan basah diklasifikasikan berdasarkan pola Dugan (1990) yaitu: 1. Lahan basah berair asin yang terdiri dari kawasan laut, kawasan muara, kawasan



laguna, dan kawasan berdrainase internal berair asin. 2. Lahan basah berair tawar yang terdiri dari kawasan sungai, kawasan danau, dan



kawasan rawa. 3. Kawasan basah bautan yang terdiri dari kawasan budidaya perikanan, pertanian,



ladang garam, bekas galian, tempat pengelolaan limbah, daerah penampungan air, dan lain-lain. 2.2. Fungsi Lahan Basah Fungsi dan nilai lahan basah antara lain adalah mengatur siklus air, menyediakan air permukaan dan air tanah, serta mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor, keberadaan potensi sumberdaya air di kawasan lahan basah (kawasan gambut, kawasan resapan air, sempadan sumber air,



pantai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan pantai berhutan bakau, dan rawa) menjadi semakin terancam kelestariannya (Arwan, 2011). Menurut Davies (1995), manfaat lahan basah dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu: 1. Sebagai jasa, yaitu sebagai contoh lahan basah berfungsi dalam pengisian air tanah dan pengendali banjir. 2. Sebagai barang, yaitu berkaitan dengan penggunaan lahan basah itu sendiri maupun lahan basah sebagai tempat untuk menghasilkan sesuatu, seperti tempat untuk mengumpulkan kayu atau tempat untuk penelitian. 3. Sebagai atribut dan estetika, yaitu lahan basah memiliki keindahan alam dan kepentingan bagi tempat upacara keagamaan. Adapun menurut Tjokrokusumo (2006), terdapat 6 fungsi lahan basah sebagai pengendali pencemaran, diantaranya adalah: 1. Pengatur aliran air, yaitu untuk penyimpanan air dan memperlambat aliran air 2. Mencegah intrusi air asin, baik untuk air tanah maupun untuk air permukaan 3. Pelindung terhadap bencana alam, yaitu penahan badai, ombak, dan tsunami 4. Pengendap lumpur hasil erosi dan kegiatan lainnya serta racun 5. Penambat unsur hara 6. Penambat racun Keenam peran tersebut merupakan satu kesatuan yang diemban wetlands dalam memelihara lingkungan atau kemampuannya dalam melakukan atenuasi polusi limbah baik yang dikeluarkan oleh industri maupun lainnya, bail “point source” maupun “nonpoint source”. Ada beberapa faktor yang berperan dalam ekosistem lahan basah yaitu hidrologi, flora-fauna dan “substrate” dimana flora-fauna tumbuh dan berkembang. 2.3. Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah Pada awalnya lahan basah dijauhi karena merupakan sarang nyamuk yang dapat menimbulkan penyakit malaria. Dengan alasan ini pula merupakan salah satu penyebab terjadinya pembukaan lahan basah untuk memberantas sarang nyamuk dan penyakit yang ditimbulkannya. Sekitar akhir 1800-an lahan basah dianggap sebagai penyebab nyamuk malaria, sehingga kegiatan untuk pengeringan lahan basah menjadi luas. Seiring dengan perkembangan teknologi tahun-tahun berikutnya, kerugian dan kerusakan dari lahan



basah semakin terus bertambah karena alasan tersebut, dan sebagai alasan untuk mendapatkan lahan pertanian, membuka pemukiman dan lain-lain, yang tergambar pada kontrol dan eksploitasi alam oleh manusia, meletakkan dasar bagi pemberantasan lahan basah (Caliskan, 2008). Lahan basah telah dikeringkan, berubah menjadi lahan pertanian dan perkembangan komersial dan residensial pada tingkat yang mengkhawatirkan (Mitsch dan Gosselink, 1993). Konversi lahan basah yang telah berlangsung berabad-abad di berbagai bagian dunia telah merusakkan jutaan hektar lahan basah, terutama di negara-negara industri. Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan basah (Notohadiprawiro, 1996). Sebagai contoh, sejak kedatangan orang Eropa ke Amerika, setengah dari lahan basah di AS telah hilang (Özeesmi, 1997 dalam Caliskan, 2008). Meskipun nilai intrinsiknya besar, lahan basah telah kehilangan sistem tanahnya di bawah penggunaan manusia, sehingga sebagian besar lahan basah di Eropa, dan Mediterania pada khususnya, telah hilang (Hollis, 1995). Di Spanyol, diperkirakan bahwa lebih dari 60% dari lahan basah telah hilang dalam 50 tahun terakhir. Semenanjung Iberia Barat Tengah 94% dari lahan basah asli menghilang pada periode antara 1896 dan 1996 (GallegoFernandez, et al., 1999. Potensi lahan basah cukup baik untuk usaha pertanian, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Di Indonesia sejak tahun 70-an pemerintah telah melakukan pengembangan berbagai usaha tersebut di lahan basah di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua melalui kegiatan pengembangan pemukiman, namun sayang, tidak semua wilayah pengembangan berhasil, banyak juga yang tidak berkembang (mal-developed). Ekosistem lahan basah sebelum dibuka memberikan banyak hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar, berbagai jenis ikan dan hasil-hasil lainnya. Setelah lahan tersebut dibuka, hasil-hasil tersebut menurun drastis akibat berbagai masalah lingkungan di lahan yang dibuka maupun di lahan lain di sekelilingnya. Berbagai masalah lingkungan tersebut antara lain masalah penurunan permukaan tanah (subsidence), penurunan pH tanah dan badan air oleh karena sulfat masam, banjir, kekeringan, kebakaran hutan gambut, dan sebagainya. Beberapa masalah tersebut merupakan bencana nasional. Akibatnya secara umum daya dukung lahan bagi kehidupan menurun drastis (Poniman, dkk., 2006). Penyusutan luas kawasan lahan basah di daerah padat penduduk terjadi akibat kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri. Hal tersebut seperti antara lain menyebabkan terjadinya upaya reklamasi dengan menimbun ekosistem pantai dan rawa serta pembelokan, penyempitan, maupun pelebaran sungai untuk pembangunan



infrastruktur. Di samping itu penyusutan juga terjadi di kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi, hal ini umumnya terjadi akibat bencana alam seperti kebakaran dan juga akibat ketidakjelasan tata batas kawasan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Kerusakan lahan basah juga bisa berupa pencemaran yang kemudian menyebabkan perubahan kesetimbangan ekologis lahan basah, sedimentasi danau dan rawa, masuknya invasive alien spesies, dan pengurasan sumberdaya akibat pemanfaatan berlebih. Kerusakan yang terjadi menyebabkan banyak kawasan lahan basah terutama rawa dan danau mengalami pendangkalan, eutrophikasi, hilangnya spesies asli, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Pada daerah tertentu, aktivitas yang dilakukan dalam upaya untuk pengembangan atau kelangsungan hidup dapat menyebabkan pencemaran. Pencemaran lahan basah menimbulkan ancaman serius terhadap struktur dan fungsi ekosistem lahan basah (Mitsch dan Gosselink, 2000; Lamers et al, 2002). Pencemaran pada lahan basah terjadi tiada lain akibat aktivitas manusia (human-induce) yang berada baik di dalam maupun di luar lingkungan lahan basah. Pada umumnya sumber pencemaran berasal dari aktivitas manusia yang menghasilkan limbah buangan (residu) dan polutan yang dibuang sembarangan. Kebanyakan pencemaran terjadi pada badan air sehingga menurunkan kualitas air. Lahan basah yang telah menjadi korban pencemaran sebagian besar berdekatan dengan daerah berikut (Mkuula, 1993): 1. Pusat-pusat perkotaan; Pesatnya pembangunan dan peningkatan penduduk merambah sebagian lahan basah sebagai bagian dari perkotaan. Proses urbanisasi yang cepat mempengaruhi pencemaran yang semakin parah akibat pembuangan sampah (limbah padat) dan limbah cair yang berasal dari penduduk, domestik, dan industri. 2. Daerah yang dekat industri berpolusi besar, seperti pengolahan sisal (serat; Industri merupakan sumber utama polusi air, udara dan tanah. Limbah industri dapat mengandung logam berat seperti merkuri, timbal krom, dan kadmium; garam sianida, nitrit dan nitrat, bahan organik, mikro-organisme dan nutrisi, bahan kimia dan beracun seperti pestisida. 3. Daerah di mana pertambangan merupakan sarana utama pendapatan; Sumberdaya



yang terkandung di lahan basah sangat potensial untuk dikelola khususnya pertambangan. Tak jarang kita temui lokasi tambang yang berada di sekitar lahan basah.



Pencemaran



yang



timbul



dari



kegiatan



pertambangan



sangat



memprihatinkan. Dengan munculnya pengeboran gas alam dan mungkin minyak di wilayah pesisir, mungkin ada dampak negatif yang sangat besar pada laut terutama rapuhnya lahan basah, dan pesisir. Pada skala pertambangan besar yang terorganisir, dampak lingkungan relatif mudah untuk dicegah dan dikendalikan. Namun, pertambangan skala kecil tidak terorganisir dan tidak terkendali telah melakukan kerusakan luar biasa untuk lingkungan. Overburden merupakan sampah utama yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Fraksi komoditi yang berguna biasanya sangat kecil, dan sisanya adalah batu dan tanah sampah yang dibuang tanpa memperhatikan lingkungan. 4. Daerah dimana aplikasi pestisida sangat luas; Pestisida menimbulkan masalah



pencemaran lingkungan ketika dibuang ke lingkungan karena beracun bagi banyak spesies non-target. Beberapa pestisida tetap aktif untuk waktu yang lama atau dapat terurai menjadi senyawa yang lebih beracun. Sumber-sumber pencemaran pestisida berasal dari penyimpanan dan pengelolaan yang tidak. Kurangnya kesadaran akan bahaya terkait dengan penanganan pestisida semakin merumitkan masalah. Air adalah penerima utama polutan pestisida. Sekitar 50% dari pestisida yang disemprotkan ke tanaman jatuh di tanah atau terbawa oleh angin dan memasuki badan air melalui air hujan atau irigasi. Beberapa pestisida akhirnya mencemari air minum. 2.4. Mitigasi Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah Dalam pengertian umum, mitigasi berarti mengurangi kerusakan lingkungan dengan menghindari, meminimalkan, dan kompensasi untuk kegiatan yang merusak atau menghancurkan sumber daya yang dilindungi (Anonim, 2003). Ada tiga jenis mitigasi umumnya diakui sebagai metode yang dapat diterima untuk mengkompensasi dampak kerusakan lahan basah: restorasi (restoration), penciptaan (creation), dan peningkatan (enhancement). Restorasi lahan basah mengacu pada pembentukan kembali (re-establishment) dari lahan basah di suatu daerah di mana secara historis lahan basah ada tapi yang nampak sekarang sedikit atau tidak adanya fungsi lahan basah. Penciptaan (creation) lahan basah mengacu pada pembuatan lahan basah di daerah yang bukan lahan basah di masa lalu. Peningkatan (enhancement) mengacu pada peningkatan satu atau lebih fungsi dari ada lahan basah (Kruczynski, 1990).



Dalam konteks lahan basah, mitigasi sering diartikan sebagai kompensasi, dan berarti restorasi, penciptaan, peningkatan, atau beberapa tindakan lain yang dilakukan untuk tujuan spesifik dari kompensasi untuk kerusakan atau kehancuran lahan basah (Anonim, 2003). Selain dari ketiga metode yang umumnya dilakukan dalam kegiatan mitigasi lahan basah, menurut Morgan dan Robert (1999) metode yang paling sering juga digunakan namun menjadi pilihan terakhir adalah pelestarian (preservation). Kegiatan pelestarian merupakan kegiatan yang dilakukan untuk tetap mempertahankan kondisi lahan basah yang ada dalam menjalankan fungsinya (Odum dan Turner, 1987).



BAB III KESIMPULAN Dari penulisan di atas, maka dapat disimpulkan: Lahan basah adalah lahan rawa, payau, gambut, dan perairan baik buatan maupun alami, tetap atau sementara dengan kondisi air tergenang atau mengalir, apakah itu tawar atau payau maupun asin, termasuk juga wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari 6 meter pada waktu air surut. Sehingga definisi tersebut mencakup wilayah terumbu karang dan padang lamun di daerah pesisir, dataran lumpur, hutan bakau, muara, sungai, rawa air tawar, hutan rawan dan danau termasuk rawa dan danau bergaram. Lahan basah pada umumnya merupakan wilayah yang sangat produktif dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi, baik keanekaragaman hayati maupun non hayati, sehingga diyakini bahwa lahan basah merupakan salah satu sistem penyangga kehidupan yang sangat potensial. Meskipun lahan basah dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lahan lainnya, namun dalam pemanfaatannya manusia seringkali mengedepankan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi lingkungan. Hal ini menjadi penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran serta kehilangan lahan basah sehingga tak dapat menjalankan fungsi lingkungannya. Fungsi dan nilai lahan basah antara lain adalah mengatur siklus air, menyediakan air permukaan dan air tanah, serta mencegah terjadinya banjir dan kekeringan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor, keberadaan potensi sumberdaya air di kawasan lahan basah (kawasan gambut, kawasan resapan air, sempadan sumber air, pantai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan pantai berhutan bakau, dan rawa) menjadi semakin terancam kelestariannya. Fungsi lahan basah untuk mengendalikan pencemaran adalah: Pengatur aliran air, yaitu untuk penyimpanan air dan memperlambat aliran air, Mencegah intrusi air asin, baik untuk air tanah maupun untuk air permukaan, Pelindung terhadap bencana alam, yaitu penahan badai, ombak, dan tsunami, Pengendap lumpur hasil erosi dan kegiatan lainnya serta racun, Penambat unsur hara, dan Penambat racun. Potensi lahan basah cukup baik untuk usaha pertanian, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Ekosistem lahan basah sebelum dibuka memberikan banyak hasil hutan,



seperti kayu, rotan, damar, berbagai jenis ikan dan hasil-hasil lainnya. Setelah lahan tersebut dibuka, hasil-hasil tersebut menurun drastis akibat berbagai masalah lingkungan di lahan yang dibuka maupun di lahan lain di sekelilingnya. Berbagai masalah lingkungan tersebut antara lain masalah penurunan permukaan tanah (subsidence), penurunan pH tanah dan badan air oleh karena sulfat masam, banjir, kekeringan, kebakaran hutan gambut, dan sebagainya. Akibatnya secara umum daya dukung lahan bagi kehidupan menurun drastis. Penyusutan luas kawasan lahan basah di daerah padat penduduk terjadi akibat kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan industri. Hal tersebut seperti antara lain menyebabkan terjadinya upaya reklamasi dengan menimbun ekosistem pantai dan rawa serta pembelokan, penyempitan, maupun pelebaran sungai untuk pembangunan infrastruktur. Di samping itu penyusutan juga terjadi di kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi, hal ini umumnya terjadi akibat bencana alam seperti kebakaran dan juga akibat ketidakjelasan tata batas kawasan. Kerusakan lahan basah juga bisa berupa pencemaran yang kemudian menyebabkan perubahan kesetimbangan ekologis lahan basah, sedimentasi danau dan rawa, masuknya invasive alien spesies, dan pengurasan sumberdaya akibat pemanfaatan berlebih. Kerusakan yang terjadi menyebabkan banyak kawasan lahan basah terutama rawa dan danau mengalami pendangkalan, eutrophikasi, hilangnya spesies asli, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat. Pencemaran pada lahan basah terjadi tiada lain akibat aktivitas manusia (human-induce) yang berada baik di dalam maupun di luar lingkungan lahan basah. Pada umumnya sumber pencemaran berasal dari aktivitas manusia yang menghasilkan limbah buangan (residu) dan polutan yang dibuang sembarangan. Kebanyakan pencemaran terjadi pada badan air sehingga menurunkan kualitas air. Oleh karena itu, kita perlu mengurangi dampak pencemaran lahan basah melalui kegiatan restorasi (restoration), penciptaan (creation), dan peningkatan (enhancement), hingga pelestarian (preservation). Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan untuk tetap mempertahankan kondisi lahan basah yang ada dalam menjalankan fungsinya.



DAFTAR PUSTAKA Arwan. 2011. Mitigasi Kerusakan dan Pencemaran Lahan Basah. Diambil pada tanggal 29 Januari



2015



dari



http://arwansoil.blogspot.in/2011/03/mitigasi-kerusakan-dan-



pencemaran-lahan.html Tjokrokusumo, Sabaruddin Wagiman. 2006. Upaya Mitigasi Pencemaran Laut Dengan Artificial Wetlands. Pusat Teknlogi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Wikipedia,



2014.



Lahan



Basah.



Diambil



http://id.wikipedia.org/wiki/Lahan_basah



pada



tanggal



29



Januari



2015



dari