Modul Pembelajaran Dasar-Dasar Ilmu Farmasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL PEMBELAJARAN DASAR-DASAR ILMU FARMASI



PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI



DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan kenikmatan yang tiada bandingannya karena berkat limpahan rahmatnya maka penyusun akhirnya dapat menyelesaikan modul mata kuliah Dasa-Dasar Ilmu Farmasi Dan Etika. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah pada nabi kita Muhammad SAW yang menjadi teladan kita untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Modul ini dipersiapkan dalam rangka membantu pengadaan sarana pendidikan terutama dalam Program studi Farmasi. Oleh karena itu setelah mengikuti materi Dasa-Dasar Ilmu Farmasi Dan Etika dan menyelesaikan materi ini, mahasiswa diharapkan dapat dengan terampil mampu memahami prinsip pengembangan sediaan farmasi serta prinsip menjamin mutu sediaan farmasi yang aman , efektif, stabil dan bermutu. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa modul materi ini masih banyak kekurangannya dan jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang konstruktif sangat penyusun butuhkan demi perbaikan Modul petunjuk ini. Semoga Modul petunjuk ini dapat bermanfaat sebelum melakukan materi Dasa-Dasar Ilmu Farmasi Dan Etika.



Jakarta , November 2019



Penyusun



DAFTAR ISI



DESKRIPSI MATA KULIAH Deskripsi Mata Kuliah Dasar-Dasar Ilmu Farmasi dan Etika 1. Nama Mata Kuliah



: Dasar-Dasar Ilmu Farmasi dan Etika



2. Kode Mata Kuliah



: FA191010



3. Beban Studi



: 2 sks; 2x50 menit kuliah, 14 kali tatap muka/semester



4. Semester



: 1 (satu)



5. Mata Kuliah Prasyarat



:-



6. Jenis Kompetensi



: Pendukung



7. Kelompok Matakuliah



: MKK



8. Deskripsi Matakuliah



:



9. CPL



:



Sikap



: S8. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik;



Pengetahuan



: P7. Mampu memahami prinsip menjamin mutu sediaan farmasi yang sesuai standar dan perundang-undangan P8. Mampu menguasai konsep teroritis proses pengadaan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan bahan baku, sediaan farmasi dan alat kesehatan secara efektif dan efisien sesuai perundang-undangan yang berlaku.



Keterampilan Khusus



: KK1. Mampu mengaplikasikan konsep pelayanan kefarmasian sediaan farmasi dan alat kesehatan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.



10. CPMK



:



1. Mahasiswa mampu memahami aspek-aspek bidang kefarmasian. 2. Mahasiswa mampu memahami mengenai peranan obat, pengembangan obat, sumbersumber obat, cara pemakaian obat dan peraturan pemerintah mengenai obat. 3. Mahasiswa mampu memahami mengenai peranan kefarmasian di apotek, di rumah sakit dan buku-buku standar farmasi. 11. Penilaian Hasil



: kuis, tugas harian, tugas kelompok, Ujian Tengah Semester,



Ujian Akhir Semester 12. Referensi Wajib



: 1.



Farmakope Indonesia 2014



2. Mutshler Ernst, Dinamika Obat, edisi 5, penerbit ITB, Bandung 3. Bagian farmakologi FK UI, Farmakologi & Terapi, edisi 5, Jakarta, 2003 4. ISO Farmakoterapi, edisi 2, ISFI Penerbitan , 2013 5. Katzung Bertram G, Basic and Clinic Pharmacology, 7 th edition, 2013



BAB I SEJARAH KEFARMASIAN A. Farmasi Jaman Pra Sejarah Diantara beberapa karakteristik yang unik dari Homo sapiens adalah kemampuannya untuk mengatasi penyakit, baik fisik maupun mental dengan menggunakan obat-obatan. Dari bukti arkeologi didapatkan bahwa pencarian terhadap obat-obatan setua pencarian manusia terhadap peralatan lain. Seperti halnya bebatuan yang digunakan untuk pisau dan kapak, obat-obatan pun jarang sekali tersedia dalam bentuk siap pakai. Bahan-bahan obat tersebut harus dikumpulkan, diproses dan disiapkan; kemudian digabungkan menjadi satu untuk digunakan dalam pengobatan. Aktivitas ini, telah dilakukan jauh sebelum sejarah manusia dimulai dan sampai sekarang tetap menjadi fokus utama praktek kefarmasian. Manusia purba belajar dari insting atau naluri, dengan melakukan pengamatan terhadap hewan. Pertama kali mereka menggunakan air dingin, sehelai daun, debu, bahkan lumpur untuk pengobatan4. Naluri untuk menghilangkan rasa sakit pada luka dengan merendamnya dalam air dingin atau menempelkan daun segar pada luka tersebut atau menutupinya dengan lumpur, hanya berdasarkan kepercayaan. Manusia purba belajar dari pengalaman dan mendapatkan cara pengobatan yang satu lebih efektif dari yang lain. Dari sinilah permulaan terapi dengan obat dimulai. Mereka menularkan pengetahuan ini kepada sesamanya. Walupun metode yang mereka gunakan masih kasar, akan tetapi banyak sekali obat-obatan yang ada saat ini diperoleh dari sumbernya dengan metode sederhana dan mendasar seperti yang telah mereka lakukan. B. Farmasi Jaman Babylonia-Assyria Pada daerah selatan kerajaan Babylonia (sekarang Iraq), bangsa Sumeria telah mengembangkan sistem tulis-menulis sekitar tahun 3000 SM sehingga mereka telah memasuki periode sejarah. Bangsa Babylonia melakukan observasi terhadap planetplanet dan bintang-bintang yang mendasari ilmu astronomi dan astrologi saat ini. Kedudukan dan gerakan bintang-bintang diduga mempengaruhi kejadian di bumi. Kepercayaan ini kemudian diadopsi oleh ilmu kedokteran dan kefarmasian berikutnya. Bangsa Sumeria dan pewarisnya yakni bangsa Babylonia dan Assyria telah meninggalkan ribuan tablet lempung dalam puing-puing peninggalan mereka sebagai salah satu peninggalan peradaban manusia yang paling berharga. Sejarah mereka



terkubur rapat-rapat dalam tablet lempung tersebut hingga berabad-abad berikutnya sekelompok sejarahwan berhasil mengungkap “bagian yang hilang” dari catatan-catatan kuno ini. Dari penelitian terhadap catatan-catatan kuno tersebut disebutkan 3 aspek yang paling berpengaruh dalam ilmu pengobatan Babylonia-Assyria yakni : ketuhanan (divination), pengusiran roh jahat/setan (excorcism) dan penggunaan obat-obatan. Tiga aspek tersebut merupakan satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Penyakit adalah kutukan atau hukuman Tuhan, sedangkan pengobatan adalah pembersihan/pensucian dari kedua hal tersebut. Konsep tersebut dikenal sebagai katarsis (catharsis). Konsep ini menjelaskan makna asli kata “pharmakon” (Yunani), yang merupakan asal kata pharmacy (farmasi). Konsep pharmakon dijelaskan sebagai berbagai usaha penyembuhan atau pensucian dengan cara mengeluarkan atau membersihkan. Yang menarik, di dalam farmakologi (ilmu tentang obat dan mekanisme kerjanya) dikenal obat katartik atau pencahar, yakni obat yang bekerja meningkatkan motilitas kolon (usus besar) sehingga meningkatkan pengeluaran tinja (feses). Para pendeta di masa itu berperan sebagai rohaniwan (diviner) dan pengusir setan, yang mendukung peran mereka sebagai penyembuh/dokter. Dalam literatur lain disebutkan bahwa terdapat pemisahan profesi penyembuh di antara bangsa Babylonia, yakni penyembuh empiris dan penyembuh yang spiritualis. Penyembuh spiritualis dikenal sebagai asipu, yang menekankan pada penggunaan mantra/doa-doa bersama dengan batu-batu bertuah/jimat-jimat dalam pengobatan. Pada salah satu tablet lempung tercatat adanya mantra/doa yang tertulis di awal dan di akhir suatu formula obat. Mantra/doa tersebut diharapkan memberi kekuatan menyembuhkan kepada obat-obatan yang telah dibuat. Fenomena ini mungkin masih sering dijumpai di berbagai pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif bangsa kita. Penyembuh empiris dikenal sebagai asu, yang menggunakan obat/ramuan tertentu dalam bentuk sediaan farmasi yang sekarang masih digunakan seperti : pil, supositoria, enema, bilasan, dan salep. Kedua penyembuh tersebut seringkali bekerjasama dalam menangani penyakit yang berat/sulit disembuhkan. Selain kedua penyembuh tersebut terdapat sekelompok orang yang juga meracik obat dan kosmetik yang disebut pasisu. Akan tetapi peranan dan kedudukan mereka dalam pengobatan belum diketahui secara pasti. C. Sejarah Farmasi Dunia



Farmasi dalam bahasa Inggris adalah pharmacy, bahasa Yunani adalah pharmacon, yang mempunyai arti obat. Farmasi merupakan salah satu bidang ilmu profesional kesehatan yang merupakan kombinasi dari ilmu kesehatan, ilmu fisika dan ilmu kimia, yang mempunyai tanggung jawab memastikan efektivitas dan keamanan penggunaan obat. Ruang lingkup dari praktik farmasi sangat luas termasuk penelitian, pembuatan, peracikan, penyediaan sediaan obat, pengujian, serta pelayanan informasi obat atau berhubungan dengan layanan terhadap pasien di antaranya layanan kefarmasian. Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Saat itu seorang “Dokter” yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang Apoteker yang menyiapkan obat. Semakin berkembangnya ilmu kesehatan masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun cara pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama. Kata farmasi berasal dari kata farma (pharma). Farma merupakan istilah yang dipakai pada tahun 1400 - 1600an. Sejarah Perkembangan Farmasi : 1. Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi. 2. Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan. 3. Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik. 4. Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya 5. Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :”I pondered at length,



finally I resolved to clarify the matter by experiment”. Ia adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat diuji–coba secara klinik pada manusia. 6. Institut Farmakologi pertama didirikan pada th 1847 oleh Rudolf Buchheim (18201879) di Universitas Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald Schiedeberg (1838-1921) bersama dengan pakar disiplin ilmu lain menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat meliputi reseptor obat, hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer (1852-1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di Jerman. Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan, dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang penyedia atau peracik obat. Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat. dilihat dari sisi pendidikan Farmasi, di Indonesia mayoritas farmasi belum merupakan bidang tersendiri melainkan termasuk dalam bidang MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang merupakan kelompok ilmu murni (basic science) dan buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi atau sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan. Di Inggris, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru dalam pendidikan farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula menjadi bagian dari MIPA, berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri secara utuh berkembang ke arah “patient oriented”, memuculkan berkembangnya Clinical Pharmacy (Farmasi klinik). Di USA telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan profesional lain memerlukan informasi obat yang seharusnya datang dari para apoteker. Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker merupakan informasi obat yang “parah”, tidak mampu memenuhi kebutuhan para dokter akan informasi obat. Apoteker yang berkualits dinilai amat jarang atau langka, bahkan dikatakan bahwa dibandingkan dengan apoteker, medical representatif dari industri farmasi justru lebih merupakan sumber informasi obat bagi para dokter. Perkembangan terakhir adalah



timbulnya konsep “Pharmaceutical Care” yang membawa para praktisi maupun para “profesor” ke arah “wilayah” pasien. Secara global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah akarnya semula yaitu sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien. Apoteker diharapkan setidak-tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat baik bagi masyarakat maupun profesi kesehatan lain baik di rumah sakit, di apotek, puskesmas atau dimanapun apoteker berada D. Perkembangan Ilmu Farmasi Farmasi tetap merupakan suatu fungsi dari kedokteran, sampai meningkatnya jenis obat-obatan dan semakin rumitnya cara pembuatannya, yang membutuhkan para ahli yang dapat mencurahkan segenap perhatiannya pada pekerjaan ini. Secara resmi farmasi terpisah dari kedokteran sejak tahun 1240 setelah Masehi. Saat itu ada perintaj dari raja Jerman Frederick II, dan untuk mengatur pekerjaan kefarmasian di bawah pemerintahannya yang disebut “Two Sicilies”. Dekritnya yang membagi dua profesi tersebut dan mengakui bahwa farmasi membutuhkan ilmu, keterampilan, inisiatif dan tanggung jawab yang khusus. Ilmu Farmasi baru menjadi ilmu pengetahuan yang sesungguhnya pada abad XVII di Perancis. Pada tahun 1797 telah berdiri sekolah farmasi yang pertama di perancis dan buku tentang farmasi mulai diterbitkan dalam beberapa bentuk antara lain buku pelajaran, majalah, Farmakope maupun komentar. Kemajuan di Perancis ini diikuti oleh negara Eropa yang lain, misalnya Italia, Inggris, Jerman, dan lain-lain. Di Amerika sekolah farmasi pertama berdiri pada tahun 1821 di Philadelphia. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka ilmu farmasipun mengalami perkembangan hingga terpecah menjadi ilmu yang lebih khusus, tetapi saling berkaitan, misalnya farmakologi, farmakognosi, galenika dan kimia farmasi. E. Tokoh-Tokoh Besar Farmasi Sepanjang sejarah banyak telah banyak yang memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan ilmu farmasi. Yang dapat dicatat para ilmuwan- ilmuwan yang berjasa dalam perkembangan farmasi dan kedokteran adalah: 1. Hipocrates (460-370 Sebelum Masehi) Hipocrates adalah dokter Yunani yang memperkenalkan farmasi dan kedokteran secara ilmiah. Hasil pekerjaannya diantaranya uraian dari beratusratus obat-obatan yang ada masa itu timbul istilah farmakon, diartikan sebag air obat yang dimurnikan hanya untuk tujuan kebaikan melebih arti dari terdahulu. Berdasarkan



kerjanya sebagai pelopor dalam ilmu kedokteran maka Hipocrates diberi penghargaan dengan disebut sebagai Bapak Ilmu Kedokteran.



Gambar 1.1. Ilustrasi Hipocrates 2. Dioscorides (abad ke-1 setelah Masehi) Dioscorides adalah ahli botani Yunani, merupakan orang pertama yang menggunakan tumbuh- tumbuhan sebagai ilmu farmasi terapan. Karyanya De Materia Medica, dianggap sebagai awal dari pengembangan botani farmasi. Ilmu dalam bidang ini sekarang dikenal sebagai farmakognosi suatu istilah yang dibentuk. dari dua kata Yunani, pharmakonyang berarti obat dan gnosis yang berarti pengetahuan Obat-obatan yang dibuatnya yaitu Aspiridium, Opium, Ergot, Hyosyamus dan Cinnamon.



Gambar1.2. Ilustrasi Dioscorides.



Gambar 1.3. Sampul Muka Buku Materia De Medica



Gambar 1.4. Buku De Materia Medica 3. Galen (130-200 setelah Masehi) Galen Adalah dokter dan ahli farmasi bangsa Yunani. Karyanya dalam ilmu kedokteran dan obat-obatan yang berasal dari alam, formula dan sediaan farmasi yaitu Farmasi Galenika. Formula yang paling terkenal adalah krim pendingin yang disebut Galen’s Cerats, yang sangat mirip sekali dengan sediaan yang masih dipakai sampai sekarang.



Gambar1.5. Ilustrasi Galen 4. Philipus Aureulus Theopratus Bombatus Van Hohenheim (1493-1541 setelah masehi) Philipus Aureulus Theopratus Bombatus Van Hohenheim adalah seorang dokter dan ahli kimia dari Swiss yang menyebut dirinya Paracelcus , sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan farmasi, menyiapkan bahan obat spesifik dan memperkenalkan zat kimia sebagai obat internal.



Gambar 1.6. Ilustrasi Philipus Aureulus Theopratus Bombatus Van Hohenheim F. Sejarah Kefarmasian Di Indonesia Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1997) dalam “informasi jabatan untuk standar kompetensi kerja” menyebutkan jabatan Ahli Teknik Kimia Farmasi, (yang tergolong sektor kesehatan) bagi jabatan yang berhubungan erat dengan obatobatan, dengan persyaratan: pendidikan Sarjana Teknik Farmasi. Dilihat dari sisi pendidikan Farmasi, di Indonesia mayoritas farmasi belum merupakan bidang tersendiri melainkan termasuk dalam bidang MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang merupakan kelompok ilmu murni (basic science) sehingga lulusan S1-nya pun bukan disebut Sarjana Farmasi melainkan Sarjana Sain. Bagaimana dengan perkembangan farmasi di Indonesia? Perkembangan farmasi boleh dibilang dimulai ketika berdirinya pabrik kina di Bandung pada tahun 1896. Kemudian, terus berjalan sampai sekitar tahun 1950 di mana pemerintah mengimpor produk farmasi jadi ke Indoneisa. Perusahaan-perusahaan lokal pun bermunculan, tercatat ada Kimia Farma, Indofarma, Dankos, dan lainnya. Di dunia pendidikan sendiri, sekolah tinggi atau fakultas farmasi juga dibuka di berbagai kota. Sejarah Perkembangan Farmasi.



Tonggak sejarah munculnya profesi apoteker di Indonesia dimulai dengan didirikannya Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946, yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi UGM, dan di bandung tahun 1947.



BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN OBAT A. Sejarah Penggunaan Obat Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya. Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan. Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi. Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik. Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :”I pondered at length, finally I resolved to clarify the matter by experiment”. Ia adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat diuji–coba secara klinik pada manusia. Institut Farmakologi pertama didirikan pada th 1847 oleh Rudolf Buchheim (1820-1879) di Universitas Dorpat (Estonia). Selanjutnya Oswald Schiedeberg (18381921) bersama dengan pakar disiplin ilmu lain menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat meliputi reseptor obat, hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer (1852-1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di Jerman. B. Sumber Obat Sampai akhir abad 19, obat merupakan produk organik atau anorganik dari tumbuhan yang dikeringkan atau segar, bahan hewan atau mineral yang aktif dalam penyembuhan penyakit tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik bila dosisnya terlalu tinggi atau pada kondisi tertentu penderita Untuk menjamin tersedianya obat agar tidak tergantung kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengeringan. Contoh



tumbuhan yang dikeringkan pada saat itu adalah getah Papaver somniferum (opium mentah) yang sering dikaitkan dengan obat penyebab ketergantungan dan ketagihan. Dengan mengekstraksi getah tanaman tersebut dihasilkan berbagai senyawa yaitu morfin, kodein, narkotin (noskapin), papaverin dll. yang ternyata memiliki efek yang berbeda satu sama lain walaupun dari sumber yang sama Dosis tumbuhan kering dalam pengobatan ternyata sangat bervariasi tergantung pada tempat asal tumbuhan, waktu panen, kondisi dan lama penyimpanan. Maka untuk menghindari variasi dosis, F.W.Sertuerner (1783- 1841) pada th 1804 mempelopori isolasi zat aktif dan memurnikannya dan secara terpisah dilakukan sintesis secara kimia. Sejak itu berkembang obat sintetik untuk berbagai jenis penyakit. Pengembangan obat baru Pengembangan bahan obat d C. Pengembangan Obat Baru Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia (choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin untuk menangani penyakit diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur obat dan aktivitasnya maka pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular. Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan pemberi izin. Biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik. 1. Uji praklinik Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat.



Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi: a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis b. Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas) c. Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas) Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. 2. Uji klinik Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu: a. Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. b. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial



dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. c. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang



disintesis



karena



risikonya



lebih



besar



dari



manfaatnya



atau



kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.



d. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi , talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati .



BAB III PENGGOLONGAN OBAT



A. Definisi Obat Definisi obat ialah semua bahan tunggal/campuran yang dipergunakan oleh semua makhluk untuk bagian dalam maupun luar, guna mencegah, meringankan ataupun menyembuhkan penyakit. Menurut undang – undang yang dimaksud obat ialah suatu bahan atau bahanbahan yang dimaksudkan untuk dipergunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, untuk memperelok badan atau bagian badan manusia. Obat-obatan, dalam bentuk tumbuhan, hewan dan mineral, telah ada jauh lebih lama dari manusia. Penyakit pada manusia dan nalurinya untuk mempertahankan hidup setelah bertahun-tahun membawa kepada penemuan-penemuan. Penggunaan obat-obatan, walaupun dalam bentuk yang sederhana tidak diragukan lagi, sudah berlangsung sejak jauh sebelum adanya sejarah yang ditulis, karena naluri orang-orang primitif untuk menghilangkan rasa sakit pada luka dengan merendamnya dalam air dingin atau menempelkan daun segar pada luka tersebut atau menutupinya dengan lumpur, hanya berdasarkan pada kepercayaan. Orang-orang primitif belajar dari pengalaman dan mendapatkan cara pengobatan yang satu lebih efektif dari yang lain, dari dasar permulaan ini pekerjaan terapi dengan obat dimulai. 1. Obat jadi, adalah obat dalam keadaa murni atau campuran dalam bentuk serbuk, cairan, salep, tablet, pil, suppositoria atau bentuk lain yang mempunyai teknis sesuai dengan Farmakope Indonesia atau buku lain yang ditetapkan oleh pemerintah. 2. Obat Patent, adalah obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pembuat yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang memproduksinya. 3. Obat Asli, adalah obat yang didapat langsung dari bahan-bahan alamiah Indonesia, terolah scara sederhana atas dasar pengalaman dan digunakan dalam pengobatan tradisional.



4. Obat Esensial, adalah obat yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat terbanyak dan tercantum dalam Daftar Obat Esensial yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. 5. Obat Generik, adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. B. Penggolongan obat Macam-macam penggolongan obat: 1. Menurut kegunaannya obat dapat dibagi: a. Untuk menyembuhkan (terapeutic) b. Untuk mencegah (prophylactic) c). untuk diagnosa (diagnostic) 2. Menurut cara penggunaan obat dapat dibagi: a. Medicamentum ad usum internum (pemakaian dalam), adalah obat yang digunakan melalui orang dan diberi tanda etiket putih. b. Medicamentum ad usum externum (pemakaian luar), adalah obat yang cara penggunaannya selain melalui oral dan diberi tanda etiket biru. Contohnya implantasi, injeksi, topikal, membran mukosal, rektal, vaginal, nasal, opthal, aurical, collutio/gargarisma. 3. Menurut cara kerjanya obat dapat dibagi: a. Lokal adalah obat yang bekerjanya pada jaringan setempat, seperti obat – obat yang digunakan secara topikal pemakaian topikal. Contohnya salep, linimenta dan cream. b. Sistemis adalah obat yang didistribusikan keseluruh tubuh. Contohnya tablet, kapsul, obat minum dan lain – lain. 4. Menurut undang-undang kesehatan obat digolongkan dalam: a. Obat bebas Obat golongan ini termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh tanpa resep dokter, selain di apotek juga dapat diperoleh di warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna hijau. Contohnya adalah parasetamol, vitamin c, asetosal (aspirin), antasida daftar obat esensial (DOEN), dan obat batuk hitam (OBH) (Priyanto, 2010).



Gambar 3.1. Penandaan Obat Bebas b. Obat bebas terbatas Obat bebas terbatas atau obat yang masuk dalam daftar “W” menurut bahasa Belanda “W” singkatan dari “Waarschung” artinya peringatan. Jadi maksudnya obat yang bebas penjualannya disertai dengan tanda peringatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan kedalam daftar obat “W” memberikan pengertian obat bebas terbatas adalah Obat Keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan yang sebagaimana telah datur dalam PERMENKES NOMOR: 919/MENKES/PER/X/1993 pasal 2. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 2380/A/SK/VI/83, tanda khusus untuk obat bebas terbatas berupa lingkaran warna biru dengan garis tepi berwarna hitam. Tanda khusus harus diletakan sedemikian rupa sehingga jelas terlihat dan mudah dikenal sebagaimana yang dijelaskan pada gambar 2 di bawah. Contohnya obat flu kombinasi (tablet), chlorpheniramin maleat (CTM), dan mebendazol (Priyanto, 2010).



Gambar 3.2. Penandaan dan Peringatan Obat Bebas Terbatas c. Obat keras Obat keras atau obat daftar G menurut bahasa Belanda “G” singkatan dari “Gevaarlijk” artinya berbahaya maksudnya obat dalam golongan ini berbahaya jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukan obat-obatan kedalam daftar obat keras, memberikan pengertian obat keras, memberikan pengertian obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan sebagai berikut: 1) Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa obat itu hanya boleh diserahkan dengan resep dokter. 2) Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan secara parental, baik degan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek rangkaian asli dari jaringan. 3) Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.



4) Semua obat yang tercantum dalam daftar obat keras: obat itu sendiri dalam substansi dan semua sediaan yang mengandung obat itu, terkecuali apabila dibelakang nama obat disebutkan ketentuan lain, atau ada pengecualian Daftar Obat Bebas Terbatas. Berdasarkan



Keputusan



Menteri



Kesehatan



RI



Nomor:



02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus Obat Keras daftar G adalah lingkaran bulatan warna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi lihat gambar 3. Contoh obat ini adalah amoksilin, asam mefenamat (Priyanto, 2010).



Gambar 3.3 Penandaan Obat Keras Obat keras dibedakan menjadi beberapa golongan, yaitu Obat Wajib Apotek (OWA), obat daftar G, dan psikotropika: 1) Obat Wajib Apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker di apotek kepada pasien tanpa resep dokter (Keputusan Menteri Kesehatan No: 347/MENKES/VII/1990). Contoh: Antiparasit (obat cacing, mebendazol); Obat Kulit Topikal (antibiotik, tetrasiklin); Obat Saluran Napas (obat asma, ketotifen). Daftar ini menetapkan obat-obat keras yang dapat dibeli di apotek tanpa resep dokter dalam jumlah dan potensi terbatas. Pasien diharuskan memberikan nama dan alamatnya yang didaftarkan oleh apoteker bersama nama obat yang diserahkan. Daftar tersebut meliputi antara lain pil anti-hamil, obat-obat lambung tertentu, obat antimual metokolpramid, laksan bisakodil, salep sariawan triamsinolon, obat-obat pelarut dahak bromheksin, asetil- dan karbosistein, obat-obat nyeri atau demam asam mefenamat, glisfenin dan metamizol. Disamping itu daftar tersebut juga mencakup sejumlah obat keras dalam bentuk salep atau krim, antibiotik, seperti kloramfenikol, eritromisin, tetrasiklin, dan gentamisin, dan zat-zat antijamur (mikonazol, ekonazol, nistatin dan tolnaftat).



2) Obat G mencakup semua obat keras yang hanya dapat dibeli di apotek berdasarkan resep dokter, seperti antibiotika, hormon kelamin, obat kanker, obat penyakit gula, obat malaria, obat jiwa, jantung, tekanan darah tinggi, obat anti-pembekuan darah dan semua sediaan dalam bentuk injeksi 3) Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi: a) Psikotopika golongan 1 adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, dan mempunyai



potensi



amat



kuat



mengakibatkan



ketergantungan.



Contohnya: brolamfetamin (DOB), tenamfetamin (MDA), dan lisergida (LSD). b) Psikotropika golongan II dapat digunakan untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta 10 mempunyai potensi kuat mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: amfetamin, deksamfetamin, dan metamfetamina. c) Psikotropika golongan III dapat digunakan untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: katina, amobarbital, buprenofrina, dan pentobarbital. d) Psikotropika golongan IV dapat digunakan untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: alprazolam, barbital, diazepam dan fenobarbital (Undang – Undang RI No: 3 tahun 2017). 4) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebebkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan–golongan (Undang – Undang RI No: 2 tahun 2017). Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: a) Narkotika golongan I, digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta



reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Contohnya: heroina, katinona, amfetamin dan metamfetamin. b) Narkotika golongan II dan III, yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. Contohnya : fentanil, morfina, petidina, dan kodeina.



Gambar 3.4. Lambang Obat Narkotika C. Sumber obat Obat yang kita gunakan ini berasal dari berbagai sumber antara lain: 1. Tumbuhan (flora, nabati), seperti digitalis folium, kina, minyak jarak, codein, dll 2. Hewan (fauna, hayati) seperti minyak ikan, adeps lanae, cera, adrenalin dll 3. Mineral (pertambangan) seperti kalium iodida, garam dapur, parafin, vaselin. 4. Sintetis (tiruan/buatan) seperti kamfer sintetis, vitamin C, acid benzoic synthetic, chloramphenicol dll. 5. Mikroba seperti antibiotik penicillin dari Penicillium notatum. Dari sumber-sumber ini supaya lebih sederhana dan lebih mudah dalam pemakaian dan penyimpanan masih harus diolah menjadi sediaan kimia dan sediaan galenis. Contoh: Simplisia Belladonnae herba



Preparat Kimia Preparat Galenis Atropin sulfas Scopolamini Belladonna extractum



Opium



hydrobromidum Belladonnae tinctura Morphini hydrochloridum Opii extractum Opii tinctura Codeini Hydrochloridum



D. Pengertian Resep Dalam arti umum resep adalah Formulae Medicae, dan terbagi atas:



1. Formulae officinalis



Formulae officinalis yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope atau buku lainnya dan merupakan standar



2. Formulae magistralis Formulae magistralis yaitu resep yang ditulis oleh dokter menurut pendapatnya sendiri,



kadang-kadang



merupakan



gabungan



formula



officinalis



dengan



penambahan/pengurangan. Inilah yang pada umumnya disebut resep Resep adalah permintaan tertulis seorang dokter , dokter gigi atau dokter hewan yang diberi ijin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat-obatan bagi penderita. Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe (ambilah). Dibelakang tanda ini (R/) biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Umumnya resep ditulis dalam bahasa latin. Suatu resep yang lengkap harus memuat: 1. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan 2. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat 3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep 4. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Nama pasien, jenis hewan, umur, serta alamat/pemilik hewan 6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi dosis maksimal. Contoh bentuk resep dokter adalah sebagai berikut:



Pembagian suatu resep yang lengkap: 1. Nama, alamat dokter, tanggal dan tempat ditulisnya resep Dasar-Dasar Kefarmasian Jilid 1 1 KEGIA TAN BELAJ AR 1 (inscriptio) 2. Aturan pakai dari obat yang tertulis (signatura) 3. Paraf/tanda tangan dokter yang menulis resep (subcriptio) 4. Tanda buka penulisan resep dengan R/ (invocatio) 5. Nama obat, jumlah, bentuk yang akan dibuat dan cara membuatnya (praescriptio atau ordinatio) Yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi (terbatas pada pengobatan gigi dan mulut) dan dokter hewan (terbatas pada pengobatan hewan). Dokter gigi diberi ijin menulis resep dari segala macam obat untuk pemakaian melalui mulut, injeksi (parentral) atau cara pemakaian lainnya, khusus untuk mengobati penyakit gigi dan mulut. Sedangkan pembiusan / patirasa secara umum tetap dilarang bagi dokter gigi (S.E.) Depkes No. 19/Ph/62 Mei 1962. Resep untuk pengobat segera Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera dokter dapat memberi tand : Cito : segera Urgent : penting Statim : penting



P.I.M : Periculum In Mora = berbahaya bila ditunda. Ditulis pada bagian atas kanan resep, apoteker harus mendahulukan pelayanan resep ini termasuk resep antidotum. Bila dokter ingin agar resepnya dapat diulang, maka dalam resep ditulis Iteratie. Dan ditulis berapa kali resep boleh diulang. Misalkan iteratie 3 X, artinya resep dapat dilayani 1 + 3 kali ulangan = 4 X . Untuk resep yang mengandung narkotika, tidak dapat ditulis iteratie tetapi selalu dengan resep baru.



E. Komponen Resep Menurut Fungsi Menurut fungsi bahan obatnya resep terbagi atas:



1.



Remidium Cardinal, adalah obat yang berkhasiat utama



2.



Remidium Ajuvans, adalah obat yang menunjang bekerjanya bahan obat utama



3.



Corrigens, adalah zat tambahan yang digunakan untuk memperbaiki warna, rasa dan bau dari obat utama. Corrigens dapat kita bedakan sebagai berikut :



a.



Corrigens Actionis, digunakan untuk memperbaiki kerja zat berkhasiat utama. Contohnya pulvis doveri terdiri dari kalii sulfas, ipecacuanhae radix, dan opii pulvis. Opii pulvis sebagai zat berkhasiat utama menyebabkan orang sukar buang air besar, karena itu diberi kalii sulfas sebagai pencahar sekaligus memperbaiki kerja opii pulvis tsb.



b.



Corrigens Odoris, digunakan untuk memperbaiki bau dari obat. Contohnya oleum Cinnamommi dalam emulsi minyak ikan.



c.



Corrigens Saporis, digunakan untuk memperbaiki rasa obat. Contohnya saccharosa atau sirupus simplex untuk obat - obatan yang pahit rasanya.



d.



Corrigens Coloris, digunakan untuk memperbaiki warna obat. Contohnya obat untuk anak diberi warna merah agar menarik untuk diminum.



e.



Corrigens Solubilis, digunakan untuk memperbaiki kelarutan dari obat utama. Contohnya Iodium dapat mudah larut dalam larutan pekat KI / NaI



4.



Constituens / Vehiculum / Exipiens, merupakan zat tambahan. Adalah bahan obat yang bersifat netral dan dipakai sebagai bahan pengisi dan pemberi bentuk, sehingga menjadi obat yang cocok. Contohnya laktosum pada serbuk, amylum dan talcum pada bedak tabur. Contoh resep berdasarkan fungsi bahan obatnya.



R/ Sulfadiazin 0,500 - Remidium Cardinale Bic. Natric 0,300 - Remidium Ajuvans Saccharum 0,100 - Corrigens Saporis Lact. 0,200



- Constituens



Mf. Pulv.dtd no X S.t.d.d.p. I F. Salinan Resep (Copy Resep) Salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh apotik, selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli juga harus memuat : 1. Nama dan alamat apotik 2. Nama dan nomer izin apoteker pengelola apotik. 3. Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotik 4. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan dan tanda nedet (nedetur) untuk obat yang belum diserahkan dan pada resep dengan tanda ITER …X diberi tanda detur orig / detur …..X 5. Nomor resep dan tanggal pembuatan. Contoh salinan resep.



Istilah lain dari copy resep adalah apograph, exemplum, afschrif. Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya, penandatanganan atau pencantuman paraf pada salinan resep yang dimaksud diatas dilakukan oleh Apoteker



Pendamping atau Apoteker Pengganti dengan mencantumkan nama terang dan status yang bersangkutan. Salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau dokter yang merawatnya sekarang, penderita sendiri dan petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundangundangan yang berlaku (contohnya petugas pengadilan bila diperlukan untuk suatu perkara). Penyimpanan Resep Apoteker Pengelola Apotik mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep. Resep adalah suatu dokumen dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama 3 tahun. Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep lainnya. Resep yang disimpan melebihi jangka 3 tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai oleh Apoteker Pengelola Apotik bersama-sama dengan sekurang-kurangnya seorang petugas apotik. Pada pemusnahan resep harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan, rangkap 4 dan ditanda-tangani oleh APA bersama dengan sekurang-kurangnya seorang petugas apotik. G. Etiket Pada etiket harus tercantum: 1. Nama, alamat dan no.telp, nama dan no SIPA Apoteker Pengelola Apotek 2. Nama, tempat, tanggal ditulisnya etiket 3. Nama pasien dan aturan pakai yang jelas dan dimengerti 4. Paraf pembuat obat. Selain etiket, kalau dianggap perlu ditempelkan juga kertas peringatan lainnya, misalnya “Kocok Dahulu”, “Tidak Boleh Diulang Tanpa Resep Dokter”, dan lainlainnya. Sesuaikanlah aturan pakai dan nama pasien yang tertera di resep dengan di etiket. 1. Etiket putih Digunakan untuk sediaan obat yang berkaracteristik sebagai OBAT DALAM contohnya pulveres /pulvis potio emulsi suspensi dan semua sediaan obat yang digunakan melalui oral dan ditelan 2. Etiket biru Digunakan untuk sediaan obat yang berkaracteristik sebagai OBAT LUAR contohnya lotio, unguentum/cream/pasta/gel, injectio, collyrium, gargarisma,



enema/clysma, oculenta, guttae ophthalmicae, guttae auriculare,s guttae nasales, dan pulvis adspersorius. Tanda lain yang diperlukan adalah: a. Kocok dahulu b. Tidak boleh diulang tanpa resep baru dari dokter H. Dosis Definisi dosis (takaran) suatu obat ialah banyaknya suatu obat yang dapat dipergunakan atau diberikan kepada seorang penderita baik untuk dipakai sebagai obat dalam maupun obat luar. Ketentuan Umum FI edisi III mencantumkan 2 dosis yakni: 1. Dosis Maksimal (maximum) berlaku untuk pemakaian sekali dan sehari. Penyerahan obat dengan dosis melebihi dosis maksimum dapat dilakukan dengan membubuhi tanda seru dan paraf dokter penulisan resep, diberi garis dibawah nama obat tersebut atau banyaknya obat hendaknya ditulis dengan huruf lengkap. 2. Dosis Lazim (Usual Doses) merupakan petunjuk yang tidak mengikat tetapi digunakan sebagai pedoman umum (dosis yang biasa / umum digunakan). Ditinjau dari dosis (takaran) yang dipakai, macam-macam dosis dapat dibagi sebagai berikut: 1. Dosis terapi/Dosis medicinalis adalah dosis (takaran) yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat menyembuhkan si sakit. 2. Dosis maksimum adalah dosis (takaran) yang terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan. 3. Dosis toxica adalah dosis yang menyebabkan keracunan, tidak membawa kematian. 4. L.D.50 adalah dosis (takaran) yang menyebabkan kematian pada 50% hewan percobaan. 5. L.D.100 adalah dosis (takaran) yang menyebabkan kematian pada 100% hewan perconaan. 6. Dosis inisiasi/Dosis awal adalah dosis ( takaran ) yang diberikan pada awal suatu terapi sampai tercapai kadar kerja yang diinginkan secaraterapeutik. 7. Dosis pemeliharaan adalah dosis ( takaran ) yang harus diberikan selanjutnya setelah tercapaikejenuhan untuk memelihara kerja sertakonsentrasi jaringanyang sudah berusia lanjut , makapemberian dosis lebih kecil dari dosis dewasa. Daftar dosis maksimal menurut FI digunakan untuk orang dewasa berumur 20 60 tahun, dengan berat badan 58 – 60 kg. Untuk orang yang sudah berusia lanjut dan pertumbuhan fisiknya sudah mulai menurun, maka pemberian dosis lebih kecil dari pada dosis dewasa.



Perbandingan dosis orang usia lanjut terhadap dosis dewasa: Umur Dosis 60-70 tahun 4 /5 x dosis dewasa 70-80 tahun ¾ x dosis dewasa 80-90 tahun 2 /3 x dosis dewasa 90 tahun keatas ½ x dosis dewasa 1. Dosis untuk wanita hamil Untuk wanitahamil yang peka terhadap obat-obatan sebaiknya diberi dalam jumlah yang lebih kecil, bahkan untuk beberapa obat yang dapat mengakibatkan abortus dilarang, juga wanita menyusui, karena obat dapat diserap oleh bayi melalui ASI. Untuk anak dibawah 20 tahun mempunyai perhitungan khusus. 2. Dosis untuk anak dan bayi Respon tubuh anak dan bayi terhadap obat tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Dalam memilih dan menetapkan dosis memang tidak mudah karena harus diperhitungkan beberapa faktor, antara lain umur, berat badan, jenis kelamin, sifat penyakit, daya serap obat, ekskresi obat. Faktor lain kondisi pasien, kasus penyakit, jenis obatnya juga faktor toleransi, habituasi, adiksi dan sensitif. Aturan pokok untuk memperhitungkan dosis untuk anak tidak ada, karena itu beberapa tokoh mencoba untuk membuat perhitungan berdasarkan umur, bobot badan dan luas permukaan (body surface ) . Sebagai patokan dapat kita ambil salah satu cara sebagai berkut: Menghitung Dosis Maksimum Untuk Anak a. Berdasarkan Umur. 1) Rumus YOUNG: n / n 12 x dosis maksimal dewasa, dimana n adalah umur dari anak 8 tahun kebawah. 2) Rumus DILLING: n / 20 x dosis maksimal dewasa, dimana n adalah umur dari anak 8 tahun kebawah. 3) Rumus FRIED: n / 150 x dosis maksimal dewasa, n adalah umur bayi dalam bulan b. Berdasarkan BB 1) Rumus CLARK (Amerika): Berat badan anak dalam kg x dosis maksimal dewasa 150 atau Berat Badan Anak dalam pound x dosis maksimal dewasa 68



2) Rumus Thermich (Jerman): Berat Badan Anak dalam kg x dosis maksimal dewasa 70 Ada 3 macam bahan yang mempunyai DM untuk obat luar yaitu: Naphthol, guaiacol, kreosot untuk kulit Sublimat untuk mata (kepekatan tidak boleh lebih dari 1 dalam 4000) Iodoform untuk obat pompa 3. Dosis maksimum gabungan Bila dalam resep terdapat lebih dari satu macam obat yang mempunyai kerja bersamaan/searah, maka harus dibuat dosis maksimum gabungan. Dosis maksimum gabungan dinyatakan tidak lampau bila: pemakaian 1 kali zat A + pemakaian 1 kali zat B, hasilnya kurang dari 100 %, demikian pula pemakaian 1 harinya. Contoh obat yang memiliki DM gabungan: Atropin Sulfas dengan Extractum Belladonnae, Pulvis Opii dengan Pulvis Doveri, Coffein dengan Aminophyllin, Arsen Trioxyda dengan Natrii Arsenas dan lain-lain. 4. Dosis dengan pemakaian berdasar jam, contohnya s.o.t.h. (setiap tiga jam) a. Menurut FI edisi II untuk pemakaian sehari dihitung : n/24 X = 24/3 X = 8 kali minum dalam sehari semalam b. Menurut Van Duin : n/16 + 1 X = 16/3 + 1 = 6 kali minum obat untuk sehari semalam, kecuali untuk antibiotika dan sulfonamida dihitung 24 jam (seperti rumus dari FI. II) 5. Dosis untuk larutan mengandung sirup jumlah besar Harus diperhatikan didalam obat minum yang mengandung sirup dalam jumlah besar yaitu lebih dari 16,67 % atau lebih dari 1/6 bagian, BJ larutan akan berubah dari 1 menjadi 1,3, sehingga berat larutan tidak akan sama dengan volume larutan.



BAB IV MACAM-MACAM SEDIAAN OBAT A. Bentuk Sediaan Padat Macam-macam bentuk obat sediaan padat yang umumnya diberikan secara per oral, namun demikian ada juga yang dapat diberikan dengan cara topikal. Bentuk obat sediaan padat mudah dikonsumsi dan relatif lebih stabil jika dibandingakan dengan sediaan cair. Bentuk sediaan padat tediri dari pulveres / pulvis (serbuk), kapsul, tablet, suppositoria dan ovula dimana masing-masing mempunyai sifat, tujuan dan karakteristik yang berbeda satu sama lain meskipun akhirnya dalam tubuh akan diproses dan mengalami fasefase farmakologi dan memberikan efek terapeutik. 1. Pulveres / pulvis Sesuai definisi farmakope Indonesia edisi III, serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar.



a. Keuntungan sediaan serbuk a. Mempunyai permukaan yang luas, serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih larut dari pada bentuk sediaan yang dipadatkan b. Sebagai alternatif bagi anak-anak dan orang dewasa yang sukar menelan kapsul atau tablet. c. Obat yang terlalu besar volumenya untuk dibuat tablet atau kapsul dalam ukuran lazim, dapat dibuat dalam bentuk serbuk. d. Lebih stabil dibandingkan bentuk sediaan cair e. Keleluasaan dokter dalam memilih dosis yang sesuai dengan keadaan pasien



b. Kerugian sediaan serbuk a. rasa yang tidak enak tidak tertutupi (pahit, kelat, asam, lengket dilidah), dan hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan corigens saporis b. untuk bahan obat higroskopis, mudah terurai jika ada lembab



c. Persyaratan Serbuk 1) Keseragaman bobot 2) Timbang isi dari 20 bungkus satu per satu, campur isi ke 20 bungkus tadi dan timbang sekaligus, hitung bobot isi rata-rata. Penyimpangan antara penimbangan satu per satu terhadap bobot isi rata-rata tidak lebih dari 15% tiap 2 bungkus dan tidak lebih dari 10% tiap 18 bungkus.



3) Kering, homogen dan halus



4) Penyimpanan : - Pulvis : dalam wadah tertutup rapat terbuat dari kaca susu atau bahan lain yang cocok



- Pulveres : dalam wadah tertutup baik Kecuali dinyatakan lain yang dimaksud serbuk adalah untuk pemakaian dalam. 2. Tablet Tablet merupakan bentuk sediaan padat yang terdiri dari satu atau lebih bahan obat yang dibuat dengan pemadatan. Tablet juga memiliki perbedaan dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan ataupun ketebalannya. Kebanyakan tipe atau jenis tablet dimaksudkan untuk ditelan dan kemudian dihancurkan dan kemudian melepaskan bahan obat yang ada di dalam tablet tersebut ke dalam saluran pencernaan. Saudara mahasiswa, sekedar rujukan untuk Anda bahwa dari berbagai informasi yang diperoleh di beberapa sumber, yang dimaksud dengan tablet adalah sebagai berikut.



- Tablet adalah sedian padat, dibuat secara kempa-cetak, berbentuk rata atau cembung rangkap. Namun demikian, umumnya bulat yang didalamnya mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. (Ilmu Meracik Obat)



- Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa-cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, serta mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang di gunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok. (FI III hal 6)



- Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. (FI IV hal 4)



- Tablet dapat di definisikan sebagai bentuk sediaan solida yang mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tanpa eksperimen (yang meningkatkan mutu sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohesivitas, kecepatan disintegrasi, dan sifat anti lekat serta dibuat dengan cara mengempa campuran serbuk dalam mesin tablet. (Dasar Umum Pembuatan Tablet) a. Bentuk Tablet



Tablet ini terdapat dalam berbagai macam bentuk. Namun demikian, Tablet umumnya berbentuk bundar dengan permukaan datar atau konveks. Tablet juga ada yang berbentuk khusus. Bentuk khusus tablet, seperti kaplet, segitiga, lonjong, empat persegi, dan enam persegi (heksagonal) juga telah dikembangkan oleh beberapa pabrik. Hal ini dimaksudkan oleh produsen tablet tersebut hanya sekedar untuk membedakan produknya terhadap produk dari pabrik lain. Selain itu, tablet dapat dihasilkan dalam berbagai bentuk, yaitu dengan membuat pons dan lubang kempa (lesung tablet) cetakkan yang di desain khusus. b. Ukuran dan Bobot Tablet Selain mempunyai bentuk, tablet juga mempunyai ukuran, bobot, kekerasan, ketebalan, sifat solusi dan disintegrasi serta dalam aspek lain, tergantung pada penggunaan yang dimaksud dan metode pembuatannya. Berikut adalah penjelasan mengenai ukuran tablet yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: Menurut R.Voigt (sebutkan tahunnya), tablet memiliki garis tengah yang pada umumnya berkisar antara 15-17 mm dengan bobot tablet pada umumnya berkisar 0.1 - 1 gram. Menurut Lachman (sebutkan tahunnya), tablet oral biasanya berukuran 3/16 - 1/2 inc dengan berat tablet berkisar antara 120 700 mg ≥ 800 mg dan berdiameternya 1/4 – 7/6 inci. Sementara itu, menurut FI III dan Formularium Nasional kecuali dinyatakan lain, diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1 1/3 kali tebal tablet. c. Kelebihan dan Kekurangan Sediaan Tablet Karena popularitasnya yang besar dan penggunaannya yang sangat luas sebagai sediaan obat, tablet terbukti menunjukan suatu bentuk yang efisien, sangat praktis, dan ideal untuk pemberian zat aktif secara oral. Hal ini mengidikasikan bahwa tablet mempunyai keuntungan. Dari berbagai referensi, berbagai keuntungan terhadap pemberian obat dalam bentuk sediaan tablet, antara lain: 1) Praktis dan efisien. Artinya waktu peresepan dan pelayanan di apotek dapat lebih cepat, lebih mudah dibawa, dan disimpan. 2) Mudah digunakan dan tidak memerlukan keahlian khusus. 3) Dosis mudah diatur karena merupakan sistem satuan dosis (unit dose system)



4) Efek yang ingin dihasilkan dapat diatur, yaitu dapat lepas lambat, extended release, enteric tablet, orros, dan sebagainya. 5) Bentuk sediaan tablet lebih cocok dan ekonomis untuk produksi skala besar. 6) Dapat menutupi rasa dan bau yang tidak enak yaitu dengan penambahan salut selaput/salut gula. 7) Bentuk sediaan tablet memiliki sifat stabilitas gabungan kimia, mekanik, dan mikrobiologi yang cenderung lebih baik dibanding bentuk sediaan lain. Kekurangan-kekurangan tablet adalah sebagai berikut. 1) Dapat menimbulkan kesulitan dalam terapi individual. Mengapa demikian? Ya karena obat yang berbentuk tablet biasanya pahit dan terlalu besar. Akibat terlalu besar biasanya sulit ditelan dan juga dapat berakibat rasa sakit di tenggorokan, dan sebagainya. 2) Waktu hancur lebih lama dibanding bentuk sediaan lain, seperti yang berbentuk larutan, injeksi, dan sebagainya. 3) Tidak dapat digunakan terhadap pasien yang dalam kondisi tidak sadar atau pingsan. 4) Sasaran kadar obat dalam plasma lebih sulit tercapai d. Bahan Tambahan dalam Tablet Dalam suatu sediaan farmasi, selain zat aktif yang ada dalam tablet juga dibutuhkan eksipien atau semacam bahan tambahan. Eksipien disini merupakan bahan bukan zat aktif yang ditambahkan dalam formulasi suatu sediaan untuk berbagai tujuan atau fungsi. Walaupun eksipien bukan merupakan zat aktif, adanya eksipien sangat penting untuk keberhasilan produksi sediaan yang dapat diterima. Menurut Anief (1994), zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai: 1) Zat pengisi, yaitu digunakan untuk memperbesar volume tablet. Zat-zat yang digunakan seperti: Amilum Manihot, Kalsium Fosfat, Kalsium Karbonat, dan zat lain yang cocok. 2) Zat pengikat, yaitu digunakan agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat. Zat-zat yang digunakan seperti: Musilago 10-20% b /v, larutan Metilcellulosum 5% b /v.



3) Zat penghancur, yaitu digunakan agar tablet dapat hancur dalam saluran pencernaan. Zat-zat yang digunakan seperti: Amilum Manihot kering, Gelatin, Natrium Alginat. 4) Zat pelicin, yaitu digunakan untuk mencegah agar tablet tidak melekat pada cetakan. Zatzat yang digunakan seperti: Talkum 5% b/b, Magnesium stearat, Natrium Benzoat. - Stabil secara fisika dan kimia, - Memenuhi peraturan perundangan, - Tidak mempengaruhi bioavailabilitas obat, - Bebas dari mikroba patogen dan tersedia dalam jumlah yang cukup dan murah. 3. Kapsul Kata kapsul berasal dari bahasa latin, yaitu Capsula. Capsula jika diterjemahkan berarti kotak kecil atau wadah kecil. Sekarang ini istilah kapsul dalam bidang farmasi menggambarkan sediaan solida dosis oral yang terdiri dari wadah dan berisi senyawa obat. Wadah yang dimaksud berupa cangkang dan biasanya biasanya terbuat dari gelatin. Namun demikian, cangkang dapat juga terbuat dari dari pati atau bahan lain yang sesuai. Kapsul dapat juga diartikan sebagai sediaan padat yang terdiri dari satu macam obat atau lebih atau bahan inert lainnya yang dimasukan ke dalam cangkang kapsul gelatin keras atau lunak yang dapat larut. Kebanyakan kapsul yang diedarkan dipasaran biasanya digunakan sebagai obat dimana cara penggunaannya ditelan lewat oral. Namun demikian, ada juga kapsul yang penggunaannya disisipkan ke dalam rectum sehingga obat dilepaskan dan diabsorpsi ditempat tersebut. Contoh: Kapsul Rectum. a. Keuntungan dan kerugian sediaan kapsul Keuntungan dari penggunaan kapsul adalah sebagai berikut: 1) Bentuknya menarik dan praktis 2) Tidak berasa sehingga bisa menutup rasa dan bau dari obat yang kurang enak 3) Mudah ditelan dan cepat hancur di dalam perut sehingga bahan segera diabsorbsi usus



4) Dokter dapat memberikan resep kombinasi dari bermacam-macam bahan obat dan dengan dosis yang berbeda-beda menurut kebutuhan seorang pasien 5) Kapsul dapat diisi dengan cepat, tidak memerlukan bahan penolong seperti pada pembuatan pil atau tablet yang mungkin mempengaruhi absorbsi bahan obatnya Sementara itu, kerugian atau kelemahan dari penggunaan solida kapsul yang juga diperoleh dari berbagai sumber diketahui sebagai berikut: 1) Tidak dapat digunakan untuk diisi dengan zat-zat mudah menguap sebab pori-pori cangkang tidak menahan penguapan 2) Tidak untuk zat-zat yang higroskopis (mudah mencair) 3) Tidak untuk zat-zat yang bereaksi dengan cangkang kapsul 4) Tidak untuk balita 5) Tidak bisa dibagi (misal ¼ kapsul) b. Cangkang kapsul keras Cangkang kapsul dapat berupa kapsul keras dan kapsul lunak, dibuat dari bahan baku gelatin, gula dan air. Cangkang kapsul dapat jernih dan buram (ditambah titanium oksida), berwarna atau polos, tidak berasa, mudah larut dalam air panas dan bersifat higroskopis. Gelatin bersifat stabil diudara bila dalam keadaan kering, tetapi mudah mengalami peruraian dari mikroba, bila menjadi lembab atau bila disimpan dalam larutan berair. Oleh karena itu kapsul gelatin yang lunak mengandung lebih banyak uap air daripada kapsul keras, pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya jamur dalam cangkang kapsul. Biasanya kapsul gelatin mengandung kelembapan antara 9- 12 %, ada juga yang mengatakan sekitar 13-16%. Apabila cangkang kapsul disimpan pada tempat yang kelembapannya tinggi, uap air akan terabsorpsi oleh kapsul gelatin dan kapsul akan terdistorsi dan kehilangan bentuk yang kaku. Sebaliknya dalam kondisi lingkungan yang sangat kering, kelembapan yang ada dalam kapsul akan hilang dan kapsul menjadi rapuh sehingga jika dipegang akan hancur, maka kapsul gelatin keras harus dijaga pada lingkungan yang bebas dari kelembapan atau kekeringan yang berlebihan. Upaya mencegah kapsul gelatin keras terpapar oleh lembap maka sering kapsul-kapsul tersebut dikemas bersama dengan kantong kecil



yang berisi bahan penyerap lebap, seperti silika gel kering dan arang aktif. Kapsul yang sering terpapar kelembapan tinggi akan mempengaruhi disolusi kapsul secara in vitro, akibatnya akan mempengaruhi bioavaibilitas bahan aktif dari kapsul tersebut. (tetrasiklin, kloramfenikiol dan nitrofurantoin) Walaupun gelatin tidak larut, akan melunak dalam air dingin setelah mengabsorpsi air yang beratnya mencapai 10 kali berat gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan dalam cairan lambung yang hangat, kapsul gelatin melepaskan isinya dengan cepat. Pada prinsipnya gelatin dapat dibuat dari bahan yang kaya akan kolagen seperti kulit dan tulang baik dari babi maupun sapi atau hewan lainnya. Akan tetapi, apabila dibuat dari kulit dan tulang sapi atau hewan besar lainnya, prosesnya lebih lama dan memerlukan air pencuci/penetral (bahan kimia) yang lebih banyak, sehingga kurang berkembang karena perlu investasi besar sehingga harga gelatinnya menjadi lebih mahal. Bentuk kapsul gelatin cangkang keras umumnya bulat panjang dan ujungnya tumpul tetapi beberapa pabrik membuat kapsul dengan bentuk khusus, misal ujungnya lebih runcing atau rata. Kapsul cangkang keras yang diisi di pabrik sering mempunyai warna dan bentuk berbeda atau diberi tanda untuk mengetahui identitas pabrik. Kapsul mengandung zat warna yang diizinkan atau zat warna dari berbagai oksida besi, bahan seperti titanium dioksida, bahan pendispersi, bahan pengeras seperti sukrosa dan pengawet. Biasanya bahan ini mengandung antara 10-15% air. c. Cangkang kapsul gelatin lunak Kapsul cangkang lunak yang dibuat dari gelatin (kadang-kadang disebut gel lunak) sedikit lebih tebal dibanding kapsul cangkang keras dan dapat diplastisasi dengan penambahan senyawa alkohol polihidrat, seperti sorbitol atau gliserin. Kapsul gelatin lunak dapat mengandung pigmen atau pewarna, bahan opak seperti titanium dioksida, pengawet seperti metilparaben dan/atau propilparabenuntuk mencegah pertumbuhan mikroba, pengharum, dan pemanis (sukrosa) 5%. Cangkang gelatin lunak umumnya mengandung air 613% serta umumnya berbentuk bulat atau silindris atau bulat telur (disebut pearles atau globula).



Kapsul cangkang lunak tidak dipakai di apotek tetapi diproduksi secara besar-besaran di pabrik dan biasanya diisi dengan cairan. Kapsul lunak yang bekerja secara long acting umumnya berisi granula, disebut spansule. 4. Supositoria dan ovula Supositoria (Suppositoria) merupakan sediaan padat yang dikemas dalam berbagai bobot dan bentuk. Sediaan ini cara pemakaiannya diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Supositoria ini umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Sementara itu, ovula merupakan bentuk sediaan padat yang saat digunakan melalui vaginal. Ovula ini umumnya berbentuk telur, dapat melarut, melunak, meleleh pada suhu tubuh. Saudara mahasiswa, sebenarnya ovula dapat dikategorikan kedalam jenis supositoria. Namun demikian, penggunaan nama ovula dimaksudkan agar dapat merujuk pada bentuk sediaan dan rute pemberiannya yang hanya lewat vaginal. Supositoria dan ovula adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh (Farmakope Indonesia Edisi III). Sementara itu menurut Farmakope Indonesia Edisi IV kedua sedian tersebut didefinisikan sebagai sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Menurut Ansel, supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dilakukan dengan cara memasukkan sediaan tersebut melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana sediaan tersebut akan melebur, melunak atau melarut dan memberikan efek lokal atau sistemik. Penggunaan supositoria umumnya dimasukkan melalui rectum dan vagina. Namun demikian, kadangkadang penggunaannya dilakukan melalui saluran urin. Sangat jarang dijumpai penggunaan supositoria dilakukan melalui telinga dan hidung. Supositoria untuk obat hidung dan telinga sekarang ini sudah tidak digunakan. Sementara itu, ovula adalah sediaan padat yang digunaklan melalui vagina. Umumnya berbentuk seperti telur, dapat melarut, melunak atau meleleh. a. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Supositoria dan Ovula Berikut ini akan adalah keuntungan dari solida supositoria dan ovula yaitu sebagai berikut: 1) Mudah digunakan untuk pengobatan lokal pada rectum, vagina ataupun urethra. Misalnya, wasir, infeksi dan lain sebagainya.



2) Sebagai alternatif bila penggunaan melalui oral tidak dapat dilakukan. Misalnya: pada bayi, pasien debil (lemas, tidak bertenaga), muntahmuntah, gangguan sistem pencernaan (mual, muntah), dan kerusakan saluran cerna. 3) Obat lebih cepat bekerja, karena absorpsi obat oleh selaput lendir rectal langsung ke sirkulasi pembuluh darah. 4) Untuk mendapatkan “prolonged action” (obat tinggal ditempat tersebut untuk jangka waktu yang dikehendaki). 5) Untuk menghindari kerusakan obat pada saluran cerna 6) Dapat menghindari first fast efek dihati. Berikut ini akan adalah kerugian dari solida supositoria dan ovula. 1) Pemakaiannya tidak menyenangkan dan kurang praktis. 2) Tidak dapat disimpan pada suhu ruang untuk supositoria dengan basis oleum cacao. 3) Daerah absorpsinya lebih kecil dan absorpsi hanya melalui difusi pasif 4) Tidak dapat digunakan untuk zat yang rusak pada pH rectum b. Macam-macam Supositoria Terdapat bermacam-macam jenis untuk sediaan dari supositoria ini. Penggolongannya ada yang didasarkan kepada bentuk ataupun cara penggunaannya. Berikut adalah macam-macam jenis supositoria berdasarkan penggolongannya tersebut, yaitu: 1) Rektal Supositoria rectal (anus) dengan tangan



- Bentuk seperti peluru dengan panjang + 32 mm (1,5 inci) - Berat supositoria untuk orang dewasa 3 g dan untuk anak-anak 2 g - Bentuk ini memberi keuntungan, yaitu apabila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur, maka suppos akan tertarik masuk dengan sendirinya. 2) Vaginal Suppositoria = Ovula = Pessary, dimasukkan ke dalam vagina dengan alat. 3) Urethral Suppositoria = Bacilla = Bougies, dimasukkan ke dalam urethra (saluran kemih) pria dan wanita c. Bahan Dasar (basis) Supositoria



Bahan dasar (basis) supositoria yang paling umum digunakan adalah lemak



coklat



(Oleum



cacao),



gelatin



tergliserinasi,



minyak



nabati



terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul, lemak tengkawang (Oleum Shoreae) atau Gelatin, dan ester asam lemak polietilen glikol. Bahan dasar yang digunakan ini harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan-bahan dasar supositoria tersebut jika dikategorikan berdasarkan sifatnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Basis berlemak yang meleleh pada suhu tubuh, misalnya: Oleum Cacao 2) Basis yang larut dalam air atau yang bercampur dengan air, misalnya: Gliserin Gelatin dan Polietilenglikol 3) Basis campuran, misalnya: polioksil 40 stearat (campuran ester monostearat dan distearat dari polioksietilendiol dan glikol bebas. Untuk menghasilkan sediaan supositoria yang baik, maka bahan-bahan dasar pembuatannya haruslah memenuhi syarat-syarat yang ideal, yaitu sebagai berikut: 1) Baik secara fisiologis dan kimia serta tidak mengiritasi 2) Mempunyai viskositas yang cukup saat dilelehkan 3) Harus meleleh pada suhu badan dalam jangka waktu singkat 4) Tidak mengganggu absorpsiatau pelepasan zat aktif 5) Bercampur dengan bermacam obat 6) Stabil pada penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna, bau dan pemisahan obat. B. Bentuk Sediaan Setengah Padat Macam-macam bentuk obat sediaan setengah padat yang umumnya diberikan untuk pemakaian luar dengan cara mengoleskan tipis-tipis pada kulit. Bentuk sediaan setengah padat tediri dari salep (unguentum), pasta, krim, dan gel dimana masingmasing mempunyai sifat, konsistensi, tujuan dan karakteristik yang berbeda satu sama lain tergantung bahan aktif dan eksipien yang digunakan. 1. Salep Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Farmakope Indonesia III); salep adalah sediaan setengah padat



ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir (Farmakope Indonesia IV) a. Persyaratan salep Persyaratan salep yaitu sebagai berikut : 1) Pemberian : Tidak boleh berbau tengik 2) Kadar : Kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah 10%. 3) Dasar salep (Ds) Kualitas dasar salep yang baik, yaitu :



- stabil, tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan, dan harus bebas dari inkompatibilitas selam pemakaian;



- lunak, harus halus, dan homogen; - mudah dipakai; - dasar salep yang cocok; - dapat terdistribusi secara merata. 4) Homogenitas Jika salep dioleskan pada kekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen. 5) Penandaan : pada etiket harus tertera ” obat luar ” b. Penggolongan dasar salep Menurut FI IV Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok, yaitu dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu dasar salep tersebut. 1) salep hidrokarbon Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak, antara lain vaselin putih; salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair yang dapat dicampurkan ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar salep hidrokarabon digunakan terutama sebagai emolien dan sukar dicuci, tidak mengering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama. Dasar salep hidrokarbon meliputi vaselin putih (white



petrolatum/white soft parafin), vaselin kuning (yellow petrolatum/yellow soft parafin ), campuran vaselin dengan cera, parafin cair, parafin padat, minyak nabati. 2) Dasar salep serap Dasar salep ini dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok peertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (parafin hidrofilik dan lanolin anhidrat), dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (lanolin). Dasar salep ini juga berfungsi sebagai emolien. Dasar salep serap meliputi :



- adeps lanae, unguentum simpleks (cera flava : oleum sesami = 30 : 70), c



- ampuran 3 bg kolestrol, 3 bg stearil alkohol, 8 bg malam putih dan 86 bg vaselin putih;



- campuran 30 bg malam kuning dan 70 bg minyak wijen 3) Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air, antara lain salep hidrofilik (krim). Dasar salep ini dinyatakan juga sebagai dapat dicuci dengan air, karena mudah dicuci dari kulit atau di lap basah sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetika. Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini dari pada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi karena dermatologik.



- emulsi minyak dalam air ; Vanishing cream; - emulsifying wax; emulsifying ointment B.P. - hydrophilic ointmen 4) Dasar salep larut dalam air Disebut juga dasar salep tak berlemak dan terdiri ndari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung bahan tak larut dalam air, seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut gel.



- polietilen glikol (PEG) atau campurannya c. Penggolongan Salep Salep dapat digolongkan berdasarkan konsistensi, sifat farmakologi, bahan dasarnya dan Formularium Nasional. 1) Menurut konsistensi salep



- Unguenta Salep yang memiliki konsistensi, seperti mentega tidak mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.



- Krim (cream) Salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit, suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.



- Pasta Salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk) berupa suatu salep tebal karena merupakan penutup/pelindung bagian kulit yang diolesi.



- Cerata Salep berlemak yang mengandung persentase lilin (wax) yang tinggi sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale).



- Gelones / spumae / jelly Salep yang lebih halus, umumnya cair, dan sedikit mengandung atau tidak mengandung mukosa; sebagai pelicin atau basis, biasanya berupa campuran sederhana yang terdiri dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah. Contohnya, starch jelly (amilum 10% dengan air mendidih) 2) Menurut sifat farmakologi/terapeutik dan penetrasinya



- Salep epidermik (epidermic ointment, salep penutup) Salep ini berguna untuk melindungi kulit, menghasilkan efek local, dan untuk meredakan rangsangan/anestesi lokal, tidak diabsorpsi; kadangkadang ditambahkan antiseptic atau adstringensia. Dasar salep yang baik untuk jenis salep ini adalah senyawa hidrokarbon.



- Salep endodermik Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam kulit, tetapi tidak melalui kulit; terabsorpsi sebagian dan digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lender. Dasar salep yang terbaik adalah minyak lemak.



- Salep diadermik Salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh melalui kulit untuk mencapai efek yang diinginkan. Misalnya, salep yang mengandung senyawa merkuri iodide atau beladona. 3) Menurut dasar salepnya



- Salep hidrofobik Salep yang tidak suka air atau salep yang dasar salepnya berlemak (greasy bases); tidak dapat dicuci dengan air, misalnya, campuran lemak-lemak, minyak lemak, malam.



- Salep hidrofilik Salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya memiliki dasar salep tipe M/A. 4) Menurut Formularium Nasional (Fornas) a. dasar salep 1 (ds. Senyawa hidrokarbon) b. dasar salep 2 (ds. serap) c. dasar salep 3 (ds. Yang dapat dicuci dengan air atau ds.Emulsi M/A) d. dasar salep 4 (ds. Yang dapat larut dalam air) d. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan dasar salep: 1) Laju pelepasan bahan obat dari dasar salep 2) Peningkatan absorpsi bahan obat secara perkutan dengan adanya dasar salep 3) Kemampuan melindungi lembap dari kulit 4) Stabilitas obat dalam dasar salep 5) Interaksi yang terjadi antara bahan obat dengan dasar salep (pengentalan) 2. Pasta Pasta adalah sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk pemakaian topikal (Farmakope Indonesia IV). Kelompok pertama dibuat dari gel fase tunggal mengandung air, misalnya Pasta Natrium Karboksimetilselulose, kelompok lain adalah pasta berlemak, misalnya Pasta Zink Oksida, merupakan salep yang padat, kaku, yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada bagian yang diolesi. Pasta berlemak ternyata kurang berminyak dan susaha menyerap dibandingkan dengan salep karena tingginya kadar obat yang mempunyai afinitas terhadap air. Pasta ini cenderung untuk menyerap sekresi seperti serum, dan mempunyai daya penetrasi dan daya maserasi lebih rendah dari salep, oleh karena



itu pasta digunakan untuk lesi akut yang cenderung membentuk kerak, menggelembung dan mengeluarkan cairan. Cara pemakaian dengan mengoleskan lebih dahulu dengan kain kassa. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, wadah tertutup rapat atau dalam tube. Pasta gigi digunakan untuk pelekatan pada selaput lendir untuk memperoleh efek lokal, misal Pasta gigi Triamsinolon Asetonida. Macam-macam pasta yaitu sebagai berikut: a. Pasta berlemak Pasta berlemak adalah suatu salep yang mengandung lebih dari 50% bahan padat (serbuk). Sebagai bahan dasar salep digunakan Vaselin, Parafin cair. Bahan tidak berlemak seperti gliserin, Mucilago atau sabun dan digunakan sebagai antiseptik atau pelindung kulit. Pasta berlemak merupakan salep yang tebal, kaku, keras dan tidak meleleh pada suhu badan. Komposisi salep ini memungkinkan penyerapan pelepasaan cairan berair yang tidak normal dari kulit. Karena jumlah lemaknya lebih sedikit dibandingkan serbuk padatnya, maka supaya dapat lebih homogen lemak-lemak dapat dikerjakan dengan melelehkannya terlebih dahulu baru kemudian dicampurkan. b. Pasta kering Pasta kering merupakan suatu pasta yang tidak berlemak, mengandung kurang lebih 60%^ bahan padat (serbuk). Sering terjadi masalah dalam pembuatan pasta kering apabila dicampur dengan bahan Ichthamolum atau Tumenol Ammonium. Bahan obat tersebut akan membuat campuran pasta menjadi encer. c. Pasta pendingin Pasta pendingin merupakan campuran serbuk dengan minyak lemak dan cairan mengandung air, dan dikenal dengan Salep Tiga Dara. 3. Cremores (krim) Menurut Farmakope Indonesia IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat, mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A). Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikro kristal asamasam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air



dan lebih ditujukan untuk pemakaian kosmetika dan estetika. Krim dapat juga digunakan untuk pemberian obat melalui rektal dan vaginal. Ada dua tipe krim yaitu, krim tipe minyak air (m/a) dan krim tipe air minyak (a/m). pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Untuk krim tipe A/M digunakan sabun polivalen, span, adeps lanae, koleterol, dan cera. Sedangkan untuk krim tipe M/A digunakan sabun monovalen seperti: trietanolamin, natrium laurisulfat, kuning telur, gelatinum, caseinum, CMC, dan emulgidum. Kestabilan krim akan terganggu atau rusak jika sistem campurannya terganggu, terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan komposisi yang disebabkan perubahan salah satu fase secara berlebihan atau zat pengemulsinya tidak tercampurkan satu sama lain. Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencernya yang cocok dan dilakukan dengan teknik aseptik. Krim yang sudah diencerkan harus digunakan dalam jangka waktu 1 bulan. Sebagai pengawet pada krim umumnya digunakan metilparaben (nipagin) dengan kadar 0,12% hingga 0,18% atau propilparaben (nipasol) dengan kadar 0,02% hingga 0,05 %. Penyimpanan krim dilakukan dalam wadah tertutup baik atau tube ditempat sejuk. Penandaan pada etiket harus juga tertera “obat luar”. Pembuatan krim adalah dengan melebur bagian berlemak diatas tangas air. Kemudian tambahkan air dan zat pengemulsi dalam keadaan sama-sama panas, aduk sampai terjadi sesuatu campuran yang berbentuk krim. 4. Gel (jelly) Gel merupakan sediaan setengah padat yang tersusun atas dispersi partikel anorganik kecil atau molekul organik besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika masa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, digolongkan sebagai sistem dua fase (gel aluminium hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari terdispersi relatif besar disebut magma (misalnya magma bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semi padat jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Jadi sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas dan hal ini tertera pada etiket. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul yang tersebar serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul



sintetik (karbomer) atau dari Gom alam seperti tragakan. Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol, dan minyak dapat juga digunakan sebagai pembawa. Contonya minyak mineral dan dikombinasi dengan resin polietilena untuk membentuk dasar salep berminyak. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topical atau dimasukkan dalam lubang tubuh, contoh Voltaren gel, bioplasenton. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, dalam bermulut lebar terlindung dari cahaya dan ditempat sejuk. Menurut USP Gel merupakan bentuk semi solida baik berupa suspensi partikel



halus



anorganik



ataupun



molekul



organic



besar



yang



saling



berinterpenetrasi dengan cairan. Karena zat pembentuk gel tidak larut sempurna atau karena membentuk agregat yang dapat membiaskan cahaya, maka system ini dapat bersifat jernih atau keruh (= suspensi partikel koloid yang terdispersi = gel koloid yang mempunyai struktur 3 dimensi) Terbentuknya gel dengan struktur 3 dimensi disebabkan adanya cairan yang terperangkap, sehingga molekul pelarut tidak dapat bergerak. Penggunaan Gel Dalam sediaan farmasi gel digunakan untuk : a. Sediaan oral : gel murni sebagai cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin b. Sediaan topical : langsung dipakai pada kulit, membran mukosa, mata c. Sediaan dengan kerja lama yang disuntikkan secara i.m d. Dalam Kosmetika : - shampoo - pasta gigi - sediaan pewangi - sediaan perawatan kulit dan rambut Pelarut yang biasa digunakan dalam Gel: a.



Air ( hidrogel ) Misal : magma bentonit, gelatine



b. Organik ( organogel ) Misal : plastibase ( merupakan Polietilen BM rendah, dilarutkan dalam minyak mineral, dan didinginkan secara cepat ) c. Xerogel : gel padat, konsentrat, pelarut rendah, Misal : Gom, polistiren, gelatine kering, selulosa kering. C. Bentuk Sediaan Cair Secara umum sediaan cair dalam bahasa Latin disebut Solutiones, artinya bentuk sediaan berupa larutan. Menurut Farmakope Indonesia ed. IV, solutiones atau larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut. Larutan terjadi jika suatu bahan padat tercampur atau terlarut secara kimia maupun fisika ke dalam bahan cair. Jika bahan NaCl atau KBr dilarutkan dalam air,



ke 2 bahan akan larut, terjadinya larutan ini karena peristiwa kimia, apabila pelarut air diuapkan akan terbentuk kembali NaCl dan KBr, larutan seperti ini disebut larutan langsung. Selain itu jika Zn dilarutkan ke dalam H2SO4 akan terjadi reaksi kimia menjadi larutan ZnSO4 dan larutan ini tidak dapat kembali menjadi bahan awal Zn dan H2SO4. Larutan seperti ini disebut larutan tidak langsung. Keuntungan dan kerugian bentuk sediaan cair/larutan: 1. Keuntungan : a. Merupakan campuran yang homogen b. Dosis dapat diubah-ubah dalam pembuatan c. Dapat diberikan dalam larutan encer, sementara kapsul dan tablet tidak dapat diencerkan d. Kerja awal obat lebih cepat karena absorpsi lebih cepat dibandingkan sediaan padat e. Lebih cocok untuk anak-anak, kerena dapat ditambahkan pemanis, zat warna, dan aroma tertentu sehingga menarik 2. Kerugian : a. Bahan obat ada yang tidak larut dalam larutan b. Bahan obat tidak stabil dalam sediaan cair c. Bau dan rasa yang tidak dapat ditutupi jika dalam bentuk sediaan cair Berdasarkan jenis bahn yang terlarut dalam suatu larutan, digolongkan menjadi : 1. Larutan mikromolekuler Merupakan larutan yang mengandung mikrounit yang terdiri dari molekul atau ion, misalnya alkohol, gliserin, ion natrium, dan ion klorida dengan ukuran 1 – 10 Ả. 2. Larutan miseler Suatu larutan yang mengandung bahan padat terlarut berupa agregat (misel) bisa berupa molekul atau ion. 3. Larutan makromolekuler Ialah larutan yang mengandung bahan padat dimana molekulnya lebih besar dari larutan mikro, seperti larutan : Pulvis Gummi Arabicum, CMC, PVP, albumin. Berdasarkan cara pemakaian dan efek yang diharapkan, sediaan cair obat dalam dibagi menjadi : 1. Sediaan cair yang diberikan lewat mulut dan ditelan, terdiri dari potio, sirop, elixir, potio effervescent dan guttae



2. Sediaan cair obat dalam yang diberikan lewat mulut tidak ditelan, terdiri dari collutorium (obat cuci mulut), gargarisma (obat kumur), litus oris(obat oles mulut) dan guttae oris (obat tetes mulut) Beberapa faktor yang mempengaruhi suatu larutan yaitu sebagai berikut : 1. Sifat polaritas bahan terlarut dan pelarut Istilah yang dikenal dengan like dissolves like, yaitu bahwa molekul-molekul dengan distribusi muatan yang sama dapat larut secara bolak balik, misalnya molekul polar akan larut dalam pelarut yang polar, sebaliknya molekul non polar akan larut dalam pelarut non polar. Konsep polaritas ini kurang tepat jika diterapkan pada zat yang kelarutannya rendah karena akan terbentuk misel atau agregat dan hidrat padat. 2. Co-solvency Merupakan pelarut campuran yang digunakan untuk melarutkan zat tertentu sehingga lebih mudah larut, terjadinya kenaikan kelarutan karena adanya modifikasi pelarut, misalnya luminal yang tidak larut dalam air, tetapi dapat mudah larut dalam campuran air-gliserin (solutio petit). 3. Temperatur Pada umumnya suatu zat kelarutannya bertambah dengan kenaikan temperatur, dan disebut zat itu bersifat eksoterm. Sebaliknya zat yang jika dinaikkan suhunya justru akan menyebabkan penurunan kelarutan, disebut zat bersifat endoterm, contohnya : CaSO4, Ca(OH)2 , CaHPO3, (Ca hipofosfit), Cagliserofosfat, minyak atsiri, dan gas-gas yang terlarut. 4. Salting out dan Salting in Salting out adalah peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang mempunyai kelarutan lebih besar dibandingkan zat utamanya, sehingga menyebabkan penurunan kelarutan zat utama. Contoh : a. Kelarutan minyak atsiri dalam air akan turun jika ke dalam larutan tersebut ditambahkan larutan NaCl jenuh, karena kelarutan NaCl lebih besar dibandingkan kelarutan minyak atsiri dalam air sehingga minyak atsiri akan memisah. b. Reaksi antara papaverin HCL dengan solutio Charcot akan menghasilkan endapaan basa papaverin Salting in adalah peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang mempunyai kelarutan lebih kecil dibandingkan kelarutan zat utamanya sehingga menyebabkan kenaikan kelarutan zat utamanya. Misalnya Nikotinamidum menyebabkan riboflavin (vit B2) larut dalam air, karena terjadi penggaraman. 5. Pembentukan kompleks Kompleks terjadi karena adanya interaksi antara zat tidak larut dan zat yang larut sehingga membentuk suatu senyawa kompleks yang larut.



Contoh : kofein yang tidak larut dalam air, jika ditambahkan larutan Natrii Benzoat akan terbentuk kompleks dan mudah larut. 6. Ukuran partikel Kecepatan larut suatu zat dipengaruhi oleh ukuran partikel, semakin halus partikel maka permukaan zat yang kontak dengan pelarut semakin luas sehingga zat larut makin cepat Cara melarutkan bahan dalam suatu larutan yaitu sebagai berikut : 1. Bahan yang mudah larut, dilarutkan dalam botol 2. Bahan – bahan yang agak sukar larut, dilarutkan dengan pemanasan 3. Untuk bahan yang akan terbentuk hidrat maka air dimasukkan dulu dalam erlenmeyer agar tidak terbentuk senyawa hidrat yang lebih lambat 4. Untuk bahan yang meleleh dalam air panas dan merupakan tetes besar dalam dasar erlenmeyer atau botol maka saat melarutkan perlu digoyang-goyangkan atau di gojok untuk mempercepat larutnya bahan tersebut 5. Bahan-bahan yang mudah terurai pada pemanasan tidak boleh dilarutkan dengan pemanasan dan dilarutkan secara dingin. 6. Bahan-bahan mudah menguap bila dipanasi, dilarutkan dalam botol tertutup dan dipanaskan dengan suhu serendah-rendahnya sambil digoyang-goyangkan 7. Obat –obat keras harus dilarutkan tersendiri, untuk meyakinkan apakah sudah larut semua, dapat dilakukan ditabung reaksi Catatan pemanasan hanya untuk mempercepat larutnya suatu bahan, bukan untuk menambah kelarutan bah



BAB V CARA PEMAKAIAN OBAT A. Rute Ekstravaskular Pemberian intravaskular artinya obat langsung dimasukkan ke dalam pembuluh darah vena atau arteri. Dalam hal ini tidak ada proses absorpsi obat, maka semua obat (dosis yang diberikan) yang ada dalam sediaan masuk ke dalam tubuh. 1. Intravena Suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yang sering dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada pilihan. Obat langsung dimasukkan ke pembuluh darah sehingga kadar obat di dalam darah diperoleh dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Dengan pemberian IV, obat menghindari saluran cerna dan oleh karena itu menghindari metabolisme first pass oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol yang baik atas kadar obat dalam sirkulasi. Namun, berbeda dari obat yang terdapat dalam saluran cerna, obat-obat yang disuntikkan tidak dapat diambil kembali seperti emesis atau pengikatan dengan activated charcoal. Suntikan intravena beberapa obat dapat memasukkan bakteri melalui kontaminasi, menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan karena pemberian terlalu cepat obat konsentrasi tinggi ke dalam plasma dan jaringan-jaringan. Oleh karena itu, kecepatan infus harus dikontrol dengan hati-hati. Perhatian yang sama juga harus berlaku untuk obat-obat yang disuntikkan secara intraarteri. Kelebihan obat yang diberikan secara IV adalah: a. cepat mencapai konsentrasi b. dosis tepat c. mudah menitrasi dosis. Sedangkan kekurangannya adalah: a. obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, sehingga efek toksik lebih mudah terjadi, b. jika penderitanya alergi terhadap obat, reaksi alergi akan lebih cepat terjadi c. Pemberian intravena (IV) harus dilakukan perlahan-lahan sambil mengawasi respons penderita d. konsentrasi awal tinggi toksik, invasive resiko infeksi,



e. memerlukan keahlian. 2. Intraarterium Intraarterium merupakan penyuntikan ke dalam pembuluh nadi (dilakukan untuk membanjiri suatu organ misalnya pada penderita kanker hati).



B. Rute Intravaskuler Pemberian secara ekstravaskular meliputi rute per oral, sublingual, buccal, intramuscular, subcutan, transdermal, dan rectal. Sebelum memasuki sirkulasi sistemik, obat harus terlebih dahulu diabsorpsi oleh tubuh. Pada pemberian ekstravaskular, biasanya obat yang masuk ke dalam tubuh tidak mencapai 100%. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya bentuk sediaan, ionisasi obat, pKa obat, pH cairan tubuh, luas permukaan zat berkhasiat terlarut yang berkontak dengan dinding organ tubuh seperti dinding saluran pencernaan, koefisien partisi, dan waktu pengosongan lambung 1. Oral Oral merupakan salah satu cara pemakaian obat melalui mulut dan akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Rute oral bertujuan untuk terapi dan memberikan efek sistemik yang dikehendaki. Rute oral merupakan cara mengkonsumsi obat yang dinilai paling mudah dan menyenangkan, murah serta umumnya paling aman. Kekurangan dari rute pemberian obat secara oral adalah bioavailibilitasnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, iritasi pada saluran cerna, perlu kerjasama dengan penderita (tidak dapat diberikan pada penderita koma), timbul efek lambat, tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif rasa tidak enak penggunaannya terbatas, obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin), absorpsi obat tidak teratur. Bentuk sediaan obat oral, antara lain, tablet, kapsul, obat hisap, sirup dan tetesan. Salah satu cara pemberian obat oral yaitu melalui sub lingual dan bukkal, yang merupakan cara pemberiannya ditaruh dibawah lidah dan pipi bagian dalam. 2. Sublingual Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan cara meletakkan obat di bawah lidah. Dengan cara ini, aksi kerja obat lebih cepat yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke dalam pembuluh darah. Cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak mengalami kesakitan. Pasien diberitahu untuk tidak menelan obat karena bila ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh



adanya proses kimiawi dengan cairan lambung. Untuk mencegah obat tidak di telan, maka pasien diberitahu untuk membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap. Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Obat ini banyak diberikan pada pada pasien yang mengalami nyeri dada akibat angina pectoris. Dengan cara sublingual, obat bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat merasakan efeknya dalam waktu tiga menit. Tujuannya adalah agar efek yang ditimbulkan bisa lebih cepat karena pembuluh darah dibawah lidah merupakan pusat dari sakit. Misal pada kasus pasien jantung. Obat yang diberikan dibawah lidah tidak boleh ditelan. Kelebihan dari obat sublingual adalah obat cepat, tidak diperlukan kemampuan menelan, kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta). Namun kekurangan dari obat sublingual adalah absorbsi tidak adekuat, kepatuhan pasien kurang (compliance), mencegah pasien menelan, dan kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut. 3. Bucal Dalam pemberian obat secara bucal, obat diletakkan antara gigi dengan selaput lendir pada pipi bagian dalam. Seperti pada pemberian secara sublingual, pasien dianjurkan untuk membiarkan obat pada selaput lendir pipi bagian dalam sampai obat hancur dan diabsorbsi. Kerja sama pasien sangat penting dalam pemberian obat cara ini karena biasanya pasien akan menelan yang akan menyebabkan obat menjadi tidak efektif. Cara pemberian ini jarang dilakukan dan pada saat ini hanya jenis preparat hormone dan enzim yang menggunakan metode ini misalnya hormone polipeptida oksitosin pada kasus obstetric. Hormone oksitosin mempunyai efek meningkatkan tonus serta motalitas otot uterus dan digunakan untuk memacu kelahiran pada kasuskasus tertentu Kelebihan dari obat bukal adalah onset cepat, mencegah “first-pass effect”, tidak diperlukan kemampuan menelan. Namun kekurangan dari obat bukal adalah absorbsi tidak adekuat, kepatuhan pasien kurang (compliance), mencegah pasien menelan dan kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut. 4. Intramuscular



Suntikan intramuskular adalah pemberian obat dengan cara menginjeksikan obat ke jaringan otot, obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan dalam air atau preparat depo khusus sering berupa suspensi obat dalam vehikulum nonaqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat sedangkan absorbsi preparat-preparat berlangsung lambat. Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap pada tempat suntikan. Kemudian obat melarut perlahanlahan memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan efek terapeutik yang panjang. Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut seperti dizepam dan penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Kelebihan dari rute intra muskular adalah: a. tidak diperlukan keahlian khusus, b. dapat dipakai untuk pemberian obat larut dalam minyak, c. absorbsi cepat obat larut dalam air. Kekurangan rute intra muskular adalah: a. rasa sakit, tidak dapat dipakai pada gangguan bekuan darah (Clotting time), b. bioavibilitas bervariasi, obat dapat menggumpal pada lokasi penyuntikan. 5. Subcutan Suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan intravaskular.



Contohnya



pada



sejumlah



kecil



epinefrin



kadang-kadang



dikombinasikan dengan suatu obat untuk membatasi area kerjanya. Epinefrin bekerja sebagai vasokonstriktor lokal dan mengurangi pembuangan obat seperti lidokain, dari tempat pemberian. Contoh-contoh lain pemberian obat subkutan meliputi bahanbahan padat seperti kapsul silastik yang berisikan kontrasepsi levonergestrel yang diimplantasi untuk jangka yang sangat panjang. Suntikan subkutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak iritatif terhadap jaringan. Absorpsi biasanya berjalan lambat dan konstan, sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorpsi menjadi lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat absorpsinya. Kelebihan penyuntikkan dibawah kulit adalah: a. diperlukan latihan sederhana, b. absorbs cepat obat larut dalam air,



c. mencegah kerusakan sekitar saluran cerna. Kekurangan dari penyuntikkan dibawah kulit adalah: a. dalam pemberian subkutan yaitu rasa sakit dan kerusakan kulit, b. tidak dpat dipakai jika volume obat besar, c. bioavibilitas bervariasi sesuai lokasi. d. Efeknya agak lambat 6. Transdermal Beberapa obat dihantarkan ke seluruh tubuh melalui patch (bentuknya semacam koyo) pada kulit. Obat ini kadang-kadang dicampur dengan bahan kimia (seperti alkohol) yang meningkatkan penetrasi melalui kulit ke dalam aliran darah tanpa injeksi apapun. Melalui patch, obat dapat dihantarkan secara perlahan dan terus menerus selama berjam-jam atau hari atau bahkan lebih lama. Akibatnya, kadar obat dalam darah dapat disimpan relatif konstan. Patch sangat berguna untuk obat yang cepat dieliminasi dari tubuh karena obat tersebut, jika diambil dalam bentuk lain, harus sering digunakan. Namun, patch dapat mengiritasi kulit beberapa orang. Selain itu, patch dibatasi oleh seberapa cepat obat dapat menembus kulit. Hanya obat yang akan diberikan dalam dosis harian yang relatif kecil dapat diberikan melalui patch. Contoh obat tersebut termasuk nitrogliserin (untuk nyeri dada), skopolamin (untuk mabuk perjalanan), nikotin (untuk berhenti merokok), klonidin (untuk tekanan darah tinggi), dan fentanil (untuk menghilangkan rasa sakit). 7. Rektal Banyak obat yang diberikan secara oral dapat juga diberikan secara rektal sebagai supositoria. Dalam bentuk ini, obat dicampur dengan zat lilin yang larut atau mencairkan setelah itu dimasukkan ke dalam rektum. Karena dinding rektum adalah tipis dan kaya pasokan darah, obat ini mudah diserap. Supositoria diresepkan untuk orang-orang yang tidak bisa menggunakan obat oral karena mereka mengalami mual, tidak bisa menelan, atau memiliki pembatasan makan, seperti yang diperlukan sebelum dan setelah operasi bedah. Obat-obatan yang dapat diberikan secara rektal termasuk asetaminofen atau parasetamol (untuk demam), diazepam (untuk kejang), dan obat pencahar (konstipasi). Obat yang membuat perih dalam bentuk supositoria mungkin harus diberikan melalui suntikan.



BAB VI APOTEK A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung. jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (PERMENKES, 2016). Maka dapat dikatakan bahwa apotek adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan yang diharapkan dapat membantu mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, dan juga sebagai tempat mengabdi dan praktek profesi Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Hartini dan Sulasmono, 2006). 1. Persyaratan Apotek Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA). Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu tempat tertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002, disebutkan bahwa persyaratanpersyaratan apotek adalah: a. Untuk mendapat izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi. c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar sediaan farmasi. 2. Tugas dan Fungsi Apotek Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 menyebutkan tugas dan fungsi apotek adalah: a. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian.



c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi antara lain obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika. d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat. e. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (DEPKES RI, 2009). Peraturan Menteri Kesehatan no. 9 Tahun 2017 tentang Apotek Pasal 16 menjelaskan bahwa apotek menyelenggarakan fungsi sebagai pengelola sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik termasuk di komunitas. 3. Sarana dan Prasarana Apotek. Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek Pasal 7 menyebutkan bahwa bangunan apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi sebagai penerimaan resep, pelayanan resep dan peracikan, penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, konseling, penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan arsip. Pada Pasal 8 disebutkan bahwa prasarana apotek paling sedikit terdiri atas instalasi air bersih, instalasi listrik, sistem tata udara, dan sistem proteksi kebakaran. Apotek juga wajib memasang papan nama apotek yang terdiri atas nama apotek, nomor SIA, dan alamat serta papan nama praktik Apoteker yang memuat paling sedikit informasi nama Apoteker, nomor SIPA, dan jadwal praktik Apoteker. 4. Surat Izin Apotek Surat Izin Apotek atau SIA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada apoteker sebagai izin untuk menyelenggarakan apotek (PERMENKES, 2006). SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan (PERMENKES, 2017). Syarat memperoleh SIA adalah apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah dan melengkapi dokumen administratif yang meliputi: a. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dengan menunjukkan STRA asli. b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP). c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker.



d. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan. e. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan. B. Apoteker Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PERMENKES, 2016). Apoteker pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan: 1.



Persyaratan administrasi: a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi. b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)



2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal. 3) Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan. 3. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri. 4. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundangundangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.(PERMENKES, 2016). Kewajiban dan Tanggung Jawab Apoteker Apoteker mempunyai Standar Kompetensi Profesi yaitu (Pengurus Pusat IAI, 2016): 1. Praktik kefarmasian secara professional dan etik 2. Optimalisasi penggunaan sediaan farmasi 3. Dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan 4. Pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan 5. Formulasi dan produksi sediaan farmasi 6. Upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat 7. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan 8. Komunikasi efektif 9. Ketrampilan organisasi dan hubungan interpersonal 10. Peningkatan kompetensi diri



PERMENKES No. 9 pasal 19 (2017) menuliskan setiap Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional,



standar



pelayanan,



etika



profesi,



menghormati



hak



pasien



dan



mengutamakan kepentingan pasien. C. Apoteker Pengelola Apotek Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang diberi Surat Izin Apotek (SIA) dan dalam profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker dan apoteker pedamping dan/atau tenaga administrasi dalam menyelenggarakan apotek (PERMENKES, 2017). Apoteker pengelola apotek dapat didampingi oleh apoteker pendamping yang juga dapat menggantikan apoteker pengelola apotek dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian (DEPKES, 2009). Apoteker pengelola apotek (APA) yang berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoeker pendamping berhalangan melakukan tugasnya karena hal-hal tertentu maka apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (KEPMENKES, 2002). Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan hadir melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus menerus surat izin apoteker atas nama apoteker bersangkutan dicabut (KEPMENKES, 2002). D. Standar Pelayanan Kefarmasian Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana (PERMENKES, 2016). Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk: 1. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian 2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan 3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). (PERMENKES, 2016).



Standar pelayanan kefarmasian menurut permenkes no.73 tahun 2016 mempunyai 4 parameter: 1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai undang-undang yang berlaku meliputi: a. Perencanaan Dalam membuat perencanaan perlu memperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat. b. Pengadaan Untuk menjamin kualitas pelayanan maka pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai harus melalui jalur resmi. c. Penerimaan Untuk menjamin kesesuaian maka kegiatan penerimaan harus memperhatikan kesesuaian yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. d. Penyimpanan 1) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli pabrik kecuali jika harus dipindahkan ke wadah lain maka wadah baru harus memuat informasi obat. 2) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi sesuai. 3) Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk menyimpan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi. 4) Penyimpanan dilakukan secara alfabetis dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat. 5) Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan FIFO (first expire first out). e. Pemusnahan dan penarikan 1) Obat kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai jenis dan bentuk sediaan. 2) Resep yang telah disimpan melebihi 5 tahun dapat dimusnahkan oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas lain di apotek. 3) Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar.



5) Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh menteri. f. Pengendalian Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan kadaluarsa, kehilangan da pengembalian pesanan. g. Pencatatan dan pelaporan Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan, penyimpanan, penyerahan dan pencatatan lainnya sesuai kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. 2. Pelayanan farmasi klinik Kegiatan farmasi klinik di apotek meliputi: a. Pengkajian dan pelayanan resep Kegiatan pegkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. b. Dispensing Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian infromasi obat. c. Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat atau PIO merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat kepada profesi kesehatan lain pasien atau masyarakat. d. Konseling Konseling adalah proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien untuk meningkatkan kepatuhan, kesadaran, pengetahuan dan pemahaman sehingga terjadi perubahan perilaku dalam menggunakan obat dan menyelesaikan masalah pasien. e. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care) Apoteker diharapkan dapat memberikan layanan kunjungan rumah khususnya untuk lansia dan pasien dengan pengobatan kronis. f. Pemantauan terapi obat (PTO) Proses pemastian bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau. g. Monitoring efek samping obat (MESO)



Kegiatan pemantauan setiap respon obat pada dosis normal yang merugikan atau tidak diharapkan. 3. Sumber daya kefarmasian a. Sumber daya manusia Apoteker harus memenuhi kriteria: 1) Persyaratan administrasi 2) Menggunakan atribut praktik 3) Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan 4) Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri 5) Harus memahami dan melaksanakan serta petuh terhadap peraturan b. Sarana dan prasarana Sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek meliputi: 1) Ruang penerimaan resep 2) Ruang pelayanan resep dan peracikan 3) Ruang penyerahan obat 4) Ruang konseling 5) Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai 6) Ruang arsip 4. Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian Evaluasi mutu di apotek dilakukan terhadap: a. Mutu manajerial 1) Metode evaluasi



- Audit - Review - Observasi 2) Indikator evaluasi mutu



- Kesesuaian proses terhadap standar - Efektifitas dan efisiensi b. Mutu pelayanan farmasi klinik 1) Metode evaluasi mutu



- Audit - Review - Survei - Observasi 2) Indikator evaluasi mutu



-



Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari medication error



- Standar prosedur operasional - Lama waktu pelayanan resep - Keluaran pelayanan kefarmasian secara klinik



BAB VII Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit A. Pengertian Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (PMK No.58 2014/Keputusan Menteri Kesehatan sebelumnya adalah No.1197 Tahun 2004). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk: 1. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian; 2. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan 3. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau. Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, harus dilakukan Pengendalian Mutu Pelayananan Kefarmasian yang meliputi monitoring dan evaluasi (monev). Sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum melakukan kegiatan pelayanan farmasi seperti yang diharapkan, mengingat beberapa kendala antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya pengetahuan manajemen rumah sakit akan fungsi farmasi rumah sakit, kebijakan manajemen rumah sakit, terbatasnya pengetahuan pihak terkait tentang pelayanan farmasi rumah sakit. Akibat kondisi ini maka pelayanan farmasi rumah sakit masih bersifat konvensional yang hanya berorientasi pada produk yaitu sebatas penyediaan dan pendistribusian. Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam Standar Pelayanan Rumah Sakit masih bersifat umum, maka untuk membantu pihak rumah sakit dalam mengimplementasikan Standar Pelayanan Rumah Sakit tersebut perlu dibuat Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit yang bersifat paripurna sesuai tuntutan rumah sakit dan pasien. Sehubungan dengan berbagai kendala sebagaimana disebut di atas, maka sudah saatnya pula farmasi rumah sakit menginventarisasi semua kegiatan



farmasi yang harus dijalankan dan berusaha mengimplementasikan secara prioritas dan simultan sesuai kondisi rumah sakit. Praktik Kefarmasian adalah sautu kegiatan yang dilakukan oleh tenaga farmasi dalam menjalankan pelayanan farmasi yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan. 1. Tujuan Pelayanan Kefarmasian a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia. b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi. c. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat. d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan. f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan. g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda.



2. Fungsi Pelayanan Farmasi a. Pengelolaan Perbekalan Farmasi 1) Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit. 2) Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal. 3) Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku. 4) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.



5) Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku. 6) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian. 7) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.



b. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan 1) Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien. 2) Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan. 3) Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan. 4) Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan. 5) Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga. 6) Memberi pelayanan informasi obat kepada pasien/keluarga. 7) Melaporkan setiap kegiatan. B. Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasian 1. Administrasi dan Pengelolaan Pelayanan diselenggarakan dan diatur demi berlangsungnya pelayanan farmasi yang efisien dan bermutu. Adanya struktur organisasi yang menggambarkan uraian tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab serta hubungan koordinasi di dalam maupun di luar pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit. 2. Pimpinan dan Staf a. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab terhadap aspek hukum dan peraturan-peraturan farmasi baik terhadap pengawasan distribusi maupun administrasi barang farmasi serta bertanggungjawab dan mengawasi pelayanan farmasi dan ada pendelegasian wewenang dan tanggungjawab bila kepala instalasi farmasi berhalangan kepada kepala ruangan. b. Adanya uraian tugas (job description) bagi staf dan pimpinan farmasi. c. Adanya staf farmasi yang jumlah dan kualifikasinya disesuaikan dengan kebutuhan. d. Penilaian terhadap staf harus dilakukan berdasarkan tugas yang terkait dengan pekerjaan fungsional yang diberikan dan juga pada penampilan kerja yang dihasilkan dalam meningkatkan mutu pelayanan.



3. Fasilitas dan Peralatan Harus tersedia ruangan, peralatan dan fasilitas yang dapat mendukung administrasi, profesionalisme dan fungsi teknis pelayanan farmasi, sehingga menjamin terselenggaranya pelayanan farmasi yang fungsional, profesional dan etis. a. Tersedianya fasilitas penyimpanan barang farmasi yang menjamin semua barang farmasi tetap dalam kondisi yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan spesifikasi masing-masing barang farmasi dan sesuai dengan peraturan. b. Tersedianya fasilitas untuk pendistribusian obat. c. Tersedianya fasilitas pemberian informasi dan edukasi. d. Tersedianya fasilitas untuk penyimpanan arsip resep. e. Ruangan perawatan harus memiliki tempat penyimpanan obat yang baik sesuai dengan peraturan dan tata cara penyimpanan yang baik. f. Obat yang bersifat adiksi disimpan sedemikian rupa demi menjamin keamanan setiap staf. 4. Kebijakan dan Prosedur Semua kebijakan dan prosedur yang ada harus tertulis dan dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan tersebut. Peraturan dan prosedur yang ada harus mencerminkan standar pelayanan farmasi mutakhir yang sesuai dengan peraturan dan tujuan dari pada pelayanan farmasi itu sendiri. a. Kriteria kebijakan dan prosedur. b. Obat hanya dapat diberikan setelah mendapat pesanan dari dokter dan apoteker menganalisa secara kefarmasian. c. Kebijakan dan prosedur yang tertulis harus mencantumkan beberapa hal berikut. 1) Macam obat yang dapat diberikan oleh perawat atas perintah dokter. 2) Label obat yang memadai. 3) Daftar obat yang tersedia. 4) Gabungan obat parenteral dan labelnya. 5) Pencatatan dalam rekam farmasi pasien beserta dosis obat yang diberikan. 6) Pengadaan dan penggunaan obat di rumah sakit. 7) Pelayanan perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap, rawat jalan, karyawan dan pasien tidak mampu. 8) Pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan penyerahan.



pembuatan/produksi,



penyimpanan,



pendistribusian



dan



9) Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan mengenai pemakaian obat dan efek samping obat bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta pencatatan penggunaan obat yang salah dan atau dikeluhkan pasien. 10) Pengawasan mutu pelayanan dan pengendalian perbekalan farmasi. 11) Pemberian informasi kepada pasien maupun keluarga pasien dalam hal penggunaan dan penyimpanan obat serta berbagai aspek pengetahuan tentang obat demi meningkatkan derajat kepatuhan dalam penggunaan obat. 12) Apabila ada sumber daya farmasi lain disamping instalasi maka secara organisasi dibawah koordinasi instalasi farmasi. 13) Prosedur penarikan/penghapusan obat. 14) Pengaturan persediaan dan pesanan. 15) Penyebaran informasi mengenai obat yang bermanfaat kepada staf. 16) Masalah penyimpanan obat yang sesuai dengan peraturan/undangundang. 17) Pengamanan pelayanan farmasi dan penyimpanan obat harus terjamin. 18) Prosedur yang harus ditaati bila terjadi kontaminasi terhadap staf. d. Harus ada sistem yang mendokumentasikan penggunaan obat yang salah dan atau mengatasi masalah obat. e. Kebijakan dan prosedur harus konsisten terhadap sistem pelayanan rumah sakit lainnya. 5. Pengembangan Staff dan Program Pendidikan Setiap staf di rumah sakit harus mempunyai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. a. Menyusun program pengembangan staf. b. Staf yang baru mengikuti program orientasi sehingga mengetahui tugas dan tanggung jawab. c. Adanya mekanisme untuk mengetahui kebutuhan pendidikan bagi staf. d. Setiap staf diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan dan program pendidikan berkelanjutan. e. Staf harus secara aktif dibantu untuk mengikuti program yang diadakan oleh organisasi profesi, perkumpulan dan institusi terkait. f. Penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan meliputi: penggunaan obat dan penerapannya pendidikan berkelanjutan bagi staf farmasi. 6. Evaluasi dan Pengendalian Mutu



Pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas pelayanan kefarmasian yang bermutu tinggi, melalui cara pelayanan farmasi rumah sakit yang baik. Pelayanan farmasi dilibatkan dalam program pengendalian mutu pelayanan rumah sakit. Mutu pelayanan farmasi harus dievaluasi secara periodik terhadap konsep, kebutuhan, proses, dan hasil yang diharapkan demi menunjang peningkatan mutu pelayanan merencanakan program pengendalian mutu. Kegiatan pengendalian mutu mencakup hal-hal berikut. a. Pemantauan: pengumpulan semua informasi penting yang berhubungan dengan pelayanan farmasi. b. Penilaian: penilaian secara berkala untuk menentukan masalah-masalah pelayanan dan berupaya untuk memperbaiki. c. Tindakan: bila masalah-masalah sudah dapat ditentukan maka harus diambil tindakan untuk memperbaikinya dan didokumentasi. d. Evaluasi: efektivitas tindakan harus dievaluasi agar dapat diterapkan dalam program jangka panjang. e. Umpan balik: hasil tindakan harus secara teratur diinformasikan kepada staf.



Daftar Pustaka 1. Anief, M, (2002), Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 53. 2. Ansel, H.C. (1981). Introduction to pharmaceutical dosage forms. Lea & Febiger, Philadelphia.



3. Anonim. (1978). Formularium Nasional, Edisi Kedua, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 4. Anonim. (1979). Farmakope Indonesia III. Departemen Kesehatan RI. 5. Anonim. (1995). Farmakope Indonesia IV. Departemen Kesehatan RI.



6. Anonim. (1995). Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 7. Blumenthal, M., et. al., (Eds.). (1998). The Complete German Commission E Monographs, Therapeutic Guide to Herbal Medicines, American Botanical Council, Boston. 8. Bull, E., L. Rapport and B. (2000). Lockwood, Nutraceutical, Pharm.J., 255(7104), p 5758. 9. Forth, W., D. Henschler, W. Rummel, U. (2001). Foerstermann und K.Starke, Allgemeine und spezielle Pharmakologie und Toxikologie, Urban & Fisher, Muenchem. 10. Herfindal, E.T., D.R., Gourley. (2000). Textbook of Therapeutics, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 11. Indonesian Health Profile, (2001). 12. International Meeting of Psychopharmacist, Brussels, (1997). 13. Luellman, H. K. Mohr, A. Ziegler, D. Bieger. (2000). Color Atlas of Pharmacology, Thieme Verlag, Stuttgart-New York, 2000. 14. Martin, a.n. (1970). Physical pharmacy, second edition, Lea & Febiger, Philadelphia 15. Moh. Anief. (1984). Ilmu Farmasi. Ghalia Indonesia, Jakarta 16. Moh. Anief. (1990). Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta 17. Moh. Anief. (1990). Farmasetika. Gajah Mada University Press, Yogyakarta 18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor: 140/MENKES/PER/III/1991 19. Rencana Induk, Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia, 2003



20. Saifullah, T.N, dan Rina K, (2008), Teknologi dan Formulasi Sediaan Semipadat, Pustaka Laboratotium Teknologi Farmasi UGM, Yogyakarta. 59. 63. 64 21. Sampurno. (2000). Sambutan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Simposium Standardisasi Jamu dan Fitofarmaka, Bandung.



22. Syamsuni, (2005), Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.



23. Tjay, Tan Hoan, et all, (2000), Obat – Obat Penting, Elex Media Computindo, Jakarta. 132 24. U.S. Food and Drug Administration, Center of Food Safety and Applied Nutrition Office of Cosmetics and Colors, July, 2002. 25. Van Duin, C.F. (1947). Reseptir ( terjemahan ),PT. Soeroengan, Jakarta. Sulistio Gan.dkk, 1981, Farmakologi dan terapi, bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. 26. http://en.wikipedia.org/wiki/Ebers_Papyrus. 27. http://en.wikipedia.org/wiki/Galen. 28. http://www.itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf. 29. http://www.unhas.ac.id/hasbi/LKPP/Kurikulum/BAGIAN.doc.