Modul Psikologi Proyektif - 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. PENDAHULUAN Dalam pendekatan Behavioral, pandangan psikologi hanya memperhatikan gejala-gejala yang nampak dari luar, kurang memperhatikan hal-hal yang sifatnya internal, sedangkan pendekatan wholistik-fungsional selain memperhatikan hal-hal yang nampak juga hal-hal internal yang dianggap sebagai dasar atau sebagai pengendali/ penggerak tingkah laku yang bersifat internal yaitu bagian yang tidak disadari. Gambaran pendekatan wholistik di atas sesuai dengan psikologi proyektif, karena psikologi proyektif secara teoritis beranggapan bahwa individu merupakan kebulatan, artinya segala perilaku manusia tidak hanya didukung satu atau dua unsur saja yang aktif, tetapi seluruh aspek/unsur yang ada pada individu ikut aktif dan berfung-si. Oleh karena itu psikologi proyektif banyak mempelajari bagaimana individu memproyeksikan keadaan pribadinya yang tidak dapat diungkap secara nyata, karena adanya hambatan-hambatan psikologis yang mempersulit manifestasi keadaan pribadi yang sesungguhnya ke dalam bentuk-bentuk perbuatan, akibat dari kebulatan/keseluruan yang komplek dari aspek-aspek tersebut.. Selanjutnya kedua cara itu (behavioristik dan wholistik) digunakan bersama-sama karena bisa saling melengkapi, karena kenyataan keadaan jiwa seseorang itu sangat dinamis, selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, karena individu ingin selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Psikologi Proyektif sebagaimana uraian di atas banyak menekankan pada pandangan yang bersifat wholistik/totalitet dan adanya persenyawaan atau integrasi, tidak hanya pada bagian-bagian/aspek-aspek pribadi saja namun diantara aspek-aspek tersebut saling tergantung dan mempengaruhi. Sigmund Freud mengemukakan bahwa ada tiga aspek kepribadian (Id, Ego dan Super Ego), ketiganya tidak dianggap berdiri sendiri, tetapi merupakan totalitet dari aspek satu dengan aspek lainnya, dalam mempengaruhi individu mewujudkan kepribadiannya ke dalam performance tingkah lakunya. Dalam penggunaan tes yang non-proyektif (WAIS, SPM, dll.) dan yang proyektif (Ro, TAT, DAM, HTP, dll.) bersama-sama untuk dapat memperoleh gambaran yang lengkap mengenai seseorang terutama dalam rangka membuat diagnosis.



Analisis



Kuantitatif : Hasilnya cenderung bisa dihitung dan biasanya dapat dinyatakan dalam bentuk bilangan, mis. Hasil analisis tes grafis (sebelum dikualifikasikan) Kualitatif : Banyak memperhatikan dinamika psikis dan gejalagejala yang tidak nampak.



Kecenderungan yang penting dalam psikologi proyektif dalam melihat kepribadian adalah : (1) kepribadian dianggap sebagai proses, bukan hanya koleksi aspekaspeknya. Aspek-aspek yang dimiliki seseorang merupakan potensi/kemungkinan 1



2



yang di dalam kehidupan selanjutnya akan selalu berkembang dan berubah, berproses sesuai dengan kondisi-kondisi atau stimulus yang ada disekitarnya. (2) kepribadian yang diungkap dengan tes proyeksi adalah merupakan interaksi dari apa yang ada di dalam dirinya dan lingkungan kebudayaan fisik, sehingga dalam tes proyeksi akan ada kecenderungan perbedaan “popular response” masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Dr. Leopold Bellak mencoba menelusuri sejarah perkembangan konsep proyeksi yang sejak dari pertama kali digunakan istilah proyeksi sampai kepada pembuktian-pembuktian secara eksperimen terhadap konsep-konsep klinis mengenai proyeksi. Seperti apa yang dikatakan Freud bahwa : “…… perlu diadakan referensi terhadap proses-proses persepsi yang terkandung di dalam proyeksi”, karena proyeksi adalah konsep dasar yang sekaligus merupakan metode (proyektif) untuk mengungkap kepribadian seseorang, dalam hal ini Bellak cenderung menggunakan istilah “apperceptive psychology” untuk psikologi proyektif dan “apperceptive distortion” untuk proyeksi. Penelitian Bellak ini berusaha menghubungkan konsep-konsep psikoanalisa dengan konsep yang non-psikoanalisa atau apersepsi distorsi, yaitu psikologi belajar Gestalt tentunya memerlukan eksperimen dan eksplorasi lebih jauh. Perkembangan psikologi proyektif lebih lanjut antara lain terpacu oleh adanya konsep tentang macam-macam pertumbuhan pengertian “the self”, dan dari bermacam-macam usaha mengembangkan alat serta psikologi secara teoritis. Semua beranggapan bahwa individu merupakan totalitet (kebulatan) dari persepsi, kognisi, emosi. Segala aktivitas manusia bukan hanya disebabkan oleh satu atau dua unsur saja yang aktif, tetapi seluruh aspek yang ada, ikut andil dan berfungsi dalam aktivitasnya. Yang menjadi masalah dalam perkembangan selanjutnya adalah terutama berhubungan dengan penyusunan alat dalam tes proyektif berhubugan dengan validitas dan reliabilitasnya. Validitas dan reliabilitas tes proyektif jauh lebih sukar, (terutama validitas) dibandingkan dengan tes psikologi yang lain. Dalam mencari kriteria guna menetapkan validitas tes proyektif karena sangat sulit, sehingga hanya berdasar kepada “pengalaman”. Oleh karena itu dalam tes proyektif pemakainya dituntut betul-betul menguasai teorinya, dan yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan “intuitif” sangat membantu, sehingga semakin banyak latihan maka akan semakin menguasai. Apa yang dilakukan Bellak di atas sangat membantu memecahkan beberapa problem yang dihadapi para psikolog klinis yang menggunakan metode-metode proyektif. Tersedia suatu jembatan yang menghubungkan psikoanalisis dengan nonpsikoanalisis yang terpisah selama ini.



B. MASALAH-MASALAH DALAM KONSEP PROYEKSI “Proyeksi” merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalam psikologi klinis. Menurut LK. Frank, metode proyektif merupakan metode yang sifatnya dinamis dan mempunyai sifat wholistik, diterapkan sebagai cara pendekatan yang sangat tepat dalam psikologi terutama psikologi klinis melandasi tes-tes kepribadian. 2



3



Pengertian proyeksi tidak dapat didefinisikan secara pasti. Munculnya konsepkonsep yang berusaha menerangkan pengertian proyeksi berbenturan dengan problem-problem tenang konsep proyeksi itu sendiri. Proyeksi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalam psikologi klinis, psikodinamika, maupun psikologi sosial. Istilah proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Freud dalam bukunya “The Anxeiety Neurosis” (1984). Freud berpendapat bahwa : Psyche (jiwa) akan mengalami kecemasan yang sifatnya neurotis apabila jiwa tersebut merasa tidak mampu mengatasi rangsangan, terutama yang sifatnya seksual yang berasal dari dalam individu itu sendiri (endogens) kemudian rangsangan tersebut akan dilampiaskan melalui proyeksi ke dunia luar. Dalam tulisan di buku “On The Defend Neurospsychosis “(1896) Freud memberi elaborasi lebih jauh terhadap konsep proyeksi, yaitu : Proyeksi merupakan proses pelampiasan keluar dorongan-dorongan, perasaanperasaan, sentimen-sentimen yang ada pada individu ke orang lain / dunia luar dan proses tersebut sifatnya adalah defensif. Dalam peristiwa ini individu yang bersangkutan tidak menyadari munculnya gejala tersebut, karena sifatnya UNDEVAILABLE (tidak dikehendaki). Penjelasan dan elaborasi lebih lanjut dicontohkan oleh Freud dalam kasus Schreber yaitu pasien yang menderita penyakit paranoid. Penderita ini mempunyai kecenderungan homoseksual. Akibat karena adanya tekanan dari super ego yang tidak memperbolehkan pria mencintai pria, kemudian Schreber mentransformasikan reaksi formasi dari I love you menjadi I hate you (him) direpres menjadi He hates me. Proyeksi benci terhadap obyek yang dicintai disebabkan super ego tidak memperkenankan individu mencintai sesama jenisnya. Ekspresi benci kepada orang lain juga tidak diperkenankan super ego untuk muncul, akhirnya manifest menjadi perbuatan lain yang merupakan ekspresi dorongan yang menemui hambatan, yaitu He hate me (karena I hate you / him juga tidak diperbolehkan). Konsep proyeksi Freud ini serupa dengan konsep kompensasi dari Adler (prinsip inferioritas dan kompensasi). Sejak lahir manusia memiliki kelemahan, namun manusia tidak putus asa dengan cara melakukan kompensasi untuk menutupi kelemahankelemahannya. Bentuk kompensasi Adler ini sama dengan proyeksi. Selain Freud dan Adler, ahli lain yaitu Healy, Bronner, dan Brouer mengata-kan bahwa proyeksi merupakan proses defensif yang dikendalikan oleh prinsip kenikmatan (Pleasure Principle) dalam hal mana ego yang terdapat pada dunia luar / dunia nyata akan merasa tercela / malu dan mencemaskan apabila keinginan / dorongan yang direpres (karena tak sesuai dengan norma Super Ego), yang sifatnya tidak disadari sampai muncul ke daerah kesadaran. Menurut Sears pengertian atau definisi proyeksi sangat sedikit, tetapi sebenarnya banyak bentuk perilaku yang dimasukkan dalam proyeksi, sehingga akhirnya banyak tes digunakan untuk mengungkap perilaku akibat proyeksi ini. Dari penjelasan tersebut proyeksi dapat dikatakan sebagai me-kanisme 3



4



pertahanan ego (defence mechanism). Tokoh lain yaitu Sears, berpendapat bahwa proyeksi memang proses defensif yang penting dan yang banyak dilakukan manusia, tetapi dari seluruh teori psikoanalisis, proyeksi merupakan istilah yang pa-ling tidak dapat didefinisikan secara jelas. Beberapa tulisan mengenai proyeksi hanya terbatas dalam konteks klinis-psikoanalisis dan akademis. Memang tidak banyak ahli yang menjelaskan pengertian proyeksi, karena itu pengertiannyapun menjadi terbatas. Freud sebagai ahli pertama yang menjelaskan konsep proyeksi, lebih memfokuskan pada bidang klinis, karena sesuai dengan bidangnya, Freud memang banyak menemukan gejala perilaku proyeksi dari kasus-kasus klinis seperti psikosa dan neurosa. Akhirnya konsep proyeksi banyak dipakai pada bidang-bidang klinis, karena itu dalam menganalisis prilaku proyeksi banyak diarahkan pada hal-hal yang bersifat klinis atau abnormal, namun sebenarnya konsep proyeksi dapat juga diterapkan dalam bidang psikologi lain, seperti Psikologi Industri, Psikologi Pendidikan, Psikologi Sosial maupun Psikologi Perkembangan. Misalnya hasil penelitian Margareth Mead dalam psikologi perkembangan menunjukkan bahwa perilaku atau kehidupan psikis anak merupakan proyeksi dari masyarakat, dimana anak itu hidup. Konsep proyeksi mula-mula berasal dari pengalaman (Freud) ketika menghadapi individu yang psikosa/neurosa, tetapi oleh Freud dianalogikan / diterapkan pula pada tingkah laku lain, yang tidak mengalami gangguan (normal), misalnya : dalam proses individu membentuk kepercayaan-kepercayaan tertentu seperti kepercayaan yang sifatnya religius dalam arti luas (Hal ini dikemukakan oleh Freud dalam bukunya “The Tatem and Taboo”), bahkan lebih jauh lagi Freud mencontohkan terbentuknya kebudayaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kebudayaan adalah realisasi perbuatan proyeksi, yaitu untuk mengatasi kecemasan (akan ketidak teraturan, dsb.) dalam diri, lalu diciptakan kebudayaan (tatanan budaya). Dalam teori Psikoanalisa banyak dikemukakan berbagai bentuk defence mechanism, hal tersebut merupakan proyeksi, dan proyeksi merupakan hal yang sifat-nya dominan dalam defence mechanism, tetapi penelitian yang berkaitan dengan pro-yeksi masih sangat terbatas, sehingga Sears mengemukakan bahwa mungkin satu-sa-tunya istilah yang belum jelas pengertiannya adalah proyeksi itu sendiri. Konsep proyeksi banyak sekali diterapkan dalam psikologi klinis yang kemudian dikenal dengan teknik proyeksi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa proyek-si merupakan dasar tersusunnya berbagai macam tes proyeksi, misalnya : Tes Ro, TAT, Grafis, dan sebagainya. Masalah yang timbul dalam penciptaan alat biasanya terbentur pada validitas dan reliabilitas, dalam tes proyeksi sukar mencari validitasnya, karena sifat-sifat sti-mulus tes proyektif yang ambiguous, unstructured, dan global approach, sebagaimana telah diuraikan di atas, yaitu karena hanya berdasar kepada “pengalaman” dalam tes proyektif pemakainya dituntut betul-betul menguasai teorinya, dan yang tak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat intuitif sangat membantu, sehingga semakin banyak latihan maka akan semakin menguasai.



4



5



C. FUNGSI TEST PROYEKTIF DAN KEPRIBADIAN Pertanyaan mendasar yang harus dijadikan landasan adalah ; mengapa kepribadian testee tidak ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan, tetapi justru dites (tes proyeksi) ?. Alasan yang muncul akan membuka pintu guna pemahaman terhadap konsep-konsep psikologi proyektif, yaitu : “karena …… (1) tidak semua orang dapat mengkomunikasikan dengan jelas ide-ide dan sikap-sikap yang ada dalam kesadarannya, atau (2) umumnya lebih mudah menghindar mengatakan hal tersebut (yang ada pada dirinya) walaupun tidak dengan maksud menyembunyikan / menipu, atau (3) banyak hal yang tidak disadari oleh seseorang”. Bagi seorang yang terlatih (psikolog) memang akan terbantu menggunakan tes kepribadian (meskipun bukan segalanya), tetapi mengapa dalam tes kepribadian kepada teste disajikan sejumlah stimulus (gambar) kemudian dimintai merespon. Dalam pemahaman konsep / teori perilaku adaptif dan ekspresif dalam tes kepribadian (akan dibahas nanti), dijelaskan bahwa stimulus yang disajikan (sebagai tes) sudah dapat diduga dan diklasifikasikan apa kira-kira responnya, misalnya ketika kepada kita disajikan stimulus gambar pisau, kemudian kita diminta menceritakan gambar tersebut tentu memberikan respon yang mengarah kepada hal-hal yang mengandung kekerasan (kegunaan / fungsi pisau) dan bagaimana bila gambarnya adalah setangkai bunga ?. Dua kelompok tes proyektif : Verbal



Non Verbal



EPPS



: Edwards Personality Preference Schedule MMPI : Minesota Multiphasic Personality Inventory SSCT : Sacks Sentence Completetion Test



- Ro; TAT/CAT; Baum Test Shondi; Z Test; DAM/P; HTP Grafis; Holezman; Ink Block Technique  HIT - Grafis  non verbal & performance



Eysenck Personality Inventory



Fungsi Test Proyektif : Tes proyektif berfungsi untuk mengungkap kepribadian seseorang yang diproyeksikan ke dalam alat test proyeksi, sehingga tes proyektif sering disebut dengan tes kepribadian atau tes subyektif Hal ini dapat dijelaskan bahwa teknik proyeksi tersebut berdasarkan kepada pandangan bahwa apabila subyek dihadapkan kepada sejumlah stimulus yang ambiguous (kabur), dan kemudian diminta memberi respon, maka subyekakan meproyeksikan isi pribadinya terhadap stimulus tersebut



5



6



Syarat-syarat dan Sifat Tes Proyeksi; 1. 2. 3. 4.



Dibuat UNSTRUCTURE Dibuat AMBIGUOUS Bersifat GLOBAL APPROACH Mempunyai KESIMPULAN YANG LUAS



Hal ini didasarkan pada teori Freud tentang aspek/struktur kepribadian (Id, Ego dan Super Ego). Dinamika kepribadian seseorang ditentukan oleh bagaimana ketiga struktur ini berfungsi. Dalam tes proyeksi diungkap segala sesuatu yang sifatnya tidak disadari dan tidak bisa diungkap dengan cara-cara yang wajar. Melalui tes proyeksi individu akan dibawa ke situasi yang setengah sadar/kontrol kesadaran menjadi lemah, sehingga akhirnya bisa dilampiaskan dorongan-dorongan tersebut ke obyek/dunia luar dengan cara proyeksi, proyeksinya melalui tes proyektif. Pemahaman tentang dinamika psikologik merupakan hal yang sangat perlu dalam suatu pemeriksaan psikologik, namun mengingat akan kelebihan dan kekurang-an suatu teori, diperlukan suatu pertimbangan untuk memilih, menggunakan dan menerapkannya untuk penanganan suatu kasus/masalah. Untuk itu pemahaman dan penguasaan smua kerangka teori secara komprehensif sangat diperlukan oleh seorang psikolog. Tanpa penguasaan teori-teori tersebut, analisis kasus akan dangkal, dan tidak menutup kemungkinan timbulnya bias-bias yang berdampak negative bagi klien. Oleh karena itu mengacu pada uraian di atas maka hendaknya : (1) Memandang kepribadian sebagai suatu proses, bukan koleksi semata, dan terbentuknya pribadi adalah merupakan proses pengumpulan pengalaman sejak kecil hingga individu tersebut dewasa dan pengalaman-pengalaman tersebut sesuai dengan pandangan psikoanalisa (toilet training dan tiga aspek Id, Ego, dan Super Ego). (2) Kepribadian yang banyak diungkapkan dengan tes proyektif merupakan interaksi antara apa yang ada dalam diri individu dengan tuntutan lingkungan fisik, termasuk sosiokultural. Kepribadian menurut Allport merupakan kesatuan psikofisis yang sifatnya dinamis dan mempunyai sifat yang spesifik (unik) dalam pribadi seseorang yang selanjutnya mempengaruhinya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut H.A. Murray kepribadian merupakan sistem pengaturan yang sifatnya biologis, pusat pengaturan tersebut letaknya di otak, sehingga ia berpendapat:“No brain no personality”. Dalam kepribadian terdapat dua unsur yaitu Need dan Press : 1. Need Merupakan suatu kekuatan di dalam otak yang mengatur persepsi, appersepsi, serta kemampuan intelektual, konasi/perbuatan, sehingga dapat mengubah suatu situasi yang tidak menyenangkan ke arah situasi tertentu. Need timbul karena adanya proses dalam individu atau karena ada pengaruh lingkungan, jika ada pengaruh terhadap organisme, lalu timbul ketidakenakan, kemudian need akan mendorong mencari hal yang dibutuhkan untuk mengurangi ketidakenakan tadi. Need bisa manifest dalam perbuatan, tetapi juga ada yang sifatnya laten. Menurut Murray ada 20 macam need  diungkap dengan TAT/CAT, yang dimodifikasi 6



7



Edward menjadi 15 need  EPPS. Need ini kemudian dimodifikasi Mc. Clelland menjadi 3 need ; (a. Need for Achivement, b. Need for Affiliation, c. Need for Power) yang diungkap dengan menggunakan 6 kartu TAT. 2. Press Merupakan tuntutan lingkungan atau merupakan faktor-faktor lingkungan atau fktor di luar individu, yang mempengaruhi tindakan/tingkah laku individu. Press ada yang sifatnya mendorong / membantu tercapainya tuntutan need, tetapi ada pula yang menghalangi tercapainya tuntutan need. Kerjasama need dan press akan menghasilkan tingkah laku / perbuatan yang oleh Murray disebut “Thema”. Dalam hubungannya dengan proyeksi, suatu eksperimen dilakukan untuk menjelaskan fenomena proyeksi yang terdiri dari dua langkah, yaitu : a. Digunakan sejumlah subyek, kepada subyek ditunjukkan sejumlah kartu TAT. Subyek dalam hal ini berada dalam kondisi yang terkontrol. b. Subyek coba dikenai hipnotis lebih dahulu, yaitu kepada subyek diceritakan hal-hal yang mendorong kearah sifat agresinya. Dari eksperimen di atas berhasil diungkap bahwa ternyata banyak subyek yang menunjukkan tingkah laku yang nyata pada situasi post hipnotis. Dalam situasi ini subyek meningkatkan agresinya lebih tinggi dari pada kondisi pertama ke dalam respon TAT nya. Hal ini terjadi karena dalam kondisi pra hipnotis, kepada subyek telah diceritakan hal-hal yang membangkitkan agresivitasnya. Demikian juga ketika kepada subyek dibawa ke dalam keadaan teramat sedih dan depresif, ternyata mereka juga memproyeksikan sentimen/perasaan-perasaannya ke dalam cerita dari stimulus TAT (menurut konsep di atas agresivitas dan depresi mestinya direpres tidak muncul dalam kesadaran, sehingga baru muncul ketika di tes TAT). Sampai pada eksperimen ini tidak terdapat perubahan terhadap konsep-konsep proyeksi, yaitu bahwa proyeksi adalah suatu proses pelampiasan keluar dari dorongan/sentimen yang tak dapat diterima oleh individu. Selanjutnya eksperimen diteruskan dengan variasi yang lebih luas, yaitu dalam situasi pra hipnotis subyek justru diberi stimulus yang berupa suasana gembira. Ternyata dalam situasi post hipnotis, subyek menunjukkan kegembiraannya dengan sangat nyata. Setelah sampai pada eksperimen ini mulai timbul keraguan terhadap konsep awal tentang proyeksi. Berdasarkan hasil ini, tidak dapat dikatakan lagi bahwa konsep proyeksi hanya didasarkan pada defence mechanisme, karena ternyata pada perco-baan lebih lanjut tersebut di atas, tidak terdapat usaha untuk menekan terhadap efek kegembiraan dan pencetusannya lebih dari keadaan biasa. Hal tersebut telah dikemukakan secara implisit oleh Freud dalam bukunya Totem and Taboo yang intinya “Proyeksi tidaklah secara khusus terwujud sebagai usaha mengalahkan defence, karena ternyata walaupun individu dalam keadaan tidak konflikpun dapat juga terjadi proyeksi”. Proyeksi yang didasarkan pada persepsi-persepsi masa lalu (inner perception) kedunia luar sebenarnya merupakan mechanisme yang primitif. Hal ini akan mem7



8



pengaruhi sense perception (persepsi searah), persepsi ini (yang dipengaruhi inner) memberikan andil besar dalam membentuk dunia luar/kesan yang baru. Dalam kondisi individu diliputi ketidakpastian (konflik/frustasi), inner perception yang sebenarnya, sebetulnya terjadi proses ideasional/tujuan dan proses emosional yang berasal dari individu sendiri (Inner World), dalam kondisi seperti ini pada diri individu akhirnya terbentuk kesan-kesan baru terhadap dunia luar. Menurut Freud, sesuatu yang diproyeksikan ke luar, baik yang sifatnya pri-mitif maupun hal-hal dapat berubah, akan menjadi sesuatu yang lain/baru, (dan) se-suatu yang baru itu hanya dikenal oleh individu itu sendiri karena sebetulnya sesuatu yang baru itu sifatnya laten yang dapat muncul setiap saat. Hal-hal yang laten itu di-sebut “Coexsistence” yang merupakan sesuatu yang tidak disadari, yang dapat mun-cul ke daerah kesadaran. Lingk. Kebud



Peng. Masa Lalu



Lingk. Aktual



Pribadi Psikis/Fisik



Karya Grafis (Thema)



D. ELABORASI LEBIH LANJUT FREUD TENTANG PROYEKSI Ingatan tentang masa lalu mempunyai pengaruh sangat besar terhadap per-sepsi sekarang, dan aplikasi terhadap tes proyektif juga demikian. Misal : dalam TAT, persepsi masa lalu individu terhadap ayah ibunya akan mempengaruhi persepsi subyek jika dihadapkan pada kartu TAT yang meminta menceritakan gambar orang tua. Apperception and Apperception Distortion (Appersepsi dan Appersepsi Distorsi) Menurut Bellak penggunaan istilah proyeksi untuk proses-proses persepsi pada umumnya nampak tidak sesuai lagi jika dikaitkan dengan pengertian yang terkandung dalam proyeksi berdasarkan perkembangan-perkembangan sebelumnya, karena proyeksi sangat berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya klinis, sedangkan aplikasi dalam tes proyektif sekarang tidak hanya terbatas hanya di lingkungan klinis saja, aplikasi tes proyeksi juga dikenakan pada orang-orang yang normal/sehat. Sedangkan kalau menggunakan istilah persepsi juga kurang tepat, karena persepsi kurang melibatkan pribadi secara keseluruhan, dalam hal ini yang lebih tepat adalah penggunaan istilah Appersepsi. Individu 



Object  Indera  kemauan Perception  kemauan Apperception  kemauan Behavior  kemauan 8



9



Pengertian Appersepsi menurut Bellak adalah suatu proses yang dinamik pada individu dalam memberikan interprestasi lebih lanjut terhadap stimulus yang dipersepsi, jadi individu dalam keadaan aktif. Bertitik tolak dari pendapat di atas Bellak berpendapat bahwa individu akan dapat mempersepsi suatu stimulus dan mengadakan appersepsi (atau mungkin tidak melakukan appersepsi). Dalam proses individu melakukan appersepsi ada appersepsi obyektif/ rasional dan ada pula yang subyektif dan mungkin emosional, yang subyektif ini sifatnya menyimpang (distorsi), Apperception distortion ini sama dengan proyeksi dan Bellak lebih setuju menggunakan Apperception distortion sebagai pengganti dari proyeksi. Eksperimen Bellak Dengan TAT : Salah satu kartu TAT yang merupakan Popular Respon mempunyai norma jawaban : gambar seorang anak lelaki yang sedang bermain biola. Jika seseorang menjawab seperti itu dikatakan ia mempunyai appersepsi murni, namun bila ia menjawab gambar tersebut “anak lelaki di sebuah danau”, hal ini merupakan apperception distortion. Kebanyakan apperception distortion terjadi pada penderita schizopren. Beberapa subyek yang dibebaskan untuk mendeskripsikan lebih jauh gambar tersebut, tampak bahwa setiap subyek menginterpretasi gambar tersebut berbeda-beda. Ada yang menginterpretasi sebagai anak laki-laki yang sedang mengalami kesedihan, anak laki-laki yang ambisius, atau anak laki-laki yang dipaksa kedua orangtuanya. Pada kondisi ini, persepsi kognitif murni memang harus ditetapkan, dan bahwa setiap orang kemungkinan akan melakukan apersepsi distorsi, namun antara satu orang dengan yang lainnya berbeda dalam tingkatannya. Dalam klinis, mendasarkan pada pengunaan kartu TAT akan terlihat lebih jelas bahwa subyek melakukan apersepsi distorsi dalam tingkatan yang berbeda. Subyek sering tidak menyadari keterlibatan subyektivitasnya pada saat bercerita. Praktek klinis menunjukkan bahwa ketika subyek diminta membaca cerita yang telah ditulisnya, secara tidak disadari bahwa cerita itu mengacu pada dirinya sendiri. Melalui pendekatan psikoterapi mungkin subyek akan menyadari dorongan-dorongan latennya yang selama ini tidak mampu dilihatnya sebagai bentuk distorsi dapat diperlihatkan.



E. BERBAGAI MACAM BENTUK APPERSEPSI DISTORSI Menurut Bellak ada 4 (empat) macam apperception distortion, yaitu : 1. Proyection 2. Simple Proyection



3. Sensitization 4. Externalization



Empat macam bentuk apersepsi distorsi berikut ini merupakan bentuk-bentuk apersepsi distorsi mengacu tingkatan distorsinya, namun berbagai macam bentuk apersepsi distorsi ini tidak selalu muncul secara murni, karena sering kali apersepsi distorsi muncul secara berdampingan (coexist) atau tumpang tindih (overlapping). 9



10



1. Proyection Merupakan bentuk apperception distortion yang paling tinggi kualitas distorsinya dan mempunyai sifat berlawanan dengan persepsi yang obyektif. Berdasarkan tingkatan proyeksi (distorsi / penyimpangan) nya dapat berwujud gangguan-gangguan psikosa, khususnya dan defence yang neurotis. Dapat pula terjadi pada individu yang relatif normal tetapi mengalami goncangan psikis (konflik / frustrasi). Proyeksi yang sesungguhnya tidak hanya pelampiasan keluar dari perasaan/ sentimen yang berasal dari ketidaksadaran tetapi pelampiasan keluar (yang sifatnya defence itu), juga disebabkan karena adanya kontrol ego yang tidak memperkenankan munculnya perasaan/sentimen tersebut ke luar dalam tindakan nyata. Menolong orang yang mengalami proyeksi, biasanya harus melakukan psikoterapi dalam jangka waktu yang panjang. Contoh : kasus homoseksual (Schreber), telah dibicarakan sebelumnya bahwa telah terjadi perubahan bentuk ketidaksadaran “saya mencintai dia (I love him)” ke dalam kesadaran “Dia membenci saya (He hate me)”. Proyeksi yang terjadi dalam kasus ini sesunguhnya merupakan proses yang kompleks, yang meliputi empat langkah berikut ini : 1. I love him (laki-laki + laki-laki). Merupakan dorongan das es yang tidak dibenarkan. 2. Munculnya reaksi yang formal yaitu I hate him. 3. Kemudian muncul sikap agresif dan benci yang merupakan dorongan yang tidak dibenarkan oleh yang bersangkutan dan kemudian di derepress. 4. Dalam kesadaran persepsi tersebut berubah menjadi He hate me, disini terjadi inverted projection (reaksi formasi) yaitu dari I love him menjadi I hate him dan He hate me 2. Simple Proyection Merupakan proses yang biasanya tidak mengalami indikasi klinis, karena merupakan kejadian umum yang biasa dialami oleh individu sehari-hari. Simple projection merupakan perbuatan yang dibayangi oleh perasaan bersalah karena adanya guilty feeling, kecemasan, kekhawatiran karena pengalaman negative masa lalu. Contoh : Nuri mau pinjam buku ke Panji, karena Nuri dibayangi kekuatiran akan sikap Panji di masa lalu yang pernah menolak meminjamkan buku, akhirnya terjadi hubungan yang tidak logis antara Nuri dan Panji. Nuri berkata kalau ndak boleh dipinjami ya udah !. Dalam proses ini bisa terjadi transfer of learning karena pengalaman dari masa sebelumnya yang ditransfer ke kondisi sekarang yang memilik kondisi / unsur yang sama (identical element). Bagaimanapun, Nuri telah belajar dalam kehidupanya bahwa suatu permintaan tidak selalu di-penuhi orang lain. Hal ini membuatnya kecewa ataupun marah, dan berang-gapan orang lain tidak suka kepadanya. 10



11



3. Sensitization Dapat disamakan dengan sifat sensitif seseorang, yaitu perbuatan yang dipengaruhi oleh situasi yang ada di sekelilingnya. Ini mudah terjadi pada orang yang mempunyai kecenderungan neurosis (emosinya sensitif). Perbuatan ini bisa terjadi bila obyek yang dihadapi sama / hampir sama dengan pola-pola yang pernah didapat sebelumnya. Bicara mengenai sensitization berarti bicara tentang persepsi yang lebih sensitif terhadap stimuli tertentu. Dalam sensitization apabila suatu obyek yang memiliki pola-pola psikologis yang hampir sama dengan pola-pola yang dibentuk sebelumnya, akan lebih mudah diterima daripada obyek yang belum pernah terbentuk sebelumnya. Misalnya dalam membaca, kata-kata yang telah dipelajari sebelumnya akan lebih mudah daripada yang belu dipelajari. Bellak mengajukan asumsi yang berkaitan dengan sentisasi ini, yaitu bahwa suatu obyek yang sesuai dengan pola tingkah laku yang pernah dilakukan akan lebih mudah diterima dari pada yang tidak sesuai dengan pola tingkah laku yang pernah dilakukan. Eksperimen Devine, Chein dan Murphy : Ahli-ahli ini menggunakan sejumlah subyek yang sudah dilaparkan, kemudian pada mereka diperlihatkan sejumlah gambar yang diantaranya terdapat gambar makanan. Hasil eksperimen ini menunjukkan : a. Ternyata dalam keadaan lapar, subyek melihat gambar makanan pada kartukartu tersebut, bahkan walaupun pada kartu-kartu yang tidak ada gambar makanannya. b. Subyek tersebut lebih sering menunjukkan ketepatan dalam melihat gambar makanan yang sudah disajikan beberapa kali. Berdasarkan eksperimen tersebut, ternyata dalam keadaan depresi (lapar) timbul peningkatan efisiensi kognitif dalam ego dan menanggapi obyek yang dilihatnya sehingga dapat mengakibatkan depresi tersebut berkurang. Peristiwa ini merupakan peristiwa kompensasi di dalam fantasi untuk mengatasi kecemasan/ depresi tadi dan ini disebut “Autistic perception”. Dapat disimpulkan bahwa organisme dilengkapi kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam memenuhi kebutuhan yaitu pemenuhan kebutuhan yang bersifat realistis, dan kebutuhan pengganti (subtitusi) yang muncul apabila pemenuhan kebutuhan yang realistis tidak dapat dipenuhi. Hal ini seperti proses dalam sensitization, dalam keadaan lapar, stimulus yang berupa gambar makanan akan lebih mudah diterima/dirasakan karena subyek sudah memiliki pola-pola hubungan sebelumnya bahwa lapar berkaitan dengan makanan. Munculnya kebutuhan akan makanan menyebabkan pemanggilan kembali (recall) memori-memori yang berkaitan dengan makanan. hal ini mendistorsi persepsi yang sedang berlangsung.



11



12



Eksperimen Brunner dan Postman Kepada beberapa subyek diminta untuk mencocokkan ukuran bulatan pada si-nar yang diproyeksikan ke layar yang dapat diubah-ubah, dicocokkan dengan benda bulat yang dipegangnya. Subyek dibuat dalam keadaan schook yang bertingkat dan kemudian diminta untuk memberikan penilaian (dengan mencocokkan bulatan). Selama dalam keadaan schock ternyata variasi penilaian perseptual sangat kecil, sedangkan dalam keadaan biasa variasinya lebih besar dan penyimpangannya juga lebih besar. Berdasarkan hasil eksperimen ini, Brunner dan Postman menggunakan suatu teori yang disebut teori kewaspadaan yang selektif (Theory of Selective Vagilance), yaitu bahwa individu yang berada dalam keadaan stress, ketika menilai sesuatu variasi stimulus / objek derajat penyimpangannya akan lebih kecil atau lebih akurat bila dibanding dengan individu yang tidak stress. Hipotesis yang kemudian muncul; bahwa kondisi stres dapat meningkatkan kesadaran akan memori. Ingatan yang dimiliki subyek akan menimbulkan penilaian yang akurat terhadap stimulus atau situasi yang sedang terjadi. 4. Externalization Merupakan suatu perbuatan / diskripsi perbuatan keluar dari pola-pola gambaran psikis yang cenderung direpres yang kemudian dapat diingat kembali secara mendalam / mendetail. Perbuatan eksternalisasi ini mempunyai kesadaran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan proyeksi, simple proyeksi, maupun sensitization, yang ketiganya lebih tidak disadari dan pada dasarnya sulit untuk membuat subyek menyadari proses yang terjadi pada dirinya. Contoh : Eksperimen Bellak dengan kartu 5 TAT. Dalam eksperimen ini seorang klien disuruh menceritakan salah satu kartu TAT yang mempunyai tema : Gambar seorang Ibu yang menengok ke kamar anaknya. Maksudnya ingin melihat apakah ananknya telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Respon testee : Ada seorang Ibu yang menjenguk ke dalam suatu ruangan untuk melihat apakah anaknya telah menyelesaikan PR nya. Ibu tersebut memarahi anaknya yang lamban. Apabila diteliti secara cermat, cerita testee tersebut sebenarnya secara langsung mengatakan hal apa yang sedang dialaminya, dan testee tidak menyadari waktu menceritakannya. Dari cerita itu kemudian diadakan penjajagan lingkungan lebih lanjut, yang akan mengungkap dasar-dasar psikologis yang tidak disadari yang terjadi pada diri testee / klien. Dalam psikoanalisis, proses cerita testee (story telling) merupakan pengalaman prasadar (terjadi pola-pola bayangan / image yang sedikit ditekan); testee tidak sadar ketika menceritakannya, namun dengan mudah 12



13



dapat dibuat sadar (recalled). Setelah proses inquiry, subyek menyadarinya (mudah disadarkan lewat proses inquiry). Externalization merupa-kan proses apersepsi distorsi yang paling ringan dan berasal dari pra sadarnya.



F. PERSEPSI KOGNITIF MURNI SERTA BEBERAPA ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN STIMULUS – RESPON Persepsi kognitif murni (Pure Perception) mirip dengan appersepsi, yaitu suatu proses yang sebetulnya berlawanan dengan appersepsi distorsi, dan secara operasional pure perception ini merupakan kesepakatan / kesamaan dalam individu memberikan respon. Kesepakatan yang dimaksud di sini adalah dalam hal individu memberikan arti terhadap suatu stimulus apabila interpretasi dari banyak orang diperbandingkan. Tingkah laku individu dalam mempersepsi ini sifatnya rasional, misalnya hasil karya seni seniman yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, walaupun themanya sama. Contoh : hutan  pohon hijau, hutan  pohon kuning. Perbedaan ekspresi ini merupakan karakter pribadi tiap individu. Persepsi kognitif murni dapat dikatakan pula sebagai tingkah laku yang pada umumnya rasional, sesuai dengan stimulus yang ada atau dapat pula disebut sebagai tingkah laku adaptif. Eksperimen Bellak Pada eksperimennya, Bellak menemukan bahwa subyek lebih sering memproyeksikan sifat-sifat agresi terhadap gambar yang mengandung unsur agresi walaupun menurut individu yang bersangkutan dalam keadaan yang biasa gambar tersebut secara keseluruhan biasa. Contoh : belati  cerita-cerita agresi (kegunaan belati) Dalam hal ini, sebenarnya memperlihatkan bahwa respon tersebut sebetulnya merupakan bagian dari fungsi stimulus. Menurut Apperseptive Psychology individu dalam memberikan respon didasarkan oleh keadaan obyektif stimulus tersebut. Oleh Allport hal ini disebut Adaptive Behavior, yaitu tingkah laku yang sifatnya konsisten dengan aspek-aspek obyektif dari stimulus yang dihadapi. Prinsip-prinsip Adaptive Behavior : 1. Adaptive Behavior mempunyai taraf variasi yang berbanding terbalik dengan taraf kejelasan stimulusnya. Semakin jelas stimulus yang dihadapi akan semakin kecil variasi Adaptive Behaviornya. Contoh : dalam tes TAT variasi responnya relatif kecil dibanding respon tes Ro. Selain itu tes proyektif pada umumnya dibuat tidak bertruktur (unstruc13



14



tured), hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan sebanyak mungkin respon apersepsi distorsi. 2. Taraf kejelasan adaptive behavior sangat ditentukan oleh pola tugas yang diberikan (R yang dilakukan). a. Itu gambar apa ?, dari pada b. Ceritakan tentang gambar itu !. Variasi Adaptive Behavior antara pola tugas (a), dan (b), berbeda, dimana pola (b) mempunyai variasi yang lebih besar (yaitu tergantung dari pengalaman subyek). Apa yang menyebabkan variasi cerita gambar tersebut adalah : Secara pola, tugas (b) sudah banyak mengandung unsur-unsur subyektif yang berperan dan karena kalau pola tugas itu menyentuh aspek-aspek yang subyektif, variasi Adaptive Behavior akan lebih banyak dibandingkan pola tugas itu masih didasarkan unsur-unsur obyektifnya (pola tugas a). c. Yang mempengaruhi Adaptive Behavior adalah kondisi individu pada waktu menerima stimulus yang meliputi kondisi fisik dan psikis. Individu yang kondisinya relatif normal variasi Adaptive Behaviornya lebih sedikit dibandingkan dengan individu yang memiliki kondisi tak normal (sedikit, frustrasi). Contoh : Eksperimen Levin, Chein dan Murphy  lebih mengarah kepada sensitization, yaitu orang yang dilaparkan variasi responnya akan lebih terarah kepada makanan, berbeda dengan orang yang tidak lapar. Ketidaksamaan dalam penampilan tingkah laku disebabkan oleh faktor individual differences, terutama dalam menginterprestasikan isi-isi ketidaksadaran. Jadi berkaitan dengan sifat/karakter pribadi. Perbedaan ini oleh Allport disebut Expresive Behavior, yaitu tingkah laku yang dititik beratkan pada bagaimana individu tersebut menyatakan perbuatan sebagai reaksi terhadap stimulus yang dihadapi (subyektif). Menurut Allport yang menentukan penampilan tingkah laku individu bukan stimulusnya, tetapi karakter individu (personal characteristic). Bagaimana individu merespon stimulus yang dihadapi dipengaruhi oleh karakter pribadinya. Apabila beberapa pelukis diminta melukis obyek yang sama, tidak akan menghasilkan karya lukisan yang persis sama, akan tetapi terjadi perbedaan individual dalam mengekspresikan kreasinya melalui karya lukisan. Hal yang sama terjadi pada saat testee merespon kartu TAT. Ekspresi individu akan mempengaruhi respon-nya, karena adanya perbedaan individual dalam style, susunan kalimat, bahasa yang dipergunakan. Dapat disimpulkan bahwa Adaptive Behavior dan juga Apperception merupakan tingkah laku / perbuatan yang ditekankan kepada apa yang dilakukan (diskripsi / obyektif), sedangkan Expresive Behavior, merupakan tingkah laku yang dititik beratkan pada bagaimana individu menyatakan perbuatan sebagai reaksi terhadap stimulus yang dihadapi (subyektif). 14



15



G. USAHA UNTUK MENYATUKAN KONSEP-KONSEP APPERSEPSI DISTORSI DENGAN KONSEP DASAR PSIKOANALISA Apperceptive Psychology dan instrument klinisnya merupakan turunan dari psikoanalisia dan psikologi klinis (terutama teori-teori dinamis dari psikologi Gestalt tentang belajar dan persepsi). Proses penyatuan teori kedua kelompok tersebut dan kaitannya dengan cara terbentuknya teknik proyeksi, baik menyangkut alat-alatnya maupun jenis-jenis teknik proyeksi dikemukakan oleh Bellak, namun demikian masih sering dijumpai kekurangsepakatan pendapat antara kedua kelompok konsep tersebut. Konsep-konsep apperseptive distortion yang dikemukakan Bellak dengan beragam kliennya (macam-macam tesnya) sebetulnya sudah merupakan integrasi / perpaduan dari konsep-konsep psikoanalisa dengan konsep yang bukan psikoanalisa, misal : konsep-konsep aliran Gestalt, khususnya yang membicarakan masalah learning dan persepsi.Walaupun demikian masih sering dijumpai kurangnya integrasi di antara metode pendekatan dari kedua konsep tersebut sehingga sering pula menimbulkan adanya kekurang sepakatan pendapat antara kelompok psikoanalisa dengan kelompok non psikoanalisa, misal dalam membahas appersepsi distorsi menunjukkan bahwa : “Bagaimana konsep-konsep dasar psikoanalisa (khususnya mengenai appersepsi distorsi) dapat dibuktikan secara eksperimental terutama yang pada prinsip formulasinya tersebut merupakan teori belajar”. Psikoanalisa yang membahas sejarah kehidupan seseorang ternyata banyak dipengaruhi oleh berbagai persepsi. Pendapat ini searah dengan pendapat Murray yang mengatakan bahwa kepribadian merupakan rentetan sejarah individu dan persepsi masa lalu, dan hal ini akan mempengaruhi masa selanjutnya. Sedangkan menurut Freud persepsi masa lalu dan persepsi kemudian akan mempengaruhi karakter kepribadian seseorang. Contohnya adalah sebagai berikut : Persepsi masa lalu tentang ibu akan mempengaruhi persepsi kemudian. Dalam interaksi dengan ibu, anak akan mengidentifikasikan figur ibu. Anak akan menerima dan meyimpan berbagai macam pengamatan/persepsi mengenai ibu. Pleasure and pain berlaku disini yaitu anak akan selalu mengasoisikan diri dengan hal-hal yang mendatangkan kebahagiaan dalam berinteraksi dengan ibu dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak mendatangkan kesenangan. Persepsi tentang ibu tersebut akan menjadi suatu pedoman bagi individu dalam berperilaku selanjutnya. Apa yang didapatkan dari ibu mengenai hal-hal yang positif akan menjadi bagian self-system individu tersebut yang menurut Freud merupakan ego idealnya. Hal-hal yang negatif akan menjadi ego consciencia. Proses sensitif terjadi pada anak usia 4-5 tahun yang merupakan masa sensitif dalam melakukan imitasi terhadap apa yang diamati. Selanjutnya, persepsi tentang ibu akan berbeda-beda pada setiap tingkatkan umur (fase perkembangan). Pada tingkatan umur yang lebih awal akan mempengaruhi persepsi anak pada umur selanjutnya. 15



16



Menurut Freud (dan para tokoh aliran psikoanalisa pada umumnya) akan terjadi proses integrasi pengalaman sehingga menjadi yang bulat adalah sampai usia 14. Pada masa itu sudah terjadi integrasi yang sifatnya komposisi gabungan masa-masa sebelumnya. Begitu pula teori Mekanisme Pertahanan Diri pada dasarnya merupakan teori yang bertitik tolak dari pengertian mengenai pengaruh selektif terhadap persepsi masa lalu dalam kaitannya mempengaruhi persepsi kemudian. Secara hipotesis, psikoanalisa mengatakan bahwa ada hukum-hukum interaksi antara image masa lalu dengan kondisi sekarang atau kemudian. Sedangkan konsep Gestalt mengatakan bahwa bila suatu good image dan bad image muncul bersamaan akan terjadi kondisi dimana good image akan diperkuat dengan memodifikasi aspek bad image dan akan terjadi pengaruh yang selektif terhadap image-image tersebut. a). Konsep dasar Psikoanalisa Sebenarnya secara eksperimental, appersepsi distorsi ini juga : - Banyak berkaitan dengan teori belajar. - Banyak berkaitan dengan sejarah kehidupan individu yang baru mempengaruhi berbagai persepsi, terutama hasil persepsi masa lalu. - Adanya hukum-hukum/terjadinya interaktif antara persepsi. - Adanya pengaruh persepsi masa lalu terhadap persepsi yang sekarang, misal : persepsi-persepsi masa lalu yang dikemukakan dalam konsep/teori libido pada dasarnya juga merupakan rangkaian proposional yang mempunyai sifat genetik yang akhirnya membentuk kepribadian individu (Freud  dasar-dasar pembentukan simptom-simptom dan karakter-karakter pribadi). Psikoanalisa mencontohkan adanya pengaruh masa lalu dalam konsep defence mechanisme yang muncul karena individu mengalami kenyataan-kenyataan yang dianggap menimbulkan stress dalam dirinya. Contoh : Seorang ibu yang membenci sekaligus mencintai anaknya, sebagai akibat pertentangan ini menurut psikoanalisa mungkin akan menimbulkan reaksi formasi, dimana si ibu tidak akan menyadari perasaan membenci, tetapi akan menunjukkan kasih sayang yang berlebihan. Dari kondisi ini dapat dinyatakan kembali peristiwa tersebut dengan mengikuti aturan sebagai berikut : Sewaktu stimulus merangsang percepts memories, yang kemudian menimbulkan sikap membenci dan menyayangi, sementara sikap membenci ditolak masyarakat, maka sikap ini dihilangkan. Sedangkan sikap menyayangi yang diterima masyarakat mendapat reinforcement. b). Tinjauan Teori Gestalt Contoh di atas oleh pandangan Gestalt dibuktikan dengan eksperimen “good image dan bad image”, yang terjadi secara berurutan, hasil akhirnya akan menjadi reinforcement bagi good image yang telah dimodifikasikan oleh beberapa aspek dari bad image. Cinta kasih ibu sebagai akibat reaksi formasi, penampakannya berupa perilaku overprotective, dimana hal ini (overprotective) sebenarnya merupakan agresi yang terselubung.



16



17



Komposisi gabungan/berdekatan dari bermacam pengalaman mempunyai kedudukan/arti yang lebih tinggi (sifatnya primer) daripada bagian atau sekedar penjumlahan dari masing-masing pengalaman ataupun persepsi. Teori Defence Mechanism pada dasarnya merupakan teori yang bertitik tolak dari pengertian mengenai pengaruh persepsi dari pengalaman masa lalu terhadap persepsi kemudian.



H. KASUS-KASUS DALAM APERSEPSI DISTORSI 1. Hipnosa Hipnosa merupakan salah satu bentuk appersepsi destorsi, karena dalam hipnosa appersepsi individu diubah sesaat sehingga terjadi appersepsi distorsi (penyimpangan dalam appersepsi subyek tersebut terhadap stimulus yang ada). Proses terjadinya sppersepsi distorsi dalam hipnosa dimulai dari penurunan kesadaran secara bertahap yang akan mempengaruhi fungsi-fungsi persepsi/appersepsi yaitu menjadi menurun, kesadaran sehingga akhirnya terbatas/terpusat pada appersepsi terhadap suara, maupun tingkah laku “hypnotist”. Proses appersepsi ini mirip dengan peristiwa seorang anak yang akan tidur dalam buaian ibunya. Teori Ferenezi tentang hipnosa menyebutkan bahwa seorang hipnotist merupakan image orang tua bagi yang dihipnosa, yaitu orang tua yang sedang menidurkan anaknya. Menurut Bellak : terjadinya suatu appersepsi distorsi terhadap hipnotist antara lain adalah akibat munculnya ingatan tentang image orang tua subyek. Berdasarkan konsep tersebut maka proses/konsep hipnosa akan dapat berjalan dengan baik apabila hipnotist mampu menimbulkan image tentang orangtua subyek, sehingga orang tua tersebut bisa berfungsi sebagai kontrol yang kuat yang bisa mempengaruhi persepsi subyek (terhadap subyek lain). Subyek seakan-akan tidak merasakan adanya perbedaan antara apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang ada dalam realita. Akibatnya ingatan masa lalu akan keluar semua. 2. Fenomena-fenomena dalam Massa Dalam (kelompok) massa dapat terjadi apperseptive distortion yang hampir sama dengan hipnosa. Freud dalam bukunya Group Psychology and The Analysis of The Ego mengatakan bahwa individu yang menjadi anggota massa akan memproyeksi massa sebagai suatu faktor yang akan melemahkan fungsi ego dan super ego sehingga individu sebagai anggota massa akan mengikuti dinamika massa. Maka ia akan melihat sesuatu bukan berdasarkan diri sendiri, tetapi tunduk terhadap jiwa massa. Massa merupakan figur otorita, sehingga persepsi massa akan menguasai individu akhirnya apa yang dilakukan massa merupakan kesatuan dalam unsur-unsur yang ada di dalamnya (jiwa individu) yang sukar untuk dibedakan. Akan dibawa ke mana massa itu, maka mudah sekali diarahkan kesifat-sifat agresif destruktif. 17



18



Sifat-sifat ini merupakan inti dari dorongan primitif (suka jalan pintas, menghindarkan diri dari suatu yang tidak menyenangkan), sehingga ada segi positifnya yaitu sebagai satu kesatuan dari beberapa individu (persenyawaan) dan segi negatifnya yaitu pada masing-masing individu terjadi apperseptive distortion. Durkheim mengatakan : bahwa massa merupakan persenyawaan dari masingmasing individu yang menjadi pendukung. 3. Proses Transference Transference merupakan hubungan emosional antara klien dengan analistnya (sehingga sifatnya eksplosif karena keberadaan super ego lemah). Apperseptive distortion banyak disebabkan oleh aspek emosi yang mengalami hambatan, sehingga perlu penyaluran. Dalam menghadapi hal ini, analist yang juga merupakan figur otorita bagi klien sebaiknya dapat menahan diri untuk tidak terlalu memberikan celaan atau pujian. Dalam proses transference ini klien mentransfer dorongan/sentimennya yang terbentuk dalam masa lalu kepada analistnya. Klien sebenarnya mengharapkan kritik, celaan, hukuman dan pujian, supaya dapat mengurangi kecemasan dan ketidak senangan. Pujian, celaan dan juga bimbingan akan mudah menimbulkan apperseptive distortion bagi klien, sehingga dapat mengakibatkan tingkah laku yang kurang tepat dalam menghadapi analisisnya. misal : Dalam psikoanalisa banyak klien yang jatuh cinta kepada Freud. Secara ringkas dapat dijabarkan bahwa situasi transference merupakan situasi dimana klien dalam memandang analistnya mengalami appersepsi distori, yaitu ia memandang analist dengan parental images yang diperolehnya sewaktu ia masih kecil dan atau figur-figur dari individu yang berperan dalam kehidupannya. 4. Pada Penderita Psikosis Orang yang mengalami psikosa adalah orang yang keadaan jiwanya tergoncang/terpecah, terutama emosinya tak stabil, konsentrasinya terganggu dan mudah berbuat hal-hal yang bersifat appersepsi distorsi seperti mengalami halusinasi, illusi. Hal ini banyak dipengaruhi pengalaman masa lalu yang ditekan ke daerah ketidaksadaran, karena kontrol ego dan super ego lemah akhirnya mengganggu aktivitas individu. Dapat dikatakan bahwa delusi dan halusinasi yang dialami individu psikotik sebenarnya adalah image-image masa lalu yang munculnya sedemikian rupa sehingga mengakibatkan adanya distorsi pada appersepsi terhadap lingkungannya dalam segala situasi. Seringkali appersepsi distorsi pada mulanya hanya mempengaruhi beberapa stimulus saja. Pada penderita paranoid awal, appersepsi distorsi hanya terjadi pada seseorang atau beberapa orang saja. Kadang-kadang distorsi original ini reasonable dan kadang-kadang selalu dirisaukan. Semakin lama distorsi klien 18



19



semakin nyata dan hampir mencapai seluruh aspek. Situasi pembentukan paranoid ini semakain meluas hingga mencapai seluruh bidang appersepsi klien. 5. Proses Dalam Terapi Menurut psikoanalisa terdapat 4 tahap : a. Komunikasi Komunikasi merupakan hubungan antara klien dengan terapist diantaranya melalui cara assosiasi bebas (Freud). Dengan cara ini terapist mempelajari tingkah laku pasien dalam berbagai situasi. Dalam teori ini terapist berusaha menemukan elemen-elemen terkecil (denominator) yang menyebabkan timbulnya tingkah laku yang disebabkan Common Denomination. b. Interpretasi Interpretasi merupakan kelanjutan dari proses komunikasi. Jika terapis telah menemukan situasi kehidupan dan elemen terkecil dari tingkah laku pasien akhirnya didapatkan pola-pola tingkah laku yang salah, kemudian terapis berusaha memperlihatkan kepada klien supaya menyadari, mengurangi dan sebisa mungkin menghilangkan tingkah laku yang menyimpang. Ada tiga tahap dalam interpretasi, yaitu : -



-



-



Horisontal Study Terapis berusaha mencari common denomination melalui pola-pola tingkah laku yang berkaitan dengan hubungan interpersonalnya. Vertical Study Yaitu dengan menggunakan assosiasi bebas/cara lain, maksudnya untuk melacak sejarah perkembangan denominator. Studi ini menitik beratkan pada pengalaman masa lalu. Relationship to the Therapist Dalam usaha melacak kehidupan pasien sangat besar bantuan hubungan pasien dengan tarapis, sehingga memungkinkan dilakukannya analisa terhadap situasi transference.



c. Insight Insight merupakan keadaan dimana klien sudah menyadari akan keadaan dirinya yang sedang sakit. Dinamika terapi insight adalah kemampuan klien melihat hubungan antara simpton yang diderita dengan penyimpangan appersepsi dan penyimpangan tingkah laku yang sifatnya tidak disadari. Penyimpangan ini mendasari timbulnya simpton-simpton tersebut. Proses insight bisa dianalisis dari 2 segi, yang sifatnya : - Intelectual Insight Pasien mampu melihat adanya saling hubungan antara pola hubungan horisontal dan vertical yang ada pada dirinya. 19



20



-



Mampu membedakan pola-pola yang ada pada dirinya. Di sini memperlihatkan kemampuan gestalt dalam proses berfikir/appersepsi klien, sehingga dapat mempelajari dan melakukan tingkah laku yang lebih baik. Emotional Insight Pasien mampu memperlihatkan perasaan/afeksi sebagai kelanjutan dari intelektual insight. Misal : rasa lega, menyesal, rasa bersalah.



d. Working Through Working through merupakan suatu bentuk realisasi dari insight yang diperoleh individu (klien), atau proses dimana klien diminta untuk menyelidiki dan menguasai konflik-konflik yang membawa dia kepada terapis. Realisasi dari Working through tidak lepas dari : -



Kognisi (secara intelektual) Secara intelektual klien memahami dan mempunyai kecenderungan mengaplikasikan apa yang telah dipelajari dari terapis, sehingga ia dapat menyesuaikan dirinya dengan beberapa situasi yang diberikan terapis dan dengan beberapa situasi lainnya, dimana ia berada. Misal : Apabila suatu pola appersepsi distorsi mengenai pemimpin-guru-analis-ayahnya, ditunjukkan, maka klien teringat pada situasi yang melibatkan paman-komandankakak-orang-orang lainnya yang bertindak secara mirip dengan pemimpinguru-analis-ayahnya.



-



Emosi (secara therapeutic) Pola tingkah laku emosional yang pernah dilakukan dalam bentuk transferan oleh klien supaya diterapkan dalam tingkah laku emosional dalam kehidupan sehari-hari. Atau klien mentransferencekan emotional patterns of behavior yang telah dibahas sebelumnya dan melaksanakannya.



-



Konasi (secara behavioral) Dengan adanya mental set yang baru, klien bertindak dengan berbagai macam cara terhadap situasi-situasi tersebut. Masalah-masalah baru yang timbul dianalisa secara seksama dan masalah tersebut diselesaikan dengan adjustment yang konstan dan readjustment antara mental set dan realita. Atau secara konkrit betul-betul sudah dalam bentuk tingkah laku/behavior. Klien sudah bisa bertingkah laku sesuai dengan situasi dan kondisi.



Proses insight dan working through secara intelektual paling tepat dijelaskan dengan teori belajar Gestalt, sedangkan working through secara emosional dan behavioural paling tepat dipandang sebagai suatu akibat kondisioning, seperti halnya suatu masalah diselesaikan dengan trial and error dan reward and punishment, sehingga memberikan hasil yang terbaik.



20



21



I. PENDEKATAN TERHADAP KEMUNGKINAN PROYEKTIF Munculnya Psikologi Proyektif merupakan protes terhadap aliran yang dipandang bersifat strukturalism dan kurang mengenal kehidupan psikis secara mendalam, antara lain : behaviorisme, refleksologi, ilmu jiwa assosiasi yang kesemuanya memandang individu sebagai kumpulan dari berbagai macam aspek. Ini kemudian membentuk pribadi yang akan merealisasi segala obyek/stimulus yang ada di sekelilingnya. Misal : Behaviorisme termasuk refleksologi memandang individu sebagai reflekreflek behavior, memahami manusia hanya dari tingkah laku yang nampak saja. Dalam perkembangan selanjutnya dalam Psikologi Proyektif, timbul 2 type pendekatan, yaitu : 1. Behavioral Approach 2. Functional Approach Northrop membedakan kedua pendekatan ini, yaitu : a. Behavioral Approach - Pendekatan Behavioral hanya mementingkan gejala yang nampak dari luar, kemudian menghubungkan antara gejala-gejala tersebut berdasarkan hukumhukum yang ada, tetapi melupakan peranan ketidaksadaran yang sebetulnya banyak berperan dalam menentukan struktur pribadi seseorang. - Pendekatan Behavioral hanya mendasarkan pada tingkah laku dan sifat hubungan antara S – R. menurut Northrop hubungan S – R ini sifatnya konstan. - Pendekatan Behavioral berkembang ke pendekatan kuantitatif, karena hanya mementingkan gejala-gejala yang nampak sehingga sifatnya obyektif. - Pendekatan Behavioral memunculkan instrumen/psikotest yang sifatnya kuantitatif (tes obyektif/psikometris) dan mengarah pada interpretasi yang sifatnya lebih eksak. Misalnya : Tes Intelegensi (WAIS). b. Functional Approach - Pendekatan fungsional memandang tingkah laku manusia sebagai hal yang sifatnya dinamis, aktif dan tingkah laku/behavior itu mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan tertentu tersebut adalah : menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. - Pendekatan fungsional banyak yang memperhatikan hal-hal yang sifatnya mendalam (hal-hal internal), hal-hal yang tidak disadari yang justru banyak mempengaruhi perbuatan yang sifatnya proyeksi. - Pendekatan fungsional berkembang ke pendekatan kualitatif dan melahirkan instrumen tes yang sifatnya subyektif dan proyektif. Catatan : Dalam aplikasinya keduanya mempunyai peran yang penting atau bisa saling mengisi, misalnya berapa tingkat IQ seseorang bisa di cek dari tes WAIS maupun tes Ro. 21



22



J. SIFAT DAN KLASIFIKASI TEST PROYEKTIF Apabila diperhatikan secara cermat sebetulnya hampir setiap manusia memproyeksikan beberapa bagian dari dirinya (misalnya : need, dorongan, perasaan) ke dalam tingkah laku sehari-hari. Melalui aktivitasnya dapat diketahui bagaimana jiwa orang tersebut. Tentang hal ini sudah dilakukan eksperimen yang dilakukan oleh Levin, Chein dan Murphy dalam kaitannya dengan sensitization juga oleh Brunner dan Postman dalam menemukan teori kewaspadaan. Dalam Eksperimen Levin, Chein dan Murphy, ditemukan adanya Autistic Perception yaitu proses peningkatan efisiensi kognitif dalam ego apabila individu dalam keadaan stress. Tindakan tersebut dilakukan dalam usaha untuk meredakan depresi yang dialaminya. Usaha ini bersifat kompensasi fantatis. Prinsip Dasar / Sifat Test Proyektif Banyak bidang / hal yang dapat digunakan sebagai materi tes proyektif misalnya pohon, orang, tulisan, rumah dan sebagainya. Suatu teknik atau tes dikatakan bersifat proyektif apabila memiliki prinsip dasar atau ciri-ciri tertentu, prinsip dasar dalam teknik proyeksi atau alat / tes proyektif adalah; unstructur, ambiguous, relative, global approach. 1. Bersifat Unstruktur Dengan sifat yang unstruktur akan mempunyai efek subyektif dan akan memiliki alternatif pilihan yang banyak terhadap materi yang dihadapi / tes proyektif. 2. Bersifat Ambiguous Sifat ini akan memungkinkan seseorang memproyeksikan emosi, need dan perasaan serta motif yang sifatnya tak disadari dan selanjutnya kaitannya dengan respon dan sifat ambiguous ini memungkinkan subyek akan memberikan jawaban sesuai dengan interpretasinya sendiri. 3. Bersifat Global Approach Sifat ini disebabkan karena obyek yang “relatif” mengakibatkan mudah terjadi perbedaan kesimpulan terutama dalam memberikan jawaban antara individu yang satu dengan yang lain. 4. Bersifat “Berkesimpulan Luas” Mengakibatkan validitas dan reliabilitas tes proyektif mempunyai sifat yang sangat unik.Validitas dan reliabilitas tes proyektif jauh lebih sukar, (terutama validitas) dibandingkan dengan tes psikologi yang lain. Dalam mencari kriteria guna menetapkan validitas dalam tes proyektif karena sangat sulit, sehingga hanya berdasar kepada “pengalaman”. Oleh karena itu dalam tes proyektif pemakainya dituntut betul-betul menguasai teorinya, dan yang tak kalah pentingnya adalah halhal yang bersifat intuitif sangat membantu, sehingga semakin banyak latihan maka akan semakin menguasai. 22



23



Sifat-sifat lain Test Proyeksi Selain ciri-ciri / sifat tersebut ada ciri-ciri / sifat-sifat yang lain teknik proyektif yang mungkin hanya dimiliki oleh beberapa tes proyektif saja contohnya TAT. Sifatsifat tersebut adalah : 1. Poly Valensi Test tersebut mempunyai nilai-nilai yang banyak, dapat disajikan dalam berbagai situasi (situasi tersebut terkandung di dalam materi-materi yang disajikan). Tes tersebut terdiri dari berbagai kemungkinan / situasi, yaitu : a) Figur / manusia jelas-latar belakang kabur, b) Latar belakang kabur-figur / manusia jelas, c) Figur / manusia jelas-latar belakang, d) Figur kabur-latar belakang kabur. 2. Poly Semi Test dengan bentuk latar belakang jelas-figur / manusia kabur, atau figur / manusia yang jelas-latar belakang kabur. Selanjutnya dalam merespon subyek harus memberikan kepastian (memperjelas) terhadap gambar figur / manusia kabur, atau sebaliknya latar belakang yang kabur harus diperjelas. 3. Mono Semi Keduanya jelas, latar belakang jelas, figur / manusia jelas sehingga variasi adaptive behaviornya sedikit. Hal yang demikian memungkinkan respon testee relatif sama. 4. A – Semi Materi atau rangsangan (figur maupun latar belakang) yang diberikan keduanya kabur, sehingga rangsangan tersebut akan mengakibatkan timbulnya variasi jawaban yang banyak. Dan inilah sifatnya yang paling baik, karena dapat mengungkap lebih dalam tentang aspek-aspek ketidaksadaran dalam diri individu. Klasifikasi Test Proyektif Berdasarkan tuntutan tes proyektif, maka klasifikasi metode proyektif ada beberapa macam, yang pertama mengemukakan adalah L. K. FRANK. Maksud utama pengklasifikasian Frank adalah : Menganalisa sifat respon yang diberikan subyek. Sedangkan ZUBIN melakukan klasifikasi dengan asumsi dasar sifat materi tes yang melandasi aplikasi tes proyektif. Klasifikasi Frank dianggap lebih baik, klasifikasi Frank tersebut antara lain : 1. Teknik Konstitutif Dalam teknik ini, subyek (Testee) dihadapkan pada situasi materi yang belum berstruktur kemudian subyek diharapkan supaya mengatur materi-materi tersebut menjadi berstruktur. Misal : dalam tes Wartegg, DCT, Tes Ro. 2. Teknik Konstruktif Dalam teknik ini sifatnya lebih ekspresi yang bebas (Free Expression). Subyek diminta untuk membuat sesuatu dari materi yang relatif belum terbentuk dan ma23



24



teri ini relatif lebih mentah dari pada dalam konstitutif. Misal : dalam Mozaic tes, Block design, Human figur Drawing. 3. Teknik Interpretatif Teknik ini bentuknya mengartikan. Dalam teknik ini subyek dihadapkan pada materi, kemudian supaya menginterpretasikan stimulus sesuai dengan alasannya masing-masing. Misal : TAT, CAT, Word Associate, SSCT. 4. Teknik Katartif Teknik ini berfungsi untuk membersihkan kemungkinan-kemungkinan hambatan psikologis yang ada. Dalam teknik ini subyek diharapkan pada materi tes kemudian subyek memberikan reaksi. Dari reaksi ini diharapkan segala hambatan psikis yang ada pada individu bisa diekspresikan sehingga timbul efek-efek tertentu (kelegaan, ketenangan dan lain-lain) Misal : play technique, psikodrama, role playing. 5. Teknik Refraktif (Expressive) Dalam teknik ini subyek dihadapkan pada suatu materi, kemudian subyek diharapkan dapat mengekspresikan kebutuhan, perasaan dan sentimen melalui tingkah laku/perbuatannya. Menurut Allport lebih tepat disebut Metode Ekspresif. Misal : Graphologi Test, Bender Gestalt, Baum Test. Apabila dicermati dari ke 5 macam klasifikasi tersebut terdapat overlap di antara satu dengan yang lain. Adapun kesan yang timbul keragu-raguan dalam mengklasifikasikan. Alasan yang khusus dan mendasar adalah klsifikasikan mengesankan tidak jelas karena sangat luas dalam menentukan stimulus. Kemungkinan hal yang paling penting dalam klasifikasi adalah tujuan yang ditetapkan walaupun dalam kenyataannya masih terdapat overlap diantara yang satu dengan yang lain. Yang jelas dalam teknik-teknik ini mendasarkan kepada penggunaan visual dalam sifat-sifatnya. Sebetulnya kekaburan dari pengklasifikasian ini sesuai dengan sifat atau syarat-syarat tes proyektif (unstruktur, ambiguous). Pengklasifikasian yang sederhana timbul dari WUND, ia hanya membedakan menjadi 2 teknik proyektif, yaitu : 1. Impressi Yaitu proses dimana individu menjelaskan pengalaman-pengalaman yang berkesan. Misal : EPPS (buat jawaban Ya atau Tidak). 2. Expressi Yaitu proses dan penyesuaian individu terhadap lingkungan. Kedua teknik ini didapatkan melalui eksperimen Wund terhadap feeling, emosition dan adjustment. Klasifikasi lain dikemukakan oleh Lindzey, klasifikasi ini lebih menekankan pada tipe jawaban :



24



25



1. Teknik Assosiasi Subyek dihadapkan pada materi, kemudian diminta untuk merespon stimulus yang ditunjukkan dan respon yang tersebut adalah apa yang pertama kali muncul dalam pikiran individu. Misal : Tes Ro, SSCT. Dalam tes Ro materinya relatif tidak berstruktur, stimulusnya merupakan hal yang samar/ambiguous memungkinkan subyek mereaksi sesuai dengan interpretasinya yang kemudian diproyeksikan keluar. Dalam metode ini materi yang menggunakan bahasa lebih dilakukan. Kata-kata yang diwarnai emosi dilibatkan dengan kata-kata netral, kemudian subyek diminta merespon dengan kata-kata yang pertama kali muncul dalam pikirannya. Cara ini dilakukan oleh Get-Zel dan Jackson untuk mengungkap kreativitas dan kemampuan merubah rangsangan berpikir (Frame of Reference). Misal : Materi yang digunakan terdiri dari 25 kata, subyek supaya memberikan arti kata-kata tersebut sebanyak mungkin. Cara menyekor adalah jumlah nilai dari arti yang diberikan serta jumlah dari kategori yang berbeda. 2. Teknik Konstruksi Subyek supaya menyusun cerita, mungkin supaya subyek menyusun cerita bergambar, sehingga gambar tersebut bisa menghasilkan suatu cerita. Misal : Subyek supaya menceritakan apa yang terjadi kemarin, cerita tersebut bisa dalam wujud gambar bersambung, misal : TAT, CAT, TAT model Mc. Clelland, MAPS. Dalam teknik konstruksi ini dituntut kreativitas subyek dalam menghasilkan sesuatu/cerita. 3. Teknik Completion Kepada subyek disodorkan suatu materi yang tidak berstruktur, kemudian subyek diminya untuk melengkapai materi (kalimat, cerita) yang belum lengkap. Jawabannya banyak yang bersifat sederhana. Lebih sederhana dibandingkan dengan teknik assosiasi atau teknik konstruksi. Penyekoran dan interpretasinya relatif lebih sederhana. Misal : SSCT, Wartegg. 4. Teknik Choise or Ordering Metode ini sifatnya meminta respon yang sederhana. Kepada subyek disodorkan materi, kemudian subyek yang memilih beberapa alternatif yang sudah disediakan. Misal : Study of Values (Allport, Vermon, Lyndzey dengan dasar teori dari E. Spanger). Dalam tes ini ada dua bagian, yaitu : 1. Ada masalah umpan jawaban (a, b, c, d, e) Tugas subyek : mengurutkan jawaban sesuai dengan kepentingannya (misal : no. 1-a, 2-d, 3-e). 2. Ingin mengukur tingkat need berprestasi seseorang. Bentuknya : seperangkat gambar, kemudian subyek diminta mengurutkannya. 25



26



5. Teknik Expressive Teknik ini mirip dengan teknik konstruksi. Kepada subyek disodorkan materi yang masih kasar (Raw Material). Subyek diminta untuk membentuk materi yang disodorkan. Yang diutamakan dalam teknik ini adalah cara subyek mengerjakan, bukan hasil akhirnya. Jadi subyek diharapkan supaya mengekspresikan need, emosi atau motif. Metode ekspresi sifatnya yang masih kasar, misalnya : bermain (Included Play Therapy), menggambar, role playing.



K. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG PROYEKSI a. Pandangan tentang Proyeksi Beberapa pendapat disampaikan oleh para ahli mengenai pengertian proyeksi, dan nampaknya memang cukup sulit untuk merumuskan secara pasti apa definisi dari proyeksi itu sendiri. Berikut ini beberapa pandangan secara umum tentang proyeksi yaitu: 1. Proyeksi merupakan pengamatan yang normal yang berwujud perpindahan penghayatan dari individu ke dunia luar / orang lain. Dalam hal ini berlangsung dengan saling mempengaruhi antara hasil proses pengamatan / penghayatan individu dengan kenyataan-kenyataan obyektif yang ada pada dunia luar. 2. Proyeksi merupakan gejala-gejala yang mengarah pada halusinasi. Sesuatu yang ada pada individu dipindahkan / diproyeksikan ke luar dalam bentuk sesuatu, sedangkan dalam realitanya bentuk tersebut tidak ada. 3. Proyeksi mengarah ke sifat ilusi, dimana dua pengamatan individu dilibatkan dan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip afeksi. Di sini terjadi penyimpangan, yang mana dalam pengamatan ada pengaruh emosi / afeksi, misalkan : adanya harapan-harapan tertentu yang kuat dari individu yang bersangkutan yang mempengaruhi pengamatan atau penghayatannya. Ada proyeksi yang sifatnya hampir sama dengan ilusi, tetapi proyeksi tersebut hanya terdapat bila sifat-sifat seseorang dilibatkan pada orang lain yang ada disekitarnya. Dengan demikian (pandangan tentang proyeksi) terdapat corak-corak proyeksi yang dalam garis besarnya meliputi : a. Proyeksi, dimana struktur diri (yang ada dalam individu) dilibatkan pada orang lain dan tidak mengikutsertakan orang tersebut dalam diri sendiri. b. Proyeksi yang sifatnya ada hubungan timbal balik antara individu dengan orang lain/dunia luar yang diproyeksi. Misal : orang yang berbuat salah, kemudian melihat orang lain yang dapat dikenai kesalahan itu dan menganggap orang lain tersebut yang menyalahkan dirinya. 26



27



c. Proyeksi diarahkan secara afektif berdasarkan afeksi kepada orang lain dan dirinya sendiri. Misal : W simpati pada Q. W menganggap bahwa Q mencintainya. b. Terjadinya Proyeksi 1. Sifatnya mekanisme pertahanan (Penolakan). Terjadi pada individu yang ingin meringankan beban/ketidaktenangannya dengan memanifestasikan ketidak tenangannya dalam bentuk menolak keingin-an yang sebetulnya, dalam perbuatannya ia menolak keinginan-keinginan yang sudah ada. Misal: Seseorang ingin menjadi dosen tetapi tidak diterima, proyeksinya ; “saya memang tidak senang menjadi dosen kok, maka tidak serius waktu tes”. 2. Adanya suatu usaha pendekatan pada diri seseorang Yaitu usaha pendekatan subyek terhadap subyek lain yang sebelumnya sudah terjadi pemutusan hubungan, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar / orang lain tersebut. Dalam hal ini suatu pendekatan dilakukan oleh subyek setelah putus, atau subyek berusaha untuk mendekatinya kembali. Misal : Pernah putus cinta, ada usaha agar komunikasi antar keluarga yang sudah renggang bisa lancar kembali. 3. Merupakan Bentuk hubungan antara subyek dan obyek Suatu kesatuan yang terjadi bukan berdasarkan kepada komunikasi, tetapi banyak didasari faktor-faktor emosi atau afeksi yang sampai pada tahap internalisasi (subyek dan ojek merasakan hal yang sama). Misal : Seseorang yang ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain.



L. TEKNIK PROYEKTIF Teknik proyeksi merupakan suatu prosedur yang memungkinkan pengungkapan motif, nilai, keadaan emosi, need yang sukar diungkapkan dalam situasi wajar dengan cara individu memproyeksikan pribadinya melalui suatu obyek di luar individu. Pada tes proyeksi subyek dihadapkan pada materi /stimulus yang sifatnya ambiguous, kemudian subyek diminta memberikan respon terhadap stimulus tersebut, subyek akan memberi respon yang di dalam respon tersebut subyek (tanpa terasa) memproyeksikan dorongan-dorongan yang ada pada dirinya dalam perbuatan yang biasanya melalui koreksi / kerjasama dengan tuntutan-tuntutan yang bersifat eksternal. Menurut istilah Murray reaksi individu terhadap stimulus ambiguous tersebut merupakan kerjasama/interaksi antara need dan press yang disebut thema.



27



28



Terdapat dua macam teknik / metode proyektif, yaitu : 1. Teknik Verbal, baik materi dan komunikasi antara tester dengan testee maupun respon subyek berujud verbal (lisan maupun tulisan). 2. Teknik Non Verbal, wujud materi bukan dalam bentuk bahasa, faktor bahasa hanya berperan sebagai media komunikasi antara tester dengan testee. Dalam teknik proyeksi verbal maupun non verbal, sebenarnya banyak membutuhkan respon-respon verbal. Dalam teknik non verbal yang diutamakan bukan bentuk dari bahasa / verbal dalam merespon stimulus, tetapi banyak ditekankan pada halhal yang sifatnya performance / ekspresi. Sebaliknya dalam teknik verbal, stimulusnya sudah berbentuk verbal yaitu dengan kata-kata atau kalimat-kalimat. Jawaban yang diharapkan dari subyek juga menitik beratkan pada sejauh mana kemampuan subyek dalam menggunakan bahasa. L.1. Teknik Verbal Bentuk jawaban teknik verbal dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Bentuk Oral / wawancara 2. Bentuk tulisan yaitu dengan meneruskan kalimat / essay Kelemahan teknik verbal : Yaitu apabila subyek yang dites tidak dapat berbicara atau buta huruf dan berpendidikan sangat rendah, jadi paling tidak subyek yang dites verbal harus dapat membaca. Sejarah Timbulnya Test Verbal Mula-mula dipengaruhi dengan adanya metode assosiasi bebas dalam terapi, dan teknik verbal tersebut mula-mula belum dalam bentuk tulisan atau kalimat. Yang mula-mula memakai teknik verbal dalam bentuk tulusan adalah Galton (1829) yang sifatnya Word Test, kemudian dilanjutkan oleh Wund, Cattlle, Jung dan lain-lain. Galton mula-mula mengunakan 75 kata yang masing-masing tertulis dalam sebuah karton, kemudian tes ini disodorkan kepada testee yang diharapkan merespon / menjawab dengan segera, atau apa yang pertama kali muncul. Setelah melihat katakata dalam kartu tersebut. Jawaban bisa lebih dari satu (tak terbatas). Dari respon ini Galton menganalisa bagaimana keadaan individu tersebut (terutama konflik-konflik, ketegangan dan kemungkinan frustasi yang ada pada individu). Yang diutamakan untuk mengetahui proses berpikir testee. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Wund. Wund mengadakan perbaikan yai-tu subyek hanya boleh menjawab satu kata terhadap setiap kata yang disodorkan. Ca-ra ini mendapat sambutan dari para ahli yang lain (Cattle dan Jung) dan banyak digunakan dalam psikologi klinis. Jung meneliti dengan assosiasi kata untuk mengung-kap emosi yang ada dalam individu. Dalam tes ini Jung memperhatikan waktu, reaksi juga sifat jawaban atau respon subyek yang populer/khusus. Jika responya populer maka tidak ada hambatan emosi yang berarti tetapi jika bersifat khusus cenderung ada penyimpangan dan perlu dianalisa lebih lanjut. Juga ekspresi subyek dalam memberikan jawaban (apakah subyek menangis, sedih, senang, muka merah dan lain-lain). 28



29



Selain itu, Rappaport menggunakan 60 kata yang didasarkan pada teori-teori psikoanalisa, tujuannya untuk mengungkap konflik-konflik psikoseksual, kelemahankelemahan dalam proses berpikir yang dihubungkan dengan konflik-konflik internal. Hal yang perlu diperhatikan adalah waktu reaksi dan content-nya (apakah popular atau tidak) Selanjutnya Kent dan Rosanoff mengembangkan test assosiasi kata-kata. Pengembangan test ini dilandasai suatu teori yang banyak dipengaruhi psikoanalisa. Test ini terdiri dari 100 kata yang bersifat umum dan netral. Hal ini dimaksudkan agar supaya testee mudah mengadakan assosiasi yang relatif akan mendapat rekasi yang sama, jika respon menyimpang perlu analisa lebih lanjut. Subyek terdiri dari 100 remaja normal. Jawaban standard sudah disediakan, sehingga bila subyek menjawab dengan kata yang ada dalam daftar, individu dalam keadaan normal. Tapi bila menyimpang dari normal/daftar maka subyek yang bersangkutan akan mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut karena dianggap punya gangguan atau hambatan dalam dirinya. Test ini walau sudah banyak diperbaiki tetap kurang banyak digunakan karena berpandangan sangat luas, sehingga jawaban terlalu luas dan sulit untuk menganalisa. Macam-macam Test Verbal 1. SSCT - Merupakan perkembangan dari teknik kata-kata. - Diciptakan oleh Joseph Sacks dan Sidney Levy di New York. - Sifat : Lebih sederhana, fleksibel, interprestasinya lebih mudah dan dapat digunakan pada bidang pendidikan dan bidang klinis. - Test ini terdiri dari 60 item/kalimat, sifat anstruktur pada kalimat-kalimat yang belum selesai harus subyek selesaikan. Ini akan banyak menimbulkan ambiguous. - Instruksi dalam test ini : Selesaikan kalimat-kalimat dibawah ini secepat mungkin yaitu setelah anda selesai membaca kalimat-kalimat yang telah disediakan. Jangan berhenti terlalu lama untuk melanjutkannya kalimat tersebut. Dalam menyelesaikan kalimat tersebut, dengan apa yang pertama kali muncul dari pikiran anda. -



Tujuan Test : Ingin mengungkap kemungkinan kegagalan-kegagalan individu daam menyesuaikan diri. Garis besarnya, SSCT ini untuk mengetahui penyesuaian diri dalam 4 hal, yaitu : 1. Bagaimana hubungannya individu dengan keluarga, diungkap dengan 12 item. Meliputi : hubungan antara subyek dengan ayah dan ibunya, sikap su-byek terhadap ayah dan ibunya, dan pendangan subyek mengenai keluarga-nya. a. Sikap terhadap Ibu (item 14, 29, 44, 59) b. Sikap terhadap Ayah (item 1, 16, 31, 46) c. Sikap terhadap keduanya (item 12, 27, 42, 57) 29



30



2. Bagaimana hubungan individu dengan hal-hal yang bersifat seksual, diungkap dengan 8 item. Meliputi : sikap subyek terhadap wanita, sikap subyek terhadap hubungan heteroseksual. a. Sikap terhadap wanita (item 10, 25, 40, 55) b. Sikap yang bersifat heteroseksual (item 11, 26, 41, 56) 3. Bagaimana hubungan individu dengan hal yang bersifat antar pribadi, diungkap dengan 16 item. Meliputi : sikap subyek terhadap atasan, sikap subyek terhadap bawahan, sikap subyek terhadap kenalan / sesama, sikap subyek terhadap linkungan a. Hubungan dengan teman dan kenalan (item 8, 23, 38, 53) b. Hubungan dengan teman sejawat (item 13, 28, 43, 58) c. Hubungan dengan atasannya (item 6, 21, 36, 51) d. Hubungan dengan bawahannya (item 4, 19, 34, 48) 4. Bagaimana self concept pada individu, diungkap dengan 24 item. Meliputi : ketakutan-ketakutan yang dimiliki, rasa bersalah, pandangan mengenai masa depannya (cita-cita), pandangan tentang masa lalu, sikap terhadap kemampuan diri sendiri. a. Adanya rasa kuatir (item 7, 22, 37, 52) b. Cita-cita (item 3, 18, 43, 58) c. Pandangan terhadap kemampuan diri (item 2, 17, 32, 47) d. Adanya rasa bersalah (item 15, 30, 45, 60) e. Pandangan dan kesan masa lalu (item 9, 24, 39, 54) f. Pandangan tentang masa depan (item 5, 20, 35, 50) Cara Skoring : 2 : Untuk hal-hal yang menunjukkan adanya hambatan/gangguan yang memerlukan bantuan orang lain. 1 : Untuk hal-hal yang menunjukkan adanya konflik, tapi bias diselesaikan sendiri oleh testee 0 : Untuk hal-hal yang wajar. Y : Untuk hal-hal yang tidak bisa dikelompokkan dalam 3 kategori tersebut, Dalam hal ini tester perlu melakukan inquiri untuk mendapatkan kejelasan sehingga jawaban testee dapat dinilai. Misal : Testee bisa memberikan gambaran tentang hal-hal yang bisa diungkapkan tentang tipe seseorang. Administrasi Tes : Dapat dilakukuan secara individual maupun klasikal. -



Dilakukan di tempat yang tenang. Tester mengamati saat testee mengerjakan tes. Testee diminta untuk melingkari item-item yang sukar dijawabnya. Jawaban yang ditulis testee boleh hanya satu kata saja (tester mengatakannya kepada testee). 30



31



- Tester membantu testee apabila kurang mengerti maksud pertanyaan suatu item namun hanya sebatas mengartikan tidak boleh menginterpretasi - Tester melakukan proses inquiri yaitu menayakan lebih lanjut jawaban-jawaban testee yang kurang jelas agar dapat dinilai. - Batas waktu pengerjaan: 20 – 4 menit Oleh karena belum ada standardisasi, maka SSCT perlu : - Rater pembanding. - Alat/tes pembanding. Ini dengan tujuan untuk memperkuat hasil yang telah didapat. SSCT juga dapat untuk mengetahui tingkah laku apakah respensif atau tidak terhadap lingkungan. 2. EEPS (Edwards Personal Preference Schedule) - Mengungkap kebutuhan-kebutuhan manusia. - Merupakan power tes yang menekankan penyelesaian tugas-tugas tanpa membatasi waktu. - Bisa dilakukan secara individual maupun klasikal. - Mula-mula ditunjukkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian personal variabel dan kemudian untuk konseling. - Orientasi : orang-orang normal. - Untuk mengungkap 15 needs. - Penyusunannya berdasarkan pada tes yang dibuat MURRAY yang mengungkap 200 needs. - Terdiri dari pandangan-pandangan pernyataan, dimana testee disuruh memilih salah satu dari pasangan pernyataan itu. - Terdiri dari 225 pasangan pernyataan, ada 15 pasangan pernyataan yang sama dan diatur sedemikian rupa sehingga tak menyolok. Ini bertujuan untuk mengetahui kesungguhan dalam mengerjakan tes. Syarat untuk bisa diskor : Minimal 9 pasang sama, jika hanya 8 pasang tes diulang. Kelemahan : - Ada kecenderungan testee untuk menjawab sesuai dengan keinginan masyarakat (press). - Sifat dualisme, yaitu sewaktu menentukan tabel persentil dari masing-masing need didasarkan pada standarlisasi keadaan keseluruhan dan dari data yang ada (dari rata-rata populasi data, tapi setelah presentil didapat, data tersebut tidak da-pat dibandingkan dengan individu yang lain). - EPPS disebut juga Forcad Choice karena testee hanya diminta memiliki pernyataan yang ada. - Hasil akhir ditentukan oleh profil kebutuhan. - Profil tes bersifat IPSAPTIF yaitu need yang dimiliki seseorang tidak dapat dibandingkan dengan need orang lain, tapi hanya dapat dibandingkan dengan need pada orang itu sendiri. 31



32



15 Need dalam EPPS 1. Need Achivement (N – Ach) Merupakan keinginan berprestasi dalam menghadapi tantangan. Skor yang tinggi menunjukkan ambisi yang besar untuk menjadi yang terbaik dan juga keinginan untuk menyelesaikan tugas yang besar dan berat. 2. Need Deference (N – Def) Merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalah dan merasa dirinya kurang mampu. Skor yang tinggi memperlihatkan suka dan dipengaruhi, suka mengikuti pendapat orang lain, suka menceritakan keberhasilan orang lain. 3. Need Order (N – Ord) Need yang memperlihatkan minat seseorang untuk melakukan tugas dengan teratur. Nilai yang tinggi memperlihatkan individu punya perencanaan tentang sesuatu yang akan dilakukan, kemampuan pengorganisasian yang baik, kemampu-an merencanakan dan jangkauan ke depan yang baik. 4. Need Exhibition (N – Exh) Keinginan untuk menonjolkan diri, dipuja, pamer. Skor yang tinggi memperlihatkan keinginan memamerkan kelebihan dirinya, suka menjadi pusat perhatian, suka menilai penampilan orang lain. 5. Need Autonomy (N – Aut) Keinginan untuk tidak tergantung dengan orang lain, tetapi juga untuk menguasai orang lain. Nilai yang tinggi memperlihatkan individu ingin bebas bertindak, suka menolak pekerjaan yang diatur orang lain. 6. Need Affiliation (N – Aff) Kebutuhan akan orang lain untuk mengembangkan diri. Nilai yang tinggi memperlihatkan individu setia pada teman, suka partisipasi pada kegiatan kelompok, cenderung mendahulukan kepentingan orang lain. 7. Need Intraception (N – Int) Kebutuhan untuk menyesuaikan dengan pandangan dan perasaan orang lain. Skor yang tinggi memperlihatkan individu suka memperhatikan perasaan orang lain, mudah merasa empati dan simpati, suka menempatkan diri seperti orang lain. 8. Need Succurance (N – Suc) Need yang memperlihatkan kebutuhan untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari orang lain. Skor tinggi memperlihatkan ingin mendapatkan pertolongan dari orang lain, takut mengambil inisiatif, ingin diperhatikan. 9. Need Dominance (N – Dom) Kebutuhan untuk lebih/menang atas diri orang lain. Skor tinggi memperlihatkan kecenderungan menyerang orang lain, suka memimpin, suka mendapatkan penghormatan yang lebih. 10. Need Abasement (N – Aba) Kebutuhan untuk merasa bersalah kurang mampu. Skor tinggi memperlihatkan kecenderungan mengalami Guilty Feeling, kecenderungan melihat kesalahan diri sendiri, merasa perlu mendapatkan hukuman. 11. Need Nurturance (N – Nur) 32



33



Kebutuhan untuk menolong orang lain. Skor tinggi ada kecenderungan sering memberi jasa baik, suka membantu orang lain, suka berbagi keuntungan. 12. Need Change (N – Cha) Kebutuhan melihat dan merasakan sesuatu yang baru. Nilai tinggi menunjukkan individu kurang mampu, mudah bosan, suka mendapatkan pengalaman baru. 13. Need Endurance (N – End) Keinginan untuk melakukan sesuatu hingga selesai. Skor yang tinggi memperlihatkan ketekunan dan melakukan tugas, tak senang diganggu dalam bekerja. 14. Need Heterosexuality (N – Het) Kebutuhan untuk berhubungan dengan jenis kelamin lain. Nilai tinggi menunjukkan individu mudah tertarik pada jenis yang lain, suka bergabung dalam kegiatan kelompok jenis kelamin lain. 15. Need Aggression (N – Agg) Kebutuhan untuk melakukan serangan/menentang. Skor yang tinggi menunjukkan individu suka menentang orang lain, suka memaksakan pendapat. Skoring EPPS a. Tarik diagonal dari 1 – 25, 151 – 175, 261 – 50, 101 – 125, 51 – 75, 201 – 225.



b. Untuk mengetahui kesungguhan. Mencocokkan item-item yang terkena garis diagonal. Misal : 1 dengan 151 jawaban sama 7 dengan 157 jawaban sama Hitung konsistensi jawaban. c. Hitung pilihan jawaban A secara mendatar dan letakkan dibawah huruf r (raw), tetapi untuk item yang terletak pada diagonal (merah) tidak usah diskor. Hitung pilihan jawaban B secara vertikal / kebawah letakkan di huruf c (kolom) kemudian jumlahkan r + c dan letakkan dibawah S. d. Hasil S dipindahkan dibalik halaman (raw score) Persentil : lihat tabel. e. Buat profile kepribadian testee. Testee digolongkan berkepribadian jika bergerak antara 25 – 27 pada percentil. 33



34



d. MMPI (Minessota Multiphasic Personality Inventory) -



Terutama untuk kepentingan klinis. Digunakan untuk individu dengan usia 16 –55 tahun. Terdiri dari 550 item.



Subyek diminta mengelompokkan ietm-item itu dalam golongan benar, salah, dan tidak bisa digolongkan. MMPI akan menggolongkan individu dalam 9 golongan, yaitu : 1. Hipokondria 6. Paranoid 2. Depresi 7. Neurasthenia 3. Psikopat 8. Maskulin - Feminisme 4. Histeria 9. Hipomania 5. Shcizoprenia Tes MMPI berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus direspon testee sesuai dengan keadaan yang ada pada dirinya. Ada 556 item, tiap itemnya hanya ada 1 pernyataan. Tugas testee adalah memberikan pendapat apakah setiap pernyataan atau item tersebut benar / mendekati kebenaran, salah / mendekati kesalahan, atau tidak dapat digolongkan benar / salah. - Pencipta : Hath Ways dan Mc Kinley Tes Proyektif Verbal lainnya seperti : Kuder, Study of Value L.2. Teknik Non-Verbal Cara lain yang banyak digunakan untuk mengukur kribadian adalah dengan teknik proyektif (non-verbal). Asumsi dasarnya adalah bahwa untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang seseorang diperlukan kebebasan untuk mengekspresikan diri. Tes proyektif yang digunakan dalam metode ini biasanya berupa suatu rangsang (berbentuk gambar) yang sifatnya sangat ambigu, tidak jelas. Bila dihadapkan dengan siruasi seperti ini, individu akan mencoba menerapkan persepsinya yang sudah dipengaruhi oleh berbagai pengalamannya di masa lampau. Ekspresinya dalam mengungkapkan apa yang dilihat bias cukup bebas, karena gambar itu bias ditafsirkan sesuka hati individu. TAT (Thematic Apperception Test) yang dikembangkan oleh H. Murray di Universitas Harvard pada tahun 1930-an mempunyai rangsang yang ambigu, tetapi rangsang TAT jauh lebih terstruktur bila dibandingkan dengan Test Ro.(yang memiliki rangsang dengan taraf ambiguitas yang cukup tinggi, yaitu bercak tinta) karena menggunakan gambar-gambar yang cukup jelas tentang seseorang dalam situasi tertentu. Selain itu ada juga test yang disebut Draw A Man (DAM), Wartegg, yang meminta subjek menggambar sesuatu. Kemudian kualitas gambar diteliti (bukan indah/ tidaknya, melainkan diperhatikan bentuk garis, dan tanda-tanda tertentu yang diang34



35



gap mempunyai petunjuk psikologis. Berikut beberapa contoh test – teknik proyektif non-verbal : 1. CAT (Children Apperception Test) Tes ini dikembangkan oleh Bellak dan Sonya Sorel B, dengan stimulus yang merupakan bantuan teman / lawan dengan maksud supaya anak-anak lebih mudah melakukan identifikasi. Bellak mengatakan bahwa stimulus kartu TAT tidak cocok untuk anak-anak, karena itu dikembangkanlah tes yang mirip dengan TAT yang stimulusnya lebih mudah direspon oleh anak-anak yaitu berfigur binatang dan suasananya pun khas anak-anak. Sudah dilakukan adaptasi figur-figur kartu CAT yang sesuai dengan budaya Indonesia. Diperuntukkan anak usia 3 – 10 tahun, yang mengungkap : 1. 2. 3. 4.



Keadaan pemuasan oral. Keadaan persaingan antar saudara. Fantasi anak tentang agresifitas. Penerimaan lingkungan terhadap anak.



Kartu-kartu dalam CAT Kartu 1 : Untuk mengungkap pemuasan kebutuhan oral. Misalnya: apa nasinya cukup banyak, mereka (anak-anak) puas atau tidak kondisi ini dapat untuk menginterpretasi masalah sibling, kepuasan dsb. Kartu 2 : Mengukur ekspresi agresivitas anak-anak terhadap tokoh-tokoh dewasa. Berfigur dua kera yang saling tarik menarik tali yang sama kuatnya. Tali diibaratkan sumber masturbasi; tarik menarik sebagai simbol defends mechanism. Kartu 3 : Mengukur identifikasi tentang ayah Berfigur singa sedang merokok dan membawa belati; terdapat pula figur tikus. Figur singa untuk mengukur identifikasi tentang ayah; apakah kuat, gagah, tua, atau tidak berdaya. Sedangkan figur tikus untuk melihat kemungkinan apakah diperdaya oleh singa atau justru memperdaya. Apabila seorang anak mengatakan kemenangan untuk singa tapi juga pernah mengatakan singanya lemah berarti ada indikasi konflik identifikasi. Kartu 4 : Mengukur pemenuhan kebutuhan oral Ada figur 3 ekor kijang yang terdiri dari ibu dan anak-anaknya. Kartu ini bertujuan untuk mengukur pemenuhan kebutuhan oral dan tema ceritanya menyangkut hubungan ibu dan anak. Apabila subyek mengidentifikasikan dirinya pada anak kijang yang digendong berarti ada indikasi regresi. Sedangkan bila menggantungkan pada figur ibu mengidentifikasikan, takut berpisah. Kartu ini juga mengandung stimulus latent mengenai persaingan antar saudara misalnya berkaitan dengan soal makanan, penghindaran dari bahaya dan sebagainya. 35



36



Kartu 5 : Bertujuan untuk mengungkap: 1. Keingintahuan anak tentang seks 2. Keingintahuan anak tentang kenikmatan Keingintahuan anak akan ketakutan dan ketergantungan Berupa figur ruang kamar Kartu 6 : Bertujuan untuk mengungkap identifikasi sikap orang tua, kecemasan dan ketakutan berpisah dengan orang tua. Berupa figur babi yang terdiri dari dua ekor babi yang tidur bersama dan seekor babi yang tidur berpisah dalam suasana gelap. Dua babi merupakan simbol orang tua, sedangkan satu babi simbol identifikasi diri sendiri. Kartu 7 : Bertujuan untuk mengungkap agresifitas dan keinginan mengalahkan saingan. Berupa figur harimau menerkam kera. Apabila dalam cerita subyek memenangkan harimau (kera kalah) merupakan proyeksi: kera kalah karena kera mempunyai kesalahan. Sedangkan apabila dalam cerita subyek kera yang menang (berhasil menghindarkan diri) merupakan proyeksi subyek mampu melepaskan diri dari bahaya. Kartu 8 : Bertujuan untuk mengungkap: 1. Suasana keluarga subyek 2. Hubungan antar anggota keluarga 3. Bagaimana subyek menempatkan dirinya dalam keluarga dan lingkungan. Figur keluarga kuda. Kartu 9 : Bertujuan untuk mengungkap: 1. Keingintahuan anak mengetahui situasi di luar kamar. 2. Untuk mengetahui mutu hubungan anak dengan saudara/lingkungan. Figur anak gajah tidur sendiri dalam kamar gelap (simbol dari kesendirian; penarikan diri). Kartu 10 : Mengidentifikasi latihan kebersihan dan kedisiplinan terhadap anak. Figur seekor anak sapi dipangku ibunya; dan didekat kamar mandi ada seekor anjing. Dari cerita subyek dapat diketahui ada tidaknya sikap defensif terhadap saudara-saudaranya, misalnya merasa iri hati, tidak adil. Suasana kamar mandi merupakan simbol regresi. Interpretasi Interpretasi tes ini sama dengan TAT, yaitu dari tema, tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita keseluruhan (berhubungan dengan ego). Model tes semacam yang lebih baru adalah CAT dengan figur manusia, dan CAT merupakan suplemen (CATS) yang mempunyai rangsang yang lebih spesifik. Dalam melakukan interpretasi CAT variabel-variabel yang patut diperhatikan adalah: 36



37



1. Tema pokok cerita Tema pokok cerita adalah penilaian terhadap ceita testee secara keseluruhan, dilihat dari pokok figuran cerita subyek. Dalam hal ini, umur dan juga IQ perlu diperhatikan karena semakin tinggi IQ atau umurnya maka akan semakin kompleks tema ceritanya. 2. Tokoh cerita (hero) Menyangkut siapa tokoh yang dimenangkan. 3. Kebutuhan (dorongan) yang dimiliki Muncul dari harapan-harapan hero (tokohnya) Apabila subyek sedang mengalami depresi maka identifikasi tokohnya selalu mengalami tekanan-tekanan. Apabila subyek selalu menonjolkan sesuatu dan diulang terus menerus menunjukkan adanya sesuatu kebutuhan subyek. Apabila ada halhal tertentu yang tidak dikatakan (padahal penting) menunjukkan adanya tekanantekanan pada dirinya. 4. Konsepsi tentang lingkungan Menyangkut interpretasi konsep lingkungan; merupakan perpaduan antara hal-hal yang diinginkan dan kenyataan yang ada. Keadaan yang dimunculkan dalam ceritanya merupakan keadaan (kebutuhan) subyek. 5. Tanggapan-tanggapan subyek terhadap figur-figur yang ada Apakah subyek menanggapi dengan antusias atau acuh tak acuh. Apabila subyek tampak lemah mengidentifikasi suatu tokok kemungkinan subyek mengalami konflik. 6. Konflik yang dihadapi Dari cerita subyek dapat diketahui figuran konflik subyek. Ada dua konflik yang dapat dilihat yaitu: Intern : Terjadi pada diri sendiri dan tidak ada hubungan dengan lingkungan. Ekstern : Konflik yang timbul akibat hubungan dengan lingkungan. 7. Kecemasan Kecemasan disini harus dipilah-pilah misalnya kecemasan karena faktor dari diri sendiri, atau ditinggal orang tua, dan sebagainya. Kartu yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengungkap kecemasan adalah kartu no. 3 dan no. 4. 8. Sikap (pengatasan) terhadap konflik dan kecemasan Tipe pertahanan subyek dilihat dari tipe reaksi yang muncul dalam ceritanya saat menghadapi permasalahan, apakah depresif, represif, agresif, atau escape. Mungkin: depressif, repressi, agresif, escape 9. Bagaimana peranan super egonya Sejauhmana peranan super ego subyek dapat diperoleh dari ceritanya; misalnya apa mampu mengakui bahwa tindakan salah pasti ada akibatnya. Apabila mampu maka superegonya berperan. 10. Bagaimana integritas egonya Integritas ego dilihat dari rangkuman seluruh cerita dari kartu satu sampai dengan sepuluh. 37



38



2. TAT (Thematic Apperception Test) Dikembangkan oleh Murray yang terdiri dari 20 kartu (jumlah totalnya ada 31 kartu, yang 19 bergambar dan 1 kartu putih / polos. Tes ini merupakan tes daya khayal (suatu bentuktes kecerdasan) Tes ini diperuntukkan bagi : 1. Anak laki-laki (boys) usia 4 – 14 tahun 2. Anak-anak perempuan (girls) usia 4 – 14 tahun 3. Laki-laki dewasa (men / male) usia > 14 tahun 4. Perempuan dewasa (women / female) usia > 14 tahun TAT dapat dikenakan untuk subyek dengan usia minimal empat tahun. Kartu yang disajikan cukup 20 kartu, dipilih didasarkan atas tingkat usia dan permasalahan subyek. Kartu yang khusus untuk satu golongan dan kartu yang netral (bisa untuk semua golongan). Kartu-kartu yang disajikan dalam 2 kelompok untuk 2 tahap pelaksanaan tes. (hari pertama kartu yang biasa, hari kedua untuk kartu yang dramatis) : 1. Tahap I: disajikan 10 kartu yang memuat figur yang biasa-biasa (bukan figur-figur yang menakutkan/penuh imajinasi); yang mencerminkan keadaan sehari-hari. 2. Tahap II : disajikan 10 kartu yang figurnya istimewa atau spesifik yang dapat menimbulkan respon-respon yang khusus. Untuk kartu no. 16 (yang merupakan kartu kosong) disajikan paling akhir karena berfungsi untuk mengungkap hal-hal yang masih disimpan testee. Pada intinya testee diminta menceritakan kejadian pada figur, penyebab keja-dian dan akhir (penyelesaian) dari figur/kejadian itu. Semuanya didasarkan pada daya khayal atau persepsi masing-masing testee pada saat melihat figur. Instruksi : Tes ini merupakan tes daya khayal, daya khayal merupakan salah satu aspek dari kecerdasan. Ceritakan gambar-gambar ini sedramatis mungkin. Interpretasi Dalam melakukan interpretasi yang perlu diperhatikan adalah: 1. Tokoh atau siap yang sering dimunculkan subyek pada setiap figur. 2. Respon-respon yang sesuai dengan stimulusnya, misalnya: figurnya menunjukkan manusia, apakah subyek juga merespon figur itu sebagai manusia. 3. Karakteristik tokoh (misalnya periang dsb) 4. Need dan press-nya 5. Pola pertahanan ego yang dimiliki subyek 6. Integritas ego subyek 7. Konflik-konflik yang dialami subyek 3. FAT (Family Apperception Test) Sebagai suatu tes proyektif perannya hampir sama dengan CAT dan TAT, apabila CAT yang diungkap sampai lingkungan sosialnya, FAT hanya terbatas pada 38



39



lingkungan keluarga. Tes ini berfungsi untuk diagnosa dan terapi. Semula ditujukan pada anak-anak normal, namun akhirnya dikembangkan untuk orang neurosa dan anak-anak nakal. FAT dapat pula dipergunakan untuk anak usia 3 sampai 10 tahun. Tes ini dikhususkan jika kelainan-kelainan klien disebabkan oleh masalah keluarga. FAT mengungkapkan sikap anak terhadap keluarga (orang tua, saudara, keluarga). Bentuk stimulus terdiri dari 7 kartu, dimulai dengan nomor 0. Nomor 0 : Mengungkap perlindungan ibu terhadap anak dan ketergantungan anak terhadap ibu, dan mengungkapkan bagaimana keadilan orangtua dalam membagi kasih sayang pada anak-anaknya. Nomor 1 : Mengungkap keakraban hubungan anak dengan orang tua dan kedisiplinan anak, hubungan anak dengan anggota-anggota keluarga terhadap lingkungan sekitarnya. Nomor 2 : Mengungkap persaingan antar saudara baik pria maupun wanita dan halhal yang berkaitan dengan pembagian kasih sayang serta persaingan antar saudara. Kartu nomor 2 ini ada dua macam yaitu satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. Nomor 3 : Rasa kesepian yang dialami atau dimiliki oleh seseorang dan akibat dari rasa kesepian itu umumnya berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan anak dan akibat dari bentuk kedisiplinan serta punishment yang diterapkan orangtua. Nomor 4 : Kemungkinan agresivitas dan kekerasan yang dilakukan orang tua. Pertikaian-pertikaian orang tua/keluarga, siapakah yang dominan dalam pertikaian tersebut, status dan posisi anak dalam pertikaian. Nomor 5 : Kemungkinan larangan yang dilakukan orangtua serta perhatian orang tua atas larangan-larangan tersebut, orangtua konsisten atau memberi larangan sesuai dengan keadaannya, dominankah ayah. (juga berkaitan dengan nomor 3). Nomor 6 : Reaksi anak atas keadaan atau kejadian yang dialami orang tua, termasuk pola hubungan orangtua dalam situasi berbeda dan kedudukan anak dalam hubungan orangtua tersebut. Administrasi FAT : sama dengan CAT dan TAT. 5. Tes proyektif yang bersifat non verbal lainnya seperti : a. CATH (Children Apperception Test-Human) b. CATS (Children Apperception Test Supplement) c. SAT (Senior Apperception Technique) d. GPPT (Group Personality Projective Test) e. Tes Szondy Tes proyektif non verbal lain yang berupa goresan tangan adalah: 1. Tes Grafis (Grafologi, Baum, DAM, HTP) 2. Tes Wartegg 3. Goodenough-Haris Drawing Test 39



40



4. VMI 5. Bender Gestalt Tes proyektif non verbal lain yang berupa bercak hitam adalah : 1. Tes Rorschach 2. HIT (Holtzman Inkblot Technique)



M. PENGGUNAAN TES PROYEKTIF 1. Dalam Bidang Klinis Tes proyektif banyak digunakan dalam bidang klinis sebagai alat untuk penelitian kepribadian, diagnosis, dan psikoterapi, dengan demikian memungkinkan untuk dilakukannya revisi dan penyempurnaan tes-tes tersebut. Selain itu tes proyektif bermanfaat bagi pemahaman tentang penyimpangan dan dinamika perilaku subyek. Tes proyektif yang digunakan biasanya yang sudah familiar atau sudah dipahami dengan baik untuk kebutuhan diagnosisnya. Hal ini sangat baik untuk mendapatkan hasil yang akurat, tetapi apabila penggunaan tes terbatas hanya pada tes yang sudah dikenalnya, mengakibatkan tidak berkembangnya penggunaan tes yang lain. Para psikolog klinis mencoba menggunakan tes yang lain, karena biasanya dengan menggunakan beberapa tes, kelebihan dan kekurangan masing-masing dapat teratasi. Pemahaman yang lengkap dan menyeluruh tentang kepribadian seseorang, merupakan hal yang penting yang harus diketahui para psikolog klinis. Guna mencapai tujuan tersebut diharapkan para psikolog menguasai sejumlah tes, jangan hanya menguasai test tertentu saja (total process of diagnosis). Yang perlu diperhatikan adalah kehati-hatian dalam mengoperasikan tes yang baru, utamanya pada saat melakukan imterpretasi, karena tes proyektif memiliki norma dan standart validitas yang berbeda dengan tes objektif. Biasanya para psikolog menyadari atau merasakan bahwa tes-tes proyektif menyita banyak waktu dan tenaga dalam pelaksanaan dan interpretasinya. Masalah ini mendorong para psikolog klinis berusaha untuk memperbaharui prosedur administrasi pada beberapa tes proyektif, namun demikian buku-buku acuan (literature) dasar tes-tes proyektif tetap menjadi acuan utama bagi para psikolog dan dalam bidang klinis hampir semua tes proyektif dimanfaatkan. 2. Dalam bidang Non-Klinis Selain digunakan dalam bidang klinis, tes proyektif juga digunakan dalam bidang non-klinis, misalnya dalam bidang industri organisasi, bidang sosial, pendidikan, serta penelitian-penelitian tindakan (action research). Penggunaan ini mewujudkan adanya kesadaran kalangan psikologi dalam memahami manusia lebih bersifat total (total man), tidak hanya secara parsial. Upaya memahami hubungan interpersonal para karyawan dengan supervisor, stress kerja, kepuasan kerja, di kalangan industri beberapa waktu yang lalu di40



41



anggap sebagai satu hal yang sangat penting. Selain itu dalam perkembangan selanjutnya, aspek-aspek lain seperti perasaan tidak nyaman diantara para pekerja, karakter para eksekutif dan administrator, dinamika kelompok, menjadi aspekaspek yang juga dianggap penting dan sangat berperan dalam kemajuan organisasi. Hal ini menyebabkan tes proyektif mempunyai peran strategis dalam upaya memberikan informasi tentang manusia secara menyeluruh. Kompleksitas permasalahan dalam masyarakat mengundang minat para pejabat negara, pendidik, pimpinan perusahaan dan orang-orang yang merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan orang banyak, untuk menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humaniora khususnya psikologi untuk membantu menyelesaikan permasalahannya. Para ilmuwan sosial akan mengembangkan apa yang disebut oleh Kurt Lewin sebagai riset tindakan (action research), yaitu penerapan prosedur ilmiah dalam masalah-masalah sosial yang nyata. Tidak saja untuk menemukan masalah, tetapi juga menemukan cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah, seperti penggunaan tes-tes psikologi. Guna memahami keadaan masyarakat yang sebenarnya dibutuhkan suatu metode / instrumen yang memadai agar diperoleh data yang akurat. Data yang akurat dapat diperoleh apabila instrumen tersebut dapat mengungkap respon yang spontan dari masyarakat atau subyek penelitian. Tes dalam teknik proyektif mempunyai keunggulan dapat memunculkan respon spontan, karena pada umumnya stimulus tes proyektif dibuat sedemikian rupa (ambiguous, unstructure). Stimulus yang demikian akan merangsang subyek untuk memberikan respon yang sesuai dengan apa yang dirasakannya, tanpa merasa terpaksa atau khawatir terhadap akibat dari respon yang diberikan. Dapat dikatakan bahwa teknik atau tes proyektif sangat efektif dalam menguji kondisi sebenarnya yang ada dalam individu ataupun masyarakat (testing the reality). Tes-tes proyektif yang banyak dan sering digunakan dalam bidang non-klinis antara lain seperti Tes grafis, SSCT, TAT, Rorschach, dll.



41



42



========================================



Referensi 1. Anastasi, A. 1982. Psychological Testing, 5th ed. New York : Mc. Millan Publishing & Co 2. Bellak, L. Bbt. L.E., 1959. Projective Psychology. Grove Press Inc., New York. 3. Boris, Smeonoff B., 1976. Projective Technique. John Wiley & Sons. Ltd. New York. 4. Edwin, L, Abt; Bellak, L. 1959. Projective Psychology. New York : Groove Press, Inc. 5. Frank, LK. 1939. Projective Methode for Study of Personality. Journal of Psychology. 8. 389-413 6. Freud, S. 1940. The Anxiety Neurosis. London : Hogarth Press 7. Levine, RC; Murphy, G. 1942. The Relation of The Intensity of a Need to the Amount of Perceptual Distortion : A Preliminery Report. Journal of Psychology. 13. 283-293. 8. Murray, H. A. 1938. Exploration in Personality. New York : Oxford University Press. 9. __________, 1943. The TAT (Manual). London : Howard University Press. 10. Rorschach, H. 1942. Psychodiagnostic. Stutgard : Hans Guber Publiser.



42



43



HAND OUT PSIKOLOGI PROYEKTIF



Dr. Suroso, MS.



FAK. PSIKOLOGI



UNTAG SURABAYA 43



44



KATA PENGANTAR



Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan bimbingan dan kekuatan kepada penulis sehingga hand out/buku materi perkuliahan psikologi proyektif ini dapat kami selesaikan. Sebenarnya buku materi ini telah tersusun sejak lama, tetapi mengingat keterbatasan yang dimiliki penulis yang merasa masih selalu kurang, maka selalu tertunda untuk penyelesaiannya.Walaupun demikian akhirnya penulis berkeyakinan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, maka jadilah buku materi ini, meskipun tentaunya masih jauh dari kata sempurna. Buku materi kuliah psikologi proyektif ini ditulis berdasarkan keinginan yang kuat penulis untuk memberikan bantuan kepada para mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya mengenai buku materi kuliah psikologi proyektif yang dapat menjadi motivator untuk belajar sekaligus memancing minat baca. Apalagi banyak buku psikologi proyektif yang masih berbahasa asing yang menyebabkan banyak mahasiswa kesulitan untuk membacanya. Buku materi kuliah psikologi proyektif ini ditulis dengan menyajikan sejarah pengertian psikologi proyektif, masalah-masalah dalam konsep proyektif, kepribadian dan fungsi test proyektif, elaborasi lebih lanjut dari Freud, berbagai macam bentuk appersepsi distorsi, persepsi kognisi murni, usaha untuk menyatukan konsep appersepsi distorsi dengan konsep dasar psikoanalisa, kasus-kasus dalam appersepsi distorsi, pendekatan terhadap kemungkinan proyektif, sifat dan klasifikasi test proyektif, beberapa pandangan tentang proyeksi, dan teknik proyektif. Buku materi kuliah psikologi proyektif ini sebenarnya belum lengkap, dan ma-sih banyak kekurangan. Oleh karena itu, berbagai kritik, koreksi dan masukan dari para ahli psikologi proyektif, maupun para mahasiswa, penulis harapkan guna mendapatkan hasil yang lebih lengkap lagi. Akhirkata, semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan sumbangan manfaat bagi para mahasiswa psikologi dan siapa saja yang berminat mendalami psikologi proyektif. Harapan yang lebih jauh dari penulis adalah buku materi kuliah psikologi proyektif ini kelak dapat diterbitkan setelah melalaui berbagai penyempurnaan, seingga manfaatnya dapat menjangkau kalangan masyarakat yang lebih luas. Surabaya, 01 Oktober 2013 Penulis,



Suroso 44



45



DAFTAR ISI



……………………………………………………



i



…………………………………………………..



ii



……………………………………………………………



iii



HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI



A. PENDAHULUAN …….......……………………………………………



1



B. MASALAH-MASALAH DALAM KONSEP PROYEKTIF ……….



2



C. FUNGSI TEST PROYEKTIF DAN KEPRIBADIAN ….…..……...



4



D. ELABORASI LEBIH LANJUT FREUD TENTANG PROYEKSI ...



7



E.



BERBAGAI MACAM BENTUK APPERSEPSI DISTORSI …….....



8



F.



PERSEPSI KOGNISI MURNI SERTA BEBERAPA ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN S – R ……….……………………….….



10



G. USAHA UNTUK MENYATUKAN KONSEP-KONSEP APPERSEPSI DISTORSI DENGAN KONSEP DASAR PSIKOANALISA .........



12



H. KASUS-KASUS DALAM APPERSEPSI DISTORSI ………………..



14



I.



PENDEKATAN TERHADAP KEMUNGKINAN PROYEKTIF .....



17



J.



SIFAT DAN KLASIFIKASI TEST PROYEKTIF ………………..….



18



K. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG PROYEKSI ………………



22



L. TEKNIK PROYEKTIF ………………………………………………...



24



M. REFERENSI ……...…………………………………………….……...



42



45