Nugrah Yulianto Makalah Hukum Perbankan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM PERBANKAN DAN SURAT BERHARGA “PERBANDINGAN SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN MENURUT KUHPDT (PASAL 1320) DAN AKAD MENURUT PERBANKAN DAN PEMBIAYAAN SYARIAH (KHES)”



Oleh NUGRAH YULIANTO 1903030 (A)



PRODI STRATA 1 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS ANDI SAPADA TAHUN AKADEMIK 2022-2023



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Pengampuh Mata Kuliah Kemahiran Bantuan Hukum,Bapak Sammang, SH., M. Kn serta teman-teman dan kolega atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya kepada penulis dalam penyusunan makalah ini dalam menunjang salah satu syarat perkuliahaan yaitu pengerjaan tugas . Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan memohon maaf bila ada kesalahan dan kekhilafan jika terdapat oleh pembaca ketika mengamati dan mempelajari makalah ini.



i|P age



DAFTAR ISI Sampul Kata Pengantar ............................................................................ i Daftar isi ...................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................. 2 C. Tujuan ................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN A. Syarat-syarat Sah-nya suatu Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPdt dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah. ........................................................................................... 3 B. Perbandingan Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPdt dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah ..................... 17 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................ 22 B. Saran .................................................................................. 22 DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 23



ii | P a g e



BAB I PENDAHULUAN A.



LATAR BELAKANG Indonesia adalah Negara Hukum oleh karenanya di dalam dunia hukum,



setiap perkataan atau perbuatan orang (person) berarti menjadi pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subjek hukum, tidak hanya orang (person) yang dapat sebut subjek hukum, termasuk didalamnya adalah badan hukum (recht person). Selain itu dalam kehidupanya, Manusia atau Orang (person) tidak dapat dipisahkan dari pola dan mekanisme-mekanisme tertentu yang tumbuh dan berkembang, disepakati dan ditetapkan sebagai pedoman hidup masyarakat. Semakin kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks pula hal-hal yang mesti diatur dan disepakati untuk menjaga keseimbangan hidup antar warga masyarakat, termasuk untuk membangun masyarakat yang bersangkutan1. Terkait akan kesepakatan yang dilakukan satu orang dengan orang lainya, maka otomatis hal itu menjadi suatu perjanjian yang ditingkatkan akibat pelaksanaan yang disepakati yang membuat itu menjadi perjanjian2. Kembali lagi terkait dengan perjanjian antar para pihak yang telah sepakat, yang sering kali digunakan untuk mengikat kedua belah pihak dalam berbagai urusan yang terkait dengan Hubungan Manusia dengan Manusia lainya. Misalnya jual beli, Keuangan dan bahkan Pernikahan. Perjanjian dalam bidang keuangan dilakukan dalam bidang pembiayaan dan perbangkan. Dalam konteks Perjanjian dan Pembiayaaan di Indonesia dikenal ada 2 yaitu Konvensional dan Ekonomi Syariah. Yang Pasti kedua Perjanjian dalam kedua sistem perbankan dan pembiayaan ini beda disebabkan sumber Hukum Perjanjian dan penerapannya yang digunakan yang sistem Perbankan dan Pembiayaan Konvensional harus berdasar pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) atau burgelijk



1



Lukman Santoso Az. 2016. Hukum Perikatan; Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja sama, dan Bisnis. Malang: Setara Press. Hlm 2-3 2 Martha Eri Safira. 2016. Hukum Ekonomi di Indonesia. Ponorogo. Nata Karya. Hlm 83



1|P age



wetboek yang terletak pada Pasal 1320 KUHPdt sedangkan Perjanjian Perbankan dan Pembiayaan Syariah harus berdasarkan kepada Hukum Islam yaitu Alquran dan Hadist dan turunan Hukum Islam yang sesuai Kesepakatam ulama sejenisnya lagi yang berlaku di Indonesia. B.



RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Syarat-syarat Sah-nya suatu Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPdt dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah ? 2. Bagaimana Perbandingan Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPdt dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah ?



C.



TUJUAN 1. Untuk Memahami dan Mengetahui Syarat-syarat Sah-nya suatu Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPdt dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah. 2. Untuk Memahami dan Mengetahui Perbandingan



Perjanjian



Menurut



Pasal 1320 KUHPdt dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah.



2|P age



BAB II PEMBAHASAN A. SYARAT-SYARAT SAH-NYA SUATU PERJANJIAN MENURUT PASAL



1320



KUHPDT



DAN



MENURUT



PERBANKAN



DAN



PEMBIAYAAN SYARIAH Sebelum membahas syarat sah dari Perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata dengan Perbankan dan Pembiayaan Syariah, sebaiknya kita harus mengetahui defenisi dan arti perjanjian yang dibahasa dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata dengan Perbankan dan Pembiayaan Syariah sebagai berikut : Perjanjian Menurut KUHPerdata tertuang dalam Pasal 13133 yaitu : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau ebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan Menurut Purwahid Patrik, Perjanjian yaitu Perjanjian merupakan perwujudan dari sebuah perikatan. Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sehingga dapat disimpulkan perjanjian akan menimbulkan perikatan antara para pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain perikatan adalah pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau sesuatu peristiwa4. Terkait batasan tersebut ternyata para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa batasan atau pengertian atau dapat juga disebut rumusan perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata menunjukkan



3



4



Vide Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Purwahid Patrik.1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari UU). Bandung. Mandar Maju. hlm. 45.



3|P age



kurang lengkapnya dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan. Adapun kelemahan tersebut sebagai berikut5: a) Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. b) Mencakup juga perbuatan tanpa consensus/kesepakatan. c) Perjanjian terlalu luas. d) Tanpa menyebutkan tujuan. Jadi dari Pendapat yang dijabarkan diatas, maka perlu kembali di mengerti dan di rumuskan terkait Pengertian dari perjanjian. Beberapa Ahli dan Pakar Ilmu Hukum memberikan pedapatnya sebagai berikut : a) Abdulkadir Muhammad : Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan 6. b) R. Wiryono Prodjodikoro : Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak meakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu7. c) Subekti, perjanjian adalahsuatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saing berjanji untuk melaksanakan suatu hal8. d) Salim, H.S, perjanjian adalah hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya 9.



5



Achmad Burso. 2011. Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUHPerdata. Yogyakarta: Pohon Cahaya. hlm. 87-90 6 Abdulkadir Muhammad. 1990. Hukum Perikatan. Bandung. Citra Aditya Bakti. hal. 78. 7 R. Wiryono Prodjodikoro. 2000. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Jakarta: Sumur Bandung, Cet. X. Hlm. 9. 8 R. Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. Hlm. 1 9 Salim, H. S. 2008.Hukum Kontrak. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm.27



4|P age



Maka setelah Pemamaran diatas, untuk terjadinya suatu Perjanjian, hal tersebut akan terwujud dengan 2 bentuk, Tertulis dan tidak Tertulis (Lisan), yang cukup dibuktikan dengan kesepakatan para pihak langsung dari kata-kata atau kalimat dari omongan atau lisan maka hal tersebut sudah menjadi perjanjian lisan sedangkan Perjanjian tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik dan akta di bawah tangan. Dengan Memperhatikan Perumusan perjanjian di atas, dapat di jelaskan bahwa unsur dari perjanjian meliputi : a) Adanya Para Pihak-pihak minimal 2 orang b) Adanya Perseetujuan antara pihak-pihak tersebut. c) Adanya Tujuan yang ingin dicapai. d) Adanya prestasi atau hal yang akan dilaksanakan. e) Adanya Wujud atau Bentuk tertentu, baik Lisan maupun Tertulis. f) Adanya Syarat tertentu yang mengikat para pihak sebagai isi Perjanjian. Itulah Perjanjian dalam Perpektif KUHPerdata, Sedangkan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah sebagai Berikut : Perjanjian dalam Perbankan dan Pembiayaan Syariah dikenal dengan Akad yang



berasal



dari



kata



al-aqd,



berarti



mengikat,



menyambung,



atau



menghubungkan (ar-rabt). Secara etimologis perjanjian ( dalam bahasa arab = mu’ahadah Iftifa ‘), akada atau Kontrak dapat diartikan sebagai “Perjanjian atau Persetujuan yaitu suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih” 10. Ada 2 istilah di dalam Alquran yang berhubungan dengan Perjanjian yaitu al-aqdu (akad) dan al-‘ahduI (janji). Pengertia akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Maksudnya menghimpun atau mengumpulkan 2 ujung tali dan



10



Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 1.



5|P age



mengikatkannya salah satunya pada yang lain hingga keduanya saling menyambung dan menjadi seutas tali yang terlihat satu 11. Menurut Faturrahman Djamil, istilah al-'aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata. Adapun istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overseen-komst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang terhadap orang lain untuk melakukan suatu hal tertentu. Sedangkan Syamsul Anwar berpendapat, akad merupakan pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada obyeknya12. Pengertian akad juga ditemukan dalam undangundang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 1 angka 1313, yaitu kesepakatan tertulis antara bank syariah atau unit usaha syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Janji hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam al-Qur'an surah AliImran ayat 76. Para Ulama atau ahli Hukum Islam (Jumhur Ulama) memberikan Pengertian akad : “Pertalian antara Ijab dan Qabul yang dibenarkan syara atau syariat yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya”. Terjadinya Suatu Perjanjian atau akad melalui 3 Tahap14 : a) Al-Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran. (3): 76. 11 12 13 14



Ghufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. 1. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hlm . 75. Syamsul Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 68



Vide Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 angka 13. Gemala Dewi, Dkk. 2013. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hlm. 52.



6|P age



b) Perjanjian, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama. c) Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan aqdu oleh al-Qur'an yang terdapat dalam QS. Al-Maidah: 1. Maka yang mengikat masingmasing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ahdu itu tetapi aqdu. Dalam kompilasi hukum ekonomi syariah pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu15. Setelah Penjelasan mengenai Perjanjian menurut KUHPdt dengan Perjanjian atay akad menurut Perbankan dan Pembiyaan Syariah maka ada hal yang harus di wajibkan atau dilakukan agar tercapai dan sahnya suatu perjanjian atau akad itu sendiri. Maka dibawah ini Syarat-syarat sahnya Perjanjian dan akad menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah sebagai berikut : 1. Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut KUHPERDATA Dalam Melakukan suatu Perjanjian, Sepatutnya Melihat hal yang diperlukan, yaitu syarat-syarat yang memang membuat para pihak terikat dan menjadi Hak dan Kewajiban yang harus dijalankan jika perjanjian itu terjadi. Syarat-syarat sahnya Perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Pasal 132016, yaitu sebagai berikut : a) Sepakat Mereka yang mengikat dirinya b) Cakap untuk Membuat suatu perjanjian c) Suatu hal tertentu d) Suatu sebab yang halal 15 16



Vide Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 ayat 1. Vide Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320



7|P age



Dari Syarat-Syarat Perjanjian diatas, 2 syarat yang pertama digolongkan dengan syarat-syarat subjektif, disebabkan intinya membahas subjek atau orangorang yang melakukan perjanjian sedangkan yang kedua terakhir dinamakan syarat-syarat Objektif yang membahas perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan17. Maka syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menjadi dasar dari konstruksi berpikir para pihak yang menyusun sebuah Konrak atau Perjanjian supaya Kontrak atau Perjanjian tersebut tidak batal demi Hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan suatu kaidah atau Peraturan Perundang-undangan atau dalam hal ini yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Pasal 1320, yang menentuka syarat sahnya perjanjian sebagai berikut : a) Sepakat Mereka yang mengikatkan dirinya : Dengan sepakat atau juga dinamakan



perizinan,



dimaksudkan



bahwa



kedua



subyek



yang



mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual atau Pemberi jasa mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli atau yabg Pencari jasa mengingini sesuatu barang atau jasa. Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perujudan kehendak tersebut18. Hal tersebut merupakan cacat kehendak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1321 KUHPerdata yaitu “Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan itu diberikan karena kehilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.



17 18



R. Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. OP. Cit., Hlm. 17. Mariam Darus Badruzaman. 2011. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet. Ke 3. Bandung: PT. Alumni. hal. 98



8|P age



b) Cakap untuk membuat suatu Perjanjian : Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Dalam pasal 1329 KUHPerdata disubutkan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Selanjutnya dalam pasal 1330 KUHPerdata menjelaskan bahwa kriteria orang tidak cakap adalah19: 



Orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum kawin dan belum berumur 21 tahun. Seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya untuk membuat suatu perjanjian.







Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan artinya orang yang sudah dewasa tapi tidak mampu karena gila, pemabuk, pemboros, Orang yang dibawah pengampuan harus diwakilkan kepada orangtua atau wali jika ingin membuat perjanjian.



c) Suatu hal tertentu : Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya20. Dalam pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas. Selain itu juga berdasarkan pasal 1334 KUHPerdata “bahwa barangbarang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Artinya bukan hanya barang yang telah ada saja yang menjadi objek perjanjian tetapi juga dapat pula barang yang akan ada setelah perjanjian dibuat. 19 20



Ibid. Hlm 103 Ibid. Hlm 19



9|P age



d) Suatu sebab yang halal : Akhirnya oleh pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan juwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Hukum suatu perjanjian pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. Yang diperhatikan oleh hukum hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat. Misalnya saya membeli rumah karena saya mempunyai simpanan uang dan saya takut kalau dalam waktu singkat akan ada suatu tindakan moneter pemerintah atau nilai uang akan terus menurun. Atau menjual mobil syaya karena harga alat-alat mobil sudah sangat mahal. Gagasan, cita-cita, perhitungan yang menjadi dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tadi bagi undang-undang tidak penting. Artinya maksud sebab dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Sebab disini dimaksudkan sebagai kehendak atau tujuan dibuatnya suatu perjanjian. Dalam pasal 1335 KUHPerdata disebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan mengikat”. Selanjutnya dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan “suatu sebab halal adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Semua syarat yang diataur dalam pasal 1320 KUHPerdata dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pertama merupakan syarat subjektif, yaitu suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh subjek yang membuat perjanjian itu, yang meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan



10 | P a g e



kecakapan mereka untuk membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif akan membawa akibat dapat dibatalkan oleh para pihak yang merasa dirugikan. Artinya selama pihak yang dirugikan tidak mengajukan tidak mengajukan gugatan pembatalan, maka perjanjian yang dibuat tetap berlaku dan mengikat para pihak. Kedua merupakan syarat objektif, yaitu syarat yang menyangkut objek perjanjian, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dengan kata lain perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (neitigbar). Dari Penjelasan diatas, kita bisa menelaah jika semua atau salah satu syarat dalam perjanjian itu tidak terpenuhi?. Serta Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut didepan hakim. Jika syarat itu tidak dipeuhi perjanjianya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. 2. Syarat-syarat Sah Akad atau Perjanjian Menurut Perbankan dan Pembiayaan Syariah Untuk sahnya suatu akad atau perjanjian menurut Perspektif ajaran Islam, maka perlu memenuhi rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal,



11 | P a g e



peristiwa, dan tindakan tersebut21. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsurunsur tersebut yang membentuknya. Rukun yang utama dalam akad yaitu Ijab dan Qabul. Syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subyek dan obyek dari suatu perjanjian. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu : a) Para Pihak yang membuat akad (al-alqidam) b) Pernyataan kehendak para pihak (sighatu al akad) c) Objek yang diakad-kan (mahallu al akad) d) Tujuan akad (maudhu al akad) Hal-hal yang diatas yang menjadi rukun akad harus ada untuk terjadinya akad atau perjanjian itu sendiri. Masing-masing rukun atau unsur yang membentuk akad yang disebutkan diatas memerlukan syarat agar rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat tersebut rukun tidak dapat membentuk akad. Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad yaitu Tamyiz, Berbilang Pihak (at ta’addud), Persetujuan ijab dan qabul (kesepakatan), Kesatuan majelis akad, Objek akad dapat diserahkan, Objek akad dapat ditentukan, Objek akad dapat ditransaksikan dan tujuan akad tersebut tidak bertentangan dengan syara’. Kedelapan syarat ini beserta rukun akad yang disebutkan terdahulu dinamakan pokok (al-asal). Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam pengertian bahwa akad tidak memiliki wujud yuridis syari' apapun. Akad seperti ini disebut akad bathil. Berikut dibawah penjelasan Rukun dan Syarat-syarat akad sahnya suatu akad tersebut : a. Para pihak dalam Akad Rukun pertama akad adalah adanya para pihak yang membuat akad, para pihak harus memenuhi dua syarat yaitu memiliki tingkat kecakapan hukum yang 21



Faturrahman Djamil. 2001.Hukum Perjanjian Syariah Dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 78.



12 | P a g e



disebut tamyiz dan kedua adanya berbilang pihak. Jika para pihak membuat akad tanpa memiliki tamyiz maka tidak terjadi akad. Orang gila atau anak kecil apabila membuat akad tidak akan sah. Tingkat minimal kecakapan yang harus dipenuhi untuk terciptanya akad adalah tamyiz, tapi ada beberapa jenis akad yang tidak cukup dengan tamyiz, melainkan memerlukan kedewasaan. Selain itu berhubung akad adalah pertemuan ijab dan kabul maka dalam akad harus ada berbilang pihak (lebih dari satu) sehingga tidak ada akad yang hanya berdasarkan kehendak sepihak atau terjadi dengan diri sendiri. Pasal 23 KHES menjelaskan “ pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum”. Dalam hukum Islam kecakapan hukum disebut al-ahliyyah yang berarti kelayakan. Atas dasar itu kecakapan hukum didefenisikan sebagai kelayakan seseorang untuk menerima hukum dan bertindak hukum atau sebagai kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban dan untuk diakui tindakan-tindakannya secara hukum syariah. Kecakapan menerima hukum adalah kelayakan seseorang untuk menerima hak dan memikul kewajiban. Dasar kecakapan ini adalah hidup manusia itu sendiri sehingga oleh karena itu kecakapan ini ada pada manusia sepanjang hidupnya sejak ia berada dalam kandungan ibu sebagai janin sampai lahir kedunia dan kemudian meninggal. Hanya saja ketika dalam kandungan ibu kecakapan tersebut belum sempurna karena subjek hukum hanya cakap menerima beberapa hak terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu kecakapan ini disebut kecakapan menerima hukum tidak sempurna. Setelah lahir kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yaitu ia cakap untuk menerima hak dan kewajiban, dan kecakapan ini berlangsung hingga ia meninggal. Hanya saja kecakapan ini ketika berada dalam periode kanakkanak bersifat terbatas kemudian meningkat pada periode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa. Kecakapan bertindak hukum adalah kelayakan seseorang untuk perkataan dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Artinya kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum



13 | P a g e



melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Apabila ia membuat perjanjian maka perjanjian itu dinyatakan sah secara hukum syariah dan apabila ia melakukan suatu perbuatan melawan hukum perbuatan itu bisa dipertanggungjawabkan kepadanya. Menurut ahli hukum Islam, kedewasaan itu pada pokoknya ditandai dengan umur 15 tahun. Sedangkan ahli hukum Hanafi menyatakan dewasa itu adalah usia 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan Mengenai usia tamyiz dalam fikih dinyatakan mulai usia tujuh tahun. Ketentuan ini juga harus dipandang sebagai tamyiz dalam kaitan dengan masalah ibadah. Sedangkan dalam masalah harta kekayaan yaitu 12 tahun hingga 18 tahun. Sedangkan orang yang memasuki usia 19 tahun adalah orang dewasa yang memiliki kecakapan bertindak hukum sempurna. Pihak yang berakad disebut juga subjek hukum. Dalam pasal 1 angka 2 subjek hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban. Kategori kecakapan dalam Pasal 2 Ayat 1 dijelaskan bahwa orang dipandang cakap adalah apabila telah berumur sekurangkurangnya 18 tahun atau pernah menikah. Dalam hal seorang anak belum mencapai umur 18 tahun dapat mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum kepada Pengadilan22. b. Pernyataan Kehendak Rukun kedua akad adalah pernyataan kehendak yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan kehendak yang pertama muncul dari suatu pihak untuk melahirkan suatu tindakan hukum. Sebagai contoh adalah pernyataan penjuan "saya jual barang ini dengan harga sekian" atau sebaliknya. Ijab di isyaratkan harus jelas maksudnya dan isinya harus tegas. Sedangkan qabul adalah pernyataan kehendak yang menyetujui ijab dan dengannya tercipta suatu akad, seperti halnya ijab, qabul diisyaratkan kejelasan maksud, ketegasan isi dan didengar atau diketahui oleh pihak lain. Ijab dan qabul tidak mesti melalui ucapan tetapi bisa juga melalui utusan dan tertulis. Persesuaian ijab dan qabul artinya 22



Heri Sudarsono. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta. Ekonisia. hlm. 67.



14 | P a g e



tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak dan secara yuridis ada akibat hukum pada obyek akadnya. Setelah ijab disambut dengan qabul dalam majelis akad, maka terjadilah akad dan para pihak tidak dapat membatalkan akad tanpa persetujuan pihak lain. Dalam hal ini akad telah mengikat. Namun beberapa ulama mazhab berpendapat bahwa para pihak dapat saja membatalkan akad secara sepihak selama majelis akad masih ada artinya para pihak belum berpaling dari tempat mereka. Hak untuk membatalkan kembali pernyataan dari masing-masing pihak seperti ini disebut khiyar majelis. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah Saw, yang artinya "Dua orang yang melakukan jual beli masing-masing mempunyai hak khiyar terhadap yang lain selama merekabelum berpisah." (HR Muslim). c. Objek Akad Dalam hukum perjanjian Islam rukun ketiga akad adalah obyek akad. Obyek akad berarti sebagai suatu hal karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau sesuatu yang lain yang tidak bertentangan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tak berbadan. Misalnya akad jual beli rumah obyeknya adalah benda yaitu berupa rumah dan uang harga penjualannya juga merupakan benda. Akad sewamenyewa obyeknya adalah manfaat barang yang disewa, akad pengangkutan obyeknya adalah jasa dan imbalannya berupa benda (uang) dan lainnya. Para ahli hukum Islam mensyaratkan beberapa syarat pada obyek akad yaitu: -



Obyek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan, obyek akad dapat diserahkan apabila berupa benda atau barang seperti dalam jual beli, dapat dinikmati atau diambil manfaatnya apabila obyeknya berupa manfaat, dan dapat dilaksanakan apabila obyeknya berupa pekerjaan seperti mengajar, melukis dan lainnya.



-



Obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, artinya diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa.



Apabila



obyek



tidak



jelas



dapat



menimbulkan



persengketaan dan akadnya tidak sah.



15 | P a g e



-



Obyek akad dapat ditransaksikan : Mahallus ‘aqd (objek akad) adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenal apadanya akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Mahallul ‘aqd yaitu Objek akad telah ada ketika akad dilangsungkan, Objek perikatan dibenarkan oleh syara dan Objek akad harus jelas dan dikenali serta Objek akad dapat diserahterimakan.



Objek akad atau perjanjian ini tercantum didalahm KHES (Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah) pada pasal 24 yang berbunyi : “ objek akad adalah amwal atau jasa yang di halalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak”. d. Tujuan Akad Maudhu’ ul ‘aqd yaitu Maudhu' ul 'aqd adalah tujuan dan kaidah suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW dalam hadits. Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah tersebut. Apabila tidak sesuai maka hukumnya tidak sah. Dalam hukum perjanjian Islam sebagaimana tergambar dalam Hasyiyah Ibn 'Abidin, dikenal adanya hukum akad yang dimaksud dengan hukum akad tidak lain adalah akibat hukum yang timbul dari akad. Hukum akad, yakni akibat hukum yang timbul dari akad dibedakan menjadi dua macam yaitu hukum pokok akad dan hukum tambahan akad. Yang dimaksud dengan hukum pokok akad adalah akibat hukum yang pokok yang menjadi tujuan bersama yang hendak diwujudkan oleh para pihak dimana akad merupakan sarana untuk merealisasikannya. Sedangkan hukum tambahan akad, yang disebut juga hak-hak akad, adalah akibat hukum tambahan akad, yaitu hak-hak dan kewajiban yang timbul dari akad seperti kewajiban penjual menyerahkan barang dalam akad jual beli, kewajiban penyewa mengembalikan barang sewa setelah masa sewa berakhir dalam akad sewamenyewa dan seterusnya. Akibat hukum tambahan ini dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu yang ditetapkan oleh hukum itu sendiri, seperti kewajiban penyerahan barang dan harga dalam akad jual beli misalnya. Yang kedua yaitu yang ditetapkan oleh para pihak sendiri dalam perjanjian sesuai dengan



16 | P a g e



kepentingan masing-masing dan inilah yang disebut dengan syarat-syarat penyerta akad. Meskipun dikatakan bahwa tujuan akad adalah akibat hukum pokok akad (yang hendak diwujudkan oleh para pihak), namun tujuan akad berbeda dengan akibat hukum pokok akad. Perbedaannya terletak pada sudut dari mana melihatnya. Tujuan akad adalah maksud pokok yang hendak diwujudkan oleh para pihak, seperti memindahkan pemilikan atas suatu benda dengan imbalan dalam akad jual beli. Apabila maksud tersebut dapat direalisasikan sehingga tercipta perpindahan milik atas barang dalam akad jual beli, maka terjadinya perpindahan milik atas barang adalah akibat hukum pokok. Jadi maksud memindahkan



milik



dalam



akad



jual



beli



adalah



tujuan



akad,



dan



terealisasikannya perpindahan milik bila akad yang dilaksanakan merupakan akibat hukum pokok akad. Dengan kata lain tujuan akad adalah maksud para pihak ketika membuat akad, sedangkan akibat hukum pokok adalah hasil yang dicapai bila akad direalisasikan. Sedangkan dalam kompilasi hukum ekonomi syariah dinyatakan kembali pada pasal 25 KHES yaitu “ akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad”. B.



PERBANDINGAN PERJANJIAN MENURUT PASAL 1320 KUHPDT DAN MENURUT PERBANKAN DAN PEMBIAYAAN SYARIAH. Setelah mengetahui syarat-syarat sahnya Perjanjian atau akad antara



KUHPerdata dengan Perbankan dan Pembiayaan syariah yang berdasar Hukum Islam dan Di Indonesia juga berdasarkan Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, maka dibawah ini sebagai perbandingan dari keduanya sebagai berikut : 1. Pihak-Pihak Yang cakap melakukan perjajian dalam KUHPdt dan Pihak yang



berakad



menurut



KHES



atau



Perbankan



dan



Pembiayaan Syariah Dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata cakap untuk membuat perjanjian ini termasuk syarat sahnya perjanjian yang kedua. Penjelasan kecakapan seseorang dalam KUHPerdata adalah terdapat pada pasal 1329 “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang



17 | P a g e



tidak dinyatakan tidak cakap”. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 1330 KUHPerdata bahwa kriteria orang tidak cakap adalah23: a. Orang yang belum dewas, yaitu orang yang belum kawin dan belum berumur 21 Tahun. b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan artinya orang yang sudah dewasa tapi tidak mampu karena gila, pemabuk, pemboros. Sedangkan dalam KHES (Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah) yang menjadi acuan dalam perbankan dan pembiayaan syariah, yang melakukan akan atau Pihak yang berakad disebut subjek hukum. Dalam KHES pasal 1 Angka 2 subjek hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban. Kecakapan bertindak dalam hukum merupakan syarat pertama untuk sahnya suatu akad. Artinya kelayakan seseorang untuk perkataan dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Kategori kecakapan dalam Pasal 2 Ayat 1 KHES dijelaskan bahwa orang dipandang cakap adalah apabila telah berumur sekurangkurangnya 18 tahun atau pernah menikah. 2. Suatu Hal tertentu dalam KUHPerdata dan Objek akad dalam KHES Suatu hal tertentu dalam KUHPedata yang dikenal sebagai Objek perjanjian adalah syarat sah perjanjian yang tercantum pada pasal 1320 KUHPerdata. Suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang diperjanjikan paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dalam pasal 1333 KUHPerdata menyatakan “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan obyek dalam perjanjian tersebut. Obyek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Sedangkan dalam KHES (Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah) Rukun kedua untuk sahnya suatu akad adalah objek akad. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh 23



Mariam Darus Badruzaman, 2011. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet. Ke 3, (Bandung: PT. Alumni,), hal. 98.



18 | P a g e



masing-masing pihak. Pengertian amwal pada pasal 1 angka 9 KHES adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun abstrak, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Dalam pengertian tersebut dapat dikemukakan macam perbedaan pengertian benda antara lain:  Benda berwujud dan tidak berwujud : Bendang berwujud adalah yang dapat dirasa keadaanya atau diindera (pasal 1 angka 10) sedangkan tidak berwujud itu yang segala sesuatunya tidak dapat dirasa oleh indera kita (pasal 1 angka 11)  Benda Bergerak dan tidak bergerak : yang bergerak yaitu dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain (Pasal 1 angka 12) sedangkan yang tidak bergerak yaitu segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya ditentukan oleh undang-undang (pasal 1 angka 13).  Benda terdaftar dan tidak terdaftar : yang terdaftar yaitu segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang (Pasal 1 ayat14). Sedangkan yang tidak terdaftar yaitu Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (Pasal 1 ayat 15). 3. Suatu Sebab Yang Halal dalam KUHPerdata dan Tujuan Akad dalam KHES Suatu sebab yang halal dalam KUHPerdata itu tercantum dalam pasal 1320 yang dimaksudkan sebagai kehendak atau tujuan dibuatnya perjanjian itu. Dalam pasal 1335 disebutkan bahwa: “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab terlarang tidak mempunyai kekuatan mengikat” selanjutnya pada pasal 1337 disebutkan, “suatu sebab adalah terlarang apabila



19 | P a g e



dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”24. Sedangkan didalam KHES, Rukun ketiga dari akad adalah tujuan pokok akad. Dalam hukum Islam tujuan akad ditentukan Allah SWT sesuai dengan alQur‟an dan hadits. Tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah, apabila tidak sesuai maka hukumnya tidak sah. Ketentuan khusus tentang hal ini disebutkan pada Pasal 25 KHES yang menyatakan bahwa akad bertujuan memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang melakukan akad. Namun tidak semua tujuan dibenarkan karena tujuan yang dibenarkan hanyalah untuk akad yang sah. Akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan (Pasal 26 KHES). Pasal 27 dan 28 disebutkan bahwa hukum akad terbagi dalam 3 kategori : a. Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya b. Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratnya namun terdapat hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. c. Akad yang batal adalah akad yang kurang syarat dan rukunnya. 4. Sepakat Mereka yang mengikat dirinya menurut KUHPdt dan Kesepatan menurut KHES Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) syarat pertama dari syarat sahnya suatu perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikat dirinya, artinya bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Hal tersebut merupakan cacat kehendak sebagaimana tercantum pada pasal 1321 KUHPerdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”



24



Mariam Darus Badrulzaman. Op. cit. hlm. 106



20 | P a g e



Sedangkan didalam perjanjian menurut Perbankan dan Pembiayaan syariah, Rukun keempat adalah kesepakatan. Namun KHES tidak ditemukan aturan tentang kesepakatan, hanya diatur cacatnya sebuah kesepakatan (pasal 29 KHES), yakni apabila dalam akad tersebut mengandung unsur ghalat (khilaf), ikrah (paksaan), taghrir (tipuan), dan gubhn (penyamaran). Ghalath atau khilaf yaitu dalam



Pasal 30 KHES menyatakan kekhilafan tidak mengakibatkan



batalnya suatu akad kecuali khilaf itu terjadi mengenai hakikat yang menjadi pokokperjanjian. Sedangkan Ikrah atau Paksaan dalam Pasal 31 KHES menyatakan paksaan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu bukan berdasar pilihan bebasnya dan Pasal 32 KHES menyebutkan bahwa paksaan dapat menyebabkan batalnya akad apabila pemaksa mampu untuk melaksanakannya, pihak yang dipaksa memiliki persangkaan yang kuat bahwa pemaksa akan segera melaksanakan apa yang diancamkannya apabila tidak patuh pada perintah pemaksa, yang diancamkan benar-benar menekan kondisi jiwa orang yang diancam, ancaman akan dilaksanakan secara serta merta, paksaan bersifat melawan hukum. Taghrirat atau tipuan dalam pasal 33 KHES disebutkan bahwa penipuan adalah pembentukan akad melalui tipu daya. Dengan dalih untuk kemaslahatan, tetapi kenyataannya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Pasal 34 menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad. Dan terakhir Gubn atau penyamaran dalam Pasal 35 KHES menegaskan penyamaran sebagai keadaan yang tidak simbang antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu akad. Abdul Kadir Muhammad menyatakan “bahwa faktor yang mempengaruhi berlakunya perjanjian adalah karena kekeliruan, perbuatan curang, pengaruh tidak pantas, dan ketidakcakapan dalam membuat perjanjian25”.



25



Abdulkadir Muhammad. 1986. Hukum Perjanjian. Bandung. Alumni. hlm. 116



21 | P a g e



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Syarat Sahnya Perjanjian menurut KUHPdt terletak dalam pasal 1320 yaitu Sepakat Mereka yang mengikat dirinya, Cakap untuk Membuat suatu perjanjian dan Suatu hal tertentu serta Suatu sebab yang halal. Dari syarat-syarat diatas terbagi 2 ada subjektif yang 2 pertama dan Objektif 2 terakhir dari syarat-syarat yang disebut diatas. Sedangkan menurut Perbankan dan Pembiayaan syariah yang diatur menurut KHES yang berdasar pada Hukum Islam dan turunannya di Indonesia, yaitu Para Pihak yang berakad (al-aqidami), Pernyataan kehendak para pihak (Sighatu al akad) dan Objek akad (mahallu al akad) serta Tujuan akad (maudhu al akad). 2. Perbandingan syarat sah akad dalam KHES adalah pada pasal 22 yaitu adanya pihak yang berakad, obyek akad, tujuan akad dan adanya kesepakatan. Sedangkan dalam KUHPerdata syarat sahnya perjanjian adalah pada pasal 1320 yaitu sepakat mereka yang mengikat dirinya, cakap bertindak dalam hukum, suatu hal tertentu dan kausa yang halal. B. Saran 1. Untuk Memahami dan Mengetahui Syarat-syarat sahnya Perjanjian dalam KUHPdt dan Akad menurut Perbankan dan Pembiayaan syariah harus dilakukan dengan memperhatikan aturan atau sumber hukum yang mengaturnya di barengi literature dan ahli hukum yang menjelaskan terkait syarat-syarat yang ada dalam perjanjian dan akad tersebut 2. Untuk Memahami dan Mengetahui Perbandingan syarat sahnya perjanjian menurut KUHPdt dan Akad menurut Perbankan dan Pembiayaan syariah maka kita harus mencermati syarat-syarat dari keduanya dan mencari persamaan dan perbedaan nya menjadi perbandingan yang jelas dan valid.



22 | P a g e



DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad. 1986. Hukum Perjanjian. Bandung. Alumni Achmad Burso. 2011. Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUHPerdata. Yogyakarta: Pohon Cahaya. Abdulkadir Muhammad. 1990. Hukum Perikatan. Bandung. Citra Aditya Bakti. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika. Faturrahman Djamil. 2001.Hukum Perjanjian Syariah Dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Gemala Dewi, Dkk. 2013. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Ghufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. 1. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Heri Sudarsono. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta. Ekonisia. Lukman Santoso Az. 2016. Hukum Perikatan; Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja sama, dan Bisnis. Malang: Setara Press. Martha Eri Safira. 2016. Hukum Ekonomi di Indonesia. Ponorogo. Nata Karya. Mariam Darus Badruzaman, 2011. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet. Ke 3.Bandung: PT. Alumni. Syamsul Anwar. 2007. Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Purwahid Patrik.1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari UU). Bandung. Mandar Maju



23 | P a g e



R. Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. R. Wiryono Prodjodikoro. 2000. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Jakarta: Sumur Bandung, Cet. X. Salim, H. S. 2008.Hukum Kontrak. Jakarta. Sinar Grafika.



24 | P a g e