Panah Sebagai Pusaka Peradaban Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PANAH SEBAGAI PUSAKA PERADABAN ISLAM



Mata kuliah : Globalisasi & Dinamika Budaya Melayu



Pengampu : Dr. Muhammad Adil, MA



RAHMAT FAJRI 18031109



PROGRAM STUDI PERADABAN ISLAM PROGRAM BEASISWA 5000 DOKTOR



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2018 0



A. Pendahuluan Salah satu nubuwat (prediksi) yang akan terjadi di akhir zaman adalah almalhamah al-kubra sebuah pertempuran antara pasukan Al-mahdi dan Romawi bani Asfar, karena peperangan itu menggambarkan kedua belah pihak tidak lagi menggunakan senjata berat, meriam, senapan otomatis atau peralatan modern lainnya. Hanya pedang, tombak, panah, kuda dan peralatan manual. seluruh dunia juga akan mengalami hal yang serupa, kembali ke abad kegelapan, tanpa listrik dan penerangan, tanpa mesin dan alat-alat elektronik, tanpa mobil dan pesawat, mirip sebagaimana manusia-manusia gunung di zaman silam. 1 Nubuwat (prediksi) perang besar ini akan terjadi di Suriah/Negeri Syam, kawasan yang paling panas dalam percaturan politik global. Seluruh dunia akan mengarahkan pandangannya ke negeri yang tengah terkoyak ini. tempat yang menjadi medan dakwah, hijrah dan jihad para nabi dan rasul. ada hal menarik yang perlu mendapatkan ruang untuk merenung, sangat penting untuk dipahami oleh setiap muslim. Islam sebagai agama yang syamil (lengkap) dan mutakamil (sempurna) memperhatikan kesiapan fisik, mental dan spiritual guna menghadapi perkara besar ini, karena tanpa kelengkapan/kesiapan jasmani, rohani dan ketaqwaan maka akan terbuka celah untuk musuh menyerang. Jihad merupakan tonggak dan penyangga fondasi Islam. bahkan ia merupakan puncak urusan Islam. Jihad merupakan cara untuk menjaga dan menolong negeri-negeri kaum muslimin dari setiap penjajahan dan penindasan. Ia merupakan perisai kokoh yang bisa menjaga keberlangsungan dakwah dari gangguan musuh Islam. Ia merupakan sarana atau alat yang bisa menjaga Maqashid AsySyari'ah (Tujuan-Tujuan Syariat) sehingga agama, jiwa, harta. akal, nasab dan kehormatan bisa terlindungi. Jika jihad merupakan bagian terpenting dalam agama, demikian juga dengan pendidikan jihad yang merupakan bagian dari pendidikan Islam, pendidikan jihad



1 Abu Fatiah Al-Adnani, Nubuwat Perang Akhir Zaman (Al-Malhamah Al-Kubra). (Surakarta : Granada Mediatama 2017)



1



menjadi kewajiban bagi seluruh pendidik dan pengajar, bahkan sebenarnya juga merupakan kewajiban Negara.2 Di dalam Al-Qur’an Allah SWT. secara jelas memerintahkan hambanya dalam Surat Al Anfal ayat 60 :



                                   60. dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Dalam



mempersiapkan



pejuang



muslim



yang



tangguh,



Rasulullah



menerapkan dua strategi yang saling berimbang, yaitu strategi penggemblengan spiritual dan latihan praktis.3 Kata kekuatan/Quwwah dalam ayat diatas dengan jelas dapat dipahami dalam hadits; Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi `Ali Tsumamah bin Syafi saudara



2



Dr.Anung ai Hamat, Lc., M.Pd.I. Tarbiyah Jihadiyah Imam Bukhari, (Ummul Quro, Jakarta. 2016) Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Prof. DR, Ketika Rasulullah Harus Berperang (Pustaka Al-Kautsar 2017) Hal. 11 3



2



Uqbah bin amir Radhiyallahu ‘Anhu berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda di atas mimbar:



َ َ ‫َوأ َ ِعدُّوا لَ ُه ْم َما ا ْست‬ ‫ى‬ َّ َ ‫ى أَالَ إِ َّن ْالقُ َّوة‬ َّ َ ‫ط ْعت ُ ْم ِم ْن قُ َّوةٍ أَالَ إِ َّن ْالقُ َّوة‬ ُ ‫الر ْم‬ ُ ‫الر ْم‬ ‫ى‬ َّ َ ‫أَالَ ِإ َّن ْالقُ َّوة‬ ُ ‫الر ْم‬ “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ahmad dan lainnya) Namun menurut Adnan Hasan Shalih Baharits bahwa kata quwwah dengan berbentuk nakirah atau non definitive (tidak mengandung pengertian tertentu). Ini berarti menyiapkan segala sesuatu yang tercakup oleh pengertian quwwah, baik penyiapan jasmani untuk perang, penyiapan kemampuan untuk menulis dan belajar, maupun menyiapkan persenjataan dan perlengkapan lainnya.4 Terlihat dengan jelas bahwa memanah memiliki kaitan yang sangat erat dengan peradaban Islam. Karena peradaban hanya bisa dibangun dengan landasan keimanan dan intelektualitas, Al-Qur’an dan Al-Hadits, sedangkan teori-teori yang ada didalam kepala seseorang bisa goyah jika tidak adanya keberanian dalam dirinya, dan keberanian ini bisa terbentuk jika memiliki kekuatan. Maka didalam makalah ini kita akan membangun kekuatan dengan mempelajari panahan, sejarah penggunaannya, beserta manfaat yang bisa kita nikmati dari usaha untuk menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW.



B. Pengertian 1. Panah Niat utama yang harus selalu kita perbaharui dalam belajar memanah ialah mengharapkan Ridho Allah SWT. semata, karena memanah ini merupakan latihan yang cukup berat, menyita perhatian, waktu dan finansial yang tidak sedikit, olahraga panahan ini bukan hanya belajar dalam waktu tertentu kemudian berhenti tidak lagi berlatih, akan tetapi dilakukan secara Consisten terus menerus. 4 Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, (Jakarta: Insani Press, 2001), hlm. 357-358



3



Panahan atau Rimayah (Bahasa Inggrisnya Archery) adalah suatu kegiatan menggunakan busur panah untuk menembakkan anak panah. awalnya digunakan untuk berburu dan kemudian berkembang sebagai senjata dalam pertempuran dan kemudian sebagai olahraga ketepatan. Seseorang yang gemar atau merupakan ahli dalam memanah disebut juga sebagai pemanah. 5 Sebelum mempelajari panahan secara langsung hendaknya mengerti petunjuk keamanan dan keselamatan antara lain: 1. Wajib menjunjung tinggi hukum dan aturan yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia. 2. Wajib mendahulukan keselamatan dirinya dan orang lain. 3. Jangan menembak jika belum yakin atas keamanan dan keselamatan dirinya serta lingkungan sekitar. 4. dan petunjuk teknis lainnya.6 2. Pusaka Pusaka adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu benda yang dianggap sakti atau keramat, biasanya benda-benda yang dianggap keramat umumnya adalah benda warisan yang secara turuntemurun diwariskan oleh nenek moyangnya.7 Walaupun yang dimaksud panahan sebagai pusaka peradaban Islam disini adalah hal logis yang berkenaan dengan ilmu fisika dalam hal gerak dan gaya, dan ilmu matematika dalam hal jarak dan kecepatan, seni dalam konstruksi pembuatan busur dan ilmu sosial dalam membuat anak panah, lalu dihubungkan dengan kejayaan peradaban Islam yang selalu menggunakan peralatan panah untuk hidup mempertahankan diri, dan menyebarkan dakwah. Ada hubungan dinamis antara busur dan manusia, hubungan ini tidak bisa dipisahkan semenjak keberadaan manusia pertama di muka bumi ini. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir At-Thabari menyebutkan dalam kitab 5 Ellysa Okky Gusma, Reni Widyantari, Yanuar Adi Sanjaya, Tugas Olahraga Panahan, (D IV FISIOTERAPI, JURUSAN FISIOTERAPI, POLTEKKES KEMENKES : SURAKARTA 2012) 6 Irvan Pani Abu Aqilah, Ketua KPBI (Komunitas Panahan Berkuda Indonesia) 7 https://id.wikipedia.org/wiki/Pusaka diakses pada : 15-11-2018



4



Tarikh-nya, sesungguhnya malaikat Jibril turun ke bumi membawa busur untuk Nabi Adam, beliaulah orang yang pertama kali memanah menggunakan busur, 8 Busur dan anak panah itu kemudian digunakan untuk membunuh seekor burung yang mencuri tanaman milik Adam. 9 Lebih rinci ada di Kitab fi Ilm An Nusshab.10 3. Peradaban Islam Para Sahabat Rasulullah SAW. jumlahnya lebih 100.000 orang, berdasarkan pada saat berkumpul di Padang Arafah untuk mendengar amanat dan pesan terakhir Rasulullah SAW (Haji Wada). Ribuan dari mereka telah menyebar ke seluruh dunia setelah itu, menurut Syeikh Yusof Al-Kandhalawi ra. (pengarang kitab Hayatus Sahabah) bahwa para sahabat ra. bergerak mengikut arah di mana kuda dan unta mereka bergerak. Hal ini terbukti seperti Saidina Bilal ra. makamnya di Syria, dan juga Saidina Abu Ayub al-Ansari ra. yang lahirnya di Madinah tetapi makamnya di Istanbul, Turki. Ada sebagian ahli sejarah Islam berpendapat bahwa salah seorang sahabat terbaik Rasulullah SAW yang ikut dalam ekspedisi itu adalah Saidina Saad bin Abi Waqqash ra. dan makamnya terletak di Guang Zhou (dulu Canton) di Negara China juga terdapat Masjid Huaisheng yang dibangunnya, merupakan yang paling tua di Asia. Menurut Monuskrip kuno Tiongkok pada tahun 625 M sudah ada perkampungan Arab di Sumatera Utara. Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW mempraktikan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam, besar kemungkinan bahwa sebagian mereka adalah sahabat-sahabat ra. (yaitu mereka yang pernah berjumpa dengan Rasulullah SAW) Ditemukan beberapa makam Sahabat Nabi Muhammad SAW di Nusantara salah satu yang paling terkenal adalah makam Syeikh 8 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Furusiyah Muhammadiyah disadur oleh Qori Afrizan Al-Khered. Teknik Memanah Dalam Islam (Solo : Al-Wafi Publishing 2018) hal.115 9 https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/10/19/nwgu9i313-alasan-panahantempati-posisi-istimewa dalam-islam diakses 14-11-2018 10 https://www.facebook.com/search/top/?q=Pemanah%20Warisan%20N.%20Sembilan%20%20Pewaris%20ismail. Diakses 16-11-2018



5



Rukunuddin ra. (ada pendapat ia adalah Saidina Wahab bin Qobishoh ra.) di Barus (Fansur) dekat Aceh, Sumatera Utara. Pada makamnya tertulis beliau wafat pada tahun 48 H. Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Hal ini disebut para sejarawan sebagai Teori Makkah. 11 Penulis sependapat dengan teori ini dikarenakan sewaktu islam datang ke nusantara tentunya tidak langsung mendirikan kerajaan Islam “Pasai” Aceh akan tetapi melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui interaksi sosial, persahabatan, perdagangan, dan selanjutnya pernikahan. Dari generasi ke generasi inilah islam tersebar, kuat, mengakar di Nusantara, melalui kerajaan besar yang berkuasa Sriwijaya, kemudian Majapahit sampai pada runtuhnya sistem kerajaan dengan masuknya penjajah di Nusantara. Berdasarkan hikayat inilah pemakalah ingin memaparkan secara literature penggunaan panah sebagai pusaka/warisan peradaban Islam yang sejak hadirnya senjata api pada abad ke 15.12 membuat busur panah mulai jarang digunakan seiring dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan islam oleh penjajah barat.



C. Pembahasan 1. Sejarah penggunaan busur dan anak panah, Tak hanya Nabi Adam, tetapi Nabi Ismail pun seorang pemanah seperti dikatakan dari Salamah bin Akwa’ radliyallahu’anhu, dia berkata: “Suatu ketika lewatlah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atas sebuah kaum yang mereka tidak paham (sunnah memanah), maka beliau bersabda: “Memanahlah kalian wahai bani Ismail (keturunan nabi Ibrahim As.) Dan sesungguhnya bapak-bapak kalian dahulu adalah ahli memanah”, memanahlah kalian dan saya bersama bani fulan, maka berlatihlah salah seorang yang ada (panah) di tangan mereka. Dan bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam : Mengapa kalian tidak memanah?, mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana kami memanah sementara egkau bersama bani 11



http://wirapendang.blogspot.com/2011/04/dakwaan-ada-kubur-sahabat-nabi-di_13.html diakses 14-



11-2018 12 https://www.kaskus.co.id/thread/581c256a902cfe5d228b4582/mari-mengenal-sejarah-senjata-api/ . diakses pada 15-11-2018



6



fulan ?. Beliau bersabda : “Memanahlah kalian dan saya bersama dengan setiap kalian.” (HR. Bukhori, dan Syarah Sunnah Al Bughawiy, 10/383). Dilihat dari hadits ini bahwa Rasulullah selalu bersama dengan setiap grup panah, berlatih panah juga disetarakan dengan menuntut ilmu agama di majlis-majlis ilmu, karena didalam latihan panah yang disebut nama Allah pada setiap gerakan tembakan dihadiri oleh para malaikat, bahkan juga diibaratkan dengan taman-taman surga/Raudhatul Jannah oleh karenanya mempelajarinya memiliki adab-adab yang hampir sama dengan adab-adab menuntut ilmu agama. Nabi Muhammad SAW. pun merupakan sosok yang handal dalam memanah. Bahkan, di Istana Topkapi, Istanbul, Turki, tersimpan tiga buah anak panah yang diyakini milik Nabi Muhammad SAW. Busur panah, tombak, dan pedang adalah peralatan yang menjadi perabot di rumah Nabi Muhammad SAW, Setidaknya Nabi memiliki tiga buah busur panah. Pertama, busur yang beliau beri tendon atau urat tungkai/kaki binatang, busur ini bernama ar-rauha’. Busur beliau yang kedua terbuat dari batang kayu pohon syauhath, busur ini bernama al-baidha’. Busur beliau yang ketiga terbuat dari batang kayu pohon Naba’, busur ini bernama ash-shafra’.13 Bersamaan dengan turunnya ayat yang mengizinkan berperang, maka Rasulullah mencanangkan latihan berbagai seni dan strategi perang dan bertempur kepada para sahabatnya. Beliau pun berpartisipasi langsung dengan mereka dalam berbagai latihan perang dan ketangkasan, dan berbagai manuver perang. Bahkan beliau menganggap bahwa daya dan upaya dalam bidang ini merupakan ibadah yang paling mulia dan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah.14 a. Strategi Penggemblengan Spiritual Rasulullah senantiasa berupaya membangkitkan mental dan meningkatkan semangat para pejuang dengan memberikan harapan kemenangan kepada mereka atau surga. Sejak saat itulah hingga di kemudian hari, harapan tersebut mendorong prajurit muslim untuk berani bertempur di medan laga dan memotivasi mereka



13



Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Op. Cit hal. 115-116 Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Prof. DR, Ketika Rasulullah Harus Berperang (Pustaka Al-Kautsar 2017) Hal. 11 14



7



mengerahkan segenap potensinya, baik psikis maupun psikologis serta strategi perang demi meraih kemenangan atau meninggal dunia di bawah naungan pedang.15 b. Srategi Praktis Rasulullah senantiasa berupaya memanfaatkan dan mendorong potensi umat yang mampu memberikan pengorbanan dan pengabdian. Baik laki-laki, perempuan, pemuda, maupun orang tua. Beliau memotivasi mereka untuk berlatih dan mempelajari strategi dan ketangkasan dalam perang, baik dalam menancapkan tombak, mengayunkan pedang, melempar anak panah, dan bermanuver di atas punggung kuda, Rasulullah memadukan pendidikan kemiliteran pada dua sisi yang saling berkeseimbangan; instruksi dan latihan, memberikan harapan kemenangan atau surga. Beliau senantiasa mendorong umat Islam untuk mengerahkan segenap potensi umatnya di medan perang dan memotivasi umat Islam itu untuk mempelajari berbagai strategi memanah dan melempar tombak dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa mempelajari teknik memanah lalu meninggalkannya, maka tidak termasuk golongan kami atau ia telah durhaka.”16 Ini merupakan seruan kepada seluruh umat Islam hingga termasuk mereka yang lanjut usia. Beliau menyerukan kepada umatnya untuk berlatih menembak sasaran dan meningkatkan ketrampilan tangan, serta ketangkasannya. Sesungguhnya Islam memperhatikan potensi umat ini secara keseluruhan dan mengarahkannya



menuju



keagungan



dan



semangat



tinggi.



Rasulullah



memperhatikan kesiapan umatnya di setiap waktu dan tempat, dan mendorong mereka untuk memanfaatkan semua piranti yang dapat digunakan umat Islam. Pada masa Rasulullah dan Khulafaur rasyidin, panah dan memanah menjadi sarana penting untuk berperang. Keahlian memanah memberi sumbangsih besar kepada kaum Muslimin dalam memetik kemenangan di berbagai medan perang. Ibnu Asakir telah meriwayatkan dari Ibnu Syihab, beliau mengatakan: Sa'ad bin Abi Waqqash telah membunuh tiga orang musuh dengan satu anak panah pada perang Uhud. Ketika itu beliau dipanah dan beliau mengembalikan anak panah



15 16



LihatDirasatfiAs-Sirah, hlm. 161. HRMuslim, Kitab: AI-Imarah. Bab: FadhlAr-Ramy wa A I-Hitszs Alaih. 3/ 1533, no. 1919.



8



tersebut kepada mereka. Mereka pun memanah kembali menggunakan anak panah tersebut. Sa'ad pun menangkapnya dan beliau memanah dengannya untuk kedua kalinya, musuh itu pun mati. Kemudian mereka memanah Sa'ad dengan menggunakan anak panah tersebut. Sa'ad pun membalas dengannya, sehingga seorang musuh pun mati. Orang-orang menjadi kagum dengan aksi Sa'ad bin Abi Waqas. Kepiawaian memanah menjadi kunci kemenangan pasukan yang dipimpin Sultan Muhammad Alfatih saat berjuang merebut Konstatinopel pada abad ke-14. Penggunaan panah sebenarnya juga pasti banyak digunakan pada masa-masa kerajaan di Nusantara dikarenakan panah merupakan alat pertahanan dan penyerangan



yang



sangat



efektif,



akan



tetapi



memang



masih



perlu



menelusuri/menggali lagi sumber-sumber tulisan yang sangat minim dan sulit ditemukan. Berikut kutipan novel Sultan Fattah karangan Reyhan Aryo yang menceritakan penggunaan panah oleh kerajaan Demak dalam Bab VI naik tahta atas tanah Jawa : “Pasukan koalisi Demak-pun siap dengan sayap kanan dan kirinya yang merupakan formasi "Supit Urang", dengan mengepung musuh dari dua arah yang berbeda. "Aba-aba seluruh pasukan beri jalan!", teriak Raden Fatah dengan mengayunkan pedangnya. "Pasukan Soro Geni maju!...Tembak !!!", teriak Sunan Kudus dan sekejap pasukan Soro Geni bersiap dengan panah api Mereka dan menembakkannya kearah musuh, formasi musuhpun kocar-kacir berantakan.” 2. Ulama-ulama ahli Panah Sepanjang sejarah peradaban Islam, tersebutlah berbagai nama dari kalangan alim ulama paska generasi sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in yang terkenal atas skill dan pengetahuannya yang luas di bidang Furussiyah terutama ilmu panahan. Di antaranya: Dari zaman Abbasiyah (mulai abad ke-8 Masehi) tersebut nama Imam Asy Syafi'i Rahimahullah yang memiliki akurasi 9 dari 10 (Siyar A'lam An Nubala', Imam Adz Dzahabi) dan Imam Al Bukhari Rahimahullah yang nyaris tidak pernah membuat kesalahan dalam mengenai sasaran (Sirah Al Imam Al Bukhari). Imam Asy Syafi'i mempelajari ilmu panahan Arab di Hijaz dan ahli menggunakan busur Arab Badawi dan busur komposit Arab Al Wasithiyah. Imam Al 9



Bukhari yang asli penduduk Kota Bukhara di Khorasan yang memiliki tradisi panahan serta memanah berkuda yang kuat, ahli dalam menggunakan busur komposit Khorasan, al qaws al khurasaniyah. Wilayah Khorasan di zaman Imam Al Bukhari merupakan tulang punggung militer Abbasiyah dan sebagai pusat para ahli panahan dan panahan berkuda di seluruh wilayah Daulat Islam. Dikatakan Imam Al Bukhari selalu menunggang kuda ketika berlatih memanah. Diriwayatkan dalam kitab Silsilah Aimmah karya Syaikh Thariq Suwaidan: Ketika Imam Syafi'i tinggal di desa Bani Hudzail, di samping beliau mempelajari sastra, sejarah, dan menghafal syair-syair Arab, beliau juga mempelajari bidang ketangkasan berperang, khususnya teknik memanah. “Hobiku ada dua, yaitu memanah dan menuntut ilmu. Di bidang teknik memanah, aku sangat mahir. Setiap sepuluh anak Panah Yang aku luncurkan, semuanya tepat mengenai sasaran.” Namun di bidang ilmu, Imam Syafi'I lalu terdiam. Lantas para hadirin berseru, “Demi Allah, di bidang ilmu, kemampuanmu lebih hebat dibandingkan kemampuanmu dalam memanah.” Diriwayatkan bahwa Imam Syafi'i mengatakan, “Aku meminum air zam-zam untuk tiga hal: Pertama, untuk memanah. meningkatan ketepatanku dalam memanah mencapai sembilan puluh hingga seratus persen. Kedua, aku minum air zam-zam untuk ilmu. Di bidang ini, aku seperti yang kalian saksikan. Ketiga, aku meminum air zam-zam untuk meraih Surga Firdaus.” Imam Syafi'i pernah mengatakan, “Aku selalu berlatih memanah sehingga seorang tabib pernah menegurku dengan berkata, “Aku khawatir engkau akan terkena penyakit kulit, karena engkau selalu berpanas-panasan di bawah terik matahari'.” Dalam kitab Hasyiyat Al-Bajury karya Syaikh Ibrahim Al-Bajury disebutkan bahwa Imam Syafi‘i bila melepaskan sepuluh tembakan. sembilan anak panah tepat mengenai target tanpa meleset, sedang satu anak panah yang tersisa, beliau akan membuatnya meleset dari target dengan sengaja. Hal itu beliau lakukan agar tidak terkena penyakit ‘ain, Penyakit ‘ain adalah pengaruh negatif dari pandangan manusia yang pada umumnya disebabkan karena kagum terhadap aksi seseorang.



10



Diantara keterampilan yang dipelajari dan diperdalam oleh Imam Syafi'i selama berada di dusun Badi Hudzail adalah teknik menunggang kuda. Tidak heran jika Imam Syafi'i menjadi seorang penunggang kuda yang tak tertandingi. 17 Dari zaman Mamluk (mulai abad ke-13 Masehi) di Mesir dan Syam yang memiliki tradisi furusiyah kuat serupa dengan dinasti Abbasiyah muncul nama-nama ulama berikut: Ulama-ulama rahimahumullah yang paham tentang furusiyah dan panahan yang menulis kitab tentangnya (dari Adab Al Furusiyah): c. Sharaf al-Din al-Dimyati (wafat 705/1305–6) d. Badr al-Din Ibn Jama‘ah(wafat 733/1333) e. Ibn Qayyim al-Jawziyah (wafat 751/1350) f. ‘Izz al-Din Ibn Jama‘ah (wafat 819/1416) g. Wali al-Din Ahmad al-‘Iraqi (wafat 826/1422) h. Shams al-Din Muhammadal-Sakhawi (wafat 902/1497) i. Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti (wafat 911/1505) Ulama-ulama yang disebut sebagai praktisi dan ahli panahan dari zaman Mamluk (International Furusiyah Studies): a. Muhammad al-Aqsara’i al-Hanafi (wafat 749/1348), penulis kitab panahan sekaligus ahli panahan dan ahli tombak panjang (lance) baik di atas kuda maupun menggunakan kaki. b. ‘Ala’ al-Din al-Akhmimi al-Naqib, hakim kepala mazhab Syafi'i Kesultanan Mamluk (menjabat 906–22/1501–16) disebut sebagai ahli panahan yang sulit ditandingi. Para ahli panahan di zaman Mamluk ini menggunakan busur mamluk atau busur komposit Damaskus, al qaws al dimashq. Ilmu panahan di zaman Mamluk merupakan kelanjutan dari ilmu panahan Abbasiyah dengan beberapa pengaruh dari tradisi Turki Kipchak.18 Para ulama membagi asas Furusiyah perang menjadi empat macam : 1) Keahlian menunggang kuda.



17 18



Ibid, Hal.208 Irvan Pani Abu Aqilah, Ketua KPBI (Komunitas Panahan Berkuda Indonesia)



11



2) Memanah dengan busur. 3) Menikam dengan tombak. 4) Menebas dengan pedang. Barang siapa yang bisa menyempurnakan empat asas ini, maka dia telah menyempurnakan ilmu furusiyyahnya. Empat asas furusiyyah ini tidak pernah berkumpul secara sempurna kecuali pada diri para sahabat Nabi. Bahkan mereka telah meletakkan empat asas furusiyyah ini di atas tanah yang subur dengan iman dan yakin kepada Allah dan Rasulnya, kemudian mereka sirami dengan air kerinduan akan mati syahid, serta mereka pupuk dengan rasa cinta untuk mengorbankan jiwa raga mereka karena Allah dan RasulNya. Sehingga tidak ada satu umat pun yang pernah berperang melawan mereka kecuali berakhir dalam keadaan hina, peradaban umat yang menentang mereka semuanya berakhir dalam tong sampah sejarah. Bagaimana tidak? Para sahabat telah dikuatkan oleh pertolongan Allah & Mereka telah menyempurnakan furusiyyah zhahir maupun batin, maka pertolongan Allah pun datang secara zhahir dan batin.19 3. Hukum Panah Beberapa ustadz di Indonesia, seperti Ustadz Zulkifli Muhammad Ali yang memang hoby Furusiyyah, mengatakan hukum berlatih panah adalah wajib dikarenakan Wa a’iddu dalam awal surat Al-anfal : ayat 60 merupakan kata perintah, yang jika ada perintah berarti wajib untuk dilaksanakan, akan tetapi kewajiban disini bukanlah kewajiban setiap orang, jika sudah ada yang mempersiapkan diri berlatih panah maka cukuplah/gugurlah kewajib tersebut, walaupun kuantitas dan kualitas latihan panah ini harus lebih ditingkatkan lagi. Beberapa anggota Majelis Ulama Indonesia mempunyai pandangan yang sama tentang hukum olahraga menurut ajaran Islam, bahwa hukum olahraga adalah sunnah atau dianjurkan melakukannya menurut ajaran Islam selama pelaksanaannya mengikuti ajaran Islam. Tetapi apabila dalam pelaksanaannya bertentangan dengan syariat Islam seperti memakai pakaian yang membuka aurat dan menimbulkan nafsu seksual serta menimbulkan perbuatan maksiat, maka hukumnya adalah haram.



19



Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Op. Cit hal 17-18



12



Sementara sebagian ulama mempunyai pandangan bahwa hukum olahraga adalah mubah atau dibolehkan, selama pelaksanaannya menurut ajaran Islam, tetapi apabila situasi dan kondisi dari pelaksanaan olahraga itu berubah, maka hukumnya juga berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dari orang yang melakukannya dan pelaksanaan olahraga itu sendiri. Dengan demikian maka hukum olahraga bisa menjadi wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.20 4. Manfaat Panahan Selain erat dengan peradaban Islam, memanah ternyata memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan, baik itu fisik maupun mental. Aktifitas memanah melatih emosi dan fisik untuk menembak anak panah pada target sasaran. Memanah sangat menitik beratkan keseimbangan badan. Maka jika pemanah emosinya tertekan, maka panahnya amat mudah tersasar. Secara tidak langsung, olahraga ini melatih manusia untuk tenang dan menstabilkan emosi. Kepribadian yang tidak tenang, tergesa, pemarah, kurang sabar atau kurang sehat mentalnya tidak akan menjadi pemanah yang baik.21 Perbuatan menarik anak panah di busurnya, kemudian melepaskannya perlu satu kekuatan fisik, olahraga ini juga melatih keseimbangan antara fisik dan mental. Sabda Rasulullah SAW, “Kamu harus belajar memanah kerana memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (Riwayat Bazzar. dan Thabarani dengan sanad yang baik). Dalam buku yang berjudul“Pemeliharaan Kesehatan Dalam Islam” oleh dr. Mahmud Ahmad Najib (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Ain-Syams Mesir), ditegaskan bahwa olahraga sangat berguna bagi kesehatan manusia jika dia mau sehat. Karena dengan berolahraga mampu menyembuhkan penyakit dan membantu manusia menuju kesehatan fisik dan batin. Selain itu juga bisa merilekskan jiwa dan raga kita serta mengeluarkan zat-zat jahat ditubuh dengan jalur keringat-keringat yang keluar dari dalam tubuh.22 20 Arfan Akbar, Olahraga Dalam Perspektif Hadis, Skripsi, Program Studi Tafsir-Hadis, Fakultas Ushuluddin, (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1435 H. / 2014 M 21 Imam As-Suyuthi, Berenang Memanah & Berkuda. Terjemahan Al-bahah fi Fadhlis Sibahah wa Yalihi As-Simah (Solo : Zamzam. 2015) hal. 100-101 22 Ahmad Syauqi al-Fanjari, Nilai Kesehatan Dalam Syari`at Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. I h. 83.



13



Pendidikan sendiri terkait erat dengan pembelaan Islam, yaitu berupa latihan memanah, berenang, menggunakan senjata, menunggang kuda, maupun olahraga lari cepat. Pentingnya kekuatan dan kesehatan fisik itu juga mempunyai dalil-dalil naqli.23 Banyak sekali manfaat olahraga panah yang dapat kamu peroleh dari berbagai macam sisi kehidupan dunia dan akhirat antara lain : 1) Melatih daya fokus Bayangkan saja ketika kita olahraga panahan pasti niat, pikiran kita harus sesuai dengan gerak tangan dan target sasaran dengan demikian tidak heran orang yang sering melakukan olahraga panahan ini memiliki daya fokus yang lebih baik. 2) Membentuk tubuh agar bagus Gerakan tangan kanan menarik tali dan tangan kiri menahan busur, berjalan untuk mengambil anak panah yg menancap, bahkan terkadang mempersiapkan peralatan tidak kalah menguras tenaga mulai dari mengangkat bantalan target memasang tali panah, dll. dapat membentuk tubuh menjadi bagus. 3) Meningkatkan rasa percaya diri Karena dalam panahan memang haruslah memiliki kepercayaan diri yang kuat, disaat melepaskan anak panah kita sudah siap menerima resiko yang akan dituju/disasar oleh anak panah ini. 4) Menambah Ketenangan Memfokuskan diri dengan arah yang dituju atau sasaran memanah, ditambah lagi ada zikir-zikir khusus yang dibaca, Diriwayatkan bahwa ketika Al Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu; cucu pertama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari putrinya Fatimah Radhiyallahu’anha. Ketika menarik tali dan anak panah, ia mengucapkan Bismillah dan setiap ia melepaskan, ia mengatakan Allahuakbar.24 5) Menambah Keberanian Seseorang yang memiliki keahlian memanah tentunya memiliki keberanian yang lebih dibandingkan orang biasa, akan tetapi disinilah ujian yang berat disaat



23



Ahmad Tafsir. 2000. et all, Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.. hal. 42 24Kang Roy. Doa yang Diucapkan Saat Menarik dan Melepaskan Anak Panah Posted By: 07.39 1 Comment



14



yang sama seorang ahli panah harus lebih bisa menahan ego dirinya, yang merasa superior dibanding orang lain, dan lebih mengutamakan untuk menjauhkan/menahan diri dari melakukan larangan-larangan Allah, Agama dan Negara, kemudian barulah melaksanakan sunnah nabi Muhammad SAW.



6) Membuat Jantung Sehat Memanah atau berlatih panah memang lebih menyenangkan jika bersamasama dengan kelompok, dikarenakan adanya jamaah bisa membuat perbandingan kemampuan, tehnik yang beragam dan sesungguhnya sudah menjadi fitrah seorang laki-laki ingin lebih unggul dari yang lain. Sehingga membuat jantung terpacu dengan baik, dalam atmosfer berlomba untuk taat dan taqwa pada Allah / Ta’awun ’ala Birri wa Taqwa. 7) Menambah Kecerdasan Hal ini disebabkan seseorang yang rajin berolah raga panahan akan berpikir lebih, dengan melatih otak untuk terus berpikir, tentang biaya perlengkapan panah, prestasi, kemampuan, dll. maka anda akan menambah kecerdasan pada otak. 8) Menambah daya tahan tubuh. Membiasakan diri dengan olahraga panah membuat ketahan tubuh meningkat akan tetapi harus istiqomah, dan menjauhi larangan-larangan agama. 9) Melatih Berfikir Positif Melatih berpikir positif bahwa anda akan mengenai sasaran. Sehingga dengan melakukan olahraga panah dapat melatih anda untuk berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari. 10) Olahraga sosial Interaksi sosial di dalam olahraga ini juga sangat baik, mulai dari belajar teknik sampai pada jual beli peralatan panah yang bisa membangun perekonomian. Itulah sepuluh manfaat yang didapatkan dari latihan memanah sebenarnya masih baanyak manfaat memanah yang belum terjelaskan dengan baik dan juga belum termasuk di makalah ini, akan tetapi seiring berjalannya waktu yang digunakan secara istiqomah/continue untuk menggali manfaat panahan maka teoriteori baru pun akan muncul ke permukaan.



15



Menurut Ahmad Tafsir, Insan Kamil (manusia sempurna) menurut Islam tidak mungkin di luar hakikatnya. Unsur-unsur pembentukkan atau ciri manusia sempurna menurut Islam.25 1) Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan Islam mengidealkan muslim yang sehat serta kuat jasmaninya. Dalam penegakan ajaran Islam, terutama pada masa penyiarannya, dalam sejarah tidak jarang ditemukan rintangan yang pada akhirnya memerlukan kekuatan dan kesehatan fisik (jasmani). Kadangkala kekuatan dan kesehatan diperlukan untuk berperang menegakkan ajaran Islam. Pendidikan sendiri terkait erat dengan pembelaan Islam, yaitu berupa latihan memanah, berenang, menggunakan senjata, menunggang kuda, maupun olahraga lari cepat. Pentingnya kekuatan dan kesehatan fisik itu juga mempunyai dalil-dalil naqli.26



25 26



Ahmad Tafsir. 2000. et all, Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah. Hal. 41 Ibid. hal. 42



16



5. Teknik memanah. Panahan adalah olahraga sunah yang dapat dinikmati oleh hampir semua orang. Dewasa, anak-anak dan wanita bahkan warga lanjut usia bisa memanah dan bersenang-senang menikmati manfaat yang ditawarkan dari olahraga memanah. hobi yang sangat memuaskan, memanah adalah pilihan yang cocok. 27 Teknik olahraga panahan modern dan traditional pada dasarnya sama yaitu melepaskan anak panah melalui lintasan tertentu menuju sasaran pada jarak tertentu. Tekhnik Panahan Modern antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Sikap Berdiri (stand) Memasang Ekor Panah (nocking) Mengangkat Lengan Busur (extend) Menarik Tali Busur (drawing) Menjangkarkan Lengan Penarik (anchoring) Menahan Sikap Panahan (tighten) Membidik (Aiming) Melepas Tali/Panah (release) Menahan Sikap Panahan (after hold) Dalam



berbagai



kitab



panahan



peradaban



Islam



yang



umumnya



menggunakan Bahasa Arab dan bahasa Inggris pada buku teknik panah traditional antara lain : 1. Menggenggam gagang busur dengan tangan kiri - Qobdhoh 2. Mengepalkan tangan kanan dalam teknik thumbdraw - Qoflah atau Mengunci tali busur - Aqd 3. Mengaitkan anak panah ke tali busur - Tafwiq 4. Membidik sasaran - I'timad atau Melihat - Nadzor 5. Menarik busur - Mad 6. Melepaskan anak panah - Iflat atau Membebaskan - Ithlaq 7. Gerakan ikutan - Fathah 8. Cara berdiri - Intishob 9. Memasang tali busur – Iytar.28



27 https://www.islampos.com/ini-manfaat-memanah-olahraga-yang-dianjurkan-rasulullah-41339/ diakses pada : 16-11-2018 28 Irvan Pani Abu Aqilah, Ketua KPBI (Komunitas Panahan Berkuda Indonesia)



17



Dikutip dari Kitab Kidung Suryanengprang. Tersusun dalam tembang, ditulis dalam Aksara Arab Pegon. Adapun Pangeran Suryanengprang adalah Panglima Pasukan Bulkiya dalam Perang Diponegoro 1825-1830 SAPTA DONGA PAMUJI (Tujuh Doa Permohonan Sang Pemanah) Tembang: MASKUMAMBANG I.



Solahira kapurwakan Bismillaahi Sukunira pasang Intisob basa Ngarabi Pinangka donga pambuka. Artinya Segala gerakmu dimulai dengan "Bismillaah" Kakimu dalam posisi kuda-kuda Intishab Bahasa Arabnya Sebagai doa pembuka. II. Tafwik panyanthel lan akoding pangunci Kanthi masyaallaah Jer mahluk namung sak dermi Tinitah ing Arca Pada. Artinya Tafwiq menautkan anak panah dan 'aqad menguncinya Dengan ucapan "Masyaallaah" Sebab tiap makhluq memang hanya dititahkan mengabdi di alam dunia. III. Hangrapal Laa Quwwata illaa billaahi Ing pamenthangira Daya kawijayan iki Allah ingkang kagungan. Artinya Melafalkan "Laa quwwata illaa billah" Pada rentangan busurmu Segala daya dan kekuatan ini Allah lah Pemiliknya. IV. Tinoning i'timad Allahumma Sadid Tumameng tujonnya Syarat rukuning jemparing Kang kajiwa kasalira. Artinya Menatap penuh i'timad, "Allaahumma Saddid" Ya Allah tepatkan ke arah tujuannya Syarat dan rukunnya memanah Yang terhayati sepenuhnya V. Kalamun hanglepas sira ing jemparing Ya Haq panyuwunira Ya Allah Kang Maha Asih Nglampahake panahira. Artinya Jika kaulepaskan anak panahmu "Yaa Haq", jadilah doa permohonanmu Ya Allah Yang Maha Pengasih Yang memperjalankan panahmu. VI. Allahu Akbar tumameng tujoneki Allah kang kawasa Jaya kasor wus pinasthi Wenangira mung ndedonga. Artinya "Allaahu Akbar" ketika panahmu mengenai sasaran Allah Yang Maha Kuasa Menang ataupun kalah sudah tertakdir Kemampuan kita hanyalah berdoa. VII. Matura sira hadza min fadli rabbi Yen mumtaz tumama Ing taman tujon jemparing Pujaning satriya tama. Artinya Ucapkanlah "Hadza min fadhli Rabbi.. Ini semata karunia Allah" Jika mumtaz sempurna anak panahmu Mengenai sasaran panahan Inilah doa permohonan ksatria utama.



18



D. Kesimpulan Membangun kekuatan dengan mempelajari panahan, sejarah penggunaannya, beserta manfaat pendidikan memanah menjadi kewajiban bagi seluruh pendidik dan pengajar, bahkan sebenarnya juga merupakan kewajiban Negara, oleh karena itu harapan penulis bahwa kuantitas latihan panah ini harus lebih ditingkatkan lagi dan kualitas pelaksanaanya masih perlu perbaikan seperti masih banyak perempuan yang ikut memanah padahal dalam hadits seharusnya wanita menenun/menjahit dan lakilaki yang memanah : “Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Qadli, telah mengabarkan kepada kami Abu Ja`far Muhammad bin Ali’Athar, mengabarkan kepada kami Ayahku, meriwayatkan kepada kami Qais dari Lais dari Mujahid dari Ibn Umar berkata: bersabda Rasulullah :“Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menenun bagi anak perempuan.” (HR Imam al-Baihaqi).29 Ada hubungan dinamis antara busur dan manusia, hubungan ini tidak bisa dipisahkan semenjak keberadaan manusia pertama di muka bumi ini, Sepanjang sejarah peradaban Islam, tersebutlah berbagai nama dari kalangan alim ulama paska generasi sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in yang terkenal atas skill dan pengetahuannya yang luas di bidang Furussiyah terutama ilmu panahan Perbuatan menarik anak panah di busurnya, kemudian melepaskannya perlu satu kekuatan fisik, olahraga ini juga melatih keseimbangan antara fisik dan mental. dengan berolahraga mampu menyembuhkan penyakit dan membantu manusia menuju kesehatan jiwa dan raga.



29 Abu Bakar bin Husain al-Baihaqi, Syu’bal Iman al-Baihaqi, Bab fi Huquqi wal Auladina wa Ahlina wa Hiya Qiyam, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1989), juz VI, Cet. I, hadis 8664, h. 401.



19



E. Daftar Pustaka Abu Fatiah Al-Adnani, Nubuwat Perang Akhir Zaman (Al-Malhamah Al-Kubra). (Surakarta : Granada Mediatama 2017) Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, (Jakarta: Insani Press, 2001) Dr. Anung ai Hamat, Lc., M.Pd.I. Tarbiyah Jihadiyah Imam Bukhari, (Ummul Quro, Jakarta. 2016) Ellysa Okky Gusma, Reni Widyantari, Yanuar Adi Sanjaya, Tugas Olahraga Panahan, (D IV Fisioterapi, Jurusan Fisioterapi, Poltekkes Kemenkes : Surakarta 2012) https://www.facebook.com/search/top/?q=Pemanah%20Warisan%20N.%20Sembila n%20-%20Pewaris%20ismail. https://www.islampos.com/ini-manfaat-memanah-olahraga-yang-dianjurkanrasulullah-41339/ http://wirapendang.blogspot.com/2011/04/dakwaan-ada-kubur-sahabat-nabidi_13.html https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/10/19/nwgu9i313alasan-panahan-tempati-posisi-istimewa dalam-islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Furusiyah Muhammadiyah disadur oleh Qori Afrizan Al-Khered. Teknik Memanah Dalam Islam (Solo : Al-Wafi Publishing 2018) Imam As-Suyuthi, Berenang Memanah & Berkuda. Terjemahan Al-bahah fi Fadhlis Sibahah wa Yalihi As-Simah (Solo : Zamzam. 2015) Irvan Pani Abu Aqilah, Ketua KPBI (Komunitas Panahan Berkuda Indonesia) Kang Roy. Doa yang Diucapkan Saat Menarik dan Melepaskan Anak Panah Posted By: 07.39 1 Comment



20



Analisis hadist tentang panah yg tidak mengenai sasaran tetap mendapat pahala dikarenakan mengarahkan anak panah kea rah musuh itu teLAH TERHITUNG PAHALA, KAREANA JIKA ADA SERARUS ORANG PEMANAH YG MEMBIDIK 1 SASARAN MUSUH PASTILAH POTENSI TERKENA PUN BESAR. LIHAT JUGA HADITS TENTANG IKUTI ULAMA YG DIBIDIK ANAK PANAH?



21



http://www.turkishculture.org/military/arms/archery/archery-part-i-748.htm?type=1 TURKISH TRADITIONAL ARCHERY PART I Part 1: History, Disciplines, Institutions, Mystic Aspects Murat Özveri, DDS, PhD



Turkish traditional archery’s roots go back to the first millennium B.C. to Scythian, Hun and other early Asian archery tradition. The horseback archers of Central Asian steppes have used very similar archery tackle and fighting strategies throughout entire history and the nomadic life style avoids making a clear, distinctive categorization of the tribes and nations. These nations have lived on the same geography, shared many values and influenced each other’s religion, language, tradition and undoubtly genetic code. In the complex ethnic genetic pool of Central Asia the historians try to find their ways in chasing different linguistic tracks which however is not a reliable argument neither. There is a common culture consisting of social life, religious beliefs, accommodation, art as well as hunting and fighting techniques. Numerous civilizations appeared and disappeared from the history scene throughout centuries and left this common culture and archery school. No need to tell about the fact that history has been used (or misused) by various political foci and the truth was sometimes distorted by historians. Although the ethnic continuity is questionable, the Asian archery tradition passed to Avars, Magyars, Mongols, Seljuk and Ottoman Turks with a gradual development in the tackle. Compromising with the official historiography, the word “Turk” was first used in Chinese sources in early 6th century for a Turkish nation called “Blue Turk Empire” (Kökturks). Recently a new term, “Turkic” appeared to describe Turk-related tribes or pieces of the Central Asian culture. Although it’s not easy to follow the specific tracks back to Blue Turks, Ottoman archery is very well documented. The high level it reached, especially in flight shooting is the reason that western world knows and admires the Turkish archery. Turkish traditional archery can be examined in three time intervals: 1. Archery of pre-Islamic Turkish and Turkic tribes 2. Archery of Turks of Early Islamic era 3. Turkish Archery in the Islamic time frame Archery of pre-Islamic Turkish and Turkic tribes



22



Although the pre-Islamic Turkish archery has not been very well documented, the archaeological excavations made by the former USSR scientists illuminated many dark spots. Additional information sources are old pictures, reliefs and sculptures. According to Gumilöv1 the sculptures in the collection of Hermitage Museum describes the typical Turkish mounted archers. The tails of the horses are knotted -a tradition that reaches to Ottomans- the styles of the clothing and saddles indicate the use of bow and arrow on horseback. For the early-Islamic phase of Turkish archery, there are 9th century Arabic texts in which the archery skills of partially Islamized Turks are well described2. The skills of horseback archers, especially their ability to hit moving targets from on horseback are explained in detail. The most important source available that includes many details about this stage is “The Book of Dede Korkut”3. This book that is sometimes called as “The Turkish Iliad” contains epic stories, probably written in 12th century but has its roots in hundreds of years before. Other than the linguistic character of the text, social life and beliefs exhibited in the stories indicate a “passing phase” rather than an established Islamic life. Many authors agree that the Islamic motifs have been put later into the stories. In The Book of Dede Korkut it’s possible to find indicators about how important bow and arrow have been in the nomadic life of Turks. As an example of shamanistceremonial use of bow and arrow it is remarkable that the groom was releasing an arrow and building his first night’s yurt to the spot where the arrow landed. You’ll even come across to indicators of recreational aspects of archery! In a wedding scene the groomer and his friends were competing in hitting a small target with bow and arrow, the target being a ring of the groom. Another point which should be noted is the importance of women as warriors in the pre-Islamic nomadic life as it’s also told in Marco Polo’s travel reports4. In the Book of Dede Korkut this truth is expressed in one of the stories: A character named Bamsi Beyrek lists the requirements he was looking for at the girl he’d be married. Besides many other martial skills, he expected her to be capable of drawing two bows at once. There are often referrals to the “heavy bows” of the heros in order to appreciate their physical strength and to honour them. Adopting Islam has been a result of the 300 years of commercial, social, religious and cultural interactions between the Islamic armies and the north-neighbouring Turks in the region called “Maveraünnehir”. This interaction ended up with a change 23



of religion and alphabet of Turks5. Turks must have noticed and admired that their new religion gives importance to archery, a martial art that already had great importance in their lifestyle. Additional to a verse in Quran there are forty Hadis in which people are encouraged to practice archery6. Seljuks have opened the doors of Anatolia to Turks. It was the skill of Seljuk mounted archers that brought them to their destiny. The historians of that era described them as an highly effective, moving force with the long-ranged weaponry. They were hesitating to “impact” the enemy and to get into close quarter fighting. What they preferred was a lightning-fast “attack and retreat” strategy based on horseback archery skills. Their shorter recurved bows were easier to handle on horseback and gave the warriors great flexibility.



Picture 1: Another document from Seljuks is a coin produced during Sultan Rukneddin’s (Kılıçarslan IV) reign. Please note the Turkish and Islamic name of the Sultan: another sign for the “passing phase”. Here you see a short recurve and two more arrows in the string hand, the latter indicates the use of thumb release by Seljuk archers. It’s documented that each warrior was carrying about 100 arrows in the quiver, in the bowcase and even in the boots. The consequences were reported in a battle against I. Crusade army: The knights had to stand a 3 hours of uninterrupted arrow attack7. The best documented stage of Turkish archery however is the Ottoman Archery. This empire that was supposedly founded in 1299 by an insignificant tribal leader, Osman Bey, has ended the Roman Empire and ruled on three continents. In Ottomans, archery was practiced with its various disciplines at an institutional level. The prevails of this institutionalization were the “Okmeidan” (literally means “Place of Arrow”) and the “tekke”8 where archery as a sport has been taught and practised since the beginning of 15th century. Despite the Anglo-Saxon literature claiming that the sports archery begun with the foundation of “The Guild of Saint



24



George” with the order of Henry VIII, Ottoman archery is supposed to be the first sportive archery in the history and had its institutions a hundred year before. The first Okmeidan was established in Edirne, the second capital city of the empire prior to Istanbul. It’s followed by numerous others and the most famous one was the Istanbul Okmeidan, founded by Sultan Mehmed II, just after he conquered the city. The property was bought by the Sultan himself from the owners in a price that was twice of its cost. The Sultan gifted this place to archers, made them build the “tekye-i rumât” (lit. “tekke of shooters”) on it. The expanses of this archery resort was being reimbursed by foundations. The tekke was respected as a holy place and protected by law. It’s worth to note that systematic para-martial archery training was being given long before the firearms gained prominence on the battle field. Flight shooting, the less war-related discipline, has always been popular although its popularity increased after the development of firearms in 17th century. Among the archery disciplines the two major ones were target shooting and flight shooting. The target archery can also be sub classified into three categories: puta shooting, darb (piercing) and horseback shooting. Puta shooting was shooting arrows to specific leather targets called “puta”, from 165 to 250 m distance. Puta was a pear-shaped, flat leather pillow filled with cotton seed and sawdust. There were colored signs serving as a bull’s eye on the face and little bells were attached on the skirt to provide a sound signal of the hitting arrow. A sample in the collection of Military Museum in Istanbul reveals the puta’s size: 107 cm X 77 cm. That distance is supposed to be the optimal distance in which the archers made aimed shots at the enemy. Sometimes large baskets were used for the same purpose and were called “puta basket”. Smaller stationary and “hand-held putas” were used as well but shot from closer distances.



25



Picture 2: Sultan Selim II (1512-1520) praticing on a hand-held puta or “ayna” (Hünernâme, 16th cent. Library of Topkapi Palace Museum). Another variation of target archery practice was called “darb” and was based on piercing hard objects. It was a war-related practice for acquiring the skill to pierce the armour of the enemy. The armour piercing capability of the composite bow has always been discussed, especially if it comes to the plate armours of late medieval and early modern times. Euro-centric historiography has always had the tendency of highlighting the military success of English Longbow in Hundred Years Wars. The military success of the step civilizations with the composite bow has somehow been ignored while their defeats were exaggerated. However the claim that the armour piercing capability of the composite bow is weak, is only a myth. This truth was noticed first by Romans and Sassanids. When Huns invaded these two empires in the 5th century, both the Persian and the Roman armies had heavy cavalry with plate armor (clibanarius and cataphractos). Romans’ infantry had even two layered chain mail and heavy oak shields as personal protection. Both states realized that the Huns have had no problem in piercing their armours. This has been achieved by the Siyah-tipped Hun’s bows9. And the effect of Turkish bow, the ultimate Asian composite bow, has been perhaps most fully witnessed by the Habsburgs. Field Marshal Monteccucoli in his memoirs; along with Graf Marsigli whom’s detailed report about the Ottoman army in 1682, advised to the Habsburg army to be careful about the Ottoman archery because the Turkish arrows were able to easily pierce Austrian Curiassiers’ plate armor10. 26



Picture 3a, 3b: A typical leather puta with the bull’s eye and little bells (left). A smaller, stationary target with a beautifully carved, decorated wooden base and metal bull’s eye (right) (Military Museum, İstanbul).



Picture 4a, 4b: Samples of darb targets are on exhibition the Military Museum in Istanbul (Photograph: Z. Metin Ataş). Shooting targets from on horseback was another target discipline and mounted archery has been very popular between 14th and 17th century. The most popular application of horseback archery was the so-called “qabak game”. There were even special fields for this game. Although “qabak” is a vegetable, many other objects like cups, balls etc. were used as target. The target was put on the top of a tall column that the archer was approaching with full speed to. He was passing the column, turning back and shooting the target. Qabak game was not only a war-related practice but also an occasion for demonstrating skill and for entertainment.



27



Picture 5: In this miniature Murad II is shown playing Qabak game in front of foreign envoys (Hünernâme, 16th century, Library of Topkapi Palace Museum). The other main discipline of Ottoman archery, flight shooting, has been the reason of the interest of western world in Turkish archery. Flight shooting is very far away of being a war-related discipline and is a pure sport in any means. In my opinion there have been three milestones at which the attention of western world was attracted. In 1795, a Turkish consulate in England named Mahmud Efendi have shot three flight arrows when he was hosted by the members of Toxophilite Society. The distances were carefully measured and the longest one was surprisingly found to be around 440 m which was ca. 100 m further than the maximum range ever reached with an English longbow. Besides, Mahmud Efendi told that he was not in good condition, neither was his bow and after all he was just an amateur11. He really meant it as it will be seen later in this article. Secondly, the book Telhis-i Resail-ü’r Rumât written by Mustafa Kani Efendi in 19th century has been translated to German by Joachim Hein and published. Dr. Paul E. Klopsteg wrote his famous book “Turkish Archery and the Composite Bow” in 1930’s that was based on this translation. Telhis-i Resail-ü’r Rumât was written by Mustafa Kani bin Mehmed with the order of Sultan Mahmud II who was also an excellent archer. The book was introduced to the sultan as a handwritten text and published a few years later, in 1847 in Istanbul. This book consists of detailed information and even illustrations about archery, bowyery and arrow making. 28



If we’d have a look at some specifications of Turkish archery which differ it from other styles and traditions, we would see a “Top 7 list: 1-The first sportive and recreational archery known in the history. Many Okmeidan were founded in the early 15th century. The first Okmeidans were founded in the early 15th century in Edirne and Bursa. The Okmeidan of Istanbul was a foundation of Sultan (Fatih) Mehmed II in 1453 just after the city was conquered.



Picture 6: Carl Gustav Löwenhilm was on duty in Istanbul as an envoy in early 1820’s. This is an illustration he made. 2- The institutions called “tekke” served as a place where systematic archery education has been provided. The acceptance and graduation of the student was being conducted by rules under a ceremonial format. “Tekke” literally means the institution where dervishes live and are educated according to Sufism (Islam mysticism) knowledge. Another meaning is the place/institution where sports like wrestling or archery are being taught and trained. They were very similar to today’s sports clubs.



29



Picture 7: This picture represents the tekke as it was illustrated by Halim Baki Kunter in 1938 according to the descriptions in the old scripts (Eski Türk Sporları Üzerine Araştırmalar, 1938). Kunter was one of the most important archery researchers of republic era. The archaeologicalexcavation started last year resulted in finding the base of all these buildings except that of the toilettes. It confirms the results of Kunter’s work. The beginning and end of the basic archery education used to be celebrated and declared with ceremonies. The acceptance of the student was formalized with the “Little Qabza Taking Ceremony” and then graduation was formalized with the “Big Qabza Taking Ceremony”12. The declaration of the student’s proficiency was possible only when he could shoot a pishrev arrow13 to 900 gez (594 m) or an azmayish arrow14 to 800 gez (528 m). This particular shot must have been witnessed by a minimum of 4 persons, two being at the shooting spot and two at the spot the arrow landed. After then the archer was recorded to the Tekke’s Registration Book and accepted to be proficient. One of these books remains until today. In the Big Qabza Taking Ceremony, the “master” was dropping a bow (-grip) into the hands of the brand-new kemankeş15 (pronounced cam-un-cash), symbolizing the transfer of archery knowledge and tradition from one generation to the next one. 3- There were moral and mystic aspects of the education. Okmeidan and tekke were accepted to be holy places and were highly respected. The Islamic personal cleaning ritual called “abdest” which is a must prior to daily praying was performed before entering the Okmeidan as if this place was a temple. Although there was obvious discrimination among the social layers of Ottoman 30



Empire, in Okmeidan all archers were accepted to be equitant like in any temple. Even viziers and sultans were competing under the same circumstances and rules. Another example for the mystic aspects of the education and application was the “Ya Hakk!” shouting of flight shooters which means “Hey God!”. This seems to be similar to the so-called “kiai” in Japanese martial arts and it makes sense to believe that they both have the same purpose. The interesting symbolism in bow morphology is another point in the archery-related mysticism. The upper limb was symbolizing the “good” or “holy” while the lower limb stands for “evil”. The grip –qabza- was accepted to bind these two polar tendencies of the universe and of the man himself. The middle of the grip where a small piece of ivory or bone plate (chelik) is inserted was the symbol of the so-called “vahdet-i vücûd”, a Sufi term meaning the common identity of all universe and creatures; a projection of God. The symbolic importance of qabza makes the bow a ceremony object whereupon in the “Big Qabza Taking Ceremony” it was also symbolizing the transfer of the knowledge to the next generation. The graduation of the student was declared and celebrated by giving a bow to the hands of the new kemankeş. Because of this symbolic relation all the archers used to start and finish their daily practice with the ceremonial kissing of their bow grips. 4- Turks developed the “ultimate bow” of Central Asian school. Ottoman bows are reflex and recurved composite bows like the other bows of Central Asian origin. Made of wood (mainly of acer species), sinew, horn and glue this bow is the shortest one among its relatives and is measured only 41 to 44 inches. With this length it can only be compared with the Korean bow. Its efficiency is high with both heavy and light arrows16 which gives the Ottoman flight bow the greatest cast ever known. Making such a bow requires high skill and patience. Because of the long time required for the organic materials to dry it took 1 to 3 years to make a bow.



31



Picture 8: The profile and the cross-sections of the Turkish bow (Courtesy of Dr. Mustafa Kaçar). 5- Pure sportive disciplines like flight shooting did exist and was performed long before the firearms gained prominence and made bow and arrow become sports tackle. The archery-related civil institutions like Okmeidan and tekke were established in the beginning of 15th century. Other than the training facilities tekke used to offer many social opportunities like dormitory, food court, library and meeting room. With these opportunities it had an identity similar to that of a modern sports club. Flight archery which is the less war-related discipline has always been very popular while bow and arrow were still in use on battlefields. “Kemankeş” or graduated archers used to train hard and regularly like the elite professional athletes of modern times. It’s known that the best ones have been reimbursed or sponsored by the Palace. 6- Distances of over 800 m have been reached in flight archery. The flight records are very well-documented. According to Islamic rules the record was only valid when the shot had been witnessed by a minimum of four persons. Each shooting range or “menzil” was indicated by two stones, one “foot stone” erected at the spot where the archer stands and a “main stone” for indicating the direction of the shot. In any attempt these witnesses who were employees of the Okmeidan had to be present. The distances achieved were not only recorded to 32



Tekke’s Registration Book but monumental stones were also erected for the remembrance and declaration of them. 



Tozkoparan Iskender 1281.5 gez (845,79 m)







Mîr-i Alem Ahmed Ağa 1271,5 gez (839,18 m)







Bursalı Şûca 1243,5 gez (820,71 m)







Tozkoparan Iskender 1279 gez (844,14 m)







Parpol Hüseyin Efendi 1207 gez (796,62 m)







Çullu Ferruh 1223 gez (807,18 m)







Lenduha Cafer 1209,5 gez (798,27 m)







Sultan II. Mahmud 1228 gez (810,48 m), 1225 gez (808,5 m), 1219 gez (804,54 m)



Box: Some 800+ m shots achieved by Turkish kemankeş. 7- Monumental Stones, each being documentation and a piece of art have been erected as the remembrance and declaration of these records. The monumental stones were called menzil stones (pronounced. men-zeel). Each of these stones had a carved poetic text which contained the archer’s name, the distance achieved and the date of the record. The date was recorded in a specific manner by using “ebced”17. Therefore these texts have been exceptional examples of Turkish calligraphy and poetry.



33



Picture 9: The stone for a record shot of Sultan Mahmud II. The photograph was taken in 19th century (Courtesy of Prof. Dr. Atilla Bir and Dr. Mustafa Kaçar).



Picture 10: This is a picture of the menzil Stone of Beşir Aga, erected for the remembrance of his 630 m shot. What makes this photograph more important is that the person on the right is Dr. Paul Ernest Klopsteg at his visit to Istanbul in 1930 (Courtesy of Prof. Dr. Atilla Bir and Dr. Mustafa Kaçar).



Picture 11: This is the stone of the brilliant record of Iskender the “Tozkoparan”. The distance is 846 m and the year 1550 (Courtesy of Mr. Şinasi Acar). Unfortunately Turkish archery tradition has somehow come to an end. It probably started with the social, cultural and financial recession of the Ottoman Empire within the last 200 years.



34



In 1914 the Empire got into the I. World War and the army converted the Okmeidan to a military base although any kind of invasion had always been forbidden by sultan’s orders for centuries. In 1925 all the sufic activity was stopped by law. All the tekkes including the ones with the sports club character have been closed. Ataturk, the founder of the new Turkish republic engaged a few man descending from kemankeş families to re-establish the modern Turkish archery. Okspor, the first archery club of Republic era has been founded in 1937 but closed in 1939, just one year after the death of Ataturk. Modern Turkish archery that is based on FITA regulations and modern tackle was established in 1950’s. This school of archery came up to these days.



Picture 12: One of the rare photographs showing the founders of Okspor. A very interesting point is that this pic is indicating a passing phase of rapidly modernizing Turkey. The traditional archery tackle is combined with western clothing (H.B. Kunter, Eski Türk Sporları, 1938). In the recent years our traditional archery started to breath again. The re-birth of the Turkish traditional archery has started with the personal attempts of a few men. Thanks to the old treatises and limited number of enthusiasts around the world, the ancient technique and tackle have been recovered within a short time. Nowadays the number of enthusiasts and practitioners increase rapidly. It won’t be a surprise to see Turkish archers in the near future with their composite bows and thumb rings, competing in traditional archery events. 1



L.N. Gumilöv, Eski Türkler, 1999.



35



El Cahiz, Hilafet Ordusunun Menkıbeleri ve Türklerin Faziletleri (çev. Ruşen Şeşen), 1967. 2



3



A. Schmiede, Kitab-ı Dede Korkut Destanlarının Dresden Nüshası, 2000.



4



K. Koppedrayer, Kay’s Thumbring Book, 2002.



5



S.J. Shaw, Osmanlı İmparatorluğu ve Modern Türkiye, 1. Cilt, 1994



6



Ü. Yücel, Türk Okçuluğu, 1999.



7



C.W.C. Owen, Ok, Balta ve Mancınık Ortaçağda Savaş Sanatı 378-1515, 2002.



The original spelling of the word is “tekye” whereas it’s changed within centuries and being used as “tekke” in today’s Turkish. 8



9



Priscus, Historici Graeci Minores (ed. L. Dinorf), 1870.



10



Raimondo Montecuccoli, Memorie della guerra, 1702; Graf Marsigli, Stato militare dell 'Imperio Ottomanno, 1732. 11 12



P.E. Klopsteg, Turkish Archery and the Composite Bow, 1947, 2nd ed. Qabza means “grip”.



13



pishrev arrow: a flight arrow with barelled shaft, ivory bullet-like point and short, high-profile fletching. 14



azmayish arrow: a flight arrow with bareled shaft, metal bullet-like point and longer, low-profile fletching. kemankeş, pronounced “cam-un-cash” , was used for “archer” and literally means “the bow drawer”; vocable with Persian origin. 15



16



The bow stores some amount of energy when drawn. The efficiency is up to the proportion of energy that is transferred to the arrow when it’s released. Wooden self bows’ efficiencies go up with the increasing weight of the arrow. The composite bows however transfer more energy to lighter arrows. For the non-selective energy transferring capability of Turkish composite bows please look at Mr. Adam Karpowicz’s article at: www.atarn.org/islamic/Performance/Performance_of_Turkish_bows.htm 17



Ebced: Each Arabic letter has a numeric correspondent which enabled the poets to date events with the poems they wrote. Even official historians in Eastern cultures used this method to record important historical events i.e. wars, military victories, birth of princes, etc. 36



37