Pancasila Sebagai Etika Politik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Pancasila adalah dasar negara sekaligus pandangan hidup bagi setiap masyarakat Indonesia tidak peduli pemerintah atau rakyat jelata sekalipun. Dasar berarti material pembangun fundamental dimana segala hal atau kebijaksanaan dalam pemerintahan harus selalu merujuk kepada Pancasila guna menciptakan fundamental yang kuat. Namun, sayangnya akhir-akhir ini banyak sekali oknum yang mengabaikan nilainilai luhur Pancasila. Maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan bukti bahwasanya banyak masyarakat Indonesia yang telah jauh menyimpang dari Pancasila. Tanda tanya besar, mengapa hal seburuk itu bisa terjadi? Jawabannya adalah disebabkan kurangnya pengetahuan agama sehingga tidak ada kereligiusan yang seperti terkandung dalam Pancasila. Selain itu, minimnya pemahaman nilai, norma dan moral semakin menambah kuantitas penyelewengan nilai-nilai Pancasila. Dalam dunia pemerintahan pun tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang kurang memahami etika perpolitikan. Oleh karena itu, pembuatan karya-karya yang menekankan dalam bidang nilai, norma, moral dan etika politik sangat dibutuhkan. Wujud dari kepedulian agar masyarakat Indonesia memahami lebih jauh Pancasila yang merupakan pandangan hidup mereka adalah dengan mengantarkan karya sederhana ini yang Insya Allah dapat membantu supaya Pancasila senantiasa teraplikasi pada setiap diri masyarakat Indonesia.



1.2



Tujuan Pentingnya penerapan nilai, norma, moral dan etika politik telah membuka mata hati kami sehingga ambisi yang meletup-letup untuk menyusun sebuah karya pun muncul. Berawal dari niat sederhana kemudian melahirkan karya sederhana yang semoga saja dapat membantu saudara-saudara setanah air untuk memahami nilai, norma, moral dan etika politik sehingga dapat mengaplikasikannya.



BAB II PEMBAHASAN PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK 2.1 Pengertian Nilai, Norma dan Moral







Pengertian Nilai Nilai atau “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat nilai (Axiology, Theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk benda abstrak yang artinya “Keberhargaan” (worth) atau kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Franke, 1987:229)[1]. Di dalam Dictionary Of Sosciology and Related Sciences di kemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok (The believed capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri [2]. Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan itulah yang disebut nilai. Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan maka objek yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Artinya, suatu objek baru dikatakan bernilai tertentu apabila ada objek serupa sebagai pembandingnya[3]. Objek di sini dapat berupa sesuatu yang bersifat fisik atau psikis, seperti benda, sikap atau tindakan seseorang.







Pengertian Norma Nilai pada dasarnya bersifat subjektif, sehingga nilai tidak mudah dijadikan panutan prilaku bagi seseorang atau masyarakat. Agar nilai (Sistem nilai) dapat diangkat kepermukaan, maka perlu ada wujud nilai yang lebih kongkret. Kongretisasi dari nilai inilah yang disebut sebagai (menghasilkan) norma. Dapat terjadi bahwa norma tidak hanya mengandung satu nilai saja, tetapi dapat lebih dari satu nilai. Sekalipun demikian tidak ada norma yang tidak mengandung nilai[4]. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, norma adalah penjabaran dari nilai sebagai penuntun perilaku seseorang atau masyarakat. Pengertian lain dari norma adalah petunjuk tingkah laku (perilaku) yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi[5].







Pengertian Moral Istilah moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti norma-norma baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak ataupun kesusilaan manusia. Di dalam bidang filsafat, moral mempersoalkan kesusilaan mengenai ajaran-ajaran yang baik dan buruk. Manusia berkewajiban mempelajari dan mengamalkan



ajaran-ajaran moral tersebut, agar di dalam pergaulan dengan sesama manusia dapat terjalin suatu hubungan yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Jadi bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik[6]. Dapat disimpulkan bahwa moral merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Jadi, moral membicarakan tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar dipandang dari sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian.



2.2 Hubungan Nilai, Norma, dan Moral Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak. Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimenge rti, dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia[7]. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Selanjutnya, nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia [8].



2.3 Etika Politik  Pengertian Etika Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika termasuk kelompok filsafat



praktis. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran -ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987)[9]. Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebijakan yang diwakilkan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak bersusila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia[10].







Pengertian Politik Pengertian “politik” berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981: 8,9)[11].







Etika Politik Setelah penjelasan kedua poin di atas, maka tibalah pada intisari penting, yaitu etika politik. Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak



baik menurut negara serta masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987: 15)[12].



2.4 Hubungan Etika Politik dan Pancasila Dalam kaitannya, pancasila merupakan sumber etika politik itu sendiri. Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), secaraa demokratis (legimitasi demokratis), berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut Penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral relegius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Selain itu dalam pelaksan aan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip legalitas. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu “keadilan” dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila ke V. Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila VI) [13]. Prinsip-prinsip dasar etika politik itu telah jelas terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, Pancasila adalah sumber etika politik yang mesti direalisasikan. Para pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, pelaksana aparat dan penegak hukum harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral yang memang pembentukan dari nilai-nilai serta dikongkretisasi oleh norma.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Sedangkan norma adalah perwujudan kongkrit dari nilai. Nilai dan norma, keduanya berkaitan dengan moral dan etika. Moral merupakan baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila serta etika ialah pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran -ajaran dan pandanganpandangan moral. Etika politik adalah suatu pemikiran kritis tentang moral yang cakupannya kepada legitimasi hukum, legitimasi demokratis, dan legitimasi moral. Ketiga legitimasi ini dimiliki oleh Pancasila dimana Pancasilalah sumber etika politik itu sendiri. Kelima sila masing-masing merupakan prinsip-prinsip etika politik. Masyarakat Indonesia baik pemerintah ataupun rakyat jelata mesti merealisasikannya. Hal yang terpenting dan tidak boleh dilupakan dalam merealisasikannya adalah moral. Tanpa moral maka realisasi kemungkinan akan menyimpang. Oleh karena itu, moral (legitimasinya) sangat berpengaruh sebab moral di bentuk berdasarkan nilai-nilai serta dikongkretisasi oleh norma.



3.2 Kritik dan Saran Dewasa ini, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai Pancasila yang terjadi. Salah satunya adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hampir seluruh instansi pemerintah menderita penyakit keuangan ini. Bahkan instansi pemberantasnya sendiri pun tak lepas dari kasus ini. Tentu saja, realita seperti ini sangatlah memprihatinkan. Penyebabnya tidak lain dikarenakan kurangnya kerelegiusan dan kesadaran hukum. Dalam hal ini etika politik yang bersumber dari Pancasila nyaris dilupakan serta diabaikan. Jikalau saja etika politik benar benar tak berbekas lagi di masyarakat, kita tinggal menunggu saja detik-detik kehancuran Ibu Pertiwi ini. Nau’dzubillah… Untuk mengatasi problema di atas, masyarakat Indonesia hendaknya kembali menyadari nilai-nilai luhur pancasila yang merupakan pandangan hidup dan dasar negara.



Mulai menata kehidupan dengan merujuk Pancasila, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari arti kehidupan dunia yang memang sementara dan ingat bahwa ada kehidupan abadi setelahnya serta memahami hak dan kewajiban yang mesti diambil dan dituntut guna menciptakan akhlak mulia terhadap setiap individu masyarakat Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA Hasan, M. Iqbal, M.M, 2002, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Budiyono, Dr. H. Kabul, M.Si, Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, 2007, penerbit Alfabeta, Bandung. Drs. H. Kaelan, M.S, 2000, Pendidikan Pancasila, penerbit Paradigma, Yogyakarta. Drs. H. Kaelan, M.S, 2001, Pendidikan Pancasila, penerbit Paradigma, Yogyakarta. Drs. H. Kaelan, M.S, 2010, Pendidikan Pancasila, penerbit Paradigma, Yogyakarta.



[1] Budiyono, Dr. H. Kabul, M.Si, 2007, Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia,



hal 69 [2] Ibid, hal 70 [3] Hasan, M. Iqbal, M.M, 2002, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, hal 187 [4] Ibid, hal 194 [5] Ibid [6] Ibid, hal 192 [7] Drs. H. Kaelan, M.S, 2000, Pendidikan Pancasila, hal 179 [8] Budiyono, Dr. H. Kabul, M.Si, 2007, Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, op.cit, hal 75 [9] Drs. H. Kaelan, M.S, 2001, Pendidikan Pancasila, hal 173 [10] Ibid [11] Drs. H. Kaelan, M.S, 2010, Pendidikan Pancasila, hal 95 [12] Ibid [13] Ibid, hal 102



1.



Pengertian Etika



Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi mendasar tentang ajaran-ajaan dan pandangan-pandangan moral. Erika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikat dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut : 1. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. 2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial). 2.



Pancasila dalam Etika Politik



Etika adalah kelompok filsafat praktis yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Pengertian politik berasal dari kata “Politics”, yang memiliki makna bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan. Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau perbuatanperbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya. Filsafat politik adalah seperangkat keyakinan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya, seperti komunisme dan demokrasi. Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjeksebagai pelaku etika



yaitu



manusia.



Oleh



karena



itu,



etika



politik



berkaitan



eratdengan



bidang



pembahasan moral.hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertianmoral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajibanmoral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yangdimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia, walaupun dalam hubungannyadengan masyarakat, bangsa maupun negara etika politik tetap meletakkan dasarfundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politikbahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk



yangberadab dan berbudaya berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsamaupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan: 1. Legitimasi hukum 2. Legitimasi demokratis 3. Legitimasi moral



3.



Pancasila Sebagai Sistem Etika



Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila, maka ketiganya akan memberikan suatu pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Disamping ituh, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat,bangsa, dan negara maka diwujudkan dalam norma-noorma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi: 1. Norma Moral



yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut pandang baik maupun buruk, sopan maupun tidak sopan, susila atau tidak susila. 2. Norma Hukum Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peratran hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dengan demiian, pacasila pada hakikatnya bukan meruakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktsis melainkan suatu sistem nilai-nilai etika merupakan sumber norma.



4.



Pengertian Nilai, Moral dan Norma



Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.



Hierarkhi Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai – nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu : 1. nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak, 2. nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum, 3. nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni, 4. nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci. Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu : 1. nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, 2. nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan, 3. nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut : 4. a. nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia. 5. nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia 6. nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia 7. nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai. Pengertian Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral.



Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi. Nilai Dasar Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari



nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila. Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah. Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral. 5.



Hubungan Nilai, Norma, Dan Moral



Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak. Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.Selanjutnya, nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.



Sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id



PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK



1.1 Pengertian Etika Pada dasarnya filsafat dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitufilsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok yang kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1. Etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia; 2. Etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat. Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini disebut kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsipprinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. 1.2 Pengertian Politik Pengertian politik berasal dari kata politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuanpenentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau decisionsmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih. Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributionsdari sumbersumber yang ada. Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud.



Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.



1.3 Pengertian Nilai Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau “kebaikan” (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Menilai berarti menimbang, membandingkan, suatu kegiatan manusia untk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsureunsur yang ada pada manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, baik, indah dsb. Di dalam nilai terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Bicara tentang nilai, berarti bicara tentang hal yang ideal, bukan hal yang real. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk kerokhanian bidang makna normati, bukan kognotif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian, di antara keduanya, antara das sollen dan das sein, antara yang makna normatif dan kognotif, antara dunia ideal dan dunia real itu saling berhubungan atau saling berkaitan secara erat.. Artinya bahwa das sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna normative harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta. 1.4 Hirarkhi Nilai Penggolongan nilai beraneka ragam dan tergantung sudut pandang. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai tertinggi adalah kenikmatan. Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan : 1. Nilai-nilai kenikmatan, dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita; 2. Nilai-nilai kehidupan, dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum



3. Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun linkungan. Misalnya keindahan, kebenaran dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. 4. Nilai-nilai kerohanian, dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu : Nilai ekonomis (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli) Nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan) Nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan hidup) Nilai sosial (berasal mula dari keuatuahn kepribadian dan sosial yang diinginkan) Nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan) Nilai estetis (nilai keindahan dalam alam dan karya seni) Nilai intelektual (nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran) Nilai keagamaan



Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu : 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan material ragawi manusia. 2. Nilai vital, yaitu segala ssuatu yang berguna bagi manusia untk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas 3. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, nilai kerohanian dapat dibedakan atas empat macam : a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal manusia; b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan manusia c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak manusia d. Nilai religius yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan, atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematis hirarkhis, yang dimulai dari sila Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan. Dalam penjabarannya, nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu : 1. Nilai Dasar



Nilai Dasar atau Dasar Ontologis merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari suatu nilai. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu seperti hakikat Tuhan, hakikat manusia, atau segala sesuatu lainnya. Jikalau nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan, maka nilai tersebut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima (sebab pertama), sehingga segala sesuatu diciptakan Tuhan. Jikalau nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia, maka nilai-nilai tersebut berkaitan dengan hakikat kodrat manusia, sehingga jika nilai dasar hakikat manusia itu dijabarkan dalam konteks hukum maka diistilahkan sebagai hak asasi manusia. 2. Nilai Instrumental Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis/realitas maka nilai dasar tersebut harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental merupakan suatu nilai yang digunakan sebagai pedoman untuk mengukur dan mengarahkan nilai-nilai dasar. Jika nilai instrumental berkaitan dengan tingkah laku manusia, maka akan menjelma menjadi suatu norma moral. Jika nilai instrumental berkaitan dengan suatu organisasi atau negar maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. 3. Nilai Praksis Nilai praksis merupakan penjabaran atau perwujudan dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga secara keseluruhan nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis merupakan suatu sistem yang dalam perwujudannya tidak boleh bertentangan satu sama lain. 1.5 Hubungan Nilai, Norma dan Moral Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia, nilai dijadikan alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak. Nilai berbeda dengan fakta, di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita, keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat konkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikonkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara konkrit. Maka wujud yang lebih konkrit dari nilai itu adalah suatu norma. Terdapat berbagai macam norma, dan norma



hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh sesuatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum. Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Hubungan antara moral dan etika erat sekali dan kadangkala disamakan. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral biasanya merupakan suatu ajaran, wejangan, patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Menurut De Vos, etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan identik dengan pengertian moral, sehingga pada hakikatnya etika sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas. Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri, tetapi tidak demikian halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan pemikiran yang kritis terhadap etika. Terdapat suatu kemungkinan bahwa seseorang mengikuti begitu saja pola-pola moralitas yang ada dalam suatu masyarakat tanpa perlu merefleksikannya secara kritis. Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang ini berada di tangan pihak-pihak yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika jika dibandingkan dengan ajaran moral. Namun dalam etika, seseorang dapat mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut normanorma tertentu. Hal inilah yang merupakan kelebihan etika jika dibandingkan dengan moral. Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma dan moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia. 1.6 Pengertian Etika Politik Etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Pengertian etika politik memiliki makna bermacam macam kegiatan dalam suatu sitem politik atau negara baik menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari suatu sistem, diikuti dengan proses pelaksanaan sistem tersebut sampai dengan pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem itu. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika politik. Pertama, etika politik ditempatkan ke dalam kerangka



filsafat pada umumnya. Kedua, dijelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia. Ketiga, dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap dimensi politis manusia itu. Sejak abad ke-17, filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti: 1.



Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara



2.



Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)



3.



Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)



4.



Kedaulatan rakyat (Rousseau)



5.



Negara hukum demokratis/republican (Kant)



6.



Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)



7.



Keadilan sosial



1.7 Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila Pancasila sebagai etika politik mempunyai lima prinsip yang disusun bukan hanya sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern yaitu: 1. Pluralisme Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. 2. Hak Asasi Manusia Jaminan hak-hak asasi manusia merupakan bukti pengamalan sila kemanusia yang adil dan beradab. Hak-hak asasi manusia baik secara mutlak maupun kontekstual berada dalam pengertian sebagai berikut: a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian negara dan masyarakat, melainkan karena berasal dari Sang Pencipta. b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh Negara modern. Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia: 1. Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum. 2. Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial 3. Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif etnik). 3. Solidaritas Bangsa



(misalnya minoritas-minoritas



Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar: keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. 4. Demokrasi Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideologi, atau sekelompok manusia berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar: 1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas. 2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang). 5. Keadilan Sosial Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua golongan yaitu golongan ke atas yang cenderung individualis dan menguasai sebagian besar roda perekonomian dan golongan ke bawah yang harus berjuang keras walau hanya untuk sekedar bertahan hidup. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat struktural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya



para



pemimpin),



melainkan



dalam



struktur-struktur



politik/ekonomi/sosial/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.



Berdasarkan uraian di atas, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah: kemiskinan, ketidakpedulian, kekerasan sosial dan korupsi.



1.8 Dimensi Manusia Politik 1.8.1 Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualism yang merupakan bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang sifat manusia sebagi manusia sosial. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan oranglain.Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut. 1.8.2 Demensi Politis Kehidupan Manusia Dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini



memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat



menentukan



kekuasaan



masyarakat



hanyalah



yang



mempunyai



kekuasaan



untuk



memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat.



1.9 Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik Sebagai dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan



legitimasi



kekuasaan,



hukum



serta



sebagai



kebijakan



dalam



pelaksanaan



dan



penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukar-balikan letak dan susunannya. Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila. 1.9.1 Ketuhanan Yang Maha Esa



Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Berdasarkan sila pertama Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius melainkan berdasarkan legitimasi hukum dan demokrasi. Walaupun Negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitimasi moral. 1.9.2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila kedua juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama. Manusia merupakan dasar kehidupan dan penyelenggaran negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam penyelenggaraan negara. 1.9.3 Persatuan Indonesia Persatuan berati utuh dan tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Indonesia sebagai negara plural yang memiliki beraneka ragam corak tidak terbantahkan lagi merupakan negara yang rawan konflik. Oleh karenanya diperlukan semangat persatuan sehingga tidak muncul jurang pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain. Dibutuhkan sikap saling menghargai dan menjunjung semangat persatuan demi keuthan negara dan kebaikan besama. Oleh karena itu sila ketiga ini juga berkaitan dengan legitimasi moral. 1.9.4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat. Oleh karena itu rakyat merupakan asal muasal kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis, hal-hal yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki “legitimasi demokratis”. 1.9.5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip “legalitas”. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan



sosial) merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Dalam penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senatiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik Negara, terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau slaah sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian dan tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila. Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat. Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendalakendala, yaitu : Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap dibanding etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa. Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral.