Partai Politik Sebagai Kekuatan Politik Dalam Sistem Demokrasi Di Indonesia Pada Masa Pemerintahan Orde Reformasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARTAI POLITIK SEBAGAI KEKUATAN POLITIK DALAM SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE REFORMASI



Noviana Diyah Larassanti Ilmu Politik 5B 1606016048



Abstrak Dalam konteks pelaksanaan Demokrasi, Partai Politik memiliki fungsi sebagai penyalur aspirasi dan agregasi kepentingan politik yang paling mapan dalam sebuah sistem politik modern. Sifat penting dari partai politik menjadi semakin terlihat manakala dihubungkan dengan kepentingan publik yang perlu didengar oleh pemerintah (pelaksana kekuasaan eksekutif) dan parlemen (pemegang kekuasaan legislatif). Alasan utama dari pentingnya keberadaan partai politik dalam proses demokrasi, khususnya demokrasi tidak langsung adalah karena ruang geografis yang semakin luas dan populasi penduduk yang semakin besar dalam wilayah suatu negara, sehingga dalam situasi tersebut masyarakat tidak mungkin menyalurkan aspirasinya secara langsung. Suatu sistem politik akan dapat berjalan dengan stabil kala pemerintah itu terdiri atas koalisi besar. Jadi, kelompok-kelompok social yang memiliki kekuatan tersebutlah yang memiliki kekuatan politik. Jadi, partai politik merupakan kekuatan politik. Peranan kekuatan politik dalam suatu system politik adalah terutama mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan kebijakan publik yang mengikat masyarakat sehingga keputusan atau kebijakan tersebut menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki potensi tersebut.



Kata kunci : Demokrasi, Partai politik, dan kekuatan politik.



PENDAHULUAN



Era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru merupakan era yang memberikan harapan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Harapan ini wajar, karena selama ini sistem politik yang diterapkan orde baru dinilai tidak kondusif dalam menciptakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, egaliter, memihak masyarakat sipil, membebaskan, dan memberikan ruang gerak bagi warga negara. Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B.J Habibi untuk menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan pancasila sebagai satusatunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985. Ada beberapa prestasi besar yang dicapai gerakan reformasi Indonesia, terutama di bidang politik dan ketatanegaraan. Reformasi ini dilakukan dengan keberhasilan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang selama Orde Baru disakeralkan. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ini telah membuka peluang bagi ditatanya kembali sistem politik ke arah yang lebih demokratis dengan menjunjung supremasi hukum dan kedaulatan rakyat. Reformasi politik 1998 ( Jurnal ilmu hukum volume 2 no 2) yang kemudian diikuti pemilu bebas dan demokratis pada tahun 1999, telah mengubah secara cukup mendasar pola relasi Presiden dan DPR yang ditandai banyaknya partai politik yang berperan dalam struktur ketatanegaraan. Karena itu lah muncul kembali gagasan penyederhanaan partai politik. Upaya penyederhanaan jumlah partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam rangka mendukung



sistem



pemerintahan presidensial



dilakukan yakni melalui



yang



efektif,



penyederhanaan jumlah partai



adapun upaya yang dapat



politik secara



alamiah melalui



electoral threshold, pengetatan terhadap syarat-syarat pendirian partai politik disamping itu juga dengan realitas yang ada saat ini perlu adanya pengaturan yang jelas tentang sistem koalisi. Demokratisasi membutuhkan partai politik untuk membangun sistem kompetisi baru bagi jabatan politis. Karena itu partai politik memiliki peran kunci dalam membangun demokrasi.



Bahkan, kualitas demokrasi bisa diukur dari sejauhmana partai politik betul-betul telah terlembagakan dan menjadi wadah agregasi, artikulasi, rekruitment dan kompetisi meraih jabatan politis. Artikel ini mencoba memotret perjalanan dan pergulatan partai politik dalam kaitannya dengan transisi demokrasi di Indonesia.



A. Partai Politik pada Era Reformasi Partai politik menjadi istrumen penting dalam sistem demokrasi karena motif utama berpolitik ialah untuk mendapatkan kekuasaan yang terlegalisasi. Pasca runtuhnya sistem monarki absolut, kemudian digantikan dengan sistem demokrasi, perebutan kekuasaan dan pemenuhan kepentingan menimbulkan konflik sehingga perlu suatu kelembagaan yang menjadi sarana bagi dua tujuan tersebut, yakni partai politik. Dalam praktiknya di era modern ini, keberadaan partai politik di berbagai negara dengan sistem demokrasi menunjukan peranan krusial untuk tujuan politisnya. Maka partai politik menjelma menjadi sarana penting bagi penyaluran kepentingan rakyat dan perebutan kekuasaan di kalangan elit sekaligus untuk melerai konflik. Keberagaman kepentingan, konflik, dan kekuasaan merupakan tiga hal pokok dalam dunia politik. Kepentingan menjadi beragam karena pada kenyataannya masyarakat pada sutau negara sangatlah beragam. Beragam kepentingan dalam struktur dan interaksi sosial bisa menimbulkan konflik kepentingan. Sedangkan di sisi lain, sistem dan struktur sosial sendiri membutuhkan suatu keteraturan agar tidak menimbulkan kekakacauan. Karena itu, dibutuhkan kekuasaan yang terlegitimasi agar memiliki otoritas dan kewenangan untuk keteraturan sistem dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya. Maka, berpolitik tak lain adalah pertempuran kepentingan. Memperjuangkan kepentingan individu atau kelompok merupakan motivasi utama dalam berpolitik. Pemenang dalam pertarungan kepentingan akan mendapatkan legitimasi untuk berkuasa dan menentukan arah serta kebijakan negara. Secara sederhana partai politik merupakan representition of ideas yang harus ada dalam kehidupan politik modern yang demokrasi. Partai politik sebagai suatu organisasi yang berorientasi pada representation of ideas secara ideal dimaksudkan untuk mewakili kepentingankepentingan warga, memberikan jalan kompromi bagi pendapat/tuntutan yang saling bersaing, serta menyediakan ruang bagi suksesi kepemimpinan politik secara damai dan legitimasi. Dalam sistem demokrasi, untuk mewujudkan kekuasaan itu, kepentingan haruslah terwadahi dalam



sebuah lembaga yang disebut dengan partai politik. Partai politik merupakan perwujudan konkrit dari kepentingan politik yang diperjuangan oleh suatu kelompok masyarakat supaya aspirasi politiknya bisa tersalurkan dan kepentingnya bisa tecapai. Partai politiklah yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi dari masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama itu. Dengan demikian, partai politik adalah institusi yang yang dibutuhkan untuk memfasilitasi kepentingan politik suatu masyarakat masyarakat. Dalam sistem demokrasi pula dikenal sistem pemilihan dan partai politik sebagai kendarannya. Contoh kasus di Indonesia dengan dinamika partai politik telah mengalami pasang surut dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Berbagai sistem kepartaian telah diterapkan sejak negara ini menganut demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, era orde lama, hingga era reformasi. Berbagai landasan asas, ideologi, dan kepentingan telah melahirkan sebuah semangat untuk mendirikan sebuah lembaga atau institusi berupa partai politik. Melalui partai-partai itu, para pendukung dan elit partai (politisi) berkolaborasi untuk meraih kekuasaan demi terwujudnya kepentingan bersama. Memang, sistem kepartaian tidak lepas dengan sistem pemilihan sebab dalam sistem demokrasi suara dari pemilih sangat menentukan keberhasilan atau kemenangan partai partai. Sedangkan suara yang diberikan pemilih melalui partai ataupun elit partai, merupakan sebuah harapan dari perjuangan kepentingannya ketika berhasil menduduki kekuasaan.Tetapi, para elit partai sepertinya hanya berjuang untuk kepentingan pribadi saja tanpa mempertimbangkan rakyat yang menjadi massa pemilihnya. Padahal mereka telah mencari simpati rakyat dengan menyampai visi dan misi yang diejawantahkan dari ideologi dan perjuangan partai itu.



Oleh karena itu, era reformasi muncul sebagai gerakan kolektif dan pelopor perubahanerubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Reformasi yang ditandai lengsernya Soeharto dan naiknya B.J Habibie sebgai presiden, yang didahului dengan gerakan perlajanan dari berbagai elemen masyarakat,terutama mahasiswa dan kaum intelektual perkotaan, hanya merupakan titik awal yang menandaii berakhirnya rezim otoritarian di Indoneesia setelah menjabat



Habibie



mencoba



melakukan



liberalisasi



dan



keterbukaan



politik,



unutk berkomunikasi secara bebas melalui pers serta pembentukan organisasi sosial dan politik secara khusus, liberalisasi dilakukan dengan membuka ruang publik seluas-luasnya dengan kebebasan pers, izin mendirikan partai politik, danorganisasi buruh. Hal ini mengapa hanya fokus pada peran partai golkar saja, hal ini dikarenakan partai golkarlah yang pernah menjabat dalam era pemerintahan reformasi sebagai pemegang kekuasaan disaat Jusuf Kalla menjabat wakil Presiden masa pemerintahan SBY jilid 1 dan Partai Amanat



Naional (PAN) hanya sebagai penguat kekuasaan perpolitikan saja yang tidak pernah menjadi partai penguasa di era reformasi yang pada pelaksanaanya, gerakan reformasi melahirkan UU No2 Tahun 1999, UU No 6 Tahun 1999, dan UU No 7 Tahun 1999 tentang partai politik yang memungkinkan dilaksanakannya pemilu secara bebas, jujur, dan adil. Harapan peran partai sebagai (adalah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat saat kampanye bahwa pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi dalam wujud program yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan sloganslogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan peran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi. Berbagai kebijakan tersebut, pada akhirnya membuka jalan bagi munculnya partai-partai politik baru, menghilangkan monopoli kekuasaaan oleh golkar dan militer, memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pers terhadap penyelenggaraan negara, serta membuka jalan menuju transisi demokrasi yang lebih baik. Partai-partai baru memaksa Golkar sebagai partai pro status quo untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan mereka yang memperoleh dukungan di parlemen. Kekuatan politik lain pun semakin aktif mempengaruhi arah perubahan politik sebagai tuntutan reformasi, salah satunya adalah ditariknya militer dari barak, semakin memperoleh dukungan MP. Terbukti setelah dikeluarkannya UU No 2 tahun 1999 tentang partai politik, partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen kehakiman pun mencapai hingga 141 partai politik. Meskipun jumlah partai yang lolos dengan memenuhi syarat untuk menjadi pesera pemilihan umum hanya 79 partai politik. Bersamaan dengan itu, jumlah media masa saat itu juga ikut meningkat dengan 1.389 media cetak baru, 830.60 televisi, 2000 radio berizin dan 10 ribu radio gelap. Dalam pemilu 1999, sebagai pemilu pertama pasca reformasi, rakyat Indonesia memberikan mandat lebih pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang di gawangi oleh Megawati Soekarno Putri. Megawati menjelma sebagai perwujudan dari wong cilik yang hak-haknya terserabut dari orde baru. Dengan memposisikan diri sebagai orang yang tertindas. Megawati mampu mengangkat PDIP sebagai partai yang mampu mendapat mandat rakyat. Sedangkan pada 2004, Partai golkar dengan paradigma barunya kembali memenangkan pemilu, pasca menjadi partai politik di era reformasi. Analis mengenai kemenangan Partai Golkar menunjukan bahwa selain faktor ketua umum Partai, ada beberapa faktor yang menyebabkan posisi partai Golkar signifikan dalam konstalasi politik Indonesia. Pertama



infrastruktur politik Partai Golkar. Kedua “merek politik” Golkar sudah terlanjur “mengakar”, sehingga sulit bagi yang lain, yakni mereka yang semula kader Golkar mendirikan partai politik sendiri, untuk melakukan klaim politik sebagai “Golkar Sesungguhnya”. Ketiga Partai Golkar diuntungkan oleh kondisi di lapangan, di mana masyarakat banyak yang mengeluh soal merosotnya tingkat sosial-ekonomi mereka. Sebagian masyarakat merindukan “masa lalu” di zaman Golkar, dimana ketika Golkar berkuasa kondisi sosial-ekonomi tidak seburuk sekarang. Menghadapi pemilu 2004, partai Golkar dalam menjaring calon presiden dan wakil presiden dari partai menggelar konvensi politik. Keputusan konvensi yang dilakukan Golkar, menurut Akbar Tandjung adalah kerangka memberikan kesempatan secara terbuka kepada siapa saja, tokoh-tokoh nasional yang terpanggil untuk menjadi calon presiden. Kesempatan tersebut bisa diikuti siapa saja, baik dari lingkungan Partai Golkar maupun luar partai. Menurutnya, konvensi bukan etalase demokrasi, melainkan sungguh-sungguh merupakan cerminan dari keinginan partai Golkar untuk memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan Negara. Ide konvensi ini menyedot dan membetot perhatian kalangan masyarakat dan para akademisi sebagai terobosan demokrasi di Indonesia. Dengan strategi politik yang dilakukan Partai Golkar diatas mampu membawa angin segar partai dalam memenangkan kontestasi politik di pemilu 2004. Pada pemilu 2004, Partai Demokrat sudah mengikuti kontestasi dengan hasilnya yang mengagumkan dengan 8.455.225 suara atau 7,45 persen, maka Partai Demokrat menempati posisi lima besar dan menghantar Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama berdasarkan pilihan rakyat.



B. KEKUATAN POLITIK Menganalisa kekuatan politik indonesia tidak terlepas dari budaya politik yang dimiliki oleh indonesia yang berupa, ketidakjelasan hierarki atau adanya sumber homogen, kecendrungan patronage/klientilistic masa orba, Neo- patrimonialistik sehingga minimnya civil society. Kekuatan politik Indonesia sedikit banyak telah menampakan diri melalui angkatan bersenjata, partai politik,golongan intelektual dan mahasiswa, kelompok pedagang, pengusaha dan profesional, serta kelompok penekan yang baru muncul semenjak dekade XX. Konsep-konsep yang berkaitan dengan kekuatan politik, yakni:1



1



Illiyana, Ummi.2012. Perkembangan Koalisi Parpol di DPRD era Reformasi. Jakarta: tesis pascasarjana Universitas Indonesia







Influence atau pengaruh, yaitu bagimana seseorang mampu mempengaruhi agar orang lain berubah secara sukarela.







Persuasi yaitu cara meyakinkan orang dengan memberikan argumentasi.







Manipulasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain namun yang dipengaruhi tidak menyadari.







Coersion adalah ancaman atau paksaan agar orang lain sesuai dengan kehendak yang punya kekuasaan. Force yaitu tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan. Ini biasanya dilengkapi dengan sejata, sehingga orang lain mengalami ketakutan. Dalam studi



politik



klasik



ataupun



modern,



kekuatan-kekuatan



politik dapat



mengorganisasikan diri dalam berbagai kekuatan politik yang lebihmemungkinkan suatu kekuatan politik untuk berkontestasi dengan kekuatan politik yang lain, baik dalam perebutan sumber ekonomi maupun kekuasaan politik. Pengorganisasian tersebut dapat terewujud dalam civil society, seperti LSM, kelompok studi, dan organisasi kemahasiwaan; political society, seperti parpol, birokrasi, militer, buruh, serta economical society, seperti pemilik modal dan organisasi bisnis, yang semuanya bergantung pada karaktersistik dan modal sosial yang mendukungnya.2 Menganalisis bagaimana kekuatan yang dimiliki partai Golkar Pasca reformasi, memang menjadi salah satu kekuatan politik yang menarik untuk diamati. Demikian pula menjelaskan posisinya menjelang Pilpres Juli 2009. Penjelasan ini, sebetulnya sama menariknya untuk mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan kemerosotan suara dari partai berlambang pohon beringin ini. Bahkan dalam beberapa hal, alasan-alasan tersebut saling melengkapi (komplementatif) dengan pilihan-pilihan berkoalisinya. Beberapa hal yang perludiungkapkan



tentang



magnitude



-nya



Partai



Golkar.



Pertama,



dari



sisi



sejarah perpolitikan di Indonesia. Partai Golkar adalah pewaris utama dari Golongan Karya, sebuah kekuatan politik dominan, yang menjadi mesin politik setia bagi kekuasaan politik orde baru, yang memerintah lebih dari 32 tahun. Jika kita gunakan istilah Donnald K Emerson, golkar adalah penunjang utama sistem One Party Dominant System yang dijalankan penguasa Orde Baru. Jelas, posisi ini amat menguntungkan, karena elekbilitasnya menjadi tinggi. Kedua, kemapanan jaringan dan struktur politik kepartaian. Terkait dengan



2



Muslim Muthfi, 2012. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia hal.16.



panjangnya perjalanan sejarah politik partai ini, maka, ia menjadi salah satu partai yang memiliki jaringan politik yang begitu kuat. Ketiga, kapasitas elit yang merata. hampir dapat dipastikan, tidak ada satu tokoh sentral yang terkesan dikultuskan. Memang ia memiliki tokoh seperti JK Wakil Presiden RI, namun ketokohannya tidak sepopuler dan sekuat Megawati Sukarnoputeri di PDI-P maupun SBY di Partai Demokrat. Dari sisi ketokohan, elit partai yang merata,sejatinya partai ini dapat menjanjikan sebagai partai modern. Keempat, kemampuan adaptasi. Pemilu legislatif 2009, suara partai ini melorot. Ironisnya, hal itu terjadi di saat Sang ketua umum, Jusuf Kalla sedang menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Dapat dikatakan, ada dua alasan mendasar yang menyebabkan melorotnya suara partai ini. Kedua faktor itu adalah faktor internal dan faktor eksternal. Secara sederhana, untuk menggambarkan faktor internal,dapat digunakan dua asumsi. Pertama dari aspek figur Jusuf Kalla (JK) dan kepemimpinannya. Kedua, dapat dikaji dengan menggunakan konsep fungsi-fungsi partai politik. C. Peta Permasalahan Peran Partai Politik di Era Reformasi dan Penguatan Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat



a. Peta Permaalahan Peran Partai Politik Peran sebagai wadah Penyalur Aspirasi Politik Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan. Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye



Pemilu



yang



masih



diwarnai



banyaknya partai



politik



yang



tidak



mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan peran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan



konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masihs angat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompok -kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah dan Negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yang mengarah anarkis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.3 



Peran sebagai Sarana Rekrutmen Politik Pada era reformasi seperti sekarang, sesungguhnya peran partai politik masih sangat



terbatas pada penempatan kader-kader politik pada jabatan-jabatan politik tertentu. Itupun, masih belum mencerminkan kesungguhannya dalam merekrut kader politik yang berkualitas, berdedikasi, dan memiliki loyalitas serta komitmen yang tinggi bagi perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Banyak terjadi fenomena yang cukup ganjil, dimana anggota DPRD di beberapa daerah tidak menjagokan kadernya, tetapi justru memilih kader lain yang belum dikenal dan belum tahu kualitas profesionalismenya, kualitas pribadinya, serta komitmennya terhadap nasib rakyat yang diwakilinya. Proses untuk memenangkan seorang calon pejabat politik tidak berdasarkan pada kepentingan rakyat banyak dan bahkan juga tidak berdasarkan kepentingan partai, tetapi masih lebih diwarnai dengan motivasi untuk kepentingan yang lebih bersifat pribadiatau kelompok. Meskipun tidak semua daerah mengalami hal semacam ini, namun fenomena buruk yang terjadi di era reformasi sangat memprihatinkan, dalam kondisi seperti itu, tentu saja pembinaan, penyiapan, dan seleksi kader-kader politik sangat boleh jadi tidak berjalan secara memadai.4 Partai politik era reformasi lebih fokus pada upaya memperoleh kekuasaan semata, kurang dalam pendidikan politik serta pemenuhah kepentingan rakyat. Menurut jajak pendapat, Kompas 23 Maret 2010; mayoritas responden menyatakan tidak puas atas kinerja parpol, terutama sembilan parpol yang ada di DPR (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Hanura dan Partai Gerindra). Citra negatif terhadap parpol ditengarai terjadinya lantaran ada kesenjangan yang telalu besar antara politisi dan pejabat, 3



Bijah Subijanto. 2000. Penguatan Peran Partai Politik dalam peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat. Dalam Jurnal Naskah. Jakarta: Universitas Pancasila. No.20, Juni-Juli 2000, hal. 3 4 Bijah Subijanto. 2000. Penguatan Peran Partai Politik dalam peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat. Dalam Jurnal Naskah. Jakarta: Universitas Pancasila. No.20, Juni-Juli 2000, hal. 47.



baik legislatif maupun eksekutif dengan masyarakat. Sekalipun anggota parpol yang menjadi anggota legislatif telah terjun ke masyarakat dalam rangka menjaring aspirasi dan memberikan bantuan finansial dalam kegiatan masyarakat, namun parpol kalah bersaing dengan agen-agen demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat melalui organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan sebagainya.5



b. Penguatan Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat Dari analisis bahasan peta permasalahan partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, dihadapkan kepada tuntutan kebutuhan yang tercermin pada prospek peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, menunjukkan bahwa masih terdapat hal yang perlu disempurnakan, direvisi, dan bahkan diperbaharui. Hal ini sejalan dengan sebagian tujuan reformasi dalam mewujudkan kedaulatan rakyat pada seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik rakyat. Partisipasi politik yang otonom pada hakekatnya merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang sahih oleh adanya peningkatan partisipasi politik rakyat. Adapun Program-program Aksi reformasi antara lain:6 Restrukturisasi Partai Politik, dalam pengertian melakukan perubahan dan atau penyesuaian struktur politik yang berkaitan erat dengan peran partai politik, antara lain adalah: a. Partai politik merupakan sarana yang sangat efektif dan bersifat legal dalam mewujudkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. b. UU No 3 Tahun 1999, mengatur tentang pelaksanaan pemilu, yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. c. Dalam pelaksanaan pemilu di masa mendatang perlu lebihdisempurnakan, sehingga dapat dikurangi tingkat kekurangan-kekurangan sehingga dapat terwujud pemilu yang benar-benar bersifat luber dan jurdil. 5



Syahrial Syarbaini. Partai Politik dalam Proses Demokratisasi : Peranan Partai dalam era Reformasi. Dalam Jurnal Forum Ilmiah. Fakultas Hukum Universitas Esa Uunggul, Jakarta. Vol.9 No.1, 2001 6 Ibid. hal.9-11.



d. Jumlah partai politik yang optimal adalah bila mampu mewakili semua aspirasi rakyat namun tidak menimbulkan konflik kepentingan yang makin divergen. Refungsionalisasi, yaitu memfungsikan kembali lembaga negara dan lembaga lembaga politik, serta kemasyarakatan sesuai fungsi dasarnya, termasuk profesionalisme TNI sebagai kekuatan militer yang tangguh dalam melindungi NKRI sebagai satu kesatuan Wilayah darat, laut, dan udara; dimana programaksinya meliputi: Peningkatan peran partai politik dilaksanakan dengan *ara melakukanrefungsionalisasi partai politik agar mampu menyalurkan aspirasirakyat# b#Partai politik selama ini mudah di inter+ensi oleh kekuasaan untuk kepentingan pemerintah danH atau politik tertentu#*#"alam kaitan ini, barangkali akan sangat mendukung perkembangan partai politik ke arah yang lebih otonom, manakala untuk kepentinganoperasionalnya didukung dengan alokasi anggaran melalui AP!N, agar kegiatan partai politik dapat berjalan se*ara fokus dan efektif dandihindari bantuan dari pihak pemerintah atau golongan tertentu untuk kepentingan partai politik tertentu#d#%emua partai politik pada dasarnya merupakan aset negara, bangsa danmasyarakat sehingga mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat# Revitalisasi, yaitu menyusun skala prioritas permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini, mengedepankan dan memprioritaskan persatuandan kesatuan di atas kepentingan yang lain, termasuk ancaman distegrasi. Dalam kaitan ini banyak masalah yang dihadapi namun yang cukup memprihatinkan adalah organisasi partai politik yang ada saat ini di dalam pengelolaannya masih menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan seperti;(1) Motivasi anggota pengurus partai politik masih berorientasi kepada kepentingan pribadi, sedangkan perjuangan partai dan kepentingan pengikutnya sangat rendah. (2) Kualitas pengurus partai politik relatif rendah sehingga mudah ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu. (3) Pemerintah masih banyak turut campur



baik secara langsung



maupun tidak langsung dalam penyelesaian perpecahan yang terjadi dan dalam menentukan kader/calon pemimpin partai politik (pemimpin karbitan). (4) Kekuatan partai politik belum mewujudkan kemandirian yang kuat dan belum mempunyai program yang jelas, realistis dalam mensejahterakan rakyat dan (5) Masih ditemukannya kecemburuan diantara kekuatan partai politik, karena ketidakseimbangan sarana dan peluang untuk mendukung keberhasilan organisasi.



Untuk mencegah terjadinya permasalahan tersebut atau paling tidak meminimalkan intensitas dan frekuensinya perlu dilakukan upaya revitalisasi sebagai berikut: a. Perlu dilakukan seleksi yang ketat dan transparan untuk memilih kepengurusan organisasi serta diakui oleh seluruh anggota, bukan karena rekayasa. b. Perlu diwujudkan kualitas dan kemandirian organisasi, sehingga terhindar adanya intervensi dari pihak lain. c. Terlaksananya konsolidasi organisasi secara bebas tanpa campur tangan pemerintah atau pihak lain yang tidak kompeten, sehingga berkembangan pendewasaan kekuatan partai politik. d. Pemerintah dan negara perlu dan harus berlaku secara adil dan seimbang dalam mendukung keberhasilan organisasi. e. Kemampuan, dedikasi serta loyalitas yang tinggi dalam diri setiap pemimpin organisasi, serta didukung moral dan etika setiap anggota, akan menghindari terjadinya kemelut di dalam organisasi. f. Agar setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin organisasi dapat diterima anggotanya, maka ketauladanan seorang pemimpin merupakan motor penggerak didalam pencapaian tujuan organisasi, dalam arti pola pikir, sikap, dan pola tindak harus dapat menjadi cermin untuk seluruh anggotanya.



D. Partai Golkar dan PAN dalam Peranannya Sebagai Kekuatan Politik Apabila kita amati organisasi - organisasi partai politik yang dalam dewasa ini, beberapa organisasi memiliki ide politik dan prinsip-prinsip yang sama dalam azas Pancasila. Maka bukannya tidak mungkin terjadi merger atau koalisi di hari-hari yang akan datang. Hal itu terjadi terutama apabila tujuan akhir perjuangan adalah ideologi politiknya dan bukannya sekedar kedudukan dan jabatan di lembaga-lembaga pemerintahan belaka.7 Seperti yang telah di jelaskan pada kajian teori, bahwa Peranan kekuatan politik dalam suatu sistem politik adalah terutama mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan/kebijakan publik yang mengikat masyarakat sehingga keputusan /kebijakan tersebut menguntungkan kelompok masyarakat yang



7



Soenarko H Setyadrmojo. Organisasi Partai politik dan Demokrasi. Dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Th XIII, No.1 Januari 2000. Hal. 89.



memiliki power tersebut. Maksud ini bisa berarti mempengaruhi isi keputusan/ kebijakan yang akan diambil dan akan dilaksanakan, dan bisa juga mempengaruhi pembuatan keputusan



yaitu



berusaha



menentang



aktor-aktor



pembuat



mengusulkan aktor-aktor politik sebagai decision maker



keputusan



dengan



baru yang sesuai dengan



kehendak kelompok atau kekuatan politik tadi. Namun pada kenyataan, partai politik sebagai salah satu kekuatan politik tersebut tidak menjalankan peranannya untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan/ kebijakan publik yang mengikat masyarakat sehingga keputusan/ kebijakan tersebut menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki power tersebut. Seperti yang dilakukakn oleh partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) justru hanya mementingkan kepentingan partai politiknya. Bahkan tidak jarang pula terjadi konflik internal dalam partai politik. Problem lain akibat sistem presidensiil yang diikuti dengan sistem multi partai adalah sikap mendua yang selalu diperagakan oleh partai politik dalam koalisi pendukung pemerintah, praktek ketatanegaraan selama pemerintahan SBYBoediono merupakan fakta bahwa sistem presidensiil yang diikuti dengan system multi partai ternyata menjadi persoalan serius bagi presiden yang berkuasa. Seperti contoh misalnya dalam penggunaan hak angket oleh DPR dalam kasuskasus Century yang dalam hasil voting dimenangkan oleh opsi yang menyatakan bahwa dalam kasus bail out terhadap bank century terjadi pelanggaran hukum, hasil voting ini dianggap kekalahan dari partai politik pendukung pemerintah. Dan dianggap sejumlah partai politik pendukung pemerintah melakukan “pengkhinatan” terhadap kontrak politik yang telah disepakati. Kasus lain juga dapat kita lihat dalam hal penggunaan hak angket mafia pajak. Hasil voting angket pajak berakhir dengan skor 264 (setuju) dan 266 (menolak) terhadap penggunaan angket pajak. kegagalan dalam penggunaan hak angket dianggap kemenangan partai pendukung pemerintah, namun kenyataanya meninggalkan sejumlah persoalan karena partai Golkar dan PKS yang merupakan bagian dari partai mitra koalisi pemerintah dianggap melakukan sikap pelanggaran terhadap 11 (sebelas) kesepakatan yang telah disepakati, sebagaimana terucap dalam pidato presiden merespon terbelahnya sikap partai koalisi dalam kasus angket pajak.8



8



Mexsasai Indra. Gagasan Penyederhanaan jumlah parpol dihubungkan dengan system pemerintahan republik Indonesia. Dalam Jurnal Ilmu Hukum. Pekanbary: UIN Press, Vol.2 No.2, 2012)



Kabinet pelangi SBY yang merupakan institusi pembantu presiden banyak diisi oleh orang-orang dari parpol (kader partai). Hal ini memang suatu keniscayaan apabila presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi utama kabinet menjadi bergeser, lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi dan akomodasi dengan partai-partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislative. Menurut beberapa pengamat politik kompromi dan akomodasi itu sendiri di lain sisi mengandung beberapa hal yang kurang menguntungkan. Pertama, dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam politik kompromi keputusan yang dibuat kerap kali berjalan lambat dan tidak responsive. Hal ini terutama tidak saja demikian banyaknya pihak yang harus dilibatkan, tetapi juga mempertimbangkan efek-efek politik yang akan terjadi. Sering dalam situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut. Kedua, keterlibatan banyak partai menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk kepentingan umum dan masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat partai-partai politik. Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalanpersoalan seperti kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah menjadi angin lalu saja. Ketiga, nuansa politik yang lebih diutamakan dalam beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik.9 Partai PAN dan Golkar yang beralih dari yang seharusnya bersikap oposisi dimana lebih menjalankan peranannya sebagai kekuatan politik dalam mempengaruhi keputusan/ kebijakan publik tergiur akan kekuasaan dimana mereka lebih memilih sikap koalisi tanpa memikirkan kepentingan rakyat dimana tujuan partai politrik tersebut di bentuk. Tidak jarang pula seperti partai PAN yang awalnya benar-benar mengkritik dan berusaha untuk mempengaruhi kebijakan Publik, tergiur akan kekuasaan tanpa bermusyawarah dengan anggota partai politiknya sehingga terjadinya gesekan internal partai politik itu sendiri. Demikian juga dengan Partai Golkar, yang berusaha untuk 9



Purwoko.2010. Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia setelah Reformasi. Dalam Jurnal Politika. Vol 1. No.1,



berkoalisi dengan partai pemenang dalam pemilu, mereka berusaha menjadi sahabat dari partai tersebut untuk mendapat jatah pembagian kekuasaan dan bahkan meninggalkan peranannya sebagai partai politik.



DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku: Anwat, M. Khoirul dan Vina Salviana DS. 2004. Perilaku Partai Politik : Studi Perilaku Politik Dalam Kampanye dan Kecenderungan Pemilih pada Pemilu 2004. Malang : UMM Press. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Muslim Muthfi, 2012. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Kompas Gramedia Referensi E-book ; Rais, Muh. Amien. 2008. Selamatkan Indonesia: Agenda mendesk bangsa. Yogyakarta : PPSK Press. Referensi jurnal & tesis : Agus Muhammad, Yusoff “Dari pada Orde Baru Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru.” Dalam Jurnal Ilmu Politik (vol.39. no. 1. Juli 2012) Djafar, TB Massa. 2008. Demokratissi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal. Dalam Jurnal Politik. FISIP dan Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional. Vol.1 No.I Illiyana, Ummi.2012. Perkembangan Koalisi Parpol di DPRD era Reformasi. Jakarta: tesis pascasarjana Universitas Indonesia. Prasetya, Imam Yudhi. 2011. Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik. Dalam Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol. 1 no. 1.



Purwoko.2010. Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia setelah Reformasi. Dalam Jurnal Politika. Vol 1. No.1, Mexsasai Indra. Gagasan Penyederhanaan jumlah parpol dihubungkan dengan system pemerintahan republik Indonesia. Dalam Jurnal Ilmu Hukum. Pekanbary: UIN Press, Vol.2 No.2, 2012) Soenarko H Setyadrmojo. Organisasi Partai politik dan Demokrasi. Dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Th XIII, No.1 Januari 2000. Hal. 89. Bijah Subijanto. 2000. Penguatan Peran Partai Politik dalam peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat. Dalam Jurnal Naskah. Jakarta: Universitas Pancasila. No.20, Juni-Juli 2000, hal. 47. Syahrial Syarbaini. Partai Politik dalam Proses Demokratisasi : Peranan Partai dalam era Reformasi. Dalam Jurnal Forum Ilmiah. Fakultas Hukum Universitas Esa Uunggul, Jakarta. Vol.9 No.1, 2001