Patofisiologi Diabetes Melitus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

2. Diabetes Melitus Patofisiologi Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa atau gula darah (hiperglikemia) akibat gangguan pada kerja hormon insulin (resistensi insulin), atau gangguan pada sekresi hormon insulin, ataupun disebabkan oleh kedua – duanya. Secara umum, DM dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. 1.



Diabetes Melitus Tipe 1 DM tipe 1 berkembang sebagai akibat dari faktor genetik, lingkungan, dan faktor



imunologi yang menghancur-kan sel-sel β pancreas. Gejala DM tidak akan muncul pada seorang individu hingga ± 80% sel β pankreas dihancurkan (Isselbacher, 2012). Umumnya berkembang dari masa anak – anak dan berma-nifestasi saat remaja yang kemudian berprogres seiring bertambahnya umur (Gambar 1). DM tipe ini sangat ber-gantung dengan terapi insulin karena jika tidak mendapatkan insulin penderita akan mengalami komplikasi metabolik serius berupa ketoasidosis dan koma.



Gambar 1. Tahap perkembangan diabetes melitus tipe 1. Tahap ini diuraikan dari kiri ke kanan dan masa sel beta secara hipotetik digambarkan terhadap usia (Kumar, 2015). A. Faktor Genetik Berdasarkan studi yang ada didapatkan berbagai gen yang dapat memicu timbulnya DM tipe 1. Gen yang paling berpengaruh adalah lokus HLA pada kromosom 6p21 yaitu sekitar



50% penderita DM tipe 1 memiliki HLA-DR3 atau HLA-DR4 haplotype. Beberapa gen non-HLA yang dapat memicu timbulnya DM tipe 1 adalah insulin dengan



variable



number of tandem repeats (VNTRs) pada region promoter. Polimorfisme dari CTLA4 dan PTPN22 menganggu fungsi aktivitasnya sebagai inhibitor respon sel T dapat memicu proses autoimun pada DM tipe 1 (Kumar, 2015). B. Faktor Autoimmunitas Di antara sekian banyak jenis sel pankreas, hanya sel β yang dihancurkan oleh sistem imun. Walaupun demikian tipe sel islet lain seperti sel α yang memproduksi glukagon, sel δ yang memproduksi somatostatin, dan sel PP yang memproduksi polipeptida pankreas, masih berfungsi. Terlebih lagi, secara embriologi sel-sel islet lain tersebut mirip dengan sel β dan juga mengekspresikan protein yang sebagian besar sama dengan sel β. Sel β peka terhadap efek toksik dari beberapa sitokin seperti Tumor Necrosis Factor α (TNF α), interferon γ, dan interleukin 1 (IL-1). Mekanisme dari proses kematian sel β belum diketahui dengan pasti, namun proses ini dipengaruhi oleh pembentukkan metabolit nitric oxide (NO), apoptosis, dan sitotoksisitas dari sel T CD8+. Dasar dari abnormalitas imun pada DM tipe 1 adalah kegagalan dari selftolerance sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh defek delesi klonal pada sel T self-reactive pada timus, defek pada fungsi regulator atau resistensi sel T efektor terhadap supresi sel regulator. Hal – hal tersebut membuat sel T autoreaktif bertahan dan siap untuk berespon terhadap self-antigens. Aktivasi awal dari sel tersebut terjadi pada nodus limfe peripankreatik sebagai respon terhadap antigen yang dilepaskan dari sel Pulau Langerhans yang rusak. Sel T yang teraktivasi bergerak ke pancreas → merusak sel β. Populasi sel T yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut adalah TH1 cells (merusak dengan mensekresi sitokin = including IFN-γ and TNF) dan CD8+ CTLs. Sel islet pankreas yang menjadi target autoimun antara lain adalah Islet cell autoantibodies (ICA) yang merupakan suatu komposisi dari beberapa antibodi yang spesifik pada molekul sel islet pankreas seperti insulin, glutamic acid decarboxylase (GAD), ICA-512/IA-2 (homolog tirosin-fosfatase), dan phogrin (protein granul yang mensekresi insulin). Sehingga antigen tersebut merupakan marker dari proses autoimun DM tipe 1 (Kumar, 2015).



C. Faktor Lingkungan Berbagai faktor lingkungan sering dikaitkan dengan DM, namun tidak satupun pernah terbukti benar-benar berpengaruh. Faktor yang diduga memicu DM antara lain meliputi virus (coxsackie B, mumps, cytomegalovirus dan rubella). Terdapat 3 hipotesis yang menjelaskan bagaimana virus dapat menimbulkan DM tipe 1 : 1. Akibat infeksi virus → inflamasi serta kerusakan sel Pulau Langerhans → pelepasan antigen sel β dan aktivasi sel T autoreaktif 2. Virus memproduksi protein yang mirip dengan antigen sel β sehingga memicu respon imun yang juga beraksi dengan sel β pada pancreas 3. Infeksi virus terdahulu yang menetap pada jaringan Pankreas kemudian terjadi reinfeksi dengan virus yang sama yang memiliki epitop antigenic yang sama → memicu respon imun pada sel Pulau Langerhans Dari ketiga hipotesis tersebut belum ada yang dapat menjelaskan secara pasti pathogenesis infeksi virus terhadap timbulnya DM tipe 1. Vaksinasi pada anak tidak ada hubungannya dengan timbulnya DM tipe 1. Faktor lain yang dapat memicu DM tipe 1 adalah protein susu bovine dan komponen nitrosurea (Kumar, 2015). 2. Diabetes Melitus Tipe 2 Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci dari berkembangnya DM tipe 2. Obesitas, terutama tipe sentral, sering ditemukan pada penderita DM tipe 2. Pada tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel B pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Ketika resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik terus terjadi, pankreas tidak mampu mempertahankan keadaan hiperinsulinemia tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa, yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah setelah makan. Setelah itu, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hati berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat puasa dan kegagalan sel beta (Kumar, 2015). Berdasarkan studi terbaru dikatakan bahwa dalam timbulnya DM tipe 2 terdapat pengaruh faktor genetik yaitu transcription factor 7–like-2 (TCF7L2) pada kromosom 10q yang mengkode faktor transkripsi pada WNT signaling pathway. Berbeda dengan DM tipe 1 penyakit ini tidak berhubungan dengan gen yang mengatur toleransi dan regulasi imun seperti HLA, CTLA4, dll.



Gambar 2. mekanisme kerja insulin (Isselbacher, 2012). Ada 4 karakteristik penyebab DM tipe 2, yaitu resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa hati, dan metabolisme lemak yang abnormal. A. Resistensi Insulin Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada uptake, metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Hal tersebut dapat terjadi akibat defek genetik dan obesitas. Menurunnya kemampuan insulin untuk berfungsi dengan efektif pada jaringan perifer merupakan gambaran DM tipe 2. Mekanisme resistensi insulin umumnya disebabkan oleh gangguan pascareseptor insulin. Polimorfisme pada IRS-1 (Gambar B-1) berhubungan dengan intoleransi glukosa dan meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dari berbagai molekul pascareseptor dapat berkombinasi dan memunculkan keadaan yang resisten terhadap insulin. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan persinyalan PI-3-kinase yang mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma. Ada 3 hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait obesitas, yaitu: 1. Asam lemak bebas (free fatty acids/FFA) 2. Peningkatan trigliserida intraselular dan produk metabolisme asam lemak menurunkan efek insulin yang berlanjut pada resistensi insulin. 3. Adipokin



4. Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin, sedangkan resistin meningkatkan resistensi insulin. 5. PPAR (peroxisome proliferator-activated receptor gamma) dan TZD (thiazolidinediones)



Gambar B-2. Hubungan Obesitas dengan Resistensi Insulin (Isselbacher, 2012). PPAR merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan kepekaan insulin. TZD merupakan antioksidan (antidiabetik) yang mampu berikatan dengan PPAR sehingga menurunkan resistensi insulin (Isselbacher, 2012). B. Gangguan Sekresi Insulin Sekresi insulin dan sensitivitasnya saling berhubungan.



Pada DM tipe 2,



sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa. Namun, lama kelamaan sel beta kelelahan mem-produksi



insulin



sehingga



terjadi



kegagalan



sel



β



(Kumar,



2015).



Gambar 3. Progres Timbulnya DM (Kumar, 2015). Kegagalan sel β ini tidak terjadi pada semua penderita DM tipe 2 sehingga diduga ada pengaruh faktor intrinsik berupa faktor genetik yaitu gen diabetogenik TCF7L2. Polipeptida amiloid pada pulau Langerhans (amilin) disekresikan oleh sel beta dan membentuk deposit fibriler amiloid pada pankreas penderita DM tipe 2 jangka panjang. Diduga bahwa amiloid ini bersifat sitotoksik terhadap sel sehingga massa sel β berkurang. Dapat disimpulkan bahwa disfungsi yang terjadi dapat bersifat kualitatif (sel beta tidak mampu mempertahankan hiperinsulinemia) atau kuantitatif (populasi sel beta berkurang). Kedua hal tersebut dapat disebabkan oleh toksisitas glukosa dan lipotoksisitas (Kumar, 2015).



C. Peningkatan Produksi Glukosa Hati Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang tinggi akan memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus menerus ke dalam sirkulasi darah (hiperinsulinemia). Pada keadaan normal, seharusnya hal ini dapat membuat glukosa dikonversi menjadi glikogen dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM



yang resisten terhadap insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon terhadap insulin mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa (glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada terjadinya hiperglikemia. Produksi gula hati baru akan terus meningkat akibat terjadinya ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin di otot rangka (Isselbacher, 2012). D. Abnormalitas Metabolik 1. Abnormalitas metabolisme otot dan lemak Resistensi insulin bersifat relatif karena hiperinsulinemia dapat menormalkan kadar gula darah. Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin berkurang, sedangkan hepatic glucose output bertambah sehingga menyebabkan hiperglikemia. Akumulasi lipid dalam serat otot rangka, yang mengganggu fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP mitokondria yang dirangsang insulin, menghasilkan reactive oxygen species (ROS), seperti lipid peroksida. Peningkatan massa adiposit meningkatkan kadar asam lemak bebas dan produk adiposit lainnya. Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan energy expenditure, adipokin mengatur sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas dan beberapa adipokin menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas mengurangi penggunaan glukosa pada otot rangka, merangsang produksi glukosa dari hati, dan mengganggu fungsi sel beta. Di sisi lain, produksi adiponektin berkurang pada obesitas dan menyebabkan resistensi insulin hepatik. Adiponektin memegang peranan penting dalam resistensi insulin yang dihubungkan dengan struktur molekul dan



mekanisme



kerjanya



yaitu



menurunkan



kandungan



trigliserida,



mengaktivasi PPAR-α dan AMP-Kinase. Kadar adponektin yang rendah merupakan salah satu faktor risiko dan prediktor terjadinya diabetes melitus tipe 2. Selain itu, beberapa produk adiposit dan adipokin merangsang inflamasi sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan C-reactive protein pada DM tipe 2 (Isselbacher, 2012). 2. Peningkatan produksi glukosa dan lipid hati Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hati menggambarkan kegagalan hiperinsulinemia



untuk



menekan



glukoneogenesis



sehingga



terjadi



hiperglikemia saat puasa dan penurunan penyimpanan glikogen hati setelah makan.1 Peningkatan produksi glukosa hati terjadi pada tahap awal diabetes, setelah terjadi abnormalitas sekresi insulin dan resistensi insulin pada otot rangka. Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit. Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada penyakit perlemakan hati nonalkoholik dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita DM tipe 2, yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL (Isselbacher, 2012). DAFTAR PUSTAKA Isselbacher, dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13. Jakarta: EGC Kumar, dkk. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9. Jakarta: EGC