Patofisiologi Malaria [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Patofisiologi Malaria Secara umum, patofisiologi malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti parasit, host (inang), serta geografis dan sosial. Setelah melalui jaringan hati, Plasmodium akan melepaskan merozoit ke dalam sirkulasi. Beberapa merozoit akan menginvasi sel darah merah. Siklus ini disebut siklus aseksual dalam eritrosit. Keadaan inilah yang bertanggungjawab pada pathogenesis malaria pada manusia. Invasi ke dalam sel darah merah dapat dimungkinkan dengan terdapatnya reseptor-reseptor antara parasit dan sel darah merah (Harjianto ,2007). Baik Plasmodium falciparum maupun Plasmodium vivax dapat menyebabkan anemia berat, tetapi hanya Plasmodium falciparum yang dapat menyebabkan banyak komplikasi seperti serebral malaria, hipoglikemia, asidosis metabolik, respiratory distress. Perbedaan itu disebabkan beberapa hal : (1) Plasmodium falciparum menyerang sejumlah besar sel darah merah sedangkan Plasmodium vivax hanya menyerang retikulosit. (2) Plasmodium vivax hanya menyerang Duffy Blood Group dan Retikulosit, sedangkan Plasmodium falciparum punya banyak cara untuk menyerang sel darah merah (Harjianto ,2007). Perbedaan penting antara Plasmodium falciparum dengan jenis Plasmodium lainnya adalah kemampuannya memodifikasi permukaan sel darah merah sehingga PRBC dapat berikatan dengan endotelium dan plasenta. Pada permukaan P-RBC banyak terdapat knob-knob yang disinyalir merupakan alat perlekatan ke sel-sel host serta merupakan alat penghindar parasit dari sistem imun dan klirens limpa. Perlekatan antara P-RBC dengan sel-sel host inilah merupakan penyebab utama patogenesis malaria. Perlekatan antara P-RBC dengan sel-sel host disebut sekuestrasi yang dapat terjadi pada banyak organ seperti jantung, paru-paru, otak, hati, ginjal, jaringan subkutan, dan plasenta (Miller et.al ,2002). Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasite (Soemarwo , 2002.)



Gejala malaria salah satunya juga akibat adanya sitokin pro-inflamasi. Sitokin ini terekspresi di sel endotel, monosit, dan makrofag yang mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin-sitokin ini antara lain Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), lymphotoxin (LT), dan interferon-γ (IFN-γ) (Miller et al., 2002; Harijanto, 2007).



Gambar 1. Proses Pengeluaran Sitokin akibat perlekatan P-RBC (Nature Publishing Group , 2006). Penderita malaria biasanya mengalami gejala seperti demam dan anemia. Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Necrosis Factor). TNF akan akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda, P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P. ovale/vivax 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum terjadi setiap hari, P. ovale/vivax selang satu hari, dan P. malariae selang waktu 2 hari (Depkes RI, 2008). Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium dan status imunitas penjamu. P. falciparum



menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehinga anemia dapat terjadi pada infeksi akut maupun kronik. P. vivax/ovale hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari jumlah seluruh sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah seluruh sel darah merah, sehingga anemia yang terjadi karena P. vivax/ovale dan P. malariae biasanya terjadi pada infeksi kronik (Depkes RI, 2008). Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh



darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bukan perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan malaria cerebral, edema paru, gagal ginjal dan malobsorsi usus (Band JD , 2004).



Gambar 2. Proses Sequestrasi dan Rosseting pada Kapiler oleh P-RBC (Band JD , 2004).



Daftar Pustaka



Band JD.2004. Malaria dalam tintinali JE Ed. Emergency medicine A Comprehensive Study Guide Ed: 6. New York : McGraw Hill.



Depkes RI, 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia, Dirjen PP dan PL Depkes RI, Jakarta. Harijanto, Paul. 2007. ‘Malaria’, in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, ed. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : FK UI Miller, L.H.; Baruch, D.I.; Marsh, K.; Doumbo, O.K. 2002. The pathogenic basis of malaria. Nature Soemarwo S. 2002. Malaria dalam Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta : FK UI.