Pembahasan Demam Tipoid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini hanya didapatkan pada manusia. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. 1,2 Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. 3



2



Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08 % dari seluruh kematian di Indonesia. Namun, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi. 4 Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. 3 Masalah lain dalam menegakkan diagnosis demam tifoid pada daerahdaerah dimana tidak dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium bakteriologi maupun serologi sehingga diagnosis praduga demam tifoid ditegakkan atas dasar gejala dan tanda klinis yang ada. Mengingat hal ini maka ketajaman pengenalan gejala serta tanda klinis sangat penting. Akan tetapi untuk memastikan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan bakteriologis dan serologis. 2 Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien. 3



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mikrobiologi Salmonella Typhi Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. (5)



Gambar 2.1. Strukur Salmonella Typhi (5) Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan



4



dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan bahan tinja. (5) Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. (5) 1. Antigen O Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer. (6)



2. Antigen H Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam. (6) 3. Antigen Vi Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier. (6) 4. Outer Membrane Protein (OMP) Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel



5



terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa. (6) B. Patofisiologi Demam Tifoid HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai penghambat masuknya Salmonella spp dan lain-lain bakteri usus. Jika Salmonella spp masuk bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga Salmonella spp lebih mudah masuk ke dalam usus penderita. Salmonella spp kemudian memasuki folikel-folikel limfe yang terdapat di dalam lapisan mukosa atau submukosa usus, bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih banyak Salmonella spp. (5) Setelah itu, Salmonella spp memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah. Dengan demikian terjadilah bakteremia pada penderita. Dengan melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding empedu atau secara tidak langsung melalui kapiler-kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu yang larut disana. Melalui empedu



6



yang infektif terjadilah invasi ke dalam usus untuk kedua kalinya yang lebih berat daripada invasi tahap pertama. Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. Demam tifoid merupakan salah satu bekteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai macam organ mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk darah, terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang. (5) Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi nekrosis superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri atau yang lebih utama disebabkan oleh sumbatan pembuluh-pembuluh darah kecil oleh hiperplasia sel limfoid (disebut sel tifoid). Mukosa yang nekrotik kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa. (5) Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi



7



menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi. (5) Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap mengandung kuman Salmonella spp sehingga terjadi bakteriuria. Maka penderita merupakan urinary karier penyakit tersebut. (5) Akibatnya terjadi miokarditis toksik, otot jantung membesar dan melunak. Anak-anak dapat mengalami perikarditis tetapi jarang terjadi endokaritis. Tromboflebitis, periostitis dan nekrosis tulang dan juga bronkhitis serta meningitis kadang-kadang dapat terjadi pada demam tifoid. (5)



8 Kuman masuk bersama makanan & minuman yang terkontaminasi



Dimusnahkan dilambung oleh HCL



Lolos dan masuk ke usus Bila respon imunitas humukral mucosa (IgA) Berkembang Biak Nembus sel, epitel terutama sel M Menembus sampai lamina propira Berkembang biak & difagosit oleh sel’fagosit terutama makrofag



Kuman hidup dan berkembang biak Dibawah ke plaque peyeri ileum distal Masuk ke sirkulasi darah



Tejadi bakterima I (asymptomatik)



Menyebar keseluruh organ Relikuloendotelial tubuh hati & splen



Diogran RE S.Typhi akan meninggalkan sel” fagosit



Masuk kekantung empedu



Berkembang biak di luas sel/ ruang sihusoit



Berkembang biak



Diorgan RE S.Typhi akan meninggalkan sel” fagosit



Ekskresi B’sama cairannya empedu secara intermitten kedalam lumen usus



Berkembang biak di luar sel/atau ruang sinusoit Sebagian dikeluarkan lewat feces



Sirkulasi darah Masuk lagi ke sirkulasi daerah Sebagian menembus lumrn usus



Proses berulang Bakterima kedua tanda” dan gejala penyakit infeksi sistem karena Makrofag yang telah teraktivasi & hiperaktif saat fagosit, terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi Gejala reaksi inflamasi sistemik deman, malaise, mialgya, sakit kepala, sakit perut, instabilita, vascular, ganggua mental & gangguan koagulasi



Menginduksi reaksi hipersensifitas tipe lembut, hiperplasi jaringan dan nekrosis organ Didalam plaque peyere Erosi pembuluh darah Pendarahan cel cerna



Perforasi



peritonitis



nyeri tekan



9



C. Gejala Klinis Demam Tifoid Anak Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis ringan ataupun tanpa gejala (asimptomatik) (7). Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari. Inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari. Lamanya masa inkubasi berkorelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien. Walaupun gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan, antara lain (7) : -



Demam satu minggu atau lebih;



-



Gangguan pencernaan; dan



-



Gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut



pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat (7,8). Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise



10



pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-41◦C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid kongenital (7). Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (7).



Gambar 2.3. Lidah Tifoid (7) Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Rosola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas (8). Limpa pada umumnya sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak (8).



11



Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa, serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis (20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan fisiknya lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka kematian yang tinggi ( 12,5%) (7).



Gsmbsr 2.2. Pasien Demam tifoid ( D. Penegakan Diagnosis Demam Tifoid Anak Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Pemeriksaan



12



Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit (8). 1. Hematologi Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan



usus



atau



perforasi.



Hitung



leukosit



sering



rendah



(leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 2. Urinalisis Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. 3. Kimia Klinik Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut. 4. Imunorologi Tes Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi atau paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis



13



seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain. Diagnosis Demam Tifoid atau Paratifoid dinyatakan bila titer O = 1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu 1. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test)



14



hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid atau Paratyphoid dinyatakan apabila lgM positif menandakan infeksi akut dan jika lgG positif menandakan pernah kontak atau pernah terinfeksi atau reinfeksi atau daerah endemik. 5. Mikrobiologi Kultur (Gall culture/ Biakan empedu) Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid atau paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid atau Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu pertama sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi (5,6). Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2 7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan tinja. 6. Biologi molekular PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang



15



kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi (8). E. Diagnosis Banding 1. Malaria Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan karena plasmodium yag menyerang erotrosit yang ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah. Malaria mempunyai gambaran karateristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin.(9) Gejala yang klasik adalah trias malaria. Secara berurutan periode dingin (15-60 menit) : mulai menggigil. Penderita sering membungkus diri dengan selimut dan pada saat menggigil seluruh badan bergetar dan gigi saling terantuk, diikuti dengan kenaikan temperatur. Periode panas : penderita muka merah, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat. Periode berkeringat : penderita berkeringat dan temperatur mulai turun (9) 2. Dengue Fever



16



Dengue fever adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trobositopenia, dan diuresis hemoragi.(9) Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti dengan fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika mendapat pengobatan tidak adekuat (9) F. Komplikasi Demam Tifoid Anak Pada akhir minggu ke-2 sampai masuk minggu ke-3 merupakan masa yang berbahaya. Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Dengan terapi yang tepat, banyak penderita yang sembuh dari demam tifoid. Namun tanpa terapi yang tepat, beberapa penderita mungkin tidak selamat dari komplikasi demam tifoid (8). Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini (8). Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga membuat gejala seperti sakit perut,



17



mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera (8). Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain : 1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit. 2. Kejang Demam 3. Gangguan Kesadaran 4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis). 5. Pneumonia. 6. Peradangan pankreas (pankreatitis). 7. Infeksi ginjal atau kandung kemih. 8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis). 9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis. G. Upaya Pencegahan Demam Tifoid Anak Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan (9) Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi.



18



Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium. (9) Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit. (9) Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurangkurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orangorang yang masih memiliki resiko terjangkit. (9) Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang



19



yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik. Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi). (9) H. Managemen Penatalaksanaan Demam Tifoid 1. Pengobatan kausal a. kloramfenikol/ tiamfenikol 100 mg/ kgBB/ hari dibagi 3-4 dosis selama 10 hari b. kotrimoksasol dengan dasar trimetropin 8-10 mg/kgBB/ hari aau sulfameoksasol 40-50 mg/kgBB/hari selama 7 hari



20



c. amoksisilin 100mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis selama 14-21 hari d. sefriakson 80 mg/kgBB/hari selama 7 hari e. sefiksim 15-20 mg/kgBB/hari selama 10 hari 2. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi, hipoglikemi 3. Pengobatan suportif : roboronsia 4. Pengobatan dietetik tergantung kondisi penderita bila perlu makanan lunak/ cair mudah dicerna tinggi kalori dan protein 5. Tirah baring bila perlu isolasi penderita 6. Pada kasus berat deksametason 1-3 mg/kgBB/ hari dengan antibiotik yang sesuai 7. Transfusi darah sesuai keperluan (4) G. Upaya Rehabilitatif Pada Penderita Demam Tifoid Anak 1. Pisahkan anak penderita demam tifoid dari saudara-saudaranya untuk menghindari penularan. Bahkan bila ibu menemani, tidak disarankan untuk tidur bersama dengan anak yang sakit. Sebaiknya tempatkan anak yang sakit di kamar tersendiri, tentunya dengan perhatian penuh dari kedua orang tua untuk menghindari perasaan terisolir/kesepian pada anak tersebut. 2. Upayakan klien dengan demam tifoid beristirahat total di tempat tidur sampai demamnya turun. Demam bisa berlangsung selama dua minggu. Setelah demam turun, teruskan istirahat sampai suhu normal kembali. Jelaskan pada anak bahwa untuk mandi, buang air besar dan kecil harus



21



meminta pertolongan kepada ibu atau orang dewasa lainnya yang ada di rumah. 3. Ingatkan kepada siapa saja yang membantu untuk selalu mencuci tangan dengan desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan anak yang sakit. 4. Seperti halnya di rumah sakit, orang tua perlu mengukur suhu tubuh anak dan mencatatnya. Catatan suhu tubuh ini sangat penting untuk dikonsultasikan ke dokter dan bila ada peningkatan suhu tubuh yang tinggi. 5. Biasanya dokter memberikan obat yang sudah diperhitungkan sampai suhu tubuh turun. Jika obat hampir habis, sementara suhu tubuh makin tinggi, konsultasikanlah ke pelayanan medis atau dokter karena mungkin membutuhkan perawatan yang lebih intensif di rumah sakit. 6. Untuk membantu mempercepat penurunan suhu tubuh, upayakan agar anak banyak minum air putih, dikompres dengan air hangat, dan jangan menutupinya dengan selimut agar penguapan suhu lebih lancer. 7. Berikan makanan yang mengandung banyak cairan dan bergizi seperti sop dan sari buah, juga makanan lunak, seperti bubur 8. Pembuangan feses dan urine harus dipastikan dibuang ke dalam WC dan disiram dengan air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya pun harus bersih agar tidak ada lalat yang akan membawa kuman ke mana-mana. Bila anak menggunakan pot atau urinal untuk BAK dan BAB, jangan lupa untuk merendamnya dengan cairan desinfektan setelah dipakai. 9. Rendam pakaian anak dengan desinfektan sebelum dicuci, dan jangan mencampurnya dengan pakaian yang lain. (10)



22



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi 2. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul 3. Gejala dari Demam Tifoid anak dapat dikelompokkan menjadi demam satu minggu atau lebih, gangguan pencernaan; dan gangguan kesadaran. 4. Pemeriksaan Laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid anak meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular 5. Diagnosis Banding dari demam tifoid anak antara lain adalah dengue fever dan malaria. 6. Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi yang kemudian dapat menyebabkan kematian. 7. Upaya pencegahan pada demam tifoid anak dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin. 8. Penatalaksanaan demam tifoid dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik, terapi suportif, dietetik, tirah baring dan memperbaiki keadaan umum pasien.



23



B. Saran 1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering terjadi di masyarakat, sehingga perlu perhatian khusus dari semua pihak untuk bekerja sama menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. 2.



Dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan baik dalam cara penulisan maupun isi tulisan sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut unutk kebaikan dalam penyusunan referat ini dan referat selanjutnya.



24



DAFTAR PUSTAKA



1. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8. 2. Rampengan T.H., Laurent I. R. Demam Tifoid. Dalam : Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1993 : 53; 59. 3. Risky V. P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Available



at



http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf.



Accessed at 8 September 2008. 4. Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti S. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 : 1774. 5. Tirta Swarga. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. 2008 6. Puspa Wardani, Prihartini, Probohusodo. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical and Medical Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7 7. Rampengan, T.H., Laurentz, I.R : Penyakit Infeksi Tropik Paada Anak. EGC. 1997: 53-72. 8. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75. 9. Harijanto. Malaria. Dalam : Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III Edisi IV. Jakarta : BP FKUI, 2006: 1754-5